Akibat Wabah Corona
Kepergian Kakek beberapa hari yang lalu cukup mengagetkanku. Sedih tak kuasa menahan tangis melepas kepergian orang yang selama ini dekat denganku, berpisah pun tak mampu kulihat dirinya dimakamkan. Situasi pandemi memang mau tak mau membuatku tak diperkenankan hadir di pemakaman. Apalagi kakekku konon katanya divonis terkena virus COVID-19. Papa (43 tahun) sebagai anak kandungnya begitu terpukul. Kulihat Papa sering merenung di depan rumah. Kusampari, matanya memerah dan berkaca-kaca. Berbeda 360 derajat, Mamaku (38 tahun) tampaknya baik-baik saja. Boleh jadi karena dia bukan anak kandungnya makanya mama tidak tampak sedih. Anehnya, menitikkan air mata tidak sama sekali. Kembali aku coba pahami. Mungkin karena Mama bukanlah darah dagingnya. Syukurlah hasil tes Swab keluargaku negatif karena kami sempat berinteraksi dengan kakek (64 tahun) yang baru saja wafat di kampung, daerah Jawa Tengah Tengah. Kata dokter yang memeriksa, Kakek bukan terpapar virus sepulangnya dari Jakarta, tetapi memang dari daerah tempat tinggalnya.
Tidak heran, kampungku semenjak kakek meninggal kini diisolasi. Meskipun demikian, aku dan papa tetap dalam kondisi siaga untuk tidak keluar rumah kecuali yang benar-benar penting. Sebaliknya Mama sukar sekali dicegah. Alasannya, karena ia perlu membeli barang-barang kebutuhan pokok harian. Papa sudah memberi solusi lebih baik dirinya saja yang membeli bahan masakkan. Namun, Mama tidak percaya karena papa jarang berbelanja. Disarankan Papa bagaimana dengan penjual yang mengantarkan langsung ke rumah, ternyata Mama tetap bersikeras. Ia mau berbelanja sendiri. Di samping itu semua, aku cukup kaget ketika mendapati percakapan Mama dengan Tante Siska (34 Tahun) melalui telepon malam hari saat papa sudah tertidur. Mama menelepon Tante Siska pukul 01.30. Aku bisa mendengarkan juga tanpa disengaja karena ingin buang air kecil. Mama yang tak mengetahui keberadaanku menelepon Tante Siska di kamar tamu yang memang dibiarkan kosong. Aku cukup terkejut dengan obrolan mereka berdua. “Tapi aku belum berani, Mba” “Kayak gitu-gitu” “Dicoba dulu ih” “Daripada kamu kayak gitu-gitu aja sama si Boris” “Hemm, yaudah deh aku coba” “Tapi gak langsung asal tembak kan?” “Gak dong, nanti Mba deh yang atur” Aku tak sanggup lagi menahan buang air kecil. Obrolan Mama dan Tante Siska terpaksa kutinggal. Namun, saat aku hendak kembali mendengarkan. Mama sudah keluar dari dalam kamar tamu. Aku penasaran apa yang dibicarakan Mama dan Tante Siska. Tak ada informasi secuilpun yang kuketahui. Apakah mama ingin bertemu Tante Siska? Kondisi seperti ini, nampaknya tidak mungkin. Sebetulnya Aku ingin menanyakan langsung ke Mama. Namun, aku tidak mau dicurigai menguping pembicaraannya barusan. Haduh!a