Antara Enak dan Benci 1st
Saat pulang kantor Deni kelihatan bingung kayaknya wajahnya sedang kesal dengan teman kerjanaya yang saat meeting bertemu dengannya membahas progam yang diajukan, pada saat meeting ada rekan kerjanya bernama Shinta mengajukan berbagai pertanyaan yang menyudutkan ide ide dari Deni, dia menganggap semua pertanyaan Shinta seperti tidak masuk akal dia sering mempersulit urusan Deni.
Deni sendiri tak tahu kenapa sebabnya ia bersikap seperti itu padanya. Ia mengira-ngira apakah ini karena ia tak pernah begitu memperhatikannya padahal lelaki-lelaki lain di kantorku berlomba-lomba untuk menarik perhatian wanita yang selalu berpenampilan trendy dan menjurus seksi ini.
Deni pun tak memungkiri bahwa Shinta merupakan wanita yang menarik, cantik dan pintar. Awalnya Deni tertarik juga kepadanya namun setelah melihat orangnya agak sombong dan meremehkan lelaki-lelaki yang mencoba mendekatinya, ia jadi kurang respek hingga akhirnya lebih banyak menghindar darinya.
Pikiran Deni masih tak karuan, matanya menatap kosong ke arah jalanan dari balik kaca mobilnya. Ia bingung sendiri. Mobilnya meluncur dengan kecepatan sedang tanpa arah. Jalanan yang biasa ia lalui menuju rumah telah kelewatan sejak tadi. Pulang ke rumah juga mau ngapain, pikir Deni. Anak dan istri lagi pulang kampung selama liburan sekolah ini. Katanya ingin berlibur di rumah kakek dan neneknya.
Tiba-tiba Deni membelokkan mobinya ke arah suatu tempat yang nampaknya seperti sebuah hotel. Nampak di pelataran parkir berjejer mobil-mobil mewah. Deni segera memarkirkan mobilnya di sana lalu turun dan berjalan ke sebuah bar yang terletak di samping lobby hotel itu. Ia langsung masuk.
Terdengar suara hingar bingar musik yang memekakan telinga begitu pintu terbuka. Deni berjalan tanpa melirik ke kiri kanan dan langsung duduk di sebuah kursi bar.
“Gin tonic in the rock,” pintanya tanpa pikir panjang kepada bartender.
Ia sendiri sebenarnya kaget juga mendengar ucapan dari mulutnya, padahal sudah bertahun-tahun sejak sebelum menikah ia tak pernah lagi menyentuh minuman beralkohol. Tetapi kenapa tiba-tiba ia memesan minuman seperti itu?
“Malam Boss,” sapa bartender itu dengan ramah sambil menyodorkan minuman pesanannya.
“Malam,” balas Deni seraya meraih gelas dan langsung menenggaknya sampai habis lalu menyodorkan lagi kepada bartender untuk minta tambah.
Bartender itu tersenyum melihat tingkah Deni. Rupanya ia sudah terbiasa melihat tingkah orang-orang seperti Deni ini di barnya.
“Suntuk kayaknya malem ini ya Boss,” katanya mencoba untuk mengajak ngobrol, sesuai dengan tugasnya sebagai bartender yang umumnya merupakan tempat untuk curhat bagi tamu-tamu bar.
“Yaaaahhhh.., gua lagi empet nich. Dari pada pusing lebih baik happy-happy aja dech,” jawab Deni kembali meneguk gelas kedua. Kali ini minuman itu masih bersisa sedikit. Mukanya nampak mulai memerah, minuman beralkohol itu begitu cepat mempengaruhi kesadarannya.
Deni kembali ngobrol dengan bartender itu. Meskipun ucapan-ucapannya sudah ngaco, tetapi bartender itu masih tetap meladeninya dengan baik dan menambah kembali minuman di gelas Deni. Tanpa terasa telah 4 gelas diteguknya.
Obrolan mereka nampaknya semakin menghangat, terdengar gelak tawa mereka berkali-kali sehingga menarik perhatian orang-orang di sekelilingnya. Begitu melihat keadaan Deni, orang-orang itu tersenyum-senyum maklum.
Tetapi ada seorang wanita cantik yang duduk di pojok kafe itu sejak tadi memperhatikan tingkah laku Deni. Ia lalu bangkit dari duduknya dan datang menghampiri.
“Hai, kayaknya asyik banget ngobrolnya. Boleh dong bergabung,” sapanya kepada Deni sambil menepuk-nepuk pundaknya dan duduk persis disampingnya.
Deni menengok kaget karena tepukan halus di pundaknya itu. Begitu matanya memandang wajah wanita itu, ia bertambah kaget. Sama sekali tak menyangka akan bertemu di tempat seperti ini..
“Oh! Hai,” balas Deni tidak bersemangat begitu mengetahui wanita yang datang itu adalah Shinta. Wanita yang menjadi penghalang programnya di kantor tadi siang.
Melihat sikap Deni yang tidak bersahabat seperti itu, si bartender malah keheranan. Padahal mereka tadi sedang membicarakan apa yang akan dilakukan seandainya ada cewek cantik yang mau bergabung dengan mereka. Kini justru setelah ada cewek cantik dan seksi seperti itu malah dicuekin. Ia geleng-geleng kepala oleh sikap Deni yang menurutnya aneh.
“Rupanya suka juga nongkrong di sini, ya?” Tanya Shinta memulai pembicaraan.
“Ya begitulah…,” jawab Deni datar sambil meminta tambah minumannya lagi.
“Jangan banyak-banyak, kamu sudah mabok lho,” katanya kemudian memperingatkan.
“Emang nape?” tanya Deni sembari mendelik.
Shinta hanya tersenyum saja mendengar gaya omongan Deni yang lain dari pada biasanya. Maklum lagi mabok, demikian kata Shinta dalam hati.
“Jangan frustrasi gitu dong,” ucap Shinta dengan lembut seraya mengelus pundak Deni.
Meski terdengar lembut ucapan itu, tapi di kuping Deni bagaikan suara geledek. Ia mulai mengungkit masalah yang sebenarnya ingin ia lupakan saat itu. Dipandangnya wajah Shinta dengan mata sedikit melotot.
“Hei, denger! Gua nich lagi happy-happy. Siapa bilang frustrasi? Nggak ada dech dalam kamus gua,” jawab Deni sengit.
Giliran Shinta yang kini sengit begitu mendengar jawaban angkuh seperti itu. Ia jadi terpancing untuk memperpanjang persoalan mereka di kantor. Mereka akhirnya berdebat sengit, kalau saja si bartender tidak menengahinya tentunya mereka akan bertengkar hebat.
“Udah lah Boss,” kata si bartender. “Nggak usah bertengkar, kita di sini khan buat senang-senang. Ngapain mesti ribut-ribut gitu, benar khan Non?” katanya kemudian kepada Shinta.
Deni diam tak menjawab. Dia hanya menunduk untuk kemudian meneguk kembali minumannya hingga habis. Shinta menghela nafas panjang untuk menenangkan dirinya yang sudah terpancing emosinya. Ia lalu memberi isyarat kepada si bartender untuk mengisi gelasnya dengan minuman yang sama.
Ia pun menenggak minuman itu sekaligus seolah ingin mendinginkan hatinya yang panas. Sebenarnya ia tidak pernah minum minuman beralkohol seperti itu. Begitu minuman itu melewati tenggorokannya, ia rasakan tubuhnya menjadi panas. Ia kegerahan. Lalu ia melepaskan blazernya.
Si bartender melirik kagum menyaksikan tubuh indah yang hanya berbalut tank-top tipis yang menempel ketat itu. Bola matanya sedikit mendelik melihat kain tipis yang sudah basah oleh keringat mencetak jelas bentuk payudaranya yang membusung indah itu.
Meski penerangan di bar itu amat temaram, pandangannya masih sempat melihat tonjolan kecil mencuat nakal dari balik tank-top itu. No bra, man! Jerit si bartender dalam hati dengan senang.
“Apa loe liat-liat!” gertak Shinta saat memergoki mata nakal si bartender itu menggerayang ke arah dadanya.
“Sorry Non,” katanya seraya mengalihkan pandangan dan bergeser ke dekat Deni lalu berbisik-bisik.
Mereka kemudian tertawa ngakak sambil sekali-sekali melirik ke arah Shinta. Melihat dirinya menjadi bahan tertawaan dan meski ia tidak mendengar apa yang mereka bisikkan, tetapi Shinta tahu persis apa yang sedang mereka tertawakan. Dengan kesal ia layangkan tinju ke arah pundak Deni.
“Eiiittt!” Deni buru-buru menangkap kepalan tangannya yang hendak mendarat di pundaknya. “Kok gua yang jadi sasaran?”
“Loe memang kurang ajar!” jerit Shinta dengan suara ditahan karena takut akan menjadi tontonan orang lain.
“Mestinya dia tuh..,” kata Deni menengok ke arah si bartender. “Eh kemana dia? Akh sialan!” lanjutnya ketika melihat si bartender itu sudah berada jauh di ujung bar sedang melayani tamu lain. Ia melirik sebentar sambil tersenyum-senyum.
“Kamu nich kenapa? Morang-maring nggak karuan,” lanjutnya. “Kita happy aja?”
“Bodo!” jawab Shinta ketus seraya menarik tangannya dari pegangan Deni.
Deni malah mempererat pegangannya. Shinta menarik-narik. Mereka akhirnya jadi tarik-tarikan. Tanpa sepengetahuan Shinta, mata Deni menangkap sesuatu yang begitu mengasyikan saat wanita itu berkutat melepaskan tangannya.
Tubuhnya jadi berguncang-guncang sehingga membuat payudaranya yang nampak tidak memakai bra itu jadi ikut-ikutan berguncang. Berayun-ayun kesana kemari dengan indahnya. Deni menghela nafas untuk menenangkan goncangan di dadanya akibat pemandangan ini.
Sementara matanya tak bisa dialihkan pandangannya dari sana. Pikirannya jadi menerawang dan berandai-andai seperti apa gerangan apabila bagian tersebut tak terhalang oleh kain tipis lagi. Bayangannya semakin jauh melayang.
“Idih matanya sama kurang ajarnya!” kata Shinta sambil menjewer telinga Deni.
“Aduh, aduh…iya, ya…., ya,” kata Deni kesakitan dan melepaskan pegangan tangannya.
Shinta segera menyilangkan kedua tangannya di atas dadanya. Deni mengalihkan pandangan matanya ke wajah Shinta. Nampak wajah itu memerah. Malu kali. Salah sendiri kenapa pake pakaian seperti itu, kata Deni dalam hati kesenangan.
Namun ketika memandang wajah itu, Deni agak kesengsem juga. Dalam keadaan seperti itu kecantikannya semakin mempesona saja dimata Deni.
“Cantik sekali,” ucap Deni perlahan sekali. ucapan itu keluar begitu saja tanpa disadari.
Meski suara itu amat perlahan dan tertimpali oleh suara musik di ruangan, namun Shinta sempat mendengarnya juga. Hatinya senang juga mendengar pujian yang terucap tanpa sengaja itu. Berarti tidak dibuat-buat. Entah kenapa jantungnya sempat berguncang juga. Kok jadi gini sich, cetus Shinta dalam hati malu dengan perasaannya sendiri.
“Berani amat ngomong gitu ama gua?” kata Shinta. Meski ucapannya masih kasar namun nadanya terdengar jauh lebih lembut dari sebelumnya.
“Memang kamu cantik kok,” kata Deni menimpali semakin berani.
Dipandangnya mata Deni dengan penuh selidik. Kenapa ia jadi berbalik seperti itu? Apa dia masih juga ingin mempermainkan aku lagi? Demikian kata Shinta dalam hati bertanya-tanya. Ia khawatir pria yang ia akui memang menarik namun sombong ini masih mau membalas perbuatannya ketika meeting tadi siang.
Dulu, ketika pertama kali mereka berkenalan, Shinta sempat tertarik olehnya. Saat itu ia melihat Deni begitu simpatik, ramah dan ganteng. Ekh, kenapa gua jadi berpikir yang enggak-enggak sich? Tiba-tiba egonya muncul lagi. Gengsi dong!
“Ngomong apa sich? Ngaco kamu,” jawabnya ketus kembali meski dengan hati deg-degan. Diam-diam matanya melirik ke arah wajah Deni.
Baru sekarang ini ia bisa memperhatikannya dari jarak dekat. Tampan juga, demikian kata hatinya. Ia jadi salah tingkah sendiri.
“Shinta, kenapa kita harus selalu bertengkar. Kita ini khan kolega yang harus bisa saling kerja sama, ya khan?” ucap Deni memulai untuk berbaikan dengannya. “Lagi pula kita bisa bersahabat, dari pada harus bermusuhan seperti ini. Bosen rasanya.”
Baru kali ini ia mendengar Deni mengucapkan namanya dengan langsung. Selama ini ia selalu menyebutnya dengan panggilan Ibu atau sama sekali tidak. Shinta memiringkan tubuhnya dari tempat duduknya sehingga menghadap ke arah Deni.
Kali ini ia sudah tidak malu-malu lagi untuk menatapnya. Mendengar perkataan itu, nampak wajah Shinta sudah tidak seketus seperti apa yang selalu ia perlihatkan kalau berhadapan dengannya. Malah tersungging sebuah senyuman di bibirnya.
Ia tak menyadari perubahan itu namun ia melihat Deni seakan terpesona saat memandang dirinya. Duh kenapa lagi nich, ucap Shinta dalam hati begitu mendadak merasakan darahnya berdesir oleh situasi ini.
“Aku juga bosen, Don,” jawabnya hampir tak terdengar. Tatapan mata Shinta semakin lembut. Namun ia segera memalingkan mukanya. Hatinya tiba-tiba khawatir, ya ampun jangan sampai!
“Oke dech. Kita baikan mulai dari sekarang,” kata Deni seraya menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
Shinta tak segera menyambutnya. Ia memandang sejenak ke arah uluran tangan Deni. Kemudian ia melirik ke wajahnya. Baru kali ini Shinta melihat wajah itu tersenyum. Manis sekali, akunya jauh dalam hatinya. Tatapan matanya begitu menyejukan, ooh andaikan saja…!
“Masih ngambek?” Tanya Deni khawatir begitu melihatnya tak bereaksi atas uluran tangannya.
Shinta segera tersadar dari lamunannya.
Wajahnya semakin memerah karena malu, jangan-jangan Deni bisa menebak apa yang tengah ia pikirkan. Ia segera menyambut uluran tangan itu dan menjabatnya dengan erat sambil tersenyum lepas.
Melihat itu Deni pun tersenyum senang. Tanpa ia sadari ia cium pipi Shinta dengan lembut. Gerakan ini sama sekali diluar dugaan Shinta, ia terperangah tanpa bisa berbuat apa-apa saat dicium seperti itu dan baru sadar setelah semuanya berlalu.
“Berani-beraninya, Don?” ucapnya tapi dengan nada yang lembut. Tak terlihat kemarahannya atas perbuatan Deni yang begitu spontan.
“Sorry, Na. Gua nggak bisa nahan diri,” jawab Deni agak menyesal. Khawatir ‘perdamaian’ yang sudah dicapai kembali hancur gara-gara perbuatan konyolnya.
“Ya udah,” balas Shinta tanpa komentar.
Deni benar-benar menyesal dengan ulahnya barusan. Ia mengira Shinta kembali marah dan akan membencinya. Melihat sikap Deni yang langsung terdiam membuat Shinta tak enak hati juga.
“Eh yo kita minum lagi,” tiba-tiba Shinta memecah kesunyian di antara mereka seraya memanggil bartender untuk mengisi kembali gelas mereka.
“Ya, ayo kita rayakan hari ini dengan minum!” teriak Deni gembira melihat perubahan ini.
Suasana sekarang jauh berbeda dengan sebelumnya. Mereka ngobrol sambil tertawa-tawa gembira seakan ingin melepaskan semua ganjelan yang ada di hati masing-masing. Tak jarang mereka saling rangkul dan saling cubit disela-sela obrolannya.
Tinggalah si bartender yang terheran-heran melihat tingkah mereka yang jauh berbeda dengan sebelumnya. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala melihat keakraban mereka. Sinting kali, demikian runtuknya dalam hati.
Tanpa terasa malam semakin larut namun suasana justru semakin meriah, apalagi kini sudah muncul home band tampil membawakan lagu-lagu yang mengundang para tamu untuk bergoyang. Tak ketinggalan Deni dan Shinta, mereka mulai terbawa suasana hingar bingar.
Deni segera menarik tangan Shinta untuk bergoyang. Mulanya Shinta ragu tapi ia lalu mengikuti ajakannya. Mereka turut bergabung dengan pasangan-pasangan lain di depan panggung. Hiruk pikuk suara musik dan tawa pengunjung justru membuat suasana semakin panas saja.
Tubuh mereka sudah basah bermandikan keringat. Bahkan Deni tanpa malu-malu membuka seluruh kancing bajunya hingga terlihat dadanya yang bidang itu ditumbuhi bulu-bulu. Shinta agak tersipu juga menyaksikan kegilaan Deni ini.
Sambil bergoyang, sekali-sekali Shinta melirik ke arah Deni yang sudah bertelanjang dada itu. Terlihat begitu macho, demikian puji Shinta dalam hati sambil membayangkan bagaimana kalau ia menyandarkan kepalanya di sana. Akh.., akh…, lagi-lagi aku berpikir yang enggak-enggak!
Meski Deni dalam keadaan setengah teler dan dalam suasana yang hiruk pikuk itu, ia masih bisa melihat apa yang sedang diperhatikan koleganya yang cantik dan seksi ini. Apalagi ketika ia melirik bagian dadanya.
Ia melihat benda kembar yang membusung penuh itu turut berguncang seiring hentakan musik. Bahkan tank-top berbahan kain tipis dan sudah basah oleh keringat itu mencetak jelas bentuk payudaranya yang indah. Meski cahaya di sana sangat terbatas, mata Deni sempat menikmati putingnya yang mencuat begitu menggairahkan.
Mereka mungkin saja menyadari bahwa mereka sedang berusaha untuk saling menarik perhatian melalui gerakan dan isyarat-isyarat seksual. Hanya saja ada kendala yang membuat mereka berpikir panjang untuk mewujudkannya.
Apa mereka dapat menghindarkan semua itu? Enggak tahu dech! Begitu kira-kira pikiran mereka. Sudah beberapa lagu mereka ikuti dan nampaknya Shinta sudah agak kepayahan lalu mengajak Deni untuk istirahat.. sambil berpelukan mereka berdua kembali ke tempat duduk. Entah karena pengaruh alkohol atau lainnya, mereka sudah tidak merasa risih bertingkah bak sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta.
Tak lama setelah mereka mengendurkan sensasi-sensasi selama bergoyang tadi, Deni lalu menarik wajah Shinta dan membisikan sesuatu ke telinganya. Shinta tertawa dan dengan genit mencubit pinggang Deni hingga mengaduh kesakitan. Entah apa yang dibisikan Deni padanya hanya kemudian Shinta terlihat mengangguk malu-malu untuk kemudian berdiri diikuti oleh Deni yang mengajaknya pergi dari tempat itu.
Di tempat parkir mereka segera masuk ke mobilnya masing-masing. Deni segera menjalankan mobilnya diikuti oleh mobil Shinta dari belakang. Mobil mereka beriringan menyusuri jalan-jalan mulus yang nampak lengang berbeda apabila di siang hari.
Tak sampai setengah jam mobil mereka sudah berada di pelataran parkir yang menghadap ke laut. Mobil mereka parkir berdampingan. Ada beberapa mobil di sekitar mereka, namun jaraknya agak berjauhan. Nampaknya tempat ini memang merupakan tempat orang berpacaran.
Tak lama kemudian, Deni turun dari mobilnya. Cuaca malam itu terasa dingin karena hujan mulai rintik-rintik berjatuhan. Ia segera membuka pintu mobil Shinta dan langsung masuk.
“Ufh dingin juga,” kata Deni sambil mengibas-ngibas bajunya yang sedikit basah oleh air hujan.
“Hei Don! Ngapain loe ngajak gua kemari?” belum sempat Deni menutup pintu kembali, Shinta sudah memberondongnya dengan pertanyaan seperti itu.
“Gua sich maksudnya supaya bisa ngobrol dengan tenang, jauh dari kebisingan. Sambil menikmati pemandangan indah ke sana,” jawab Deni sembari menunjuk ke arah laut lepas yang nampak terang meski gerimis.
Pandangan Shinta mengikuti arah telunjuk Deni. Ia menghela nafas panjang menyaksikan keindahan pemandangan itu. Tanpa terasa ia membayangkan bila keindahan seperti ini benar-benar bisa ia nikmati dengan orang yang dicintainya. Tentunya sungguh membahagiakan. Mendadak roman wajahnya berubah, nampak sekali kesedihan di raut wajah manisnya.
“Lho kok jadi sedih? Apa gua salah ngomong?” tanya Deni ketar-ketir.
“Enggak Don. Gua cuman..,” Shinta tak meneruskan kata-katanya. “Akh sudahlah. Don?” panggilnya sambil menoleh ke arah Deni dengan pandangan sayu, “Kamu sadar khan kalau kita ini masing-masing sudah berkeluarga,” lanjutnya.
Pertanyaan Shinta terdengar oleh Deni bagaikan petir yang menyadarkannya dari suasana ini. Deni langsung terdiam dan pikirannya langsung teringat akan anak dan istrinya yang tengah berlibur di rumah neneknya.
“Loe bener, Na,” jawab Deni perlahan sekali.
“Loe inget mereka ya? Certain dong tentang mereka,” pinta Shinta.
“Ya gua inget mereka,” jawab Deni kemudian menceritakan tentang keluarganya.
“Loe beruntung Don,” komentar Shinta.
“Ya gua beruntung. Nah bagian loe sekarang certain,’ tanya Deni kemudian.
Sebelum menjawab, Shinta kembali menghela nafas berat. Dengan pandangan kosong ke arah laut, ia mulai bercerita bahwa dulu ia dinikahkan oleh orang tuanya tanpa didasari rasa cinta sama sekali. Deni terperangah saat ia menyebutkan bahwa lelaki yang dinikahinya adalah pemilik saham mayoritas perusahaan tempatnya bekerja.
Shinta memang sengaja meminta kepada suaminya agar orang di kantor tidak tahu siapa dia sebenarnya supaya tidak membuat semua orang rikuh dan agar ia bisa lebih professional dalam bekerja.
“Don aku minta supaya kamu tetap bersikap seperti kamu belum tahu siapa aku sebenarnya,” pinta Shinta wanti-wanti. Ia tak ingin sikap Deni yang sudah amat ia sukai berubah karenanya.
Deni menganguk tak pasti karena jauh dalam hatinya ia sedikit ngeri oleh si pemilik saham yang konon sangat berkuasa dalam menentukan apa pun di perusahaan tempatnya bekerja. Bagaimana kalau ia tahu bahwa dirinya kini tengah berduaan dengan istrinya dalam mobil malam-malam begini.
“Kau tak perlu takut ketahuan oleh suamiku. Ia sedang di Amerika sampai bulan depan,” kata Shinta kemudian seolah tahu persis apa yang menjadi pikiran Deni saat itu. “Aku sudah lama ingin meceritakan semua ini kepada orang yang bisa kupercaya.”
Deni agak tersanjung juga oleh ucapan itu. Akhirnya ia mendengarkan semua keluh kesah Shinta sampai ke hal-hal yang paling pribadi sekalipun. Rupanya Shinta memang sudah merasa percaya pada Deni hingga ia tak sungkan lagi menceritakan bagaimana tertekannya hidup dirinya.
Ia ternyata merupakan istri kedua. Awalnya memang kehidupan mereka normal saja, namun seiring dengan berjalannya waktu sehingga umur sang suami pun semakin bertambah tua. Perbedaan umur mereka cukup mencolok bahkan bisa dibilang ia lebih pantas menjadi anak atau bahkan cucunya.
Meski tidak secara gamblang diceritakan, Deni sudah bisa menebak bahwa sang suami sudah tak mampu memberikan nafkah bathin padanya. Terlebih lagi, katanya, sang suami kini lebih sering berada di keluarga istri pertama.
Shinta seringkali ditinggal sendiri di rumah mewahnya, tanpa anak dan hanya ditemani oleh pembantunya. Ia, katanya kemudian, ingin agar suaminya melepaskan saja dirinya.
Shinta tak mampu meneruskan ceritanya lagi. Ia menangis tersedu-sedu. Mendengar tangisnya yang begitu menyayat, Deni dapat merasakan kepedihannya, bathinnya yang amat tertekan selama ini nampaknya baru bisa ditumpahkan sekarang ini. Deni tak tahu mesti berbuat apa melihatnya seperti itu yang semakin lama semakin memilukan saja tangisannya.
Secara naluri ia lalu menarik pundak Shinta dan merengkuhnya dalam pelukan. Tangis Shinta semakin menjadi-jadi ketika Deni menyuruhnya untuk menumpahkan segala kepedihan melalui tangisan untuk melegakan perasaannya. Tanpa terasa tangan Deni ikut mengelus-elus rambutnya dengan lembut dan penuh perasaan.
Sikap Deni yang begitu penuh perhatian membuat Shinta terhanyut perasaannya. Ia lalu mendongakkan wajahnya dan memandang wajah Deni dengan tatapan sayu. Deni balas menatapnya. Lalu ia mengusap air mata yang bercucuran di pipinya. Shinta melenguh tak jelas sambil menyentuh bibir Deni dengan jemarinya yang halus.
“Don..,” lenguhnya perlahan hampir tak terdengar.
Tatapan mata mereka saling bertemu sejenak. Tak ada ucapan yang keluar dari bibir mereka. Semuanya mereka tumpahkan melalui tatapan itu. Lalu entah siapa yang memulai, tahu-tahu kedua wajah mereka saling mendekat dan selanjutnya bibir mereka saling bersentuhan.
Shinta melenguh panjang. Perasaannya seakan melayang jauh entah kemana meninggalkan dunia nyata yang dihadapinya. Awalnya mereka hanya saling menyentuhkan bibir saja. Namun ketika Shinta mulai menciumnya dengan penuh perasaan, Deni tak mampu mengendalikan diri lagi.
Ia balas dengan kehangatan yang sama bahkan menjurus panas. Shinta tak mau kalah dan balik membalasnya. Akhirnya mereka lupa diri akan siapa diri mereka sebenarnya dan nampaknya kalaupun terbersit sejenak kesadarannya, apakah mereka mampu menghentikannya begitu saja?