MAGNACARTA
Sebenernya dari dulu pengen banget nulis fantasi dengan genre dewasa tapi ngerasa kalau skill nulis belum sebagus suhu – suhu di sini. Belum lagi penyakit disleksia gua yang sering banget ninggalin typo bikin gua gak pede kalau tulisan gua itu layak untuk dibaca orang – orang. Namun setelah melihat cerita stensilan gua yang ini The Road of Corruption banyak yang suka, gue akhirnya jadi sedikit berani nih buat mulai nulis cerita dengan genre lain.
Semoga pada suka, dan as usual gue nulis karena gue suka dan gak bakal janji bakal cepet update. Cuma bisa gue bilang, kalau cerita ini bakal lebih ngebut updatenya dari cerita Fafa karena mood gue buat nulis cerita ini lebih gampang dapetnya. Disclaimer dulu, adegan seks di cerita ini gak akan sesering cerita gue yang pertama jadi tolong ekpektasinya disesuaikan. Untuk yang suka cerita vanilla, mungkin bisa pertimbangkan untuk baca karena selain seks, bakal ada adegan – adegan kejam yang mungkin gak cocok buat yang gampang liat darah.
Well you have been warned and enjoy!
–===ABU===–
Mahluk itu hidup untuk membunuh.
Mahluk itu tidur di atas tanah selagi cahaya fajar belum bisa menembus tira-tirai daun pepohonan hutan.
Makhluk itu dapat merasakan getaran yang ditransmisikan melalui bulu-bulu sensorisnya. Meskipun getaran itu masih jauh, makhluk itu dapat merasakannya dengan jelas dan tepat; sehingga ia mampu menentukan tidak hanya arah dan kecepatan gerakan mangsanya, tetapi juga beratnya. Seperti kebanyakan predator serupa, berat mangsa sangat penting. Mengintai, menyerang, dan mengejar berarti kehilangan energi yang harus digantikan oleh nilai kalori makanannya. Kebanyakan predator serupa dengan Lumur, akan menghentikan serangannya jika mangsanya terlalu kecil. Tapi tidak dengan Lumur. Lumur itu tidak hidup untuk makan dan mempertahankan spesiesnya. Lumur tidak diciptakan untuk itu.
Lumur hidup untuk membunuh.
Hidung hewan itu berkedut – kedut sebelum bangun dan keluar dari sarangnya. Merangkak melewati batang pohon yang membusuk, menyeberangi lapangan terbuka dalam tiga lompatan, menyelam ke dalam rerumputan panjang, melebur ke dalam semak-semak. Makhluk itu bergerak cepat dan tanpa suara, sekarang berlari, sekarang melompat seperti belalang raksasa.
Mahluk itu tenggelam ke dalam semak-semak, menekan perutnya ke tanah. Getaran di tanah semakin jelas hingga membentuk sebuah gambar di kepalanya sebelum menjadi sebuah rencana. Lumur itu sekarang tau, dari mana dia harus mendekati mangsanya, di mana dia akan memotong jalan mereka, kemana mangsanya akan lari, bagaimana dia harus menyergap secara efektif agar taring dan kukunya yang tajam bisa merenggut nyawa mangsanya.
Tubuhnya gemetar, saat pikirannya sudah membayangkan adegan akhir perburuan ini. Membayangkan ketika mangsanya bergelut di bawah beban tubuhnya sambil merobek udara dengan teriakan rasa sakit.
Getaran di tanah sangat jelas dan juga bervariasi. Lumur itu sekarang tahu ada lebih dari satu korban—mungkin tiga , atau mungkin empat . Dua di antaranya mengguncang tanah dengan cara yang normal; getaran dari yang ketiga menunjukkan massa dan berat yang kecil. Yang keempat, sementara itu—jika memang benar ada yang keempat—menyebabkan getaran yang tidak teratur, lemah, dan ragu-ragu. Lumur berhenti bergerak, menegang dan menegagkan ke dua telinganya, memeriksa pergerakan udara.
Akhirnya, getaran di tanah memberi sinyal yang telah ditunggu oleh Lumur. Mangsanya telah terpisah. Salah satunya, yang terkecil, tertinggal di belakang. Dan yang tiga—yang samar—telah menghilang. Itu adalah sinyal palsu, gema yang salah, namun Lumur itu mengabaikannya.
Target yang paling kecil itu bergerak semakin jauh dari yang lainnya. Getaran di tanah menjadi lebih intens. Dan lebih dekat. Lumur itu menegakkan kaki belakangnya, mendorong dan melompat.
Gadis kecil itu berteriak nyaring. Daripada lari, dia membeku di tempat. Dan terus berteriak tanpa henti.
Sang Sentinel, melompat ke arahnya, menghunus pedang di tengah lompatan tersebut. Dan dengan segera, dirinya menyadari kalau ada yang salah, menyadari kalau dia telah tertipu. Penarik gerobak berisi tumpukan kayu bakar berteriak dan terbang enam meter dari tanah tepat di depan mata Abu, dengan darah menyembur dari tubuhnya. Penarik gerobak itu jatuh sebelum kembali terlempar ke udara, dan kali ini tubuhnya menjadi dua bagian yang masing – masing menyemburkan darah. Teriakannya tak lagi terdengar. Terdengar lagi sebuah teriakan tajam dari seorang wanita, dan seperti putrinya, kakinya terpaku ke tanah, lumpuh ketakutan.
Untuk sesaat, muncul keraguan dalam benak Abu, ragu jika dia masih sempat untuk menyelamatkan wanita itu, sang Sentinel berhasil menolong wanita tersebut. Abu mendorong tubuh wanita itu dengan kuat sehingga terlempar masuk ke dalam hutan menjauhi jalan setapak itu. Namun Abu, kembali menyadari, kalau dirinya kembali tertipu. Mahluk bertubuh ramping dan kaki-kaki panjang yang gesit itu sekarang bergerak menjauh dari gerobak dan korban pertamanya. Mahluk itu meluncur ke arah korban berikutnya. Gadis kecil yang masih belum berhenti berteriak. Abu bergegas mengejar si Lumur.
Seandainya saja gadis itu tetap diam di posisinya, Abu tak akan sempat menyelamatkannya. Untung saja gadis itu masih bisa menggunakan akalnya dan segera lari terbirit – birit. Hewan buas seperti serigala itu tentu saja dapat dapat dengan mudah mengejar, membunuh gadis itu, dan juga ibunya. Sebuah akhir yang naas bagi mereka, jika Abu, sang Sentinel tak ada di situ.
Abu berhasil mengejar binatang buas itu dan melompat, berhasil menjegal kaki belakang hewan buas itu sampai tersungkur. Jika saja, Abu tidak segera berguling ke samping, Abu bisa saja kehilangan nyawanya—hewan buas itu tidak membiarkan Abu mengambil nafas dan kembali menerjang ke arah Abu sambil memperlihatkan taring – taringnya yang tajam. Abu menendang tanah dengan ke dua kakinya untuk melompat menjauh dan kembali berdiri. Gigitan hewan buas itu meleset, bunyi nyaring saat hewan buas itu mengatupkan mulutnya, menandakan kalau nyawanya baru saja hampir melayang jika telat sedetik saja, kepalanya bisa terpenggal oleh taring tajam Lumur tersebut.
Sebelum Abu bisa menyesuaikan keseimbangannya, Lumur itu kembali menerjang. Abu melindungi dirinya secara naluriah dengan ayunan lebar pedang dan agak sembrono yang mendorong monster itu menjauh. Sabetan pedang itu tidak berhasil melukai binatang buas itu, tapi sekarang, Abu berada di posisi yang lebih menguntungkan dari pada sebelumnya.
Abu melompat dan menyerang, menyayat wajah monster itu. Lumur itu terlambat menghindar sehingga goresan pedang Abu meninggalkan luka yang cukup dalam dan mata kanannya tak lagi berfungsi.
Monster itu menatap tajam ke arah abu dengan kepala sedikit menunduk, giginya bergemertak sambil memperlihatkan taring tajam berbaris. Keempat kakinya menekan tanah dan bagian belakang tubuhnya semakin naik ke atas.
Abu mengarahkan ujung pedangnya ke monster itu, ke dua tangannya mempererat genggaman di gagang pedang tersebut. Nafas abu tetap teratur, tanpa satupun tetesan keringat turun dari tubuhnya.
Monster itu melompat terlebih dahulu, dan kali ini tanpa tipuan dan tanpa strategi. Sebuah serangan murni dari keinginan untuk bertahan hidup.
Abu dengan mudah menghindar dan kembali menebaskan pedangnya. Gerakan yang cukup bersih, namun terlambat sehingga ayunan pedang itu hanya berhasil memotong ekor binatang itu.
Lumur itu akhirnya menyadari, kalau nyawanya terancam. Sadar bahwa saat ini dirinya harus melarikan diri, melarikan diri untuk bersembunyi. Lumur hidup untuk membunuh. Namun untuk dapat membunuh, Lumur harus terus hidup, dan untuk tetap hidup dia harus melarikan diri… Lari!
Sang Sentinel tidak membiarkan hal itu terjadi. Abu mengejar, melompat, dan berhasil menusuk punggung monster itu hingga tubuh monster itu tersungkur di atas tanah. Abu mencabut pedangnya, dan Lumur itu berusaha menjauh dari Abu, mengais- ngais tanah sambil mencoba mengangkat tubuhnya kembali.
Abu melompat, menaiki punggung monster itu, tubuh monster itu menggeliat berusaha menjatuhkan Abu dari punggungnya. Abu menggunakan berat tubuhnya agar tetap berada di atas punggung monster itu dan dalam satu tarikan nafas segera menghujamkan pedang itu ke tempurung kepala monster itu.
Lumur itu akhirnya jatuh tak lagi bergerak.
Abu menghembuskan nafas panjang.
Guntur bergemuruh dari kejauhan. Hembusan angin semakin kencang dan langit mulai menggelap, memperingatkan akan kedatangan badai yang mulai mendekat.
Sejak pertemuan pertama mereka, Hendrik Bront, pejabat baru yang ditunjuk sebagai kepala distrik, mengingatkan Abu kepada lobak—dia pendek, tidak terawat, kulit tebal, dan umumnya cukup membosankan. Dengan kata lain, dia tidak berbeda jauh dari semua petugas distrik lain yang telah Abu temui.
“Ternyata memang benar,” kata kepala distrik tersebut. “Sentinel memang selalu bisa diharapkan untuk mengatasi masalah. Erik, ketua distrik sebelumnya, tidak pernah berhenti memuji Anda” lanjutnya sejenak kemudian, tidak menunggu reaksi dari Abu.. “Saya merasa berasalah pernah menganggapnya sebagai pembohong. Maksud saya, saya tidak sepenuhnya percaya. Saya tahu bagaimana cerita bisa berubah menjadi dongeng. Terutama di kalangan rakyat jelata, bagi mereka selalu ada keajaiban atau keanehan, atau beberapa Sentinel dengan kekuatan super. Dan ternyata, itu adalah kenyataan. Banyak orang telah mati di hutan di luar sungai kecil itu. Dan karena itu jalan pintas ke kota, orang bodoh itu pergi ke sana… menuju kematian mereka sendiri. Tidak memperhatikan peringatan. Saat ini lebih baik tidak berlama-lama di tanah yang buruk atau berkeliaran melalui hutan. Monster dan pemakan manusia ada di mana-mana. Kejadian mengerikan baru saja terjadi di Bukit Wisperwin dekat Caelcrest— Saya dengar seekor Glumfang menyerang pemukiman pembuat arang hingga lima belas orang tewas menggenaskan. Tempat itu disebut Stonbruk. Anda pasti sudah mendengar kabar itu. Tapi itu kenyataan, demi nama kelima murid sang-Pemikir-Agung, bahkan perkumpulan penyihir Caelcrest telah memulai penyelidikan di Stonbruk. Nah, cukup cerita. Kita aman di sini di Elderbark sekarang. Itu semua berkat Anda.”
Dia mengambil peti dari laci, menyebarkan selembar kertas di meja dan mencelupkan pena ke dalam tinta.
“Anda berjanji akan membunuh monster itu,” katanya, tanpa mengangkat kepala. “Tampaknya Anda adalah orang yang bisa dipegang perkataanya. Anda orang yang menepati janji, untuk seorang pengembara… Dan Anda telah menyelamatkan nyawa orang-orang itu. Wanita dan gadis itu. Apakah mereka sudah berterima kasih kepada Anda? Menyatakan rasa bersyukur mereka karena telah Andaselamatkan?”
Tidak, mereka tidak berterimakasih. Sang Sentinel mengatupkan rahangnya. Karena mereka belum sepenuhnya sadar. Dan saya akan pergi sebelum mendapat rasa terimakasih mereka. Sebelum mereka menyadari saya telah menggunakan mereka sebagai umpan, sebelum mereka menyadari kesombongan saya yang membuat saya berfikir kalau saya mampu menyelematkan mereka bertiga. Saya akan pergi sebelum gadis kecil itu sadar, sebelum dia sadar bahwa saya lah yang bersalah. Saya adalah orang yang bertanggung jawab telah membuat dirinya menjadi setengah yatim piatu.
Abu mendadak merasakan mual. Saat ini dia meyakinkan dirinya sendiri, kalau rasa mual itu disebabkan oleh ramuan untuk meningkatkan kemampuan bertarungnya sebelum memulai misi dari Hendrik.
“Rupa monster itu benar – benar mengerikan.” Kepala distrik itu menaburkan beberapa pasir di atas kertas, lalu mengguncangkannya ke lantai. “Saya melihat bangkainya saat mereka membawanya ke sini… Ini pertama kali saya melihat monster seperti itu. Anda tahu mahluk apa itu sebenarnya?”
Abu sebenrnya tidak begitu yakin memiliki jawaban pasti untuk pertanyaan itu, namun tetap berusaha menutupi ketidak tahuannya.
“Seekor Lumur, dari ukurannya tubuhnya, sepertinya jenis Dosbringar atau Eldarvarg .”
Hendrik menggerakkan bibirnya, mencoba mengulangi kata tersebut dengan sia-sia.
“Ah, tidak penting, pada akhirnya. Apakah Anda membunuhnya dengan pedang itu? Dengan bilah itu? Boleh saya lihat?”
“Tidak” Abu menjawab singkat
“HA! Pasti karena pedang Anda sudah diberikan imbuhan sihir. Dan pasti pedang itu sangat berharga bagi Anda. Hmm.. Basa – basi sudah saya lakukan, pekerjaan Anda sudah anda selesaikan, sekarang saat nya membayar jasa Anda. Tapi sebelum itu, maafkan saya karena harus mendahulukan formalitas. Tolong tanda tangani surat kuitansi ini, Anda mau buat tanda silang pun saya tidak terlalu perduli”
Sang Sentinel mengambil kertas kuitansi dari Hendrik dan memegangnya ke arah cahaya.
“Apa ini?” Si Kepala Distrik menggelengkan kepala sambil tersenyum meledek.”Apa Anda bisa membaca?”
Abu meletakan kertas itu di atas meja dan mendorongnya ke arah Hendrik.
“Anda seperti nya membuat kesalahan di dokumen tagihan ini” kata Abu dengan tenang dan suara lembut. “50 koin emas, itu perjanjian yang kita sepakati. Di Kuitansi ini tertulis 80 koin”
Hendrik Bront mengatupkan tangannya dan menyandarkan dagunnya di atasnya.
“Ini bukan kesalahan.” Hendrik menurunkan suaranya. “Koin ekstra itu adalah sebuah bentuk terima kasih. Kamu telah membunuh monster dan saya yakin itu pekerjaan yang berat… Jadi jumlahnya tidak akan mengejutkan siapa pun…”
“Buat Saya mengerti”
“Jangan pura-pura. Jangan berpura-pura tidak tahu. Apa Anda ingin menyangkal saat Erik yang bertanggung jawab dia tidak pernah membuat kuitansi seperti ini? Saya yakin kalau—”
“Yakin soal apa ?” Abu menyela. “Bahwa dia mengkorpsi nominal tagihan? Dan membagi dua hasil korupsi dari kas kerajaan itu??”
“Membagi dua?” si kepala distrik mencibir. “Jangan naif, Sentinel, jangan naif. Kamu pikir dirimu sebegitu pentingnya? Kamu akan mendapat sepertiga dari perbedaannya. Sepuluh koin. Itu bonus yang layak untukmu. Karena saya pantas mendapat lebih, setidaknya karena fungsi saya dalam pemerintahan. Pejabat negara harus kaya. Semakin kaya pejabatnya, semakin tinggi kehormatan negara itu. Lagipula, apa yang kamu tahu tentang ini? Percakapan ini mulai membuat saya lelah. Kamu mau menandatanganinya atau bagaimana?”
Hujan menghantam atap. Hujan turun di luar. Tapi guntur telah berhenti; badai telah berlalu.