Rasa untuk Tania Part 3

Rasa untuk Tania Part 3 – Cerita Seri ♦

Tatapan dan air mata Tania terus menghantuiku sejak saat itu. Walau ada segudang alasan yang bisa kubuat supaya aku tidak usah peduli, tapi kenyataannya aku merasa hidupku hancur berantakan. Rasanya bernafas saja susah.

Apa yang sudah aku lakukan? Apa yang telah terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu kuteriakkan dalam hati tiap kali aku mengingatnya.

Tepat setelah kejadian ironis itu selesai, Ghea sempat minta maaf padaku. Awalnya dia cuma terdiam. Kami kembali mengenakan pakaian kami yang tercecer di lantai kamar. Ia sedang mengancingi kemejanya, belum memakai celana, ia menatapku tanpa suara. Aku mengancingi celanaku dan menunggu ia mengeluarkan kata-kata.

“Maaf kak,” ucapnya.

Hatiku semakin retak mendengar permintaan maafnya. Ini bukan salah Ghea. Aku yang memulainya terlebih dulu. Lagipula kalau mau jujur, aku yang bersalah padanya. Aku telah menggunakannya untuk pelampiasan nafsuku dan rasa kesepianku yg kelam. Bukan salah dia kalau akhirnya aku mendapat ganjaran dari perbuatanku sendiri.

“Bukan. Aku yang harusnya minta maaf. Aku khilaf.” jawabku.

Setelah itu ia memelukku. Pelukan yang tanpa nafsu, tapi penuh dengan rasa gelisah. Beberapa menit kemudian aku mengantarnya pulang.

———————

Beberapa hari kemudian di kampus aku sempat bertemu dengan Santi dan geng power rangers yang lain, kecuali Tania. Beda dengan sebelumnya, kali ini Santi tidak terlihat terlalu murung. Kami duduk di kantin untuk makan siang bersama sambil ngobrol-ngobrol.

“Eh Bro, gimana tuh kabar nya si Saras?” tanya Rian pada Galih sambil menyikut lengannya. Saras adalah gebetan Galih yang pernah dia ajak bersama kami ke festival kampus.

“He he he… baik-baik aja kok.” Galih menggaruk-garuk lehernya, kebiasaan dia kalau sedang grogi.

“Tumben tampang lo kaya gitu. Biasanya kalo ngomongin gebetan tampang lo stay cool aja. Pasti ada yg beda nih sama gebetan lo yang satu ini?” Santi ikut-ikutan menyindir sambil melahap bakso di depannya.

“Bisa aja lo semua…., biasa aja kok.”

“Di, lo inget ga? Sewaktu abis nganterin kita pulang dari festival musik di kampus Z waktu itu, si Galih kan jalan terus tuh sama si Saras, kemana coba?” tanya Rian padaku.

“Hmmm… ke mana ya? Diajak ke rumahnya kali?” jawabku ragu-ragu.

Rian menoleh ke arah Galih sambil menggelengkan kepalanya dan berdecak-decak. “Lo bawa ke rumah?”

“Nggak lah!” sanggah Rian.

“Lo tunjukin koleksi bokep original lo ya?” ucap Santi. Galih tertawa terbahak-bahak.

“Sialan lo semua. Udah kaya wartawan infotainment aja dah! Waktu itu gue langsung nganterin dia pulang kok!” Galih membela diri.

Sewaktu kami sedang asyik menggoda Galih, Santi menngangkat panggilan masuk di hp-nya. Aku tidak terlalu jelas mendengar apa yang ia katakan, awalnya wajah Santi terlihat ketus, tapi tak lama kemudian seutas senyum terlihat di bibirnya.

“Woy, guys! Diem dulu sebentar! Coba tenang dulu!” ucap Santi setelah menutup teleponnya.

Kami semua terdiam dan memandangi Santi, penasaran dengan apa yang ingin ia katakan.

Santi memajukan kepalanya dan berbisik. “Guys, temen kita si ranger pink yang udah lama ga muncul katanya mau dateng ke sini… dan mau nraktir kita makan sepuasnya!”

DEG! Jantungku seperti berhenti berdetak. Sementara itu Galih dan Rian bersorak gembira, aku berusaha untuk ikut terlihat senang, padahal tanganku mulai mengeluarkan keringat dingin.

Jantungku berdetak kencang, kakiku terus menerus mengetuk-ngetuk lantai. Seandainya aku bisa melarikan diri dari situasi ini. Mungkin aku bisa pura-pura pergi ke WC, lalu diam-diam pulang? Kalau nanti ada yang bertanya aku bisa bilang kalau aku ada keperluan mendadak.

Sebelum aku sempat melakukan itu, Santi sudah melambaikan tangannya dan tersenyum. Aku menoleh ke arah yang ditunjukkan Santi, lalu aku dapat melihat Tania berjalan ke arah kami dari salah satu sudut kantin. Ia memakai t-shirt ketat dan celana jeans seperti biasa. Namun ada hal yang berbeda dari biasanya. Tania memotong rambutnya. Sekarang rambut lurusnya jadi pendek seleher, memperlihatkan lehernya yang indah, membuat ia tampak lebih seksi.

Ia berjalan semakin mendekat, jantungku semakin cepat berdetak. Kemudian Tania menghampiri Santi dan cipika-cipiki seperti teman lama yang baru bertemu kembali.

“Buset! Potong rambut lo Tan?” goda Santi.

“Iya dong! Pantes ngga rambut baru gue?” ujar Tania sambil membelai rambutnya sendiri. Samar-samar aku dapat mencium wangi parfum Tania. Lebih harum dari biasanya. Saat ia bicara aku juga dapat melihat bibirnya yang dibalut lip gloss seolah tampak basah.

“Kemana aja lu?” sahut Rian.

“Iya, nggak pernah muncul. Pacaran mulu lo ya?” tambah Galih.

“Ada deeeh… Ntar gue jelasin!”

“Payah lo ah. Kasian tuh si Adi, kangen sama lo, daritadi diam terus… Hahahaha” ucap Galih. Tenggorokanku rasanya bagai tercekik mendengar ucapannya. Aku tahu dia cuma bercanda, tapi ucapannya begitu telak membuat aku dan Tania sama-sama terdiam.

“Hahahaha…. boro-boro gue kangen….. kangen band kali!” aku mencoba ikut bercanda, tapi jadi terdengar maksa.

Tania duduk di kursi kosong di sebelah Santi, tepat di hadapanku. Kemudian ia merebut es teh manis Santi dan menyedotnya tanpa meminta izin. Santi protes, dilanjutkan dengan candaan Galih dan Rian yang sangat garing.

Sekilas, pemandangan di hadapanku terasa sangat normal. Rasanya seperti suasana persahabatan kami dulu, suasana yang nyaman dan menentramkan yang sangat kami rindukan. Seandainya saja semua bisa kembali seperti dulu. Tapi aku tahu saat ini ada yang berbeda, setidaknya bagiku dan Tania.

“Jadi begini kawan-kawan…” Tania mulai membuka suara, “gue minta maaf kalau selama ini gue sering ngilang dan jarang ngumpul sama kalian… gue emang sempat ada masalah yang makan perhatian banget. Tapi sekarang…., gue bawa kabar gembira.”

“Kabar gembira apa Tan?” tanya Rian penasaran.

Tania dan Santi senyum-senyum, mereka sudah mengetahui sesuatu. Selama beberapa detik, Tania melirik ke arahku, kemudian kembali membelokkan pandangan.

“Gue…Ehm… Sebentar lagi gue bakal… tunangan.” ucap Tania. Suaranya agak gemetar ketika mengucapkan itu.

Sorak sorai Rian dan Galih terdengar bersahutan, Santi mengacak-acak rambut pendek Tania. Galih mengangkat gelas es tehnya dan mengajak kami semua bersulang, seperti adegan bar di film-film. Tidak perlu dijelaskan lebih lanjut, aku tahu dengan siapa dia akan bertunangan. Sesi wawancara pun dimulai. Galih, Rian dan Santi bergantian menanyai Tania soal rencana pertunangannya itu.

Dengan kaki yang lemas, aku bangkit berdiri, lalu mengulurkan tanganku ke arah Tania. Aku berusaha tersenyum.

“Selamat ya…” ucapku.

Tania menyambut tanganku. Ia berusaha tersenyum, tapi pandangan matanya terus menunduk.

Aku tidak tahan lagi, aku harus segera pergi dari sini.

“Eh guys, sori ya. Gue harus cabut duluan nih. Gue baru inget kalau siang ini gue udah ada janji sama dosen,” ucapku dengan terburu-buru.

“Ah nggak asik lo di!” gerutu Rian.

“Iya… Rugi lo, nggak dapet traktirannya Tania,” ujar Galih.

“Sori, sori banget!” ucapku. Kemudian aku menoleh ke arah Tania.

“Maaf ya, Tan.” ucapku.

Teman-temanku yang lain mungkin berpikir aku meminta maaf karena tidak bisa mengikuti acara perayaannya, tapi aku dan Tania sama-sama tahu, kata maaf itu punya makna yang lain, makna yang lebih dalam dan lebih luas.

“Maaf, gue harus pergi sekarang,” ucapku lagi.

Saat aku membalikkan badan dan berlari keluar dari kantin, tak ada yang menahanku. Tapi sepertinya aku mendengar suara Tania memanggil namaku pelan. Tapi… mungkin itu cuma imajinasiku saja.

Di depan kampus, tanpa sengaja aku bertemu Ghea. Ia sedang di tempat fotokopi, ia melihatku dan melambaikan tangan, seolah tak terjadi apa-apa di antara kami.

“Ghe, ikut yuk!” aku menarik tangannya. Untung ia sudah selesai memfotokopi.

Aku mengajaknya naik motorku, pergi ke sebuah kafe yang letaknya agak jauh dari kampus. Sebenarnya aku tak bermaksud menjadikannya sebagai pelarian, tapi masalahnya cuma dia saja yang mengetahui soal hubunganku dengan Tania, aku tak tahu lagi harus bercerita pada siapa kalau bukan dengan Ghea. Selama di perjalanan, ia memeluk punggungku dengan erat, seperti orang yang sedang berpacaran. Aku dapat merasakan buah dadanya yang menempel di punggungku, tapi pikiranku sedang kacau, jadi aku tak bisa menikmati hal itu.

Di kafe, kami duduk di sebelah pojok. Tak lama kemudian pelayan datang dan kami pun memesan minuman dingin.

“Kenapa Kak?” tanya Ghea sambil membetulkan posisi kaca matanya.

Aku menghembuskan nafas gelisah, kemudian mulai bercerita tentang apa yang terjadi di kantin tadi. Ghea menatapku sambil manyun, kemudian menyedot minuman yang baru saja diletakkan pelayan di meja kami.

“Jadi, Kak Adi masih mengharapkan Tania?” tanya Ghea.

“Nggak…. Nggak tau….” jawabku. Aku memang tidak tahu apa yang sebenarnya kuharapkan.

“Mungkin Kak Adi cuma gelisah karena penasaran. Karena belum pernah ngungkapin perasaan Kakak yang sebenarnya ke dia, kan?” ucapnya lagi.

Aku termenung. Mungkin benar yang diucapkan Ghea. Mungkin perasaanku adalah semacam obsesi.

“Jadi menurut kamu?”

“Kak Adi harus ungkapin dengan jujur apa yang Kak Adi rasain selama ini pada Tania secara langsung, supaya nggak ada beban lagi. Setelah itu….” Ghea menghentikan ucapannya.

“Setelah itu?”

“Setelah itu, lupain dia.”

Aku terhenyak. Melupakan Tania?

“Tapi….” gumamku ragu-ragu.

“Habis mau gimana lagi? Kalian sama-sama udah buat pilihan masing-masing kan? Tania udah punya tunangan… dan Kak Adi…. udah punya saya.”

Aku kembali terkejut dengan ucapan Ghea. Aku mulai bisa menebak. Jangan-jangan apa yang terjadi di antara kami waktu itu dia anggap sebagai tanda bahwa kami….

“Ghe… di antara kita nggak ada apa-apa.” ucapan itu begitu saja keluar dari mulutku.

Genggaman tangan Ghea di gelasnya tiba-tiba saja menjadi sangat erat, tangannya terlihat agak gemetar. Ketika aku melihat wajahnya, aku dapat melihat api yang membara di balik kaca mata itu. Ia sungguh menyeramkan. Sepertinya ia bisa memukulku dengan gelas kaca itu kapanpun ia siap.

“Denger ya Kak…. saya memang bukan perempuan yang sok suci seperti Tania… tapi saya juga bukan pelacur munafik seperti dia yang bisa Kak Adi jadiin sex friend seenaknya tanpa komitmen apa-apa!”

Ghea bangkit dari tempat duduknya dan keluar dari kafe dengan penuh amarah. AKu menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan dan berteriak dalam hati. Aku kira berbicara dengannya bisa membuatku lebih tenang. Aku salah, aku malah semakin terpuruk.

Malam ini saat mulai tidur kepalaku terasa berat. Aku gelisah selama beberapa jam, namun menjelang dini hari akhirnya aku bisa tertidur juga. Aku tidak tahu berapa lama aku tidur, sepertinya sebentar, karena ada sesuatu yang membuatku terbangun.

Ada yang mengusik badanku saat aku sedang tertidur lelap. Sebuah benda berat menindih lenganku. Aku membuka mata dan melihat lampu kamar masih menyala, sepertinya aku tadi lupa mematikannya. Mataku terasa perih, lalu aku mengedip-ngedipkannya sebentar, sampai mataku mulai terbiasa. Lalu saat aku melihat ke sebelah kiri, aku terkejut. Benda berat yang menindih lenganku adalah Tania.

Tania tiduran di sebelahku. Kepalanya ada di dekat pundakku, sementara badannya memeluk erat lengan kiriku. Ia mengenakan kaos putih tipis dan celana pendek longgar, wangi sabun dari tubuhnya bisa kucium dengan cukup jelas.

Kenapa ia bisa ada di sini? Jantungku berdetak kencang. Aku ingat, mungkin aku lupa mengunci pintu kamar ketika akan tidur tadi. Aku kelelahan dan pikiranku kacau, aku sampai tak ingat mengunci pintu.

“Di….,” Ucap Tania agak mendesah. Rupanya ia tidak tidur.
Tania menegadahkan kepalanya, berusaha menatap wajahku. Jarak wajahku dan wajahnya kini hanya beberapa senti.

“Maafin gue, Di…. Gue tau gue yang salah,” ucapnya pelan.
Aku berusaha menenangkan diriku. “Tan… kenapa lo tiba-tiba ke sini?”
Tania menghela nafas, lalu memeluk lenganku dengan lebih erat. Aku dapat merasakan gesekan payudaranya dari luar kaos yang ia kenakan.

“Hmmmm…. gue pengen, Di…”
Aku kaget mendengar kata-katanya. Ucapan Tania berhasil membuat darahku berdesir. Sebelum aku sempat mengucapkan apa-apa, tiba-tiba Tania mencium leherku, lalu tangannya meraba penisku dari luar celana boxer yang aku pakai.

“Tan…. kenapa lo tiba-tiba jadi… ”
“Mmmmmh….. Mmmmhhh…” bibir kami langsung beradu, saling lumat dan saling hisap. Oooh, sungguh aku merindukan bibir ini. Aku merindukan kelembutan bibirnya setelah sekian lama.

Tangan Tania menyelinap ke balik celanaku, lalu ia mengambil batang penisku dan
mengeluarkannya dari celana. Dengan gerakan yang pelan dan lembut ia mulai mengocoknya, sementara itu bibir kami terus berpagutan.

Refleks, tanganku juga menyelinap ke balik kaosnya dan mencari gunung mungil yang sudah lama kurindukan. Aku meremas payudara kiri Tania dan memainkan putingnya. Putingnya sudah keras dan tegang, sangat enak untuk dimainkan menggunakan jari.

Tania bangkit, ia duduk di atas lututku. Lalu ia mengarahkan penisku yang sudah berdiri tegak ke arah selangkangannya yang masih terhalang celana. Pelan-pelan ia menggesek-gesekkan ujung penisku ke selangkangannya.

“Hhhhh…. gue kangen sama kont0l lo, Di…. Mmmhhh…”
Tak lama kemudian ia memerosotkan celananya sendiri beserta celana dalamnya. Terlihatlah vaginanya yang bekas dicukur dan masih tak berubah seperti dulu. Tania menggesek-gesekkan ujung penisku di bibir vaginanya namun tampak berhati-hati.

“Tan…. Ohhh….” aku tak sanggup menahan desahan.
“Uhhh… cuma gesek-gesek aja ya Di…. ini yang terakhir kalinya…” desah Tania.

Mendengar kata-kata itu tiba-tiba saja aku jadi merasa agak kesal. Aku tidak mau. Aku tidak mau cuma sekedar begini. Aku menginginkannya. Aku ingin tahu apakah dia masih perawan atau tidak saat ini. Aku tidak mau kehilangannya.

Tanpa minta izin terlebih dahulu, aku menarik kedua tangan Tania, lalu aku lempar tubuhnya ke atas kasur. Aku menindihnya, kutahan kedua lengannya dan kulebarkan kedua kakinya.
“Aw! Di! Lo mau ngapain?” Tania protes.

“Please, Tania…. Gue mau jadi yang spesial buat lo… gue mau….” ucapku sambil berusaha menahan tangannya yang meronta-ronta.
“Jangan Di… gue udah, gue udah tuna.. nga… aaaaaah!”

Dengan gerakan yang memaksa, kepala penisku masuk ke dalam bibir vagina Tania. Ia masih berusaha melawan, tapi tenagaku lebih kuat dalam menahan gerakan tangan dan kakinya. Kudorong lagi pinggulku ke arah depan, penisku masuk semakin dalam ke lubang vagina Tania.

Oooh… rasanya sungguh luar biasa. Rasanya berbeda dengan lubang vagina Ghea, milik Tania terasa lebih hangat dan lebih lembut. Kuteruskan mendorong penisku, lalu kugunakan sedikit tenaga hingga batang penisku masuk seluruhnya ke vagina Tania.

“Adiiii…! Aghhh! Sakiiiit! Sakit Di….!” Tania menjerit. Gerakan tangannya berubah menjadi lemas, dan sedikit demi sedikit ia berhenti melawan. Tapi ia mulai menangis.
“Tan… jangan nangis… please gue minta maaf,” ucapku.
“Sakiiit…. lo jahat….. ”

Aku melihat ke arah vagina Tania, lalu aku menemukan bekas darah yang membasahi seprei kasurku. Aku terkejut. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan sekarang.
“Lo masih perawan, Tan?” tanyaku terbata-bata.
“Sekarang udah nggak, bego lo! Bego!” Tania memeluk leherku dan berusaha menghentikan tangisannya.

Aku tidak mau menyia-nyiakan ini. Perlahan aku mulai menggenjot vagina Tania, awalnya agak pelan karena aku tidak ingin menyakitinya lebih lanjut. Dinding vagina Tania terasa sempit dan meremas-remas batang penisku. Jadi seperti inilah vagina dari perempuan yang selama ini selalu kurindukan, yang selalu kuinginkan. Luar biasa.

“Aaaaaah…. Aaakhh… Ooouhhh…” Aku terkejut mendengar Tania mulai mendesah. Ternyata ia cepat bisa menikmati ini.
“Udah nggak sakit kan, Tan?” tanyaku sambil mempercepat genjotan.
“Nggak…. ahhh enak… mmhhh….” desah Tania.

“Gue cepetin lagi ya?”
“Uuhh… Iya Kak… yang cepet… terus Kak….”
“Hah? Tan? Sejak kapan lo manggil gue Ka…..”

Tania melepaskan pelukannya, lalu aku dapat melihat wajahnya. Ia bukan Tania! Ia Ghea! Bagaimana mungkin? Tidak masuk akal!

Ghea berbaring di bawahku, kakinya direntangkan lebar, tangan kirinya meremas-remas payudaranya sendiri. Ghea tampak tersenyum, tapi ia terus menggerak-gerakkan pinggulnya supaya aku tidak berhenti menggenjotnya. Ia tersenyum sambil mendesah, lalu perlahan ia mengacungkan jari tengahnya ke depan mataku.

Aku gemetar sekujur tubuh. Dengan sangat cepat, Ghea bangkit dan mendorong tubuhku. Aku jatuh terlentang, lalu kepala Ghea turun hingga ke depan penisku. Ia kemudian menghisap penisku dengan mulutnya. Lalu ia menggigitnya. Ia menggigit penisku! Krauk! Krauk! Aku menjerit sekuat tenaga. Aaaaaaaa!

Lalu aku terbangun di atas tempat tidur. Cuma mimpi? Tidak ada siapa-siapa di sampingku. Tidak ada Ghea, tidak ada Tania. Aku masih sendiri.

Sejak kemarahan Ghea akibat kebodohanku yang tentu saja sangat menyinggungnya, Ghea sangat sulit untuk ditemui. Bahkan, akhirnya kudengar ia transfer studinya ke univ lain. Ah, Ghea..lupakanlah..maafkan aku…

Dan Tania? Sejak ia memergoki aku dan Ghea di dalam kamar, ia pun menghilang… Yang kudengar bahwa ia benar-benar telah melangsungkan tunangan dengan Josh, pria berkacamata yang pernah kupukul saat itu karna cemburu buta..

Tiga bulan berlalu…
Dan selama itu pula aku tidak bertemu dengan Tania. Rindu ini begitu mencabik-cabik pembuluh darah dalam nadiku dan mengakumulasi ke kelenjar otak. Galih dan Rian, teman-teman sekos-ku sampai heran dengan diriku yang tiba-tiba menjadi pemarah dan sensitif.

Aku tahu saat ini pasti Tania sedang ngebut nyelesain skripsinya. Dia pernah bilang dia harus selesai dalam hitungan 2 bulan. Benar-benar gila anak itu otaknya. Aku jadi malu ke diriku sendiri. Dibandingkan dia aku belum melakukan apa-apa dalam hidupku untuk diriku sendiri. Rian, teman kosku jadi heran dengan perubahanku yang begitu tiba-tiba.

Aku jadi lebih sering mengerjakan proposal skirpsiku yang telah sekian lama terbengkelai. Jadi sering ke perpustakaan pusat (hm… siapa tahu Tania ke sana). Sudah beberapa kali aku coba ke kosnya di utara Yogya itu. Tapi mobil Josh yang sering nongkrong di depan kos itu membuatku kecul sendiri. Kamu memang pengecut Adi! Entahlah.

Sampai suatu hari aku pergi ke perpustakaan dan wanita yang duduk tekun di pojok membuat wajahku pias. Tania? Dia duduk sambil memelototi buku the Trial-nya Frans Kafka (Pasti buat referensi skripsinya.) Kacamata bacanya membuat wajahnya menjadi begitu menarik. Sosok kecerdasan yang luar biasa digabung dengan keperempuanan yang menyihirkan.

Kudekati dia dan kusapa.
“Hei!”
“Hey!” jawabnya datar.
“Sedang apa?

“Berenang!” jawabnya seenaknya. Seharusnya aku tahu, aku tak bisa mengganggunya kalau sudah ada buku di tangannya. Biar ada bom meledakpun dia tak akan bergeming. Aku hanya terdiam memandangnya sambil berharap dia akan memandangku, tapi harapanku itu sia-sia. Dia tak bergeming sedikitpun.

Sampai sebuah sosok laki-laki mendekat ke arah kami, Josh! “Hey.. sayang… masih lama?” sapanya hangat. Tania hanya mengangguk dengan senyum yang pasti begitu aneh. Tania segera bangkit. “Yuk Josh pulang… pulang dulu ya Di!” tanpa menunggu jawabanku dia mengeloyor pergi begitu saja.

Aku hanya terbengong dan kelu. Begitu kaku antara aku dan Tania setelah peristiwa lalu.

Kriiing! Weker ayamku membangunkan tidur siangku. Dengan kecepatan kilat yang luar biasa aku mandi dan segera bergegas mengambil ranselku, Sialan, kenapa sih pak Sutoyo dosen pembimbingku bikin janji jam 4 sore gini. Saat membereskan laporan-laporanku si Galih menggedor pintu kamarku.

“Adi… aku berangkat dulu, pulangnya mungkin bulan depan,” pamitnya. Ya ampun baru aku ingat sore ini dia mau ke Sulawesi mau melamar tunangannya.

“Ya… hati-hati… salam buat Tasya!”.

Tak berapa lama kemudian pintuku mulai digedor lagi. Kenapa lagi sih?

“Ngapain bang? Ada yang ketinggalan?”
“Ngg… anu Adi ada tamu!”

Kenapa sih anak itu, ada tamu kok mbingungi. Segera kubuka pintu kamarku. Seolah-olah ada sebongkah besar batu menyekat tenggorokanku dan aku hampir tak bisa dibuat bernapas karenanya. Tania!

Perempuan itu berdiri dengan kostum seperti biasanya, kaos dan jeans belel. Tapi di pundaknya ada ransel yang lumayan besar. Mau ke Merapikah?

“Hey… boleh nginap di sini?” tanyanya cuek dan tanpa menunggu jawabanku dia langsung masuk kamar.

Ah anak itu memang penuh dengan kejutan. Datang, pergi dan kembali tanpa memikirkan perasaanku padanya yang begitu tersiksa.

Seperti orang linglung aku bahkan tak sempat mengenalkan Galih yang terburu-buru pergi.

“Teman kos mudik semua.. Josh pergi ke Kalimantan. Ada riset di Kalcoal. Males di kos. Sepi!” seolah-olah tahu keherananku dia merebahkan tubuhnya ke kasur yang tergeletak begitu saja di lantai. Anak tunggal pasangan dokter bedah ternama di kota ini memang paling takut sendiri di kosnya yang super besar itu.

“Sampai kapan?” tanyaku sekenanya.

“Tahu! Mungkin sebulan. Kalo teman2 sih lima minggu. Kamu kalo mau pergi, pergi aja aku ngantuk!” dia lalu membalikkan tubuhnya . Kalau tidak ingat dosenku itu sangat susah ditemui, pasti kubatalkan kepergianku.

Sepanjang pertemuanku dengan pak Sutoyo, tidak sedetikpun konsentrasiku ke proposal yang aku bikin. Sialnya dosenku itu justru malah kuliah panjang lebar tentang teoriku yang salah. Saat sesi itu selesai, baru kusadar telah tiga jam aku meninggalkan Tania di rumah kontrakkanku.

Bagaikan kesetanan aku memacu motor tuaku ke rumah kontrakkanku di daerah Mbesi sambil tak lupa menyempatkan di warung langggananku untuk 2 botol besar Coke dan seplastik es batu (minuman kesukaan Tania).

Hm.. mengapa rumahku gelap? Pasti si Tania ketiduran. Kubuka gerendel, aku terkejut beberapa lilin menerangi kamar tamuku. Mati listrikkah? Sayup-sayup kudengar kaset Michael Frank dari kamarku. Lalu dengan pelan takut menganggu tidur perempuan itu kubuka kamarku. Dan pemandangan di kamarku membuat kedua mataku hampir keluar dari tempatnya karena ketakjubanku.

Beberapa lilin yang mengapung di tembikar yang penuh dengan kemboja nampak menghiasi beberapa sudut ruangan. Spreiku telah diganti menjadi biru tua polos dan bertaburan melati dan bau dupa eksotis membuat kamarku demikian cozy. Beginikah honeymoon suite room?

Tania dengan rok terusan selutut bertali dan sersiluet A tersenyum menyambutku. Kain rok itu begitu tipis dan ringan, warna putihnya mengingatkan aku pada turis-turis yang sering memakainya di Malioboro.

Tampak kedua dadanya penuh dan kedua puncak hitamnya yang menonjol menyadarkanku bahwa dia tidak memakai bra hitam kesukaannya. Setangkai kamboja menyelip di telinganya. Ah… pantas bule-bule itu menyukai perempuan negeri ini. Ada satu karakter yang kuat memancar dengan dahsyatnya. Saat lagu “Lady wants to Know” mengalun, Tania memegang tanganku. “Shall we dance?”.

Kuletakkan semua bawaanku begitu saja dan dengan ketakjuban yang masih menyelimuti perasaanku kusambut tangannya, kupeluk dia dengan kerinduan yang tak kunjung usai.

Harum parfum Opiumnya Yves Saint Laurent semakin meempererat pelukanku. Sesekali kucium tangannya yang kugemnggam sangat erat. Kamipun terus berpelukan hingga satu lagu itu usai. Saat lagu kedua mulai, tiba-tiba perempuan itu menegakkan kepalanya yang tadinya rebah di dadaku.

“Sebelum kuserahkan tubuh ini kepada orang lain….
Bercintalah denganku?
Setubuhi aku dengan jiwamu…
Bawalah aku ke dalam darahmu
Biarlah aku terus menjadi hantu yang selalu menghuni satu sudut ruang hatimu…” bisiknya lembut.

Kata-kata itu bagaikan sihir yang membutakan seluruh sendi kesadaranku. Aku masih ingat Tania selalu menjaga keperawanan-nya selama kami berhubungan.

Tanpa terasa, tanganku turun dan dengan perlahan kusentuh dengan lembut kedua dadanya. Bibirnya yang penuh kukecup dengan penuh kasih lalu segera kulumat dan kuteruskan dengan penjelajahan ke lehernya dengan kecupan-kecupan hangat. Gigitan-gigitan kecil di dadanya terkadang membuatnya tersengat.

Kain di dadanya segera basah oleh ciumanku dan kedua puncak hitamnya tegak berdiri di balik samar warna putih. Dengan kepasrahan yang penuh, perempuan itu kugendong ke ranjangku. Kubuka dengan perlahan bajuku dan dalam hitunga detik kami telah ada dalam kepolosan yang purba.”Please… explore me!” rintihnya saat kujilati bibir kewanitaannya.

Entah mengapa aku begitu kreatif saat itu. Segera kuambil ikat pinggangku dan kuikat kedua tangannya kebelekang lalu dia kududukkan sambil kututup mataku dengan syal batik ibuku yang selalu kubawa. Oh Tuhan (masih pantaskah aku menyebutNya?) betapa menggairahkan pemandangan di dekapanku. Kuambil bongkahan es batu dalam plastik dan kubanting ke lantai. Gubraaaak!

“Suara apa itu?” pekiknya kaget. Pertanyaan itu tidak kujawab dengan jawaban tetapi dengan ciuman liar dan hangat di bibirnya. Tanganku memegang sebongkah es batu dan kutelusuri seluruh tubuhnya dengan es itu dengan gerakan bagai lidah di tempat-tempat sensitifnya.

“Arrgh.. ah… ugh.. ugh!” dia menggelinjang dengan hebatnya karena sensasi itu. Saat kupermainkan bongkahan es di puncak hitamnya yang sangat kaku mengeras dia mengaduh “Uuuh… hisap… please!” rintihnya. Lalu kuhisap ke dua puncak itu sambil kugigit-gigit kecil. Gelinjangnya semakin liar. Lalu es itu kujelajahkan di atas kewanitaannya.

Tanpa dapat dibendung lagi dia mengerang hebat dengan erangan yang tak pernah kudengar (ah mungkin waktu itu tempatnya tidak sebebas di kontrakkanku).

“Arrgh.. uh.. oh… yessss… oh… ah.. great… baby…” saat es yg semakin kecil itu kumasukkan ke dalam kewanitaannya dan kumainkan bagai lidahku dia mengerang dan memohon untuk kusetubuhi dengan kelelelakianku.

“Please Adi… setubuhi aku.. ayo…. ah….” tapi aku tidak melakukannya, justru aku segera melumat kewanitaannya dengan lidahku. Karena kedua tangannya masih terikat dia tidak bisa memegang kepalaku untuk dibenamkannya ke kewanitaannya dan dia menggunakan kedua kakinya untuk menjepit tubuhku. Erangannya makin hebat saat kuhisap cairan di kewanitaannya, kujulurkan lidahku makin dalam… dan dalam…

“Aaaaaaaaargh!… argh….oh yesssssssssssssssss!” Kuhisap, kulumat dengan keliaran yang tak terkendali. Persetan dengan yang mendengar saat kudengar bunyi pintu terbuka. Itu pasti Rian. Benar, mungkin karena sungkan, dia segera masuk ke kamarnya. Erangan perempuan itu, semakin keras saat kutanamkan dalam-dalam kelelakianku ke lubang kewanitaannya.

“Oh yesssssssss!… arghhhhhh!” dia tak bisa bebas meronta, hanya panggulnya yang diangkatnya tinggi-tinggi untuk dibenamkan semakin dalam.

Saat kubuka matanya dan talinya dia segera mendorongku hingga aku terjembab dan dicabutnya kewanitannya. Dia lalu jongkok di atas wajahku dengan posisi terbalik. Lalu dengan liar dihisapnya kelelakianku. Dikulumnya dalam-dalam, di saat yang bersamaan akupun bisa memainkan lidahku di kewanitannya.

“Ahh.. uh… ah…” begitu nikmat luar biasa, Kulumannya semakin liar di kelelakianku sambil sesekali digigit kecil pangkalnya. Kedua bukit indahnya yang menggantung segera kuremas dan kupilin keras.

“Auw….” Jerit kecilnya saat aku memilin putingnya terlalu keras.

Tania semakin hebat mengulum kelelakianku sambil menggoyangkan kewanitaannya agar lidahku bisa masuk lebih dalam. Lalu dengan waktu yang bersamaan kami mencapai sensasi erangan yang memekakkan.

“Aaargh… oh YESSSSSSSSS!” lava yang begitu deras keluar dari kelelakianku, segera direguknya cairan itu. Oh indah luar biasa… Tuhan.. aku begitu mencintainya. Dan malam itu kami terus bercinta hingga pagi menjelang.

Sudah hampir 2 minggu ini Tania tinggal bersamaku. Selama itu pula erangan-erangan dan lenguhan-lenguhan kami telah menjadi sesuatu yang biasa di kontrakkanku. Setiap hari kami bercinta, terkadang pagi, siang dan setiap malam.

Hampir seluruh sudut rumah ini telah sempat menjadi ‘ranjang’ kami (tentunya saat Rian pergi). Rian sudah terbiasa mendengar teriakan-teriakan kepuasan dari kamarku, bahkan kami terkadang berciuman dengan seenaknya di depannya.

Rianpun hanya menggerutu, “Huh… jadi kambing congek nih…” Lalu kamipun hanya tertawa melihat ekspresi sahabatku itu. Lalu dengan sekali pandang kami segera masuk kamar.

Biasanya Tania masih sempat menggoda Rian dengan kenakalannya.
“Hey… jangan pengin lho?”

“Huh cah edan!” sahabatku itu begitu pengertian sambil tetap bersungut dia masuk kamar sambil meneruskan gerutuannya:
“Tereaknya jangan kenceng-kenceng!” lalu erangan-erangan hasratpun kembali menguak di antara keringat-keringat kami. Hari-haripun berlalu demikian indahnya.

Hingga suatu siang, saat aku pulang dari kampus aku begitu terkejut saat melihatnya berkemas.
“mau ke mana Tan…?”
“Pulang,” Jawabnya pendek.
“Teman-teman udah balik?” dia hanya menggeleng.
“Besok Josh pulang!”

Pyaaaar! Tiba-tiba kepalaku pening. Ada kemarahan yang tiba-tiba meyerang. Tidak, aku tidak marah kepadanya, aku hanya marah dengan situasi ini.

“Tinggallah bersamaku,” pintaku. Kurasakan ada nada putus asa di dalamnya. Perempuan itu menggelengkan kepala.
“Tidak. Josh akan marah kalau ke rumah aku nggak ada”.

Josh, lagi-lagi Josh! Kenapa nama itu tidak hilang dari hatinya. Tidak puaskah dia dengan cintaku? Keputusasaanku akhirnya terakumulasi dengan kemarahanku. Kutarik tubuhnya ke pelukanku, kudekap tubuhnya kuat-kuat. Diapun mengejang dengan pandangan bingung. Tiba-tiba kudengar suaraku meninggi.

“Tidak! Kau harus tinggal!” melihat perempuan itu tetap menggeleng aku semakin tak terkendali. Yang ada di kepalaku cuma satu, dia harus jadi milikku, selamanya!

Dan keluarlah kalimatku yang kusesali hingga saat ini: “Jadi, kuanggap aku gigolomu. Harusnya kamu bayar aku mahal, Tan!”

Plaak! Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Kulihat kemarahan luar biasa di matanya. Badannya bergetar dengan hebat. Aku semakin kalap segera kugumul dan kutindih dia dengan tubuhku. Dia meronta dan akupun semakin marah. Segera kubuka celanaku dan kupelorotkan celana pendeknya sekaligus celana dalamnya.

Lalu dengan kasar kusetubuhi perempuan kecintaanku itu dengan ganas. Tania berteriak kesakitan karena secara alami tubuhnya menolak. Tapi aku tidak peduli dan dengan sengaja kumasukkan dalam-dalam lava kelelakianku (selama ini aku tidak pernah memasukkan ke dalam kecuali dengan karet pengaman). Aku ingin dia hamil. Hanya itu satu-satunya cara untuk memilikinya.

“Oh..jangan…” Teriakannya semakin membulatkan niatku. Setelah semuanya selesai, baru kusadari ada buliran air mengalir dengan deras dari kedua mata indahnya. Ya… Tuhan Apa yang telah kuperbuat terhadap perempuan yang sangat kucintai dalam hidupku ini?

Tanpa berkata sepatah pun dia segera memberesi tubuhnya dan sambil membawa bawaannya dia pergi tanpa menoleh sedikitpun kepadaku. Siang itu di tengah guyuran hujan yang turun dengan tiba-tiba, menjadi saat terakhir aku melihatnya. Aku begitu sakit ….

Aku berusaha puluhan kali menemuinya ke kos-nya, tapi hanya pembantu kosnya yang keluar dan bilang nonanya pergi atau seribu alasan lainnya. Tania… aku hanya minta maaf.

Di hari wisudanya pun ternyata dia tidak datang. Aku semakin tenggelam dalam rasa bersalahku. Hingga suatu siang ada suara mengetuk. Tania kah? Begitu kubuka ternyata Josh. Belum sempat aku bertanya sebuah pukulan mendarat di mukaku. Josh hanya berkata lirih sambil melemparkan sepucuk surat, “ANJING! Kamu hampir memilikinya, tapi kamu sendiri yang merusaknya”. Sambil menahan perih kubaca surat itu. Surat Tania!

“Josh-ku sayang…
Maafkan aku. Saat kau baca surat ini aku sudah di Paris, kebetulan om Jon nawarin aku tinggal di sana. Jadi sekalian aku ambil sekolah film sekalian. Maafkan aku tak sempat bilang padamu tentang keputusanku ini. Josh, tadinya kamu adalah satu-satunya lelaki yang ingin kuberikan seluruh hidupku. Aku menjadi sangat terluka saat kamu tidak menginginkan anak dariku. Meski kamu akhirnya mau menikah denganku….

Tetapi ternyata semuanya menjadi lain saat aku bertemu Adi (Ah alangkah senangnya jika ada satu sosok gabungan antar dirimu dan Adi). Aku juga menginginkan hidup bersamanya. Dan itu tidak adil bukan? Aku merasa mengkhianatimu saat bersamanya dan mengkhianatinya saat bersamamu. Saat kamu pergi ke Kalimantan aku pikir itu saat yang tepat untuk menguji perasaanku kepadamu dan kepadanya. Hidup bersamanya begitu rileks aku sungguh menikmatinya. Hampir saja kuputuskan untuk hidup bersamanya.

Tapi ternyata rasa cintanya begitu ‘menyesak’kan ruangku. Akupun tidak bisa hidup dengan cara itu. Josh, aku harap kamu mengerti dengan pilihanku ini. Aku mencintaimu, selamanya aku mencintaimu. Jika kamu sempat bertemu Adi, tolong katakan bahwa aku hanya menyesal dia tidak bisa merasakan perasaanku kepadanya… just take care of yourself. Tania.”

Aku hanya termangu.

Catatan: Dua tahun kemudian, Rian pernah melihatnya di bandara Changi. Tania bersama seorang anak perempuan usianya sekitar hampir 2 tahunan. Mereka sendirian sambil menunggu pesawat ke Paris. Aku begitu gemetar mendengarnya. Aku tidak berani memikirkan segala kemungkinan…

TAMAT