Akhir Sebuah Obsesi
AKU punya sebuah cerita.
Hari Sabtu menjelang sore, si Ipai mengajak aku menjemput pacarnya, si Zorah. Kami mau pergi ke pesta ulang tahunnya si Ulfa. Aku sudah kenal dengan Zorah sejak lama. Zorah orangnya kecil berparas manis dan tak bosan-bosannya untuk terus dipandang. Punya lesung di pipi.
Kadang aku terobsesi untuk merebut Zorah dari sisi si Ipai karena aku juga tertarik dengan si Zorah. Tetapi untuk merebut Zorah dari sisi si Ipai bukan hal yang gampang. Ipai punya mobil yang keren, sedangkan aku sehari-hari hanya naik sepeda motor butut. Akibatnya aku hanya bisa memandang iri pada si Ipai yang menggandeng si Zorah.
Sesampainya kami di rumah Zorah sore itu, ternyata si gadis berumur 19 tahun ini masih berleha-leha belum mandi. “Aku lupa… haa… haaa… aku lupa… maap ya Pai… Yunus…” kata Zorah yang masih berdaster sexy.
Buru-buru ia pergi ke belakang, sedangkan Ipai dan aku duduk di ruang tamu menunggu Zorah mandi sambil ngobrol dan ngemil kacang goreng serta keripik pisang yang disuguhkan Zorah bersama dengan teh hangat.
Tidak lupa aku membayangkan tubuh Zorah yang telanjang di dalam kamar mandi. Kira-kira sekitar 20 menit Ipai dan aku duduk menunggu Zorah mandi. Ketika Zorah keluar dari kamar mandi tubuhnya harum semerbak bagaikan kembang setaman, menyegarkan paru-paru dan melonggarkan jalannya peredaran darah di tubuhku.
Ahh… jika Zorah menjadi pacarku, khayalku.
“He… ngelamun aja!” teriak Ipai membuyarkan lamunanku. “Katanya tadi mau ke kamar mandi, siapa duluan?”
“Lo duluan deh…” suruhku.
Memang sudah sejak tadi di perjalanan kami tidak tahan ingin kencing. Ipai pergi ke kamar mandi. Aku kembali berkhayal sambil memandang foto-foto cantik Zorah bersama ayah ibunya yang tergantung di dinding.
Tidak berapa lama kemudian Ipai selesai dari kamar mandi, gantian aku yang pergi ke kamar mandi. Ohh… ada apa di dalam ember? Wawww… seruku dalam hati ketika kuketahui di dalam ember berisi baju, BH dan celana dalam si Zorah. Jantungku langsung gedebak-gedebuk berirama tak teratur.
Tadi aku pengen sekali kencing, air kencingku yang sudah keluar sampai pertengahan batang kontolku langsung surut masuk kembali ke kantong kemihku.
Aku ambil BH Zorah, dan langsung saja kubekap cup-nya yang menempel di tetek Zorah itu ke hidungku. Kuhirup dan kusedot bau tetek Zorah yang melekat di BH-nya. Mmm… baunya yummy dan segar, campuran antara bau wangi parfum dan bau asem keringatnya Zorah.
BH Zorah yang berwarna merah ini kecil, dan busanya tebal, berarti tetek Zorah juga berbentuk kecil. Aku tidak bisa melihat nomor berapa BH si Zorah, karena banderolnya sudah pudar. Akan tetapi kalau boleh kutebak, nomornya 34.
Kemudian celana dalamnya kulumat ke wajahku. Sungguh harum memek si Zorah yang baunya melekat di celana dalamnya itu. Batang kontolku bangun tegang setegang-tegangnya.
Celana dalam berwarna merah jambu tersebut kulihat terdapat bercak-bercak berwarna kuning. Pasti lendir memek Zorah yang sudah mengering. Baunya amis bercampur bau pesing. Barangkali begitu juga bau memek si Zorah yang asli, batinku membayangkan.
Apakah Ipai sudah pernah mencium memek si Zorah? Apakah Ipai sudah pernah meremas tetek si Zorah? Aku jadi tidak konsen duduk di dalam mobil Ipai saat kubayangkan kesemuanya itu, apalagi Zorah duduk di sebelah Ipai. Aku cemburu!
Setiba di rumah Ulfah yang sudah rame, selesai bersalam-salaman dan cipika-cipiki dengan Ulfah yang berulang tahun, aku segera berlari ke belakang dan segera kudorong pintu kamar mandi.
“Uggh… set*n, siapa sih ini?” terdengar suara cewek mengamuk di dalam kamar mandi.
“Oh… kamu toh, Nis?”
“Pergi dulu sana, aku lagi ganti perban, perangkatku bocor…” jawab si Unis.
“Tapi pipisku sudah sampai di ujung nih, Nis…” kataku. “Masa nggak ada toleransinya sih kamu sama aku?”
“Yaudah, di pojok situ, jangan menghadap ke sini, ya?” balas Unis berbaik hati padaku.
Segera kugelontorkan isi kandung kemihku dengan berdiri membelakangi Unis yang belum selesai mengganti perban untuk membalut memeknya yang berdarah bulanan. “Uhh… legaaaa…” desahku.
“Nih air…” Unis menyodorkan gayung untukku.
“Terima kasih, Nis…” ucapku setelah kusiram dinding bekas semprotan pistol airku dan membersihkan kontolku.
Berada di tengah-tengah pesta ultah Ulfah yang ke 19, hatiku sedikit terhibur. Ipai tidak duduk menemani Zorah, tetapi ia lebih asyik ngobrol dengan gerombolannya, Pandi, Ameng, Ulfa dan Aris sehingga aku bisa duduk di samping Zorah dan makan bersama dengannya.
Aku ambilkan minuman untuknya, aku ambilkan kue untuknya dan ia cerita padaku bahwa ia suka baca novel menghabiskan waktu luangnya di rumah.
“Novel apa?” tanyaku cepat.
“Novel apa saja. Kamu ada?” ia bertanya padaku.
“O… ada, cuma gak banyak. Hanya ada 2 atau 3 buku.” jawabku.
“Boleh dong pinjem…” katanya.
Wah, kesempatan yang tidak boleh kusia-siakan nih, kataku dalam hati. Pulang ke rumah, malam itu juga kubongkar koper bukuku. Untung masih kudapatkan buku novel yang kujanjikan pada Zorah. Besok siang siap kuantarkan padanya.
Malam itu aku sampai susah tidur. Aku membayangkan wajah Zorah yang manis dan imut itu. Kubayangkan aku mencium bibirnya. Kubayangkan bau BH dan bau celana dalamnya yang tadi sore kucium. Ah… kalau saja Zorah bisa menjadi pacarku.
Zorah… Zorah… ohhh… Zorah….
“He…! Zorah… Zorah… Zorah…. siapa sih Zorah?! Sudah siang, bangun!” Bunda membangunkan aku.
Aku kaget mendengar suara Bunda. Kamarku sudah hangat oleh sinar mentari pagi karena Bunda sudah membuka lebar jendela kamarku.
“Mimpi basah, ya? Siapa sih Zorah? Pacarmu, ya?”
“Calon, Bun.”
“Pantesan sampai mimpi basah gitu. Sudah, bangun sana. Mandi yang bersih, air mani kamu bau tuh…”
“Baring bentar lagi ya, Bun? Masih capek…”
Bunda meninggalkan kamarku.
Hari minggu sore, aku menelepon Zorah memastikan dia ada di rumah. “Aku nggak kemana-mana Yun, datang aja…” jawabnya. Suaranya terdengar sangat indah, lembut dan bening.
Menunggu sampai sore rasanya sangat lama. Jam 3 sore aku sudah start sepeda motorku menuju ke rumah Zorah. Satu jam kemudian aku sudah tiba di halaman rumah Zorah.
Zorah keluar menyambut aku dengan pakaian celana panjang garis-garis dan blouse bercorak bunga mawar yang longgar dan kepalanya tertutup kerudung tipis berwarna hitam. Cantik sekali si Zorah dan wangi parfum pula. Aku semakin mabok kepahyang pada Zorah.
“Aku hanya sebentar, Rah…” kataku. “Hanya mau ngantar novel yang kemarin aku janjikan sama kamu,”
“Ah, masa hanya sebentar sih? Duduk dulu dong, sudah jauh-jauh datang ke sini….” jawab Zorah menerima buku novel yang kuantarkan padanya. “Tapi balikinnya kapan-kapan ya?”
“Iya, nggak dibalikin juga gak papa,” jawabku.
“Kamu mau minum apa nih?” tanya Zorah setelah aku duduk di ruang tamu rumahnya.
“Nggak usah,” jawabku.
“Aku beliin coca cola, ya?”
Belum sempat aku menjawab, ia sudah berlari keluar dari rumahnya. Rumahnya kosong. Bagaimana kalau kucari BH dan celana dalamnya lagi, bukankah ia sudah mandi, terbersit dengan tiba-tiba dalam hatiku.
Aku segera bangun dari tempat dudukku mencoba mengintip Zorah pergi ke mana. Aku melihat ia berjalan ke warung sekitar 200 meter dari rumahnya. Tidak mau menunda lagi, dengan cepat aku berlari ke kamar mandi. Ternyata di dalam kamar mandi kosong, tidak ada ember yang berisi pakaian Zorah. Wah, kecewa juga aku!
Tetapi sewaktu aku keluar dari kamar mandi, di samping mesin cuci, aku menemukan sebuah keranjang. Buru-buru kubongkar isi keranjang itu. Aku jadi seperti maling. Bagaimana kalau di rumah Zorah dipasang CCTV, habislah aku. Tapi saat itu tidak terpikirkan lagi olehku.
Di dalam keranjang itu tidak hanya kutemukan celana dalam Zorah tetapi juga BH dan celana dalam ibunya Zorah. BH dan celana dalam ibunya besar. Tidak mau kupusingin pakaian dalam calon ibu mertuaku itu, secepat aku masukkan ‘buruan’ ku ke dalam kantong celanaku.
Zorah pulang dari warung membawa 2 botol coca cola, dudukku pun jadi gelisah seperti kursi di ruang tamunya ada duri. Ingin sekali rasanya segera kubuka celana dalam di kantongku itu dan kucium menikmati bau memek Zorah. “Ngg… ngg… Ipai gak datang?” tanyaku tergagap.
“Nggak sih, kalo nggak ada kamu, mana dia berani datang ke rumahku sendirian?” jawab Zorah duduk berhadapan dengan aku di ruang tamu.
“Lho, kok gitu?” tanyaku.
“Orangnya pengecut, cuma badannya yang gede!” jawab Zorah seakan-akan kecewa dengan Ipai. “Kalau dia mau menjemput aku, jemputnya di depan gang situ. Dia takut sama orangtuaku, kayak orangtuaku harimau aja bisa gigit dia…”
Haa… haa… tawaku dalam hati. Setelah menghabiskan minumanku, aku minta izin pulang dengan Zorah. “Jangan bosan ke sini lagi ya, Yun. Jangan kayak si Ipai, takut digigit sama orangtuaku. Orangtuaku baik kok.”
“Ya Rah, terima kasih. Pertemuan sore ini sangat menyenangkan.” jawabku.
“Aku yang harus berterima kasih sama kamu Yun, kamu sudah mau datang ke rumahku dari jauh…”
Belum begitu jauh dari rumah Zorah setelah kudapatkan tempat yang sepi dengan tak sabar lagi segera kuhentikan sepeda motorku. Kukeluarkan celana dalam Zorah dari kantong celanaku dan kubekapkan ke hidungku celana dalam kecil berwarna hitam itu.
Wawww… hhmm… bau kencing Zorah yang menempel di celana dalamnya itu segar sekali aromanya. Aku seperti terbius. Tubuhku rasanya melayang-layang bebas di awan-awan.
Sesampai di rumah, aku segera melepaskan pakaianku dan telanjang di dalam kamarku, lalu kukocok kontolku sambil kuhirup bau memek Zorah yang melekat di celana dalamnya. Tidak sampai 5 menit, air maniku pun menembak kuat dan kencang dari ujung kontolku. Kental dan banyak sekali air maniku sampai kontolku terasa ngilu.
Setiba di rumah Zorah sekitar jam setengah 7 malam, ternyata di ruang tamunya duduk beberapa tamu sedang ngobrol dengan bapaknya Zorah. Lalu Zorah mengajak aku duduk di teras rumahnya.
“Aku tidak mau duduk lama-lama, Rah” kataku. “Nanti kalau ketahuan sama Ipai atau gerombolannya, aku disangka ngerebut kamu lagi,”
“Lalu… aku nggak boleh berteman dengan kamu gitu?”
“Nggak gitu juga sih kali? Yang bilang nggak boleh siapa? Kan kamu sudah punya pacar? Masa aku ganggu kamu?”
“Terserah aku dong, memangnya aku sudah diikat sama Ipai? Ihh… nggaklah yau diikat-ikat… aku masih pengen bebas…” jawab Zorah ketus membuat ia semakin cantik saja.
Walaupun tamu bapaknya Zorah sudah pergi, aku dan Zorah masih tetap ngobrol di teras. Malahan duduk kami di kursi panjang semakin dekat saja seperti ada yang menggeser pantat kami dan entah dari mana datangnya keberanianku pula jika kemudian aku berani merangkul pinggang Zorah.
Ternyata Zorah tidak menolak aku. Ia merebahkan kepalanya di pundakku malahan. Ohh… indahnya malam itu meskipun langit gelap tak berbintang.
“Aku mencintaimu, Rah… sudah lamaaaaaaaaaaaaaaa…. dalam tidurku setiap malam, aku selalu memimpikan kamu. Aku tau cintaku bertepuk sebelah kanan… tapi aku harus mengatakannya padamu…” kataku mengungkapkan isi hatiku yang sudah sekian lama kupendam.
Zorah tertawa. “Aku sangka, hanya cintaku saja yang bertepuk sebelah tangan…” balas Zorah. “Aku juga mencintai kamu, Yun…”
“Ahh… yang benar, Rah?”
Kukecup bibir Zorah. Kami saling berpelukan dan saling mengecup bibir. Lagi… lagi dan lagi. Lidah kami saling bertautan. Hangat, basah dan menghanyutkan, sehingga tanganku pun tenggelam di dalam BH Zorah. Teteknya yang kecil dan kenyal itu kuremas.
Ohh….
Telapak tangan Zorah yang mulus dan hangat juga meraba-raba celana jeansku. “Aku berani sumpah, Yun…. aku berani sumpah, aku belum pernah memegang punya Ipai….”
“Aku tidak ngomong begitu, Rah… hanya perasaanmu saja. Tapi aku minta maaf, Rah… aku terlalu berani… karena…. karena… akuu…”
“Rah…. ee… kok nggak ngambil minuman untuk Yunus?” ujar ibunya Zorah memutuskan kata-kataku.
Aku tidak berani menatap ibunya Zorah. Dasternya sangat tipis, setipis kain kasa sehingga bayangan teteknya sangat nyata dan celana dalamnya juga terlihat sangat jelas tersorot cahaya lampu dari ruang tamu.
“Ibuku sexy ya, Yun?” kata Zorah setelah ibunya masuk ke dalam rumah. “Awas lho ya, kalo hatimu berpaling pada ibuku…”
“Aku mencintaimu, Rah…. aku ingin kamu menjadi istriku…” jawabku serius.
Kami melanjutkan permainan cinta kami yang tertunda. Kali ini Zorah berani menarik ritsleting celana jeansku. Kemudian aku berani keluarkan kontolku untuk Zorah. “Haa… haa…” Zorah tertawa nyaring melihat kontolku. “Panjang amat, Yun… serem, ahh…” kata Zorah.
“Jadi, kamu nggak mau bersanggama sama aku kalau kita sudah jadi suami istri?” tanyaku.
Zorah menggenggam batang kontolku yang keras itu dengan tangannya yang hangat.
Kucium bibirnya dengan lembut. Zorah menuntun tanganku ke celana dalamnya. Celana dalam Zorah basah. Memeknya keluar lendir banyak sekali ketika tanganku meraba memeknya.
Kuelus belahan memek Zorah dengan jariku. Zorah menggelinjang. “Oohhh… Yuu.. uuunnhhh…. enak sekaliiii…” desah Zorah.
Jariku jadi basah kuyup dan berbau memek Zorah. Aku tidak mau mencuci tanganku setiba di rumahku malam itu dan sepanjang malam kucium terus jariku. Obsesiku jadi kenyataan. Zorah menjadi pacarku.
“Ya dong Bun, aku mau ngapelin Zorah…” jawabku senang.
“Wahh… wahh… wahhh… anak Bunda luar biasa. Sini, Bunda mau cium, Bunda mau kasih selamat…”
Kucium Bunda. “Ufff… aahh.. ooghh… ooo…” Bunda mendesah saat bibirnya kucium.
Bunda tidak mendorongku pergi. Kami saling berpelukan. Kami saling berganti ludah. Kugaet lidah Bunda. Bunda memilin-milin lidahku dengan lidahnya. Aku tenggelam, aku hanyut, lantas… buah dada bundaku yang hanya terhalang kaos tipis itu kujamah dan kuremas.
Bunda menggigit bibir bawahku. Napasnya memburu dan punggungku dicakarnya. Tubuhnya pelan-pelan merosot terduduk di kursi. “Bunda keluar, Yun…” kata Bunda pelan dengan mata sayu.
“Maaf, Bun…” aku merasa bersalah telah membuat Bunda orgasme, mungkin tadi buah dadanya yang kuremas adalah titik sensitifnya.
“Gak papa. Sudah pergi sana, tinggalin Bunda, Zorah sudah menunggu kamu…” balas Bunda.
Aku jadi tidak tenang duduk di atas sepeda motorku yang melaju perlahan di jalan raya. Ingin sekali aku kembali ke rumah menemani Bunda yang ditinggal sendirian di rumah. Maka itu jangan suka bermain api, kuingatkan diriku.
“Zorah ada di belakang, Yun.” kata Tante Marisa, ibunya Zorah, mungkin mau malam mingguan dengan suaminya. Tubuhnya menebarkan bau wangi semerbak. Bibirnya merah menyala dan kepalanya dibalut kerudung tebal hanya tampak wajahnya saja yang bulat dan gempal. Bajunya terurai panjang sampai menyapu lantai.
Cincinnya memenuhi kesepuluh jari tangannya. Belum lagi gelangnya yang sebesar sumbu kompor minyak tanah. Tante Merissa, bakal kupanggil Ibu, atau Mama, atau Bunda, atau Mami… khayalku.
“Wajahmu sumpek banget Yun, ada apa?” tanya Zorah ketika aku bertemu dengannya di taman, di belakang rumahnya.
Terdengar suara gemercik air terjun buatan yang terletak di sudut taman. Indah dan romantis. Kukecup bibir Zorah dengan mesra. Kemudian Zorah menghidangkan aku segelas sirup manis berwarna merah.
“Ibumu cantik, Rah…” kataku.
“Awas, kalo kamu jatuh cinta sama ibuku ya,” ledek Zorah. “Mereka mau berpacaran di luar, kita berpacaran di sini aja, gak papa kan?”
“Aku mau ngajak kamu nikah, Rah. Kita cepetan aja, aku sudah gak tahan…” ujarku
Zorah memeluk aku. Zorah mencium bibirku. Bintang-bintang yang bertahta di langit cerah menjadi saksi ketika kami saling melepaskan pakaian di atas selembar tikar yang dihamparkan di tengah taman. Tak ada yang bersisa.
Kuremas tetek Zorah dan kuhisap pentilnya yang kecil. Zorah menggelinjang dan mendesah keenakan sambil tangannya yang hangat menggenggam batang kontolku yang tegang.
“Belajar hisap kontolku ya Rah,” suruhku. “Nanti aku jilat memek kamu.” kataku.
Zorah pun belajar menghisap kontolku dengan pelan. Rasanya geli-geli nikmat ketika ujung lidah Zorah yang runcing membelai lubang kencingku. Sementara itu lidahku menjilat celah memek Zorah yang berbau amis tapi segar dan nikmat. Memek yang masih perawan.
Ipai benar-benar tolol, diberi kesempatan oleh Zorah malah takut sama orangtuanya. Sekarang aku yang menuai hasilnya. Kuhanyutkan perlahan kepala kontolku ke lubang surga Zorah yang sempit dan menawan itu sambil kuhisap lehernya. Rasanya geli ketika bulu kemaluan kami saling bersentuhan.
“Kamu pengen anak cowok atau cewek, Yun?” tanya Zorah ditengah persetubuhan kami. Kepala kontolku tersangkut di selaput darahnya.
“Cewek dong, istriku…”
“Aku cowok…”
“Cewek aja…”
“Cowok… duhhh… Yunnn… saaaaa… kiiiiittttttttttttt….” teriak Zorah ketika kontolku merangsek maju memecahkan penghalang di memeknya.
Kucium bibir Zorah. “Kita sudah jadi suami istri, Rah… terima kasih ya, sayang…” kataku menghibur Zorah.
Zorah kini telah menjadi seorang ibu dari 2 anakku. Satu cowok dan satu cewek. Sedangkan Ipai menikah dengan Unis yang pernah bertemu denganku di kamar mandi rumah Ulfah waktu ia mengganti perban kewanitaannya yang berdarah.
Masih ingat kan?