Hadiah Pernikahan
SABTU sore kostku kedatangan seorang tamu wanita. Tamu itu adalah menantu dari ibu kostku. Ia membawa sebuah laptop padaku. Katanya laptop ini adalah hadiah dari kakaknya sewaktu ia menikah dengan anak laki-laki dari bapak dan ibu kostku 5 bulan yang lalu.
Waktu ia menikah aku belum tinggal di kost ini. Aku tinggal di kost ini baru 3 bulan.
Kenapa ia bisa sampai minta aku mengajarinya mempergunakan laptop barunya ini, bukan anak kost yang lain? Mungkin bapak atau ibu mertuanya yang menyuruh ia datang padaku, karena bapak mertuanya maupun ibu mertuanya kenal baik dengan aku.
Suaminya tidak bisa diharapkan. Suaminya bekerja membawa OJOL. Aku tidak mengatakan bahwa membawa OJOL tidak bisa menghasilkan duit, bukan itu. Banyak orang yang membawa OJOL bisa menghidupi keluarganya. Tetapi kalau membawa sesuka-sukanya, pikirkanlah; mana bisa menghasilkan duit? Disitu masalahnya.
Aku pernah mendengar bapaknya memarahinya dengan kasar. Kenapa ada juga gadis yang mau menikah dengan laki-laki yang semacam ini? Apakah cinta itu memang buta? Aku saja yang ngganteng begini susah dapat pacar, wkwkwk…
Istrinya lumayan cantik. Cuma badannya kurus. Coba tubuhnya sedikit berisi dan payudaranya diperbesar, ia mirip dengan pemain sinetron…. siapa ya, aku lupa….
Sore ini ia datang ke kostku memakai rok panjang semata kaki bermotif bunga-bunga kecil berwarna merah, aku melihat bentuk payudaranya tidak muncul di permukaan rok panjangnya.
Ia mengatakan padaku suaminya pernah mau menjual laptopnya ini, tetapi keburu ia mengetahuinya.
Lumayan kan kalau dijual? Katakanlah setengah harga dari harga toko, ia masih bisa mendapatkan 5 atau 6 juta rupiah untuk ongkang-ongkang kaki dan berfoya-foya selama sebulan nggak usah membawa OJOL. Kalaa..uuu bisa dipakai sebulan, barangkali seminggu juga sudah ludes!
Beruntung aku mempunyai 2 mouse, satu mouse kabel dan satu mouse wireless.
Aku memasangkan ke laptop Mbak Lidya mouse wareless untuk memudahkan Mbak Lidya memakai laptopnya.
Pertama aku mengajari Mbak Lidya cara menyalakan laptopnya. Mbak Lidya duduk di depan meja belajarku. Aku berdiri di sampingnya. Aku mengajarinya juga cara memasang mouse di laptopnya.
Itu mula-mula…
Tetapi sewaktu aku mengajarinya menjalankan mouse di laptopnya posisikupun sudah berubah berada di belakang Mbak Lidya.
Tangan kananku memegang punggung tangan kanan Mbak Lidya yang memegang mouse, sedangkan tangan kiriku sengaja kupakai memegang pundak kiri Mbak Lidya, sehingga aku merasa begitu dekat dengan Mbak Lidya sampai aku bisa mencium bau tubuhnya terutama bau di sekitar lehernya, karena tinggal aku menundukkan kepalaku saja, aku sudah bisa mencium leher Mbak Lidya yang mulus dan putih.
Tetapi ini acara berikutnya setelah ia bisa menggunakan laptopnya. Sekarang jangan dulu, nanti ia kaget. Kita pelihara dulu sampai ia jinak. He.. he..
Sore itu aku mengajari Mbak Lidya hampir 1 jam hingga ia bisa menggunakan mouse sendiri.
Aku menyuruh Mbak Lidya besok datang lagi.
Pelajaran berikutnya aku mengajarinya menyambungkan internet dari hape ke laptopnya supaya ia bisa nonton You***e dari laptopnya atau membuka F*.
…
….
Pelajaran keenam ia sudah berani duduk di tempat tidur ngobrol denganku. “Kok Mbak sudah nikah 5 bulan belum hamil sih, Mbak?” tanyaku.
Boleh dong, bertanya.
Jawabnya, “Belum dikasih kali?”
“Apa kurang mainnya?”
“Emang harus sering main, ya? Temanku hanya main sekali saja sudah jadi.” jawab Mbak Lidya.
“Selama Mbak menikah 5 bulan, sudah berapa kali main?”
“Berapa, ya…? Nggak tau deh…”
“Setiap malam…?”
“Hi… hi… nggaklah…”
Pelajaran ke tujuh, aku berani menutup pintu kamar kostku.
Pelajaran ke delapan, di kamar kostku hanya kami berdua dalam keadaan pintu tertutup, aku mengajarinya Off**e.
Kembali ke pelajaran pertama tangan kiriku memegang pundaknya, sedangkan tangan kananku menggenggam punggung tangan kanannya untuk mengajarinya menjalankan kursor dengan mouse.
Ketika Mbak Lidya sudah bisa mengetik sepotong kalimat dengan Off**e Wo*d, akupun berani mencium lehernya.
Mbak Lidya menolehkan mukanya memandangku. Aku tersenyum membalas pandangannya, lalu aku berkata pada Mbak Lidya. “Entah kenapa aku mencintaimu, Mbak.”
Kudekatkan perlahan bibirku ke bibirnya. “Sudah bekas suamiku, Zal.” ujar Mbak Lidya.
Namaku Rizal, usiaku 21 tahun. Sedangkan Mbak Lidya berumur 24 tahun, suaminya berumur 28 tahun.
“Nggak masalah.” jawabku.
Mbak Lidya memegang pipiku kemudian menaikkan bibirnya. Setelah itu kamipun berciuman mesra. Ia membuka mulutnya menyerahkan lidahku masuk ke rongga mulutnya. Kugelitik langit-langit mulutnya dengan ujung lidahku yang runcing, Mbak Lidya menghisap lidahku.
Aku tidak tinggal diam lagi. Masuk sudah tanganku ke balik kaos yang dipakai Mbak Lidya. Mbak Lidya menahan tanganku. “Jangan Zal, aku nggak punya tetek, aku malu. Langsung ke bawah saja…” katanya.
Aku menyeret Mbak Lidya ke kasur. Ia aktif membuka celana pendekku. Ketika penisku yang tegang terpental keluar dari celana dalamku Mbak Lidya tertawa berderai. Lucu, entah kagum atau senang Mbak Lidya dengan penisku.
“Panjang Zal, hmmm…” kata Mbak Lidya mencium penisku.
“Bisa tolong emut dong, Mbak…?” tanyaku.
Mbak Lidya lalu memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Mbak Lidya mengulum penisku panjang-panjang sementara jari jemari lentiknya meremas buah zakarku. Rasanya begitu nikmat. Kuelus-elus rambutnya berharap air maniku tidak cepat keluar dari penisku.
Sejak terhitung Mbak Lidya datang ke kostku, baru sekitar 6 bulan Mbak Lidya menikah, ia sudah berani selingkuh denganku, aku percaya bahwa pernikahannya tidak sangat bahagia, sebab ia masih pengantin baru, tetapi sudah berani selingkuh.
Maka itu tidak sulit bagiku melepaskan celana jeans dan celana dalam Mbak Lidya. Bulu kemaluannya tipis, sedangkan vaginanya masih bagus dan rapi, belum bonyok disodok penis suaminya.
Tanda-tanda vagina yang sudah bonyok disodok penis, biasanya di sekitar bibir vagina warnanya lebih gelap.
Mulutkupun segera mengulum vagina Mbak Lidya. “Hessstt… Zal, aku belum pernah digituin, Zal… tolong jangan buru-buru…” kata Mbak Lidya.
Tadi Mbak Lidya tidak memperbolehkan aku memegang payudaranya, tetapi sekarang ia mengizinkan aku melepaskan kaos dan BH-nya. Mbak Lidya sudah bertelanjang bulat.
Mbak Lidya bukan tidak punya payudara, cuma kecil sekali dan putingnya panjang. Aku pura-pura tidak tau dan tidak ingin menyentuhnya supaya Mbak Lidya tidak rendah diri jadinya, sehingga nantinya permainan seks jadi tidak nikmat dan mengasyikan.
Aku fokus pada vaginanya saja, khususnya pada itielnya. Aku jilat benda sebesar kacang tanah itu. Sebenarnya bau vagina Mbak Lidya tidak sedap di hidung dan belahan vaginanya kotor, banyak dakinya berwarna kekuningan bentuknya seperti keju.
Namun demi sebuah kenikmatan aku rela menjilat saja apa yang ada di vagina kekasih baruku itu. “Aaaahhhh… mmmmhh… oooohhhh…. Zaaa..aalll… oooohhh…” rintih Mbak Lidya.
“Ah… jangan berisik,” kataku. “Nikmati saja apa yang aku lakukan padamu.”
“Enak sih…” jawabnya manja. “Belum pernah digituin. Aku sekarang benar-benar menjadi seorang wanita, Zal… nggak main seperti dengan suamiku…”
Aku meraihnya dalam pelukkanku, kami berciuman. Memeluk kehangatan dan kemulusan tubuh Mbak Lidya yang telajang aku merasa aku begitu mencintainya. Ia memegang penisku dan ditarohnya di depan lubang vaginanya.
Pelan-pelan aku mengayunkan penisku maju-mundur memasuki lubang vagina Mbak Lidya yang terasa sempit sambil aku memeluknya dan berciuman.
Penisku mulai terjepit pelan-pelan di lubang vagina Mbak Lidya. Rasa nikmat menjalari tubuhku. Akupun mendorongnya sekaligus, jleepp… blleessssss….
“Aaaaahhhhh….”
“Seperti masih perawan tempemu, sayang…” kataku.
Mbak Lidya memeluk aku dengan erat. “Aku mencintaimu, Rizal… jangan tinggalkan aku… jangan panggil aku ‘Mbak’ lagi… aku sudah bukan milik suamiku…”
“Ohhhhhh… yessss…” desahku mulai menyetubuhi Lidya (tanpa Mbak).
“Ooohhhh… ooohhhh… Zal, ssssttttt… ohhhhh… ohhhhh….”
Lubang vagina Lidya mulai basah karena pergerakan penisku yang maju-mundur. Kulakukan semakin cepat dan intensif. Kini mulai kusantap payudara mungilnya itu. Satu payudara kumasukkan sekaligus ke dalam mulutku dan kusedot.
Air maniku terasa mau keluar. Aku memompa lubang vagina semakin cepat. “Aaahhhh…. aassshhh… aaaaahhh…. plokk… plokkk… plokk… aahhhh… plok… plok…” rengekan Lidya bercampur suara tabrakan kedua kelamin kami membentuk sebuah sebuah paduan suara yang kompak dan merdu.
Pikirku, seandainya kedengaran Bu Jeni, ibu mertua Lidya.
“Ooohhhh… oooohhh… oooohhh…. Zal… Rizal, uuuuuhhhhh…..”
Crrooottt… crrooottt…. crrrooottt… crrrooottt…
“Aaaahhhh…. tempemu benar-benar nikmaaaa…atttt, cinta….” racauku.
Crrooott… crrooottt…. crrrooottt… crrooottt…
Aku terkapar dengan tubuh berkeringat basah di atas tubuh telanjang Lidya. Lidya juga, tetapi aku melihat ia sudah mendapatkan kenikmatan birahi yang dicarinya.
Ini ronde pertamaku bersama Lidya, menantu ibu kostku.
Jika kemudian aku melihat Lidya sudah mandi dan ganti pakaian berboncengan sambil berpelukan di atas sepeda motor suaminya, aku ingin tertawa.
Tok… tok… tok…
Bu Jeni, ibu mertua Lidya.
Wangi tubuhnya langsung memenuhi pori-pori hidungku, sedangkan payudaranya menyembul di atas leher baju kebayanya.
“Zal… Ibu nitip kunci… ya…” kata Bu Jeni. “Kamu nggak pergi kan?”
“Ngg..ggak…” jawabku.
“Ibu mau kondangan…”
“Pantesan Bu Jeni cantik…” kataku.
“Cantik…? Ha… ha…”
“Ya… iyalah…” jawabku. “Bu Jeni gak suka kalo aku bilang Bu Jeni cantik?”
“Sukaaa… dong…!” jawabnya. “Ini kuncinya…” Bu Jeni memberikan kunci rumahnya padaku. “Rahman lagi pergi ke rumah mertuanya sama Lidya. Nanti kalo Lidya atau Rahman mau ngambil berikan saja. Mereka sudah tau kok, Ibu sudah bilang kunci rumah titip sama kamu.”
Aku bukan pegang kunci rumah yang diserahkan Bu Jeni padaku, melainkan kupegang jari tangannya yang berkuku berwarna merah. “Ibu sudah ditunggu Bapak… biasanya Ibu ada di rumah, kamu diem aja…” kata Bu Jeni.
“Biasanya Bu Jeni pakai daster bau bumbu dapur gak sexy…” jawabku. “Sekarang beda…”
“Ngomong sama kamu satu hari gak selesai… sudah, ah…”
Kutarik tangannya. “Mau ngapain lagi, sayang…?”
“Boleh aku cium Bu Jeni sejenak, biar nanti malem aku nggak mimpi…?” kataku berani.
“Mau cium yang mana, cepetan…!” Bu Jeni mempersilahkan aku mencium dirinya.
Tentu saja aku tidak memilih mencium bibirnya. Tetapi kucium belahan buah dadanya dan kujilat. Slurp….
Pas hape di tas Bu Jeni berbunyi. Bu Jeni membuka tas, lalu mengeluarkan hapenya.
Bu Jeni langsung didamprat suaminya, “Lama amat, hanya nyerahin kunci aja…!”
“Sabar dong, Paaaa… Rizal juga baru banguu..uunn… seperti mau pergi jauh aja nih Papa… kalau Papa nggak mau sabaran, Papa jalan aja deh duluan, nanti Mama suruh Rizal antar kesana…”
Bu Jeni memasukkan kembali hapenya ke dalam tas. “Maaf Bu Jeni,” ucapku. “Gara-gara aku, Ibu ditegor Bapak…”
“Nggak apa-apa, sudah biasa Ibu diomelin… Ibu pergi ya Zal… baik-baik di rumah…”
“Ya… Bu Jeni…”
Bu Jeni seperti terasa berat meninggalkan aku. Kalau saja bisa ia membatalkan kondangannya siang itu, pasti ia batalkan!
Belum 20 menit Bu Jeni pergi, Lidya sudah berdiri di depan pintu kamarku.
Reactions: 195, john2017, cekidotkidot, dan 4 lainnya
“Dari mana kamu…?”
“Kondangan, sama suami…”
“Kata Ibu tadi, kamu pulang…”
“Ya, sekalian, Mama sakit…”
Pikirku, Lidya sadar nggak ya, kalau spermaku 3 hari lalu masuk ke lubang vaginanya itu sekarang sedang berproses menjadi bayi di rahimnya?
Aku memberikan kunci rumah pada Lidya. “Balik lagi ke sini…?” tanyaku.
“Lihat dulu, kalo ia pergi aku balik…”
“Ini sudah gak tahan, nih…!” kataku mengeluarkan penisku dari celana boxerku.
“Hiiii…” Lidya tertawa ngikik sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Kelucuan Lidya membuat aku semakin terangsang padanya. Ternyata ia kembali padaku dan telah menukar pakaiannya dengan kaos tanpa kelihatan BH di dalam kaosnya, serta celana pendek.
“Cepetan…” katanya.
“Ada suamimu…?”
“Ada… lagi tidur, begitulah…” jawab Lidya. Begitulah… nggak sedap didengar.
Sebentar kemudian, kami sudah berciuman. Lidya mengeluarkan penisku, lalu dikocoknya. Membayangkan suaminya Rahman bukannya membuat aku takut, melainkan membuat aku semakin terangsang.
Vagina Lidya mulai kubelai lagi dengan lidah. Baunya tidak beda dengan 3 hari yang lalu, tetap berbau tak sedap.
Aku menjilat vagina Lidya hanya sebentar, karena bukan mulutku yang membutuhkan vagina Lidya, melainkan penisku.
Segera aku menjejalkan penisku ke lubang vagina Lidya. Slurrrppp… blleessss….
“Ooohhhhh…” rintih Lidya sejenak ketika lubang vaginanya menelan penisku.
Aku mendiamkan penisku di dalam lubang vagina Lidya, sehingga penisku terasa nyut-nyutan seperti diremas oleh dinding vagina Lidya yang mencengkeram erat batang penisku.
“Sejak kita main kemarin itu, sudah pernah belum kamu main dengan suamimu…?” tanyaku.
“Belum… diam…!!” bentaknya. “Di bawah sana yang bekerja, bukan mulutmu…”
Mulai aku menggoyang penisku maju-mundur di lubang vagina Lidya sembari kuremas payudaranya, terkadang kuhisap.
Goyanganku rasanya semakin lancar saja karena lubang vagina Lidya semakin basah. Tetapi saat itu imajinasiku bukan tertuju padanya, melainkan pada ibu mertuanya.
Tidak sampai 15 menit penisku mencucuk-cucuk lubang vagina Lidya, air maniku sudah menyembur lagi di rahim Lidya untuk yang kedua kalinya.
Crroottt…. crrooottt…. crrrooottt… crrooottt..
Kucabut penisku dan mengambil beberapa lembar tissu untuk Lidya membersihkan vaginanya yang terisi air maniku.
Ia memakai kembali pakaiannya. Aku memeluknya. “Maafkan aku…” kataku.
“Nggak papa, aku datang untuk kamu kok… aku sayang sama kamu…” jawab Lidya.
“Bener… kamu sayang sama aku…?”
“Aku punya suami, Zal… kalau aku nggak sayang sama kamu, masa aku datang menyodorkan tubuhku padamu…?”
“Ya…” jawabku. “Maaf… sekarang aku tidak ragu lagi…”
“Awas, jangan sampai keluar dari kamar ini, ya…” ancamnya.
Lidya pergi dari kamarku.
Aku mandi.
Jika sewaktu-waktu Bu Jeni datang ke kamarku, sudah tak tercium lagi olehnya bau vagina menantunya di tubuhku.
Cerita ibu kost berselingkuh dengan anak kost sudah bukan rahasia lagi.
“Perut Ibu kenyang bangat deh, Zal…” katanya masuk ke kamarku masih memakai sandal pestanya yang berhak tinggi runcing.
Kesepuluh kuku jari kakinya kulihat bercat merah. Kaki wanita paruh baya berusia 54 tahun ini memang mulus dan putih.
“Kok Bu Jeni datang kesini…” tanyaku.
“Ibu kesepian Zal, nggak ada orang di rumah. Bapak diajak pergi sama Pak Lurah meninjau proyek. Rahman sama bininya pergi ke mall…”
Deggg…. jantungku kacau balau saat Bu Jeni menyebut Rahman sama bininya, Lidya… pasti di rahim Lydia sudah terdapat janin yang sudah beberapa hari…
“Boleh aku menutup pintu, Bu Jeni…?” tanyaku.
“Ibu mau baring sejenak, minjem tempat ya, Zal…”
Aku tidak sempat menjawab Bu Jeni, karena sedang menutup pintu kamar. Bu Jeni sudah berbaring terlentang di kasur yang kugeletakkan di lantai.
Aku mencium telapak kakinya. “Zalll…” desah Bu Jeni.
Kumasukkan jempol kakinya ke dalam mulutku dan kuhisap. “Ooohhh… Zaaa…alll…” suara desahan Bu Jeni berubah menjadi rintihan.
Selanjutnya aku melepaskan kaos dan celana pendekku. Dengan telanjang dan penis yang mengacung aku menindih Bu Jeni yang masih berpakaian dan bertubuh wangi itu, kucium bibirnya yang berlapis gincu.
Tanpa menawar lagi bibir kami saling berpagut dan menyedot. Bu Jeni yang mendominasi. Ia membalik aku terlentang di kasur, bibirku dilumatnya dan penisku yang berdiri tegang digenggamnya dengan kuat dan dikocoknya dengan napsu yang menggebu.
Lidya yang penuh kelembutan, berbeda dengan ibu mertuanya yang buas dan liar.
Kapan Bu Jeni melepaskan celana dalam, aku tidak tau. Sewaktu ia mengangkat rok panjangnya yang bermotif batik, kulihat selangkangannya sudah telanjang. Vaginanya polos tanpa bulu.
Ia melangkahi selangkanganku berlutut di kasur dengan kedua paha terkangkang di atas penisku. Ia mengambil penisku lalu dimasukkan ke dalam lubang vaginanya dengan menurunkan pantatnya. Lubang vaginanya pret.
Sreett… slurrppp… srreettt… Bu Jeni harus menekan pantatnya beberapa kali ke bawah, kemudian baru bllleee…eesss… lubang vaginanya menelan penisku panjang-panjang.
Bu Jeni segera memacu penisku dengan menggoyang pantatnya maju-mundur.
“Sssstttttt….. aaaaahhhhh… aaahhhh…” rintihnya sambil memejamkan mata.
Lalu dengan penisku yang menancap di lubang vagina Bu Jeni, aku bangun membuka baju kebayanya. “Biar sexy…” kataku.
Sebentar kemudian tubuh telanjang Bu Jeni sudah terpampang di depan mataku. Payudaranya besar menggelantung, belum kendor, masih cukup padat. Cuma aerolanya yang sudah tidak ada, tinggal putingnya yang berwarna coklat mancung.
Penisku benar-benar diservice oleh ibu kostku. Ia mengganti posisi menggenjot penisku dengan posisi punggung membelakangiku. Ia memaju-mundurkan pantatnya.
Betapa bergairahnya Bu Jeni. Setelah beberapa saat ia menggenjot penisku dengan pantat membelakangiku, aku ganti menggenjotnya dengan gaya klasik.
Kuhisap-hisap payudaranya, kupagut lehernya yang mulus berkeringat, lalu baru kusemburkan spermaku di dalam vaginanya.
Bu Jeni tidak merasa teteknya kukenyot sampai berwarna merah di beberapa tempat, juga di lehernya terdapat cupang bibirku.
Beberapa hari kemudian, aku datang ke rumah Bu Jeni ingin minjam palu, ternyata yang menemuiku suaminya.
“Ibu nganter Lidya ke puskesmas, Zal…” kata bapak kostku padaku sambil memberikan palu yang ingin kupinjam.
“Lidya sakit ya, Pak…?”
“Tadi pagi muntah-muntah… Ibu takut perut Lidya ada isinya…”
“Hamil gitu Lidya, Pak…”
“Iya… soalnya sewaktu di test dengan testpack menunjukkan positip…”
Aku menyodorkan tanganku pada bapak kostku. “Selamat… selamat ya, Pak… sebentar lagi jadi kakek…” kataku.
Aku harus siap-siap pindah dari kost ini, batinku, karena suatu hari skandalku dengan Lidya pasti terbongkar jika benar Lidya positif hamil.
Aku berani tarohan jika benih di rahim Lidya itu benih yang berasal dari spermaku, bukan sperma Rahman. Apalagi kalau nanti bayinya lahir mirip dengan fisikku…