Hasutan Ayah Tiri
Kalau ada yang kurang-kurang boleh disampaikan, tapi jangan dimarahin
Halo, perkenalkan namaku Laura. Ijinkan aku bercerita tentang kisah hidupku. Aku adalah seorang wanita berusia 20 tahun. Di usia muda, orang tua ku memutuskan berpisah sehingga aku tinggal bersama Ibuku. Beberapa tahun lalu, Ibu ku memutuskan untuk menikah lagi dengan seorang duda beranak satu, sehingga aku tinggal dengan Ibu, Ayah tiri, dan Adik tiri. Malangnya, tahun lalu Ibuku terkena penyakit yang membuatnya meninggalkan kami lebih dulu.
Hari itu, aku sedang mandi sehabis pulang kuliah. Selesai mandi, aku melangkah keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk yang menyelimuti tubuhku. Handuk ini memang sangat pendek, hanya mampu menutupi sebagian dada dan pantatku, namun aku tidak memperdulikannya karena aku sudah biasa seperti ini meskipun di depan Ayah atau Adikku.
Aku dikejutkan oleh suara panggilan Ayahku. Aku melangkah menghampirinya, dan lebih terkejut lagi melihat berpasang-pasang mata menatapku. Ayah dan teman-temannya sedang duduk melingkar di lantai ruang tamu kami. Total ada empat orang termasuk Ayah, semuanya laki-laki seusia Ayah. Mereka tersenyum dan menatap tubuhku dari atas sampai bawah. Merasa risih, aku berniat untuk pergi ke kamar ku. Namun tangan Ayah terulur ke arahku, memberi sinyal untuk ku mendekat.
Dengan ragu-ragu dan kaki gemetar, aku berjalan perlahan menghampiri Ayahku. Setiap mata mengamatiku dengan seksama, sehingga aku berjalan sangat berhati-hati, seperti mangsa yang ketakutan di hadapan para predator. Saat sudah cukup dekat, Ayah meraih tanganku dan menggenggamnya.
“Kak, ini temen-temen Ayah. Ayo salim dulu.”
Aku bingung. Mengapa Ayah menyuruhku seperti ini, padahal anaknya sekarang sedang setengah telanjang!
Tangan Ayah yang menggenggam tanganku menarikku mendekat ke teman sebelah kirinya. Dalam keadaan bingung dan panik, alam bawah sadarku memutuskan mengikuti arahannya. Aku melangkah ke arah teman Ayah dan menjulurkan tanganku, yang segera disambut. Tangannya terasa panas, mungkin karena kulitku terasa dingin sehabis mandi. Aku mau mencium tangannya, tetapi karena posisinya yang duduk di lantai sementara aku berdiri, mengharuskan aku untuk menunduk. Sadar dengan kondisiku, aku meletakan tangan kiriku di depan dadaku, menahannya agar tidak tumpah ketika menunduk. Aku lanjut menyalami orang kedua, saat kurasakan hembusan udara sejuk di pantatku.
Bodohnya aku! Dengan handuk sependek ini, tentu handuk yang menutupi pantatku akan terangkat. Aku buru-buru menutupnya dengan tangan kiri ku, dan ternyata sudah naik sampai setengah pantat. Dari posisi duduk dilantai, bukan hanya pantat, tapi pasti vaginaku dapat terlihat jelas saat aku menunduk! Aku menegakan badanku dan menarik handukku turun menutupi pantat.
Masalahnya, aku masih harus menyalami orang ketiga. Untungnya saat menyalami orang pertama dan kedua, yang berada di belakangku adalah Ayahku. Tapi bila aku menyalami orang ketiga, maka orang pertama dan kedua akan berada tepat dibelakangku. Aku menjulurkan tangan kanan ku ke arah orang ketiga, sambil berpikir, mana bagian tubuh yang harus kututup dengan tangan kiri ku, apakah payudara atau pantatku. Akhirnya aku memutuskan untuk menggunakan tangan kiriku untuk menahan handuk di pantatku agar tidak naik, lalu menyalami orang ketiga. Orang ketiga ini menggenggam tanganku dengan kedua tangannya cukup lama, sambil berbicara basa-basi. Aku tidak fokus dengan apa yang diucapkannya, karena aku mau buru-buru menegakan badan dan terbebas dari posisi memalukan ini.
Akhirnya tanganku dilepaskan. Aku menegakan badanku, lalu berdiri di samping Ayahku dan berbalik menghadap mereka. Tanpa aba-aba, semua mata kompak memandang ke arah dadaku, seperti besi yang tertarik daya magnet yang kuat. Aku melirik ke arah dadaku, dan betapa kagetnya melihat handukku sudah melorot, sehingga kedua putingku terlihat bebas! Putingku terlihat mencuat keras karena kedinginan sehabis mandi, seolah menantang balik setiap mata yang menatapnya penuh nafsu. Rupanya handukku melorot karena ujung bawahnya kutahan untuk menutup pantatku, sehingga ketika aku menunduk handukku tertarik ke bawah. Aku buru-buru menaikan handukku sampai ke atas puting, lalu bersiap pergi. Lagi-lagi, tangan Ayah menggandeng tanganku.
“Sini, duduk sama kami Kak.”
“Ta-tapi Yah,”
Aku berusaha menolak, namun Ayahku tetap menarikku untuk duduk. Bagaimana aku bisa duduk dengan handuk sependek ini??
Dengan sangat berhati-hati, aku berlutut di lantai.Tangan kiriku di depan dada, menahan agar handukku tidak melorot. . Tetap saja, handukku memang terlalu kecil. Ketika aku duduk berlutut, dapat kurasakan handukku tertarik lepas dari pantatku, sehingga pantatku bersentuhan langsung dengan telapak kakiku yang terlipat. Tangan kananku menutupi selangkanganku dari pandangan-pandangan nakal yang berusaha menembusnya. Bila aku menarik tanganku, aku yakin vaginaku dapat terlihat jelas di depan orang-orang.
Ayahku lanjut mengobrol dengan teman-temannya, sesekali membahasku dan bercerita tentangku. Ayah berkali-kali melingkarkan tangannya di bahuku dan mengguncang-guncangnya, ketika membanggakan ku di depan teman-temannya. Selang beberapa waktu, kakiku terasa pegal karena daritadi dijAdikan tumpuan tubuhku. Aku akhirnya melebarkan kakiku, dan duduk seperti huruf W. Pantatku bersentuhan langsung dengan dinginnya lantai.
Beberapa kali handukku melorot dan menampakan kedua payudaraku dengan jelas. Ketika membetulkan lilitannya, aku harus melakukannya dengan kedua tangan sehingga vaginaku terbuka tanpa pertahanan. Intinya, dalam beberapa menit kami mengobrol sudah bisa dipastikan mereka semua bisa melihat puting dan vaginaku beberapa kali.
———————————-
Akhirnya, setelah beberapa waktu yang terasa berjam-jam, mereka semua pamit pulang. Aku yang merasa lemas tetap duduk di lantai, sambil Ayahku mengantarkan mereka sampai pagar. Ketika masuk kembali ke dalam rumah, dapat kulihat Ayahku tersenyum lebar.
“Ayah apaan sih? Kenapa aku dipaksa ngobrol sama temen-temen Ayah? Kan aku belum pake baju!” aku mengamuk.
Bersambung