Saatnya Mempertontonkan Onaniku
Setelah aku diterima di sebuah perguruan tinggi, otomatis aku harus mencari tempat kost karena aku tidak punya saudara di kota ini. Setelah aku tanya sana tanya sini akhirnya seorang tukang becak mengantar aku ke sebuah rumah.
Sebelum pemilik rumah memperkenalkan aku kamar kostnya, beliau memperkenalkan dirinya padaku sebagai Bu Waluya. Waktu itu suaminya tidak berada di rumah dan kemudian Bu Waluya sendiri yang mengantarkan aku melihat kamar kostnya, dan ternyata kamar kostnya hanya terdiri dari dua kamar, letaknya di samping rumah pemilik kost.
Kamar di bagian depan sudah diisi oleh mahasiswa dari perguruan tinggi lain, sedangkan aku kebagian kamar yang terletak di belakang, dan di samping kamarku terdapat sumur tempat mencuci pakaian dan kamar mandi keluarga Bu Waluya, sedangkan kamar mandi kami terletak dekat kamar kami.
Pada sore harinya aku bertemu dengan Pak Waluya. Beliau memperkenalkan dirinya padaku sebagai seorang pegawai di puskesmas. Pak Waluya dan Bu Waluya yang kelihatan masih muda ini mempunyai seorang anak laki-laki berumur 15 tahun, duduk di kelas 9 SMP.
Seperti biasa setiap pagi aku membuka jendela kamarku, aku tidak melihat aktifitas di depan sumur. Baru 2 minggu kemudian aku mendengar suara kresek… kresek… kresek… sekaligus suara itu membangunkan aku.
Aku bangun mematikan lampu kamar lalu hendak membuka jendela. Untung jendela belum kubuka. Aku hanya menyibak kain penutupnya saja.
Karena jendelanya dibingkai dengan kaca tembus pandang ke depan sumur, aku bisa melihat Bu Waluya sedang berjongkok menyikat celana jeans suaminya.
Aku kaget!
Mau menarik diri dari depan jendela tidak ada masalah bagiku, bisa aku lakukan dengan cepat, tetapi sebagai laki-laki yang normal mana mungkin aku membiarkan pemandangan indah itu cepat berlalu dari depan mataku?
Dada Bu Waluya hanya tertutup selembar BH yang besar berwarna hitam dan pinggangnya berbalut rok daleman yang tipis hanya sebatas lutut, sedangkan pahanya terbuka lebar mempertontonkan selangkangannya yang gempal tertutup celana dalam berwarna merah muda.
Tubuh sexy Bu Waluya tidak terjamah mata laki-laki lain, selain aku yang beruntung karena di belakang rumah Bu Waluya adalah lahan kosong yang berhadapan dengan dinding belakang kompleks perumahan.
Alhasil, mengintip kegiatan Bu Waluya di depan sumur dari jendela kamarku menjadi acara rutinku setiap pagi sebelum berangkat kuliah. Aku benar-benar terangsang dengan mengintip Bu Waluya.
Hal tersebut kemudian menjadi kebiasaan yang menyenangkan buat aku selama beberapa bulan pertama kost di tempat Pak Waluya yang sangat baik padaku maupun teman kostku.
Sampai suatu saat saya bosan dan ingin melakukan sesuatu yang lain. Dari sinilah kegilaanku itu bermula.
Aku membayangkan hal tergila yang tak pernah terpikir olehku. Aku berangan-angan seandainya aku telanjang dan onani di depan Bu Waluya. Aku benar benar bergairah jika membayangkannya.
Pikiran itu mengganggu aku beberapa hari sampai akhirnya aku nekat untuk memenuhi keinginanku itu.
Sebelum Bu Waluya melakukan aktifitasnya pagi itu, aku membuka lebar kain dan jendela kamarku. Ketika Bu Waluya mulai ke sumur untuk mencuci pakaian, aku buka semua pakaianku hingga telanjang bulat lalu aku berjalan kesana kemari seperti sedang sibuk mencari sesuatu.
Aku sendiri sangat menikmati momen itu. Jantungku berdegup-degup kencang ketika Bu Waluya melihat ke arah kamarku dan itu membuat sensasi yang sangat luar biasa aku rasakan dan sewaktu aku ejakulasi mengeluarkan sperma dari penisku, aku sengaja semprotkan air maniku itu ke luar lewat jendela.
Malam harinya aku tidak habis berpikir apa yang aku lakukan pagi itu. Berani benar aku dan kurang ajar benar aku terhadap Bu Waluya, khususnya Pak Waluya yang baik terhadap aku.
Sore hari itu ketika aku pulang dari kampus, di depan kontrakan aku bertemu dengan Bu Waluya.
Tampaknya suaminya belum pulang, motornya belum tampak. Bu Waluya bertanya padaku, “Toni, tadi pagi waktu Ibu lagi nyuci, kamu ngapain di kamar kamu?” tanya Bu Waluya dengan lembut.
DEG!
Jantungku berdegup kencang, aku benar-benar gemetar namun kuberanikan diri memandang Bu Waluya, “Ma..maa..maafin Toni Bu,” kataku. “Habis.. Toni seneng liat Ibu, Toni nggak tahan Bu, melihat Ibu.” kataku nekat.
“Ya sudah, nggak apa-apa asal kamu nggak kurang ajar sama Ibu,” jawab Bu Waluya membuat aku benar benar lega.
“Jadi… kalo besok Toni gitu lagi nggak apa-apa kan, Bu?” pertanyaan itu terlontar dari mulutku begitu saja.
Bu Waluya tersenyum. “Terserah kamu, asal jangan sampai kelihatan orang, ya.”
Jawaban itu membuat darahku berdesir. Berarti Bu Waluya juga menyukai apa yang aku lakukan.
Lewat beberapa hari, hari itu aku kuliah siang. Paginya aku benar-benar bergairah untuk melakukan hal itu lagi, tapi kali ini aku berniat melakukannya di depan Bu Waluya.
Kulihat Bu Waluya mengantar Pak Waluya pergi kerja sampai di depan halaman rumah mereka. Setelah Pak Waluya pergi dengan sepeda motornya, Bu Waluya pergi ke sumur.
Situasinya benar-benar aman. Aku pergi ke sumur lewat pintu belakang. Sesampai di depan sumur Bu Waluya sudah mencuci pakaian. Bu Waluya bertanya padaku, “Ada apa, Ton?”
“Aku ingin melakukan yang kayak kemarin itu, boleh kan Bu?” kataku.
“Disini?” katanya kurang percaya.
“Kalo Ibu mengizinkan sih, lagian udah sepi kan Bu?” kataku berani dengan Bu Waluya.
Sebelum Bu Waluya menjawabku, tanpa bisa menahan gairahku yang mulai ngelunjak-lunjak, aku keluarkan penisku dari celana pendekku.
Bu Waluya memandangi penisku dengan mata terbelalak. Kagum entah apa ketakutan.
Aku hampir tidak percaya dengan apa yang aku lakukan, aku berdiri di depan Bu Waluya dengan begitu menggairahkan. Penisku yang sudah membesar dan memanjang hanya berjarak kurang dari setengah meter dari wajah Bu Waluya.
Bu Waluya memelototi batang kemaluanku. Hal itu semakin menambah gairahku.
Dari posisi aku berdiri juga terlihat dengan jelas belahan payudara Bu Waluya dari leher dasternya yang rendah. Tampaknya Bu Waluya tidak berusaha menutupinya. Sejauh ini aku hanya berdiri di depan Bu Waluya tanpa mengocok penisku. Aku masih menikmati sensasi aneh ini.
Setelah beberapa saat, aku baru siap melakukannya. Dan Bu Waluya menyaksikan, aku mulai mengocok kemaluanku perlahan-lahan. Beberapa menit berlalu. Aku berusaha menahan ejakulasiku agar kenikmatan sensasi ini lebih lama.
Setelah sekitar sepuluh menit lebih berlalu terlihat Bu Waluya mulai gelisah. Sepertinya ia juga terangsang. Hal ini membuat jantungku berdebar hebat. Aku berani mendekatkan penisku ke wajah Bu Waluya. Bu Waluya semakin gelisah dan napasnya terdengar tidak beraturan.
Aku yakin ia juga menahan gairah yang sama seperti dengan aku. Aku berusaha menempelkan kepala penisku ke depan bibir Bu Waluya, tanpa ia menolakku.
Sementara Bu Waluya terdengar melenguh sambil kini ia memegangi batang penisku yang tegang. Ia mau memasukkan ke mulutnya tapi ragu.
Craattt…. crroooottt… crrroootttt… crroott… crrott… crroottt… crroott….
Hal itu berlangsung beberapa detik, sampai hidung, pipi, mata dan bibir Bu Waluya menempel gumpalan air maniku yang putih kental dan mengalir turun perlahan-lahan kemudian dijilat oleh lidah Bu Waluya masuk ke dalam mulutnya.
Sepertinya aku mempunyai kelainan mengeluarkan air mani di wajah Bu Waluya, tetapi yang jelas Bu Waluya tidak pernah keberatan, bahkan ia mau membantu mengocok kemaluanku. Namun ia tidak pernah mau bermain seks denganku, walaupun aku tahu ia juga terangsang saat melihat aktivitasku di depan matanya.
Kenikmatan itu harus berakhir. Aku pindah kost dengan terpaksa karena adik sepupuku yang sudah lulus SMA akan datang kuliah di kota yang sama denganku dan rencananya ia akan tinggal satu kontrakan denganku. ♪ ♪ ♪ ♪ ♪ ♪