I M P I A N 1
Selamat malam untuk para suhu penghuni forum tercinta.
Mohon ijinkan saya untuk membangun rumah lagi untuk cerita baru saya.
Mohon maaf kalau cerita yang saya buat ini, bukan cerita lanjutan M A T A H A R I.
Cerita ini untuk mengalihkan kejenuhan saya di cerita M A T A H A R I.
Tapi nanti dilanjutkan lagi kok M A T A H A R I nya.
Cerita ini hanya selingan dan mohon maaf updatenya mungkin gak akan sesering cerita M A T A H A R I.
Dan mohon maaf, mungkin cerita ini minim akan cerita sexnya.
Tetap ada cerita sexnya, tapi ga sesering cerita lainnya.
Dan akhir kata,
Selamat menikmati cerita ini, semoga berkenan dan semoga bisa dinikmati.
Salam Hormat dan Salam Persaudaraan.
BAGIAN 1
PENYEMANGAT
PRAKKK.. PRAKKK.. PRAKKK..
Bunyi tiga celengan kendi yang terbuat dari tanah liat, yang aku banting dilantai tanah kamarku. Uang logam 500 berwarna emas dan uang logam 1000 yang dipinggirnya berwarna perak serta ditengahnya berwarna emas, berhamburan dilantai tanah ini. Uang kertas 500 bergambar monyet, uang kertas 1000 berwarna biru dan paling besar nominalnya 5000 berwarna coklat tua, tampak tergulung diantara uang – uang logam yang berhamburan. Aku mengumpulkan uang ini semenjak SMP dulu, dari hasil mengamen dan juga kerja serabutan.
Aku lalu mengumpulkan uang tabunganku itu dan aku kumpulkan berdasarkan nominalnya. Aku menumpuknya menjadi beberapa bagian, agar memudahkanku untuk menghitungnya.
Oh iya, namaku Gilang, Gilang Adi Pratama. Aku terlahir dikeluarga kaya, kaya akan cinta dan kasih sayang. Rumahku lumayan besar dan terbagi tiga bagian. Bagian teras yang berfungsi sebagai ruang tamu, bagian tengah yang terdapat dua kamar, dan bagian belakang yang berfungsi sebagai dapur serta ruang penyimpanan padi. Bangunan rumahku ini berbentuk joglo dengan tiang kayu jati, dinding anyaman bambu, dan atap genteng yang terbuat dari tanah liat.
Bapakku seorang petani yang menggarap sebidang sawah, sawah yang menjadi tumpuan kehidupan kami sehari – hari. Sedangkan Ibuku, Ibuku seperti perempuan desa lainnya, mengurus rumah tangga dan sesekali membantu Bapak disawah.
Aku mempunyai dua orang adik, satu laki – laki dan yang satu perempuan. Adik laki – lakiku bernama Damar yang masih bersekolah di SMP, sedangkan yang perempuan bernama Lintang dan masih sekolah dasar.
Aku mengamen dan kerja serabutan, karena hasil dari sawah kedua orang tuaku itu, tidak cukup untuk membiayai sekolahku dan kedua adikku. Aku bekerja keras dan uang hasil keringatku itu, sebagian aku serahkan kepada Ibu dan sebagian lagi aku simpan di celengan kendi.
Aku yang sempat menganggur dua tahun sebelum masuk STM, mempunyai cita – cita ingin melanjutkan pendidikanku keperguran tinggi. Setelah itu aku ingin menaklukkan dunia dengan semua bekal yang aku miliki..
Terdengar sombong ya.? tapi itulah aku dan tentang tekadku.
Hampir semua penduduk desa ini, mencibir niatku yang ingin melanjutkan pendidikanku ini. Tapi aku tidak menghiraukan suara – suara sumbang itu. Dulu saja ketika aku akan melanjutkan jenjang pendidikanku ke STM, banyak orang yang menyepelekan aku dan keluargaku. Mereka selalu bilang, aku pasti tidak akan sampai lulus STM, karena tidak mempunyai biaya. Tapi buktinya.? Aku sekarang sudah lulus dan aku bisa membungkam suara – suara sumbang mereka sejenak. Tapi sejenak saja sih. karena setelah mendengar kabar aku akan melanjutkan pendidikan, suara – suara sumbang mereka terdengar lagi dan lebih keras lagi. Persetanlah, aku tidak pernah meminta uang dari mereka dan aku juga tidak pernah minta makan sama mereka. Jadi buat apa aku ambil pusing.
Itu perkenalan singkat tentang aku dan keluargaku. Aku yang bernama Gilang, seorang pemuda desa yang mempunyai cita – cita setinggi langit dan seluas samudra.
“jadi beneran Gilang mau kuliah?” Tanya Ibuku dari arah belakangku dan mengejutkanku dari lamunan.
Aku lalu menoleh kearah Ibu yang berdiri dipintu kamarku, sambil memegang kelambu usang kamarku.
“iya bu.” Jawabku lalu aku tersenyum.
“cukup uang yang ada ditabunganmu?” tanya Ibu dan wajah beliau berubah menjadi sayu.
“cukup Bu.” Ucapku berbohong, karena aku belum menghitung uang yang masih aku kumpulkan ini.
“heeemmm,” Ibu mengeluarkan nafas panjangnya, lalu membalikkan tubuhnya dan menutup selambu kamarku.
Terdengar langkah Ibu menuju kearah dapur dan aku langsung berdiri, lalu keluar kamarku. Aku ingin berbicara dengan Ibu, karena aku tau Ibu sangat bersedih sekali. Aku berjalan kearah dapur, lalu berdiri tidak jauh dari Ibu yang sedang duduk dan menanak nasi.
“Ibu tau kalau kamu itu memiliki cita – cita yang sangat tinggi sekali nak. Tapi apa gak sebaiknya cita – citamu itu, mempertimbangkan kondisi keluarga kita.?” Ucap Ibu yang memulai pembahasan tentang kelanjutan pendidikanku ini.
Pembahasan ini sudah sering kami lakukan dan aku tidak pernah mengendurkan sedikitpun cita – citaku. Justru aku semakin semangat dan semua nasehat Ibu, aku jadikan pelecut untuk perjuanganku nanti.
“bukannya Ibu melarangmu nak, tapi.” Ucap Ibu terpotong dan Ibu langsung menunduk sejenak, setelah itu mendorong kayu bakar kedalam tungku yang terbuat dari tanah liat itu.
“Ibu takut mendengar omongan dari orang – orang ya.?” tanyaku dan Ibu hanya melihatku dengan tatapan sayunya.
“Bu, yang memberikan makan dan yang membesarkan Gilang serta Adik – Adik itu, Ibu dan Bapak, bukan orang – orang desa. Jadi buat apa kita memikirkan ucapan mereka.” Ucapku sambil berjalan kearah tumbukan kayu bakar, lalu mengambil beberapa batang dan setelah itu berjalan kearah Ibu.
“bukan itu yang Ibu pikirkan nak. Gilang tau kan biaya kuliah itu sangat mahal sekali. Bagaimana kalau nanti Gilang terhenti ditengah jalan.?” Ucap Ibu dan aku langsung duduk disebelah beliau, sambil memasukan kayu bakar kedalam tungku.
“Gilang hanya butuh doa restu dari Ibu dan Bapak. Itu saja.” jawabku dengan tenangnya dan Ibu langsung menyenderkan kepala beliau dipundakku.
“Gilang tau, Gilang sekolah sampai STM saja, Bapak dan Ibu sudah sangat bangga sekali nak. Apa lagi Gilang meraihnya dengan keringat Gilang sendiri.” Ucap Ibuku dengan suara yang bergetar.
“banyak orang yang mencemooh Ibu, ketika Gilang masuk STM dulu. Tapi Gilang berhasil membuktikannya dan lulus dengan baik nak.” Ucap Ibu lagi.
“dan sekarang bukannya Ibu mau melemahkan semangatmu nak, bukan itu maksud Ibu.” Ucap Ibu dan suara beliau semakin terdengar sedih.
“tapi,” ucap Ibu terpotong dan seperti tidak kuat melanjutkan ucapannya.
“Gilang hanya butuh doa restu Ibu dan Bapak. Selebihnya, akan menjadi urusan Gilang dan Sang Pencipta.” Ucapku.yang mengulang perkataanku tadi dengan nada yang tetap tenang.
Hiuufftttt, huuuuu.
Ibu menarik nafas panjang, lalu mengeluarkan perlahan sambil menegakkan kepala beliau dari pundakku. Suasana jadi sedikit canggung, karena Ibu tidak melanjutkan pembicaraan.
Kami berdua diam sambil memandang api yang menyala didalam tungku. Dan beberapa saat kemudian,
“nasinya sudah mateng.” Ucap Ibuku dan aku langsung berdiri, lalu mengambil kain lap untuk mengangkat panci dari atas tungku.
Ibu lalu mengambil panci lain, untuk merebus daun singkong yang dipetik didekat sawah tadi pagi.
“Gilang mau kerumah Pak Nyoto Bu, makanan untuk sapi beliau habis.” Ucapku setelah meletakkan panci didekat tungku.
“makan dulu, biar kuat menghadapi kenyataan.” Ucap Ibu yang mencoba mencairkan suasana canggung ini.
“pasti lah Bu, daun singkong itu mengandung zat besi, dan zat besi bisa menguatkan hati yang rapuh. Apalagi kalau direbusnya pakai kasih sayang, bisa jadi superboy Gilang bu.” Ucapku lalu tersenyum.
“kamu itu, ada aja jawabannya.” Ucap Ibu sambil menggelengkan kepalanya pelan.
Aku lalu masuk kedalam kamarku, untuk melanjutkan kegiatanku tadi. Aku menghitung lagi uang tabunganku.
Kurang seribu, tabunganku ini berjumlah tujuh ratus limapuluh ribu. Apa cukup uang ini untuk pendaftaran kuliah dan membeli segala persiapan untuk masuk kuliah.? Semoga saja cukup. Untuk tempat tinggal dan makan sehari – hari, itu nanti saja dipikir. Selagi aku memegang gitar usangku, semua masalah itu bisa diatasi.
Aku lalu mengganti pakaianku, setelah itu keluar kamar menuju dapur.
“Ibu kesawah dulu ya nak, itu makananmu ada dimeja.” Pamit Ibuku sambil menenteng rantang dan kendi yang digendong dikain jariknya. Siang hari seperti ini, Ibu pasti kesawah untuk mengantarkan makan siang untuk Bapak.
“iya bu, hati – hati ya.” ucapku dan Ibu hanya mengangguk lalu memakai caping dikepalanya, setelah itu melangkah keluar rumah (Caping adalah sejenis topi berbentuk kerucut yang umumnya terbuat dari anyaman bambu)
Aku lalu berjalan kearah meja makan. Hidangan yang sangat lezatpun, tersaji dimeja makan dan membuat air liurku mau menetes. Nasi panas, kulupan daun singkong rebus, sambel dan lauk tahu tempe.
Aku mengambil piring seng, lalu mengambil nasi dan sandingannya. Aku angkat kaki kananku dan aku letakkan dikursi kayu yang aku duduki ini, lalu piring seng aku pegang dengan telapak tangan kiriku, lalu aku makan dengan sangat lahap sekali.
Dan setelah selesai makan, aku mengambil kendi lalu meminumnya langsung tanpa memakai gelas.
Setelah makananku turun, aku mengambil gelas seng yang berisi kopi panas, yang dibuatkan Ibu sebelum kesawah tadi. Lalu aku mengambil rokok kretekku dan mengambilnya sebatang, lalu aku bakar dan aku hisap perlahan.
Gimana.? nikmat gak kehidupanku.? Pasti nikmat sekali.
Huu, luar biasa sekali kehidupan yang diberikan Sang Pencipta ini kepadaku. Aku sangat besyukur lahir dikeluarga yang sangat luar biasa ini. Semua aku dapatkan dirumah ini. Kebahagian, kasih sayang, perhatian, dan juga cinta, semua aku dapatkan dengan sempurna disurga yang aku tinggali ini.
Berat sekali sebenarnya aku rasakan, karena aku akan meninggalkan rumah ini. Tapi kalau aku tidak keluar dari rumah ini, sama saja aku mengubur cita – citaku..
Hiuuffttt,
Tretek, tretek, tretek, tretek, tretek,
Bunyi rokok kretek yang aku hisap dalam – dalam ini.
Huuuu.
Aku mengeluarkan asap tebal yang ada dimulutku, lalu aku berdiri dan mengambil arit serta caping yang ada didekat pintu dapur. Aku keluar rumah sambil menggenggam arit ditangan kiri dan rokok kretek ditangan kanan. (arit = celurit)
“Mas.” Panggil adikku Damar yang baru pulang sekolah dan disebelahnya adikku Lintang, dengan wajah mereka yang dipenuhi keringat.
Baju putih kedua adikku yang dikenankan, tampak berubah menjadi agak kekuningan dan menyempit ditubuh mereka berdua. Celana biru yang dikenakan Damar dan rok berwarna merah yang dikenakan Lintang, warnanya juga tampak memudar.
“baru pulang.?” Tanyaku.
“iya Mas, Mas Gilang mau ngarit.?” Tanya Damar. (ngarit = cari rumput)
“iya, kalian pulang sana, ganti baju terus makan.” Ucapku lalu aku menghisap rokok kretekku.
“nanti Damar nyusul ya Mas.” Ucap Damar.
“terus yang jaga Lintang siapa.?” Tanyaku sambil melihat kearah Lintang.
“Lintang ikut jugalah.” Jawab Lintang.
“gak usah, kalian belajar aja dirumah, sebentar lagi kalian kan ulangan catur wulan.” Ucapku sambil melihat mereka berdua bergantian, lalu aku meninggalkan mereka menuju rumah Pak Nyoto.
Pak Nyoto ini salah satu orang terkaya di desaku. Beliau punya banyak sawah, tambak dan juga hewan ternak. Selain itu, beliau juga punya istri yang banyak. Dan sekarang aku mendatangi salah satu rumahnya, yang ditinggali salah satu istri mudanya.
Istri mudanya yang ini usianya mungkin sekitar 40 tahunan, berbeda jauh usianya dengan Pak Nyoto yang hampir 70 tahunan. Kelihatannya Istri mudanya yang satu ini, itu dulunya kembang desa. Diusianya yang sekarang ini aja, tubuhnya masih terlihat agak langsing. Bokongnya semok dan susunya juga besar. Apalagi kalau sudah pakai kemben, seperti mau berontak aja itu susunya. Dan yang jadi pikirinku, apa masih sanggup Pak Nyoto memerah susu istrinya yang besar itu.? apa masih punya tenaga.? Terus kalau dinenenin, apa Pak Nyoto gak langsung sesak nafas.? Hehehe,
Aku terus melangkah kearah rumah Pak Nyoto, sambil memikirkan istri mudanya yang semok itu. biasanya kalau aku dibelakang rumah Pak Nyoto, istri Pak nyoto itu selalu keluar masuk rumahnya. Ntah apa maksudnya, yang jelas aku juga senang ada pemandangan yang begitu indah hilir mudik dihadapanku.
Setelah sampai dirumah Pak Nyoto, aku membuang rokok kretekku lalu menuju kandang sapi yang ada dibelakang rumah beliau. Terlihat belasan sapi Pak Nyoto sedang makan rumput yang persediaannya mulai menipis.
Aku lalu meletakkan aritku dan mengambil air diember, untuk mengisi wadah tempat minum sapi. Aku mengambil airnya disumur yang berada tidak jauh dari kandang sapi. Beberapa kali aku mondar – mandir dari arah sumur kekandang sapi, sambil melihat kearah pintu dapur rumah Pak Nyoto.
Tumben banget Bu Nyoto gak keluar, apa beliau lagi keluar rumah ya.? tapi biarlah, lebih baik aku mencari rumput dulu didekat sungai sana.
Setelah wadah tempat air minum sapi penuh, aku mengambil aritku dan berjalan kearah hutan dipinggir desa. Didekat hutan itu, ada padang rumput yang lumayan luas dan letaknya didekat sungai.
JRABB, JRABB, JRABB, JRABB,
Aku langsung menebas rumpat, ketika sampai ditempat itu..
JRABB, JRABB, JRABB, JRABB,
Panas matahari disiang ini, membuat seluruh tubuhku dipenuhi keringat..
JRABB, JRABB, JRABB, JRABB,
Setelah lumayan banyak hasil tebasan rumputku, aku lalu mengikat rumput itu menjadi tiga bagian.
“Lang,” tiba – tiba suara seseorang datang dari arah belakangku.
Aku lalu melihat kearah suara itu dan terlihat Joko sahabatku datang sambil menenteng aritnya.
“he Jok, kate ngaret ta.?” (mau cari rumput kah.?) Tanyaku.
“ora, kate mbadok.” (enggak, mau makan.) ucap Joko lalu,
JRABB, JRABB, JRABB, JRABB,
Joko langsung menebas rumput, tidak jauh dari tempat aku berdiri.
“kaet kapan pangananmu suket Jok.?” (sejak kapan makanmu rumput Jok.) Tanyaku sambil berjalan kearah pohon yang ada didekatku. Aku lalu duduk dibawah pohon, sambil melepas capingku. Lalu aku mengambil rokok kretekku dan membakarnya. Setelah itu aku menyandarkan punggungku dipohon, sambil mengambil capingku dan mengipaskan dengan tangan kiri untuk mengeringkan keringat ditubuhku.
“matamu cok.” maki Joko sambil terus menebas rumput.
JRABB, JRABB, JRABB, JRABB,
“hehe,” aku hanya tertawa lalu menghisap rokokku.
“sido budal nang Kota Pendidikan ta.?” (jadi pergi ke Kota Pendidikan kah.?) tanya Joko sambil melihat kearahku.
“iyo, melu ta.?” (iya, ikut kah.?) tanyaku
“lapo nggolek suket adoh – adoh, nde kene je’ akeh sukete.” (ngapain cari rumput jauh – jauh, disini juga masih banyak rumputnya.) jawab Joko lalu melanjutkan menebas rumputnya.
“iyo Jok, opo maneh sukete Bu Nyoto.” (iya Jok, apalagi rumputnya Bu Joko.) ucapku dengan cueknya.
“asu, wes diketok’i Pak Nyoto cok, hahaha.” (anjing, sudah dipotong Pak Nyoto cok, haha.)
“wes tau ndelok ta wakmu cok.?” (sudah pernah lihat kah kamu cok.?) tanyaku dengan terkejutnya.
“wes yo, haha.” (sudah dong.) jawab Joko tapi tidak melihat kearahku.
“otek’e Bu Nyoto opo Pak Nyoto.?” (punya Bu Nyoto apa Pak Nyoto.?) tanyaku lalu aku menghisap rokok kretekku lagi.
“bajingan, hahaha.” Jawab Joko sambil melihat kearahku lagi lalu tertawa.
“hahaha,” akupun tertawa juga, lalu berdiri sambil memakai capingku.
Aku lalu membuang rokokku, sambil berjalan kearah rumput yang telah aku ikat. Aku mengangkat salah satu tumpukan rumput kepundaku.
“Hup.”
“kate nangdi cok.?” (Mau kemana cok.?) tanya Joko.
“kate ndelok sukete Bu Nyoto, hahaha.” (mau lihat rumputnya Bu Nyoto, hahaha.) jawabku sambil berjalan dengan cueknya.
“assuu.” Maki Joko dan aku tetap berjalan dengan cueknya.
Aku berjalan kearah rumah Pak Nyoto yang jarak lumayan jauh itu, dan setelah sampai dibelakang rumahnya, aku meletakkan rumput yang aku panggul ini ketempat penyimpanan rumput.
Aku melihat kearah belakang pintu rumah Pak Nyoto dan pintunya masih juga tertutup. Aku kembali lagi ketempat tadi, dan mengambil tumpukan rumput yang kedua. Tidak terlihat Joko ditempat ini, hanya tumpukan rumput yang telah diikat Joko yang tergelak didekat tumpukan rumputku.
Kembali aku memanggul tumpukan rumput yang kedua dan aku mengantarnya kerumah Pak Nyoto. Lagi – lagi pintu belakang rumah Pak Nyoto terlihat masih tertutup. Akupun kembali kearah hutan, untuk mengambil tumpukan ruput yang terakhir.
“lang, mari ngene adus nde kali yo.” (lang, habis ini kita mandi disungai ya.) Ucap Joko yang sudah ada ditempat tadi, sambil memangul rumput dipundaknya.
“yo.” Ucapku singkat sambil mengangkat tumpukan rumput yang terakhir dipundakku.
“piye sukete Bu Nyoto cok.?” (gimana rumputnya Bu Nyoto cok.?) Tanya Joko yang berjalan disebelahku.
“resik.” (bersih) jawabku singkat.
“temenan.?” (beneran.?) Tanya Joko yang terkejut.
“hahaha,” dan aku hanya tertawa saja.
“matamu.” Gerutu Joko sambil membelokkan langkahnya kearah jalan yang berbeda.
“hahaha.” Aku terus tertawa sambil terus berjalan kearah rumah Bu Nyoto.
Dan ketika aku sampai dibelakang rumah Bu Nyoto, tampak pintu belakangnya sudah terbuka. Aku dengan semangatnya berjalan kearah kandang sapi sambil sesekali melirik kearah ruang yang terbuka itu.
Bu Nyoto
Pemandangan yang begitu indahnya pun langsung menyambutku, ketika melihat Bu Nyoto sedikit menunduk didapur rumahnya. Bu Nyoto yang hanya memakai Bra, kain jarik dan sanggul yang masih menempel dirambutnya, terlihat cantik sekali.
Aku lalu meletakkan rumput sambil melihat kearah Bu Nyoto, dengan pandangan yang sangat bernafsu sekali.
Dan ketika Bu Nyoto melihat kearahku sambil berdiri, aku lalu melihat kearah sapi yang ada didepanku. Sapi yang berdiri memunggungi aku ini, memperlihatkan bokong semoknya.
Duh, kira – kira kalau kain jarik Bu Nyoto terbuka, bokongnya kencang seperti bokong sapi ini gak ya.? uhhh,
“Lang,” panggil Bu Nyoto dan aku langsung melihat kearah Bu Nyoto yang berdiri dan memperlihatkan susunya yang besar dan mau tertumpah dari Bra nya itu.
Waw, masih kencang susumu Bu, asli masih kencang. Susumu lebih besar dari susu kekasihku Bu, aku bohong. Boleh gak aku nyusu sebentar.? Aku haus banget Bu, haus banget.
Oh iya, Bapaknya Ibu dulu sunat dimana sih.? kok bisa punya anak yang berkulit putih dan berwajah cantik seperti ini.?
“kamu minum apa lang.?” tanya Bu Nyoto dengan susunya yang terlihat mengundang untuk aku jamah.
Aku yang masih memperhatikan susunya yang mau berontak dari branya itu, hanya diam dengan bibir yang sedikit terbuka.
“lang, kok melamun.?” Ucap Bu Nyoto dan aku langsung tersadar, lalu melihat kearah wajah manis Bu Nyoto.
“ya Bu.?” tanyaku dengan wajah yang sedikit gugup.
“kamu mau minum apa.?” Tanya Bu Nyoto.
“susu.” Jawabku dengan refleknya dan aku langsung menutup mulutku.
Duh, kok keceplosan begini sih aku.? Marah gak ya Bu Nyoto.? Nanti kalau dilaporkan suaminya bagaimana.? Bisa jadi gosip satu desa aku.
“oh, mau yang sudah jadi atau mau meras sendiri.?” Tanya Bu Nyoto dengan santainya.
“eh.” Ucapku yang terkejut mendengar ucapannya.
“kalau mau merasa sendiri, itu meras disapi. Kalau mau langsung jadi, aku ambilkan didalam.” Ucap Bu Nyoto.
“anu Bu, kopi aja bu.” Ucapku dengan malu – malu.
“oh, ya udah, aku ambilkan dulu didalam.” Ucap Bu Nyoto, lalu berbalik dan melangkah kearah dalam rumahnya..
Waw, itu bokong semok yang tertutup kain jarik, kalau diceples bagaimana rasanya ya.? duh, pasti langsung merah tuh bokongnya kalau diceples, terus Bu Nyoto pasti mendesah dengan suara yang seperti, uuhh. Bikin ngaceng aja Bu nyoto ini. (diceples = ditampar)
Dan untuk mengalihkan pikiranku yang makin ngelantur ini, aku lalu menyusun rumput – rumput ini ditempat penyimpanan rumput.
“lang, kopimu.” Ucap Bu Nyoto yang berdiri didepan pintu belakang rumahnya.
Aku lalu membalikkan tubuhku dan melihat kearah Bu Nyoto yang berdiri sambil memegang gelas yang berisi kopi. Bu Nyoto pun sudah memakai kemben dan dilapisi kebaya berwarna biru tua. Dan itu menambah kecantikannya.
“oh iya Bu.” Ucapku sambil melangkah kearah Bu Nyoto.
Bu Nyoto melihat dengan pandangan yang sangat menggoda sekali, bibirnya tebal dan mungkin rambutnya kemaluannya juga agak tebal, hehe.
“Bi Surti kemana bu.?” Tanyaku sambil berdiri dihadapan Bu Nyoto. Dan ketika aku akan mengambil gelas yang ada ditangannya, Bu Nyoto langsung membalikan tubuhnya dan berjalan kearah dalam ruangan.
“lagi rewang.” Jawab Bu Nyoto tanpa melihat kearahku. (rewang = membantu orang yang ada hajatan)
“oh.” Jawabku singkat dan bingung.
Aku bingung karena Bu Nyoto membawa gelas kopiku kembali kedalam rumahnya. Terus aku harus bagaimana.? Apa aku menyusul kedalam rumahnya.? Tapi kalau dia marah bagaimana.?
“kamu minum kopi ga.?” Ucap Bu Nyoto sambil meletakan kopiku di meja makannya.
“mau Bu, tapi kaki saya kotor.” Ucapku dan memang dapur milik Bu Nyoto ini dikeramik, beda dengan lantai rumahku yang masih tanah.
“masuk aja.” Ucap Bu Nyoto singkat lalu duduk dikursi dekat meja makan.
“oh iya Bu.” Ucapku lalu meletakkan capingku dan aritku didekat pintu, setelah itu aku menggesekkan kakiku yang kotor di keset, yang ada didepan pintu.
“Pak Nyoto kemana Bu.?” Tanyaku sambil berjalan ke arah Bu Nyoto.
“Bapak lagi ada undangan didesa sebelah, sebentar lagi pulang nyusul Ibu, terus kami keluar lagi.” Jawab Bu Nyoto dan aku tetap berdiri.
Lah terus ini maksudnya apa.? Kenapa aku disuruh masuk, ketika dirumah yang ada cuman aku dan Bu Nyoto aja.? Apa Bu Nyoto mau mengajakku.? Serius nih.? Aku sih gak nolak, lagian aku sudah gak perjaka lagi kok. Hehehe.
“duduklah lang.” ucap Bu Nyoto sambil melirik kearah kursi yang tidak jauh dari tempat duduknya.
“oh iya Bu.” ucapku lalu duduk.
Kami pun diam beberapa saat, sambil sesekali saling melirik. Uhh, lirikannya Bu Nyoto, bikin tambah ngaceng aja.
“kamu mau kuliah ya lang.?” tanya Bu Nyoto dengan seriusnya.
“oh iya Bu.” Jawabku.
Duh, kenapa Bu Nyoto bahas masalah ini sih.? apa beliau mau mengejekku seperti orang desa yang lain.?
“lanjutkan lang, jangan dengar kata orang.” Ucap Bu Nyoto dan aku langsung terkejut dibuatnya.
“kenapa Ibu berbicara seperti ini.?” tanyaku.
“aku dulu sebenarnya juga mau melanjutkan sekolah ke SMA, terus kuliah seperti orang – orang kaya itu.” ucap Bu Nyoto dengan pandangan yang menerawang.
“terus.?” Tanyaku.
“orang desa seperti aku ini, bisa buat apa.? Selain karena keluargaku pas – pasan, aku juga seorang wanita. Sekolah sampai SMP aja, itu sudah luar biasa.” Jawab Bu Nyoto.
“aku juga orang desa Bu, emang orang desa gak boleh sekolah tinggi – tinggi ya Bu.?” Tanyaku, lalu dengan cueknya aku mengambil gelas kopi yang dihidangkan, lalu menyeruputnya perlahan.
“pertanyaan yang sebenarnya bisa kamu jawab, kenapa harus kamu tanyakan kepadaku.?” Ucap Bu Nyoto sambil melihat kearahku.
“hehe.” Dan aku hanya tersenyum dengan sinisnya, lalu aku mengeluarkan rokok kretekku.
“boleh saya rokokkan Bu.?” Tanyaku sambil mengangkat bungkusan rokok kretekku dan Bu Nyoto hanya menganggukan kepalanya.
“kita ini mempunyai cita – cita yang sama, tapi berbeda jalan Lang.” ucap Bu Nyoto.
“maksudnya Bu.?” Tanyaku lalu aku membakar rokok kretekku.
“kamu bercita – cita ingin merubah kondisi keluargamu dengan sekolah yang setinggi – tingginya, untuk bekalmu mencari kerja nantinya. Sedangkan aku, aku ingin merubah kondisi keluargaku dengan cara menikahi Pak Nyoto yang kaya raya dan punya banyak istri.” Ucap Bo Nyoto dan aku hanya melihatnya sambil menghisap rokokku.
“itulah kenapa aku bilang sama kamu, lanjutkan dan tidak usah mendengarkan suara – suara orang yang meremehkan kita. Mereka itu ya seperti itu omongannya. Ketika kita miskin tidak ada yang memandang, bahkan keluarga dekat sendiripun banyak yang tidak menganggap. Tapi ketika kita sudah sukses dan kaya, mereka semua pasti mendekat ke kita dengan sendirinya. Bahkan saudara yang teramat jauhpun, pasti menganggap kita keluarga dekat.” Ucap Bu Nyoto.
“bukan seperti itu tujuan saya untuk kuliah Bu.” Jawabku dengan santainya sambil membuang abu rokok diasbak yang ada didekatku.
“apa tujuanmu.? Mau menunjukkan kalau orang miskin bisa sekolah tinggi, terus bisa sukses.? Sama aja lang.” ucap Bu Nyoto dan aku hanya tersenyum lalu aku menyeruput kopiku lagi.
“suka atau tidak suka, selagi manusia itu punya nafsu, segala sesuatu kelebihan yang ada dirinya pasti akan ‘dipamerkan.’” Ucap Bu Nyoto.
“tapi saya tidak punya niat seperti itu Bu.” Ucapku.
“tapi orang bisa melihat dan kamu tidak bisa melarang orang untuk berkomentar.” Jawab Bu Nyoto.
Hehe, ada aja jawaban Bu Nyoto ini. Ternyata asyik juga ngobrol sama beliau. Selain wajahnya cantik, segala sesuatu yang diucapkannya ada benarnya juga, walaupun ada beberapa ucapannya yang sedikit mengganjal dihatiku.
“terserah orang mau ngomong apa Bu, saya sih santai aja.” Ucapku lalu aku menghisap rokokku.
“itu yang kusuka dari kamu lang. Makanya aku hanya berpesan seperti tadi, untuk menguatkan cita – citamu yang juga cita – citaku yang tak kesampaian.” Ucap Bu Nyoto dan aku hanya tersenyum saja.
Aku lalu menyeruput kopiku sampai habis, lalu aku mematian rokokku diasbak, setelah itu aku berdiri.
“saya mau sungai dulu Bu, kasihan Joko sudah nunggu saya dari tadi.” Pamitku kepada Bu Nyoto.
“oh iya,” jawab Bu Nyoto lalu berdiri sambil mengambil sesuatu dari balik kembennya.
“nih upahmu.” Ucap Bu Nyoto sambil menyerahkan segulung uang berwarna kehijauan.
Aku pun terkejut dengan uang yang diberikan Bu Nyoto itu. terus terang aku gak tau berapa jumlahnya dan pasti itu sangat besar sekali. Aku diam terpaku sambil melihat kearah Bu Nyoto yang tersenyum kepadaku.
“ambilah, maaf aku hanya bisa kasih segini untuk sangumu.” Ucap Bu Nyoto sambil melangkah kearahku dan meraih tanganku, lalu menggenggamkan uang pemberiannya ditangan kananku.
Tangan kananku bergetar, bukan karena halus dan lembutnya tangan Bu Nyoto. Tapi karena aku tidak pernah memegang uang yang berjumlah sangat besar itu.
“ta, ta, tapi Bu.” Ucapku terbata dengan tangan yang bergetar dan Bu Nyoto masih menggenggam tangan kananku dengan erat.
“kamu pasti membutuhkannya.” Ucap Bu Nyoto lalu kembali tersenyum.
Hiufftttt, huuu.
Aku menarik nafasku dalam – dalam dan Bu Nyoto langsung melepaskan pegangan tangannya ditangan kananku ini.
“nanti kalau saya sudah kerja, saya akan menggantinya Bu.” Ucapku dengan suara yang bergetar.
“terserah kamu, yang jelas aku gak menganggap ini sebagai pinjaman.” Jawab Bu Nyoto dan membuat kedua mataku berkaca – kaca.
“Bu, Bu,” ucap suara dari arah pintu depan dan itu suara Bi Surti.
Bu Nyoto lalu mendekat kearah dan,
CUUPPP,
Beliau mengecup keningku dengan lembut, sambil memegang kedua pipiku lalu melepaskannya dan mundur beberapa langkah.
“pergilah mengejar cita – citamu lang. Walapun banyak yang mengejek, tapi yakinlah, banyak juga yang mendukung dan mendoakanmu.” Ucap Bu Nyoto sambil menganggukan kepalanya pelan.
“te, te, terimakasih Bu.” Ucapku terbata dan aku langsung berjalan keluar karena langkah Bi Surti terdengar kearah dapur.
Kembali Bu Nyoto menganggukan kepalanya pelan, sambil tersenyum dengan penuh arti. Aku lalu keluar dapur dan berjalan sambil menggenggam erat uang yang ada ditanganku.
“lang, aritmu sama capingmu ketinggalan.” Ucap Bu Nyoto memanggilku dan aku langsung membalikkan tubuhku.
Duh, entah apa yang ada dipikiranku, sampai aku bisa meninggalkan senjata pamungkasku dipintu Bu Nyoto.
“te, te, terimakasih Bu.” Ucapku sambil mengambil capingku lalu memakainya dan mengambil aritku.
“iya, hati – hati ya.” ucap Bu Nyoto sambil tersenyum dan menganggukan kepalanya.
Aku lalu berbalik dan berjalan terburu – buru kearah hutan sana. Dan ketika sampai ditengah jalan, aku lalu berhenti dan bersembunyi dibalik sebuah pohon yang besar dipinggir jalan.
Aku mengapitkan aritku diketiakku lalu dengan tangan yang bergetar, aku meluruskan uang yang tergulung digenggamanku ini. Uang berwarna agak kehijauan bergambar presiden kedua dinegeri khayangan ini, langsung membuat kedua mataku kembali berkaca – kaca.
Aku belum pernah memegang uang sebesar ini, walaupun satu lembar. Tapi sekarang, aku memegang dalam jumlah yang sangat banyak.
Dengan tangan yang makin bergetar, aku lalu menghitung dalam hati uang yang diberikan Bu Nyoto itu.
Satu, dua, tiga, empat, lima,..
Dua puluh lembar uang dan itu berjumlah satu juta. Gila, banyak sekali Bu Nyoto memberikan aku uang. Ini melebihi jumlah uang yang aku tabung mulai dari SMP.
Terimakasih Sang Pencipta, terimakasih. Aku berjanji didepan sawah yang menghampar didepanku ini dan dibawah sinar matahari yang condong kearah barat, aku akan mengganti semua uang yang diberikan Bu Nyoto ini suatu saat nanti. Aku berjanji, aku berjanji, aku berjanji.
Aku lalu menggulung uang ini lagi dan menyimpannya dikantong. Lalu setelah itu aku menenteng arit dengan tangan kananku dan berjalan kearah hutan lagi.
Dan ketika aku sampai didekat sungai, tampak Joko sudah berenang ditengan sungai yang mengalir dengan jernihnya itu. Aku lalu melepas pakaianku, sampai meninggalkan sisa celana pendekku. Setelah itu aku menggulung pakaianku dan meletakkan diatas batu yang lumayan besar.
Aku lalu berlari kearah sungai dan,
BYUR, BLUP, BLUP, BLUP.
Aku menyelam kesungai yang agak dalam, lalu memunculkan wajahku kepermukaan.
“cok, tak kiro awakmu gak sido rene.” (cok, aku kira kamu gak jadi kesini) Ucap Joko sambil berenang kearahku.
“hehehe.” aku hanya tertawa, lalu menenggelamkan wajahku lagi. Aku mengayuhkan kedua kakiku dan kedua tanganku, lalu muncul dipermukaan lagi.
“tak kiro koen di adusi Bu Nyoto cok.” (kukira kamu dimandiin sama Bu Nyoto cok.) ucap Joko lalu menenggelamkan wajahnya dan muncul lagi.
“asu, la koen kiro aku sapi dia adusi.” (anjing, kamu kira aku sapi dimandiin.) Ucapku sambil memercikan air kearah wajah Joko.
“hahaha.” Dan Joko hanya tertawa saja.
“endi sabunmu cok.?” (mana sabunmu cok.?) Tanyaku.
“asu, mari teko omae Bu Nyoto langsung nggolek sabun, hahaha.” (anjing, dari rumah Bu Nyoto langsung cari sabun.) ejek Joko.
“matamu.” Makiku sambil keluar dari sungai.
“iku loh cok, ojo dibolongi. Lek kate ngeloco, tukuwo sabun dewe. Hahaha.” (itu loh cok, jangan dilobangi. Kalau mau coli, beli sabun sendiri. Hahaha.) Ucap joko sambil menunjuk kearah pakaiannya yang ada diket pakaianku.
“asu.” (anjing) makiku.
Aku lalu berjalan kearah yang ditunjuk Joko. Aku memakai sabun yang dibawanya, lalu memakai sampo yang sisa sedikit didalam sacetnya itu. setelah itu aku menceburkan diri kesungai lagi.
Dan setelah bersih, kami berdua lalu naik ke atas sungai lalu duduk diatas batu besar.
Aku lalu mengambil rokokku dan membakarnya, sambil memandang kearah lurus kedepan. Aku melihat kearah sungai ini mengalir.
Oh iya, aku tinggal di Desa Sumber Banyu. Dan nama desaku ini, berasal dari mata air sungai ini yang memang ada didesaku. Sementara sungainya mengalir kebawah dan membelah Desa Jati Luhur dan Desa Jati Bening. (tapi kita tidak usah membahas kedua desa itu, karena cerita ini tidak ada hubungannya dengan kedua desa itu. walaupun nanti ada yang menyerempet sedikit, tapi cerita ini berdiri sendiri.)
Aku memandang kearah aliran sungai itu, dengan sinar matahari yang mulai tenggelem diufuk barat sana. Aku lalu menghisap rokokku dalam – dalam, dan mengelurkan asapnya perlahan.
Hiuffttt, huu.
Pemandangan yang sangat indah dan cantik ini, pasti akan aku rindukan ketika aku pergi dari desa ini. Airnya yang bening dan segar, serta anginnya yang sejuk, pasti akan membuat aku ingin kembali lagi.
“piye cok.?” (Gimana cok.?) tanya Joko lalu dia menghisap rokoknya.
“gak piye – piye cok. Tak lakoni uripku iki, koyo banyu kali iki ngalir tekan segoro.” (gak gimana – mana cok. Kujalani hidup ini, seperti air sungai ini mengalir sampai ke laut lepas.) ucapku dengan pandangan yang lurus kedepan.
“selamat berjuang kawan, aku bukan pelaut yang handal dan aku tidak mempunyai perahu yang besar untuk mengarungi samudra yang luas.” Ucap Joko dengan bahasa negeri khayangan ini.
“pelaut yang handal, belum tentu mempunyai perahu yang besar. Bisa saja dia membuat rakit, lalu dengan kenekatannya, dia akan menaklukan samudra yang luas itu.” ucapku lalu aku menghisap rokokku.
“itu alasannya aku bangga menjadi sahabatmu, kamu orang yang nekat.” Ucap Joko sambil menepuk pundakku pelan.
“kenekatanku ini, juga karena ada kamu disampingku Jok. Kamu sahabatku dan kita melakukan apapun mulai dari nol. Kita sama – sama pernah menganggur dua tahun setelah SMP, terus ngamen, terus lanjutin ke STM. Kita sama – sama tidak mempunyai apa – apa, tapi buktinya.?” Ucapku sambil meliriknya. Aku mengucapkan ini, sekalian ingin merayunya untuk kuliah bersamaku.
“hehe, aku jaga kandang aja. Kalau kita berdua pergi dari desa ini barengan, siapa yang jaga Desa Sumber Banyu.” Ucap Joko dan aku hanya menggelengkan kepalaku pelan.
“asu, koen iku ngomong opo to Jok.?” (anjing, kamu itu ngomong apa sih Jok.?) tanyaku.
“haha, mbalik yo, wes kate peteng iki.” (haha, pulang yo, sudah mau gelap ini.) ucap Joko sambil berdiri dan memakai pakaiannya.
“yo.” Jawabku sambil berdiri dan memakai celana panjangku. Dan kaosku, aku selempangkan dipundakku.
Aku merogo kantongku dan gulungan uang pemberian Bu Nyoto, masih ada dikantongku. Lalu setelah aku memakai capingku, aku mengambil aritku lalu aku dan Joko berjalan kearah desa dengan suasana hari mulai gelap.
Dan ketika sampai ditengah jalan, sebuah sepeda motor melintas didekat kami. Diatas sepeda motor itu, seorang perempuan memeluk seorang laki – laki dengan sangat mesranya.
Kinanti Nur Annisa
Kinanti, wanita itu adalah kekasihku dan hubungan kami sedang berada diujung tanduk. Dia dijodohkan dengan salah satu anak Pak Nyoto yang kaya raya itu. dan nama pemuda itu adalah Guntur.
Kurang ajar juga Kinanti ini. Katanya dia gak mau dijodohkan sama si Guntur itu, tapi kenapa dia bisa memeluk Guntur dengan mesranya.? Bajingan.
Dia telah benar – benar menggores luka didalam hatiku. Apa karena aku ini miskin, jadi dia bisa seenaknya seperti itu kepadaku.? Aku memang miskin, tapi aku kaya akan cinta dan belum tentu Guntur cintanya sekaya aku.
“sabar cok. Ini salah satu ujian untuk kesuksesanmu. Ingat. Ketika kamu sukses, bukan kamu yang mengejar cinta, tapi cinta yang akan mengejarmu.” Ucap Joko sambil menepuk pundakku.
“dan Bu Nyoto, Ibu tiri si Guntur itu, bisa menjadi sarana balas dendammu kelak, Hahaha.” Ucap Joko lalu tertawa dengan senangnya.
“kirek.” (anjing.) makiku ke Joko sambil memetengnya dengan tangan kanan, sedang tangan kiriku memegang arit.
“hahaha, enak to.” Ucap Joko sambil terus tertawa dipetenganku.
#cuukkk, goresan luka dihati ini akan menjadi salah satu penyemangat didalam hatiku. Aku akan membuktikan, kalau aku bisa sukses dan aku akan kembali kedesa ini dengan dada yang terbusung. Jiancuukkk.