Rumah Tua
Ada seorang wanita yang menghuni rumah kosong di ujung desa; itu sudah menjadi rahasia umum. Jali sudah diperingatkan oleh ibunya agar menjauh dari sana.
“Kenapa?” tanyanya suatu kali.
Ibunya lebih suka mengelak daripada bercerita, “Di situ bukan tempat yang baik.” hanya itu yang dikatakannya.
Desa itu berbatasan langsung dengan laut, dengan sisi utara berakhir di ujung bukit, di bawah sebuah pohon beringin tua. Terdapat pagar kayu setinggi dada orang dewasa untuk memisahkan desa dengan rumah kosong itu. Sebagai anak yang penurut, Jali tidak pernah berusaha untuk menyelinap keluar. Dia cuma memandangi saja dari celah-celah pagar, mengagumi dari jauh bangunan tua yang sudah nyaris ambruk itu.
“Apa yang kau lihat?” sapa suara merdu di belakangnya.
Jali menoleh. Irana Lestari, istri pak RT, berdiri tak jauh darinya. Wanita itu tampak cantik dengan kaos putih dan rok pendek bermotif bunga yang dikenakannya.
“Cuma melihat rumah itu, cantik ya, mbak?” jawabnya polos.
“Tempat itu angker.” Irana menepis debu yang menempel di kaosnya yang tipis. “Kau tahu?”
“Tidak juga.” Jali menggeleng.
Wanita itu berjalan mendekat dan berdiri disebelah Jali, aroma tubuhnya yang wangi langsung membuat bocah kecil itu mabuk.
“Menurut cerita, rumah itu dikutuk. Hanya penjahat dan orang-orang putus asa yang tinggal disana.”
“Jadi wanita yang tinggal disitu adalah seorang penjahat?”
Irana memicingkan salah satu matanya yang bulat. “Hmm, tidak juga. Maksudku bukan begitu. Kau bisa saja dituduh sebagai penjahat hanya gara-gara mencuri sebiji tomat di pasar.”
“Maksud mbak, wanita itu tidak berbahaya?” tanya Jali.
“Bukan begitu juga. Orang baik akan berubah jadi jahat kalau tinggal di dalam rumah itu.” wanita itu mengalihkan pandangan, tidak mau memandang rumah itu lama-lama. “Pokoknya, kamu jangan sekali-sekali pergi kesana, mengerti?”
Jali tidak menjawab, penjelasan Irana barusan malah membuat bocah kecil itu makin penasaran. Usianya hampir enam belas tahun sekarang, selain itu, dia tidak bodoh. Jali tidak gampang untuk ditakut-takuti. Irana yang mengetahui keteguhan hati bocah itu, mencoba merayu dengan cara lain.
“Berjanjilah pada mbak, kamu tidak akan pergi kesana, nanti kuberi hadiah.”
“Hadiah apa?” Jali bertanya.
Irana memberikan bibirnya, “Kamu boleh mencium mbak sampai puas.” kata wanita itu.
Jali tertawa. “Nggak ah, mbak pasti bercanda.”
“Eh beneran, aku serius.” Dan sebagai tanda keseriusannya, Irana langsung menyambar dan mencium bibir tebal Jali, membuat bocah kurus kering itu terdiam tiba-tiba.
Jali mengusap-usap bibirnya saat istri pak RT itu melepas ciumannya. “Mbak beneran?” dia masih bisa merasakan kehangatan dan kelembutan bibir Irana yang barusan menempel di mulutnya.
“He-eh.” Irana mengangguk.
“Kenapa?”
Wanita itu mengelus rambut ikal Jali. “Ini tugas dari pak RT, aku harus mencegah kalau ada penduduk yang mau mendekati rumah itu. Dengan segala cara!”
“Sudah berapa orang yang mbak cium?”
“Baru kamu. Tidak ada orang yang mau buang-buang waktu untuk datang kemari, kebanyakan sudah takut duluan begitu mendengar ceritanya.”
Jali memandang rumah itu. Di matanya, bangunan tua itu tidak kelihatan seram sama sekali, malah kelihatan begitu menggoda. Jali ingin menjelajahi dan melihat bagian dalamnya. Tapi tawaran dari mbak Ira juga begitu menggoda, sangat tidak mungkin untuk dilewatkan, mustahil untuk menolak ciuman dari orang secantik Irana. Jali jadi bingung.
“Bagaimana?” Irana bertanya.
Jali memandang wanita itu sekali lagi. Wanita itu sungguh cantik memesona, dengan tubuh langsing memikat yang memesona. Payudaranya besar, sangat tidak cocok dengan tubuhnya yang kurus. Begitu juga dengan bokong dan pinggulnya, begitu bulat dan indah. Semua itu makin sempurna dengan kulit putih mulus yang membalut menutupi seluruh tubuhnya. Jali menelan ludah, membayangkannya saja sudah membuat bocah itu bergairah.
“Tapi rasanya kurang kalau hanya sebuah ciuman.” Jali mencoba menaikkan tawaran.
“Jadi apa yang kamu inginkan?”
Jali mendekat dan berbisik ditelinga wanita itu. “Tubuhmu.”
Irana mendelik. “Nakal kamu ya,” tapi kemudian dia tersenyum. “Ternyata nafsumu lebih tua dari umurmu.” Dan wanita itu tergelak.
Jali yang sudah tak sabar, segera mencopoti seluruh pakaiannya. Dengan tubuh telanjang, dia mengikuti Irana yang sekarang duduk di bawah pohon beringin tua.
“Hmm, besar juga punyamu.” Puji wanita itu saat Jali memberikan penisnya.
Bocah itu tersenyum bangga. Irana bukan orang pertama yang bilang seperti itu. Penis Jali memang besar, jauh di atas rata-rata anak seusianya. Benda itu sudah kelihatan matang dan padat di usianya yang baru beranjak dewasa.
“Kamu sudah sering ‘main’ ya?” tebak Irana sambil mengelus-elus benda hitam itu dengan sayang.
“Kok tahu?”
“Ya tahulah, mbak kan juga sering main.” Irana tertawa. “Kamu apakan kok bisa gede seperti ini?” wanita itu bertanya.
“Gak tak apa-apain, tahu-tahu sudah besar seperti ini.”
“Apa bisa jadi lebih besar lagi?”
“Mbak coba aja.” Tantang Jali.
Berlutut di depan bocah itu, Irana mulai melakukan pijatan-pijatan lembut yang membuai. Wanita itu mengusap dan mengelus-elus penis Jali dengan sayang. Irana mengurut mulai dari ujungnya yang runcing hingga kantung telurnya yang menggelambir. Jali mendesis lirih ketika Irana menjulurkan lidahnya dan mulai menjilati benda itu.
“Ough, mbak!” tubuh bocah itu bergetar karena keenakan.
Beberapa jilatan kemudian, Irana membuka mulutnya lebar-lebar dan melahap Penis Jali seluruhnya. “Hmmmp,” hampir saja wanita itu tersedak saat merasakan benda itu berdenyut keras dalam mulutnya, ukurannya juga menjadi sedikit lebih besar. Irana jadi kesulitan. Betapapun dia berusaha, tetap saja benda itu jadi menyulitkan. Sekarang cuma ujungnya saja yang masuk, kalaupun dipaksa, cuma bisa mentok sampai setengahnya saja. Benda itu terlalu besar untuk ukuran mulut Irana yang kecil. Tak lama, wanita itupun menyerah. Irana menarik penis Jali, dan sekarang, dia cuma mencium dan menjilatinya saja, tanpa berusaha untuk mengulum atau menghisapnya lagi.
“Gak muat ya, mbak?” Jali bertanya.
“Iya, gede banget. Mulut mbak sampai capek.”
“Punya mbak juga gede.” Jali menunjuk payudara Irana yang masih tertutup kaos putih tipis. Benda itu sekarang tampak makin menggoda dengan tonjolan putingnya yang menerawang keluar. “Boleh pegang?” Jali bertanya.
“Silahkan saja.” Irana mengangguk.
Sambil menelan ludah, Jali mengulurkan tangan untuk menyingkap kaos Irana ke atas. BH merah tipis yang masih menutupi, ia tarik hingga putus.
“Eh, jangan kasar-kasar,” Irana protes.
Tapi Jali tampaknya tidak peduli. Ia sekarang asik memandangi payudara Irana yang sudah terbuka. Bocah itu tertegun menatap betapa tonjolan besar buah dada wanita itu begitu indah dan menggoda. Benda itu begitu bulat dan padat, dengan ukuran di atas rata-rata. Putingnya yang kecoklatan tampak kontras dengan kulit payudaranya yang putih mulus. Membuat Jail jadi makin bergairah.
“Cuma mau dipandangi saja nih?” Tanya Irana menggoda. Dia mendorong buah dadanya ke depan dan menggoyang-goyangkannya di depan bocah itu.
“Eh, iya.. iya.” Jali tersadar. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia segera menyambar benda itu.
Awalnya, Jali cuma meraba dan mengusap-usap pelan. Tapi saat merasakan betapa benda itu begitu hangat dan kenyal, bocah itu jadi ketagihan. Tanpa bisa dicegah, Jali meremas dan memijit-mijit benda itu dengan keras. Tentu saja itu membuat Irana jadi melenguh kesakitan.
“Auw, jangan keras-ker…” kata-kata Irana terputus karena tiba-tiba saja Jali menunduk dan menyambar bibir tipisnya. Wanita itu tidak bisa menolak saat Jali melumat dan mencucup mulutnya dengan penuh nafsu.
“Hmmph,” Irana melenguh saat lidah tumpul Jali masuk dan membelit lidahnya. Sambil mencium, bocah itu juga masih terus meremas-remas payudara Irana yang sekarang makin kelihatan tegak mengacung, terutama putingnya, benda mungil kecoklatan itu sekarang jadi makin menonjol, membuat Jali makin betah untuk tidak beranjak darinya.
“Aaaahhh,” Irana memijit-mijit penis Jali sebagai pelampiasan. Dia juga tidak menolak ketika bocah itu menyingkap roknya dan menarik celana dalamnya ke bawah.
“Tiduran, mbak.” Bisik Jali sambil mengusap-usap kemaluan Irana yang bersih tak berambut.
Sekali lagi, tanpa banyak bicara, Irana langsung berbaring. Ia menggunakan baju Jali sebagai alas. Wanita itu membuka kakinya lebar-lebar saat melihat Jali yang berlutut diantara kedua kakinya. “Auwww,” dia menjerit saat Jali mulai menunduk dan menjilati kemaluannya. Bocah itu menyerang klitoris Irana dengan jilatan dan hisapannya yang panjang dan dalam. Irana jadi mendesis dan menjerit-jerit karenanya. Setelah dirasa cukup basah, barulah Jali berhenti.
“Masukin sekarang ya, mbak?” Tanya Jali sambil memposisikan penisnya dibibir vagina Irana. Wanita itu cuma bisa mengangguk sebagai jawabannya.
Dengan perlahan Jali mendorong hingga penisnya masuk dan tertelan seluruhnya. Ternyata cukup mudah. Rupanya vagina Irana sudah begitu lebar hingga benda itu bisa menampung penis Jali yang berukuran super besar. Tapi meski begitu, benda itu masih bisa mencengkeram penis Jali dengan kuat hingga membuat bocah 17 tahun itu melenguh keenakan. Setelah mendiamkan penisnya selama beberapa detik, Jali pun mulai menggoyang. Ia menggenjot pinggulnya dengan perlahan, membuat penisnya yang besar itu menggesek dinding kemaluan Irana dengan tidak terlalu cepat.
“Oohhh, goyang lebih kuat, lebih cepat, please!” Irana merintih. Dia begitu menyukai rasa penis Jali, benda itu seakan menyesaki dan memenuhi seluruh rahimnya. Penis Jali bisa menyentuh dan menjelajahi bagian-bagian yang selama ini tidak bisa dijangkau oleh penis-penis yang lain, penis-penis yang lebih mungil.
Jali tersenyum melihat wajah Irana yang memohon. Sambil meremasi buah dada wanita itu, Jali menambah genjotannya. Tapi tetap saja dengan tidak terlalu cepat dan terburu-buru. Bocah itu sengaja mengatur tempo. Dia tidak ingin kenikmatan ini berlalu begitu cepat. Jali ingin menikmati tubuh montok Irana selama mungkin.
“Ayo, jangan main-main lagi. Goyang lebih cepat.” Pinta wanita itu.
Jali mengangguk. Dia sudah mulai capek sekarang. Dan lagi, dia merasa penisnya sudah mulai senut-senut. Benda itu sudah ingin meludah membuang isinya. Inilah saatnya dimana Jali akan benar-benar ‘menghajar’ tubuh Irana. Sambil berpegangan pada pinggul wanita itu, Jali menusukkan penisnya keras-keras, lalu menariknya lagi dengan cepat, tusuk lagi, tarik lagi, tusuk lagi, tarik lagi, tusuk, tarik, begitu terus berulang-ulang dengan kekuatan dan kecepatan yang maksimal.
Irana langsung terpekik dan menjerit-jerit keenakan. “Ouggh, ya. Begitu. Terus, lebih cepat. Ouugggh! “ Wanita itu merintih dan mengerang. Beberapa kali sumpah serapah juga keluar dari mulut mungilnya saat Jali mendorong kencang hingga penis bocah itu menabrak pangkal vaginanya.
Daun-daun beringin yang berguguran di sekitar mereka makin menambah romantis suasana persetubuhan itu. Dua ekor burung pipit yang sedang kasmaran, hinggap tak jauh dari tempat mereka. Tapi dua burung kecil itu langsung terbang menjauh saat tiba-tiba saja Irana menjerit dan melolong panjang.
“Aarrgghhhh… aarrgghhhh…” Tubuh wanita itu bergetar. Badannya melenting kebelakang dengan mata terpejam. Keringat membanjir di seluruh tubuhnya. Dia orgasme.
Jali memeluk tubuh wanita itu. Dia segera mencium bibir Irana agar wanita itu tidak berteriak-teriak lagi. Bahaya kalau sampai ada yang mendengar. Dibawah, dirasakannya ada menyemprot-nyemprot penisnya. Cairan itu keluar begitu banyak hingga membuat kemaluan Irana menjadi sangat basah. Jali merasa seakan-seakan penisnya terbenam di dalam bubur hangat yang lembek. Benar-benar nikmat rasanya.
“Uh, aku keluar.” Bisik Irana dengan nafas ngos-ngosan.
“Iya, mbak, aku tahu.” Jali mencium pipi wanita itu dan membiarkannya untuk beristirahat sejenak.
Setelah Irana terdiam dan nafasnya mulai teratur, Jali kembali menggenjot tubuhnya. Kali ini langsung cepat dan keras. Irana yang sebenarnya sudah capek, mau tak mau jadi merintih dan mendesis-desis lagi. Penis Jali yang besar, keluar masuk di dalam vaginanya dengan lancar. Tidak butuh waktu lama bagi wanita itu untuk menggapai orgasmenya yang kedua. Tapi tepat saat dia mau menjerit, Jali sudah mendahului.
“Arrggghhhh,” bocah kecil itu menggeram dan menembakkan ‘amunisi’nya berkali-kali. Dia menekan penisnya kuat-kuat untuk menyemprot dan mengisi rahim Irana dengan spermanya yang kental.
“Aahhh.. aahhh..” Irana ikut merintih. Kemaluannya terasa begitu penuh. Apalagi tak lama kemudian, dia juga orgasme untuk yang kedua kalinya.
Lengkaplah sudah. Cairan cinta mereka bertemu dan bercampur menjadi satu. Jumlahnya begitu banyak hingga ketika Jali menarik penisnya, sebagian ada yang ikut merembes keluar. Irana menampung cairan itu dengan tangannya untuk kemudian dia usapkan ke kedua buah dadanya yang besar.
“Resep rahasia dari ibuku untuk mengencangkan payudara.” Jelasnya.
Jali mengangguk mengerti. Dia ikut membantu dengan mengoles-oleskan penisnya yang masih basah ke payudara wanita itu. Saat buah dadanya sudah mengkilap, Irana menggenggam benda hitam besar itu dan menimang-nimangnya dengan sayang. “Sini, kubersihkan.” Katanya. Irana kemudian menghisap dan menjilati penis itu.
“Apakah aku bisa merasakan tubuh mbak lagi.” Tanya Jali.
“Kamu suka dengan tubuhku?” Irana balik bertanya.
Jali mengangguk dan mengusap-usap tubuh Irana sebagai jawabannya.
“Kalau kau berjanji untuk tidak pergi ke rumah itu, kamu bisa merasakan tubuhku kapan saja.”
“Beneran?” Jali tak percaya.
Irana mengangguk. “Sebaiknya kita pergi sekarang. Mbak harus memasak, sebentar lagi bang Tobi pulang.”
Bang Tobi adalah suami mbak Irana, seorang pria hitam kekar yang juga menjadi ketua RT di kampung.
“Iya, mbak. Saya juga harus les. Bakal telat ini kayaknya.” Jali memunguti pakaiannya dan mengenakannya dengan cepat. Disampingnya, Irana sudah selesai memakai rok dan kaosnya. Sebelum berpisah, Jali memeluk tubuh wanita itu sekali lagi. Dia mencium bibir tipis Irana dan meremas-remas payudaranya yang besar dengan penuh nafsu.
“Hush, sudah-sudah. Nanti kamu telat lho.” Irana mendorong tubuh Jali ke belakang. “Kita lanjutkan kapan-kapan lagi, ok?”
Jali mengangguk, dan merekapun berpisah. Matahari sudah sedikit condong ke barat ketika Jali tiba di rumah Bu Yulia, guru lesnya.
*******************
“Kau terlambat.” Kata wanita cantik itu.
“Iya, bu. Maaf.”
“Huh,” Bu Yulia mendecakkan lidah.
Hari ini wanita itu mengenakan blouse ketat berwarna jingga dengan dua kancing yang terbuka di bagian atas. Payudaranya yang besar terlihat sedikit mengintip saat dia membungkuk ataupun menunduk. Jali segera duduk di kursi yang biasanya. Dia menyangka akan menerima hukuman sebagai balasan atas keterlambatannya, tapi bu Yulia malah berkata,
“Kurasa sebaiknya kita isi hari ini dengan praktek langsung. Bagaimanapun, ujian akhir sudah semakin dekat.”
“Benarkah?” Tanya Jali.
“Kurasa begitu. Sekarang, bagaimana dengan pelajaran Matematikamu?”
Jali berharap dia tidak mendapat pertanyaan itu. Minggu kemarin, Bu Yulia mengajari tentang Akar Bilangan dan Persamaan, dan Jali tidak begitu mengerti.
“Hmm, baik-baik saja.” Dia berusaha mengelak.
“Kalau begitu, majulah kesini dan selesaikan soal di papan.”
Jantung Jali langsung mencelos. Soal itu cuma dua, tapi melihat susunan angkanya saja sudah membuat kepalanya pusing. Jali menarik nafas dalam-dalam untuk mulai mengerjakannya. Tapi baru satu baris, dia sudah berhenti.
“Kenapa?” tanya bu Yulia.
“Saya tidak bisa.” Jali menunduk malu.
Bu Yulia tidak terkesan. “Coba lagi. Bukan laki-laki namanya kalau gampang menyerah.”
Jali memicingkan mata dan mencoba menghadapi soal-soal itu sekali lagi. Tapi hasilnya sama saja. Dia memang tidak bisa. “
“Maafkan Saya.” Jali berkata lirih.
“Bagaimana dengan Fisika?” bu Yulia menulis soal baru di papan.
Jali mencoba mengerjakannya. Tapi menulis rumusnya saja, dia sudah salah.
“Parah.” Kata bu Yulia sambil menghela nafas. “Kurasa aku harus berbicara dengan orang tuamu mengenai hal ini.”
“Uh, jangan.” Jali memohon.
Yulia menggeleng, “Tapi kamu tidak bisa sama sekali.”
“Coba Biologi. Aku lumayan suka Biologi.”
“Hmm, begitu. Baiklah, ini saja, Cairan Tubuh. Sebutkan urutannya.” sambil berkata, Yulia menyilangkan kakinya yang panjang, membuat roknya jadi sedikit terangkat. Akibatnya sebagian pahanya jadi kelihatan sekarang.
Jali menelan ludah melihat pemandangan itu. Perlahan, sesuatu menggeliat di balik celana pendeknya. “Um, Sanguine. Choleric. Phlegmatic. Dan yang satu lagi, Melancholic kurasa.” Jali mencoba menjawab.
Yulia mendengus. “Pertanyaan mudah saja kamu tidak bisa.” Wanita itu berdiri dan berjalan mendekati Jali. “Mungkin ini bisa membantumu untuk mengingat lebih baik.” Satu per satu dia melepas pakaiannya dan berdiri telanjang di depan bocah itu.
Jali segera tahu apa yang harus ia lakukan. Cepat dia melucuti pakaiannya hingga mereka sama-sama telanjang sekarang. Ini sepertinya bakal lebih baik daripada dia harus disuruh mengerjakan soal-soal rumit yang bikin kepala pecah. Jali memegang penisnya yang sudah menegang dan mengoyang-goyangkannya di depan wanita itu.
“Ohhh!” meski sudah sering melihat penis Jali, tak urung Yulia terkejut juga melihatnya. Sepertinya benda itu terus membesar dari hari ke hari. Sekarang ukurannya sudah dua kali lebih besar daripada dua bulan yang lalu saat Yulia pertama kali merasakannya.
“Ibu sudah lama menunggumu.” Bisik Yulia saat mereka berdiri berpelukan. Dia membiarkan saja saat tangan Jali melingkar dan meremas-remas bokongnya yang bulat dengan mesra. “Kamu kemana saja kok bisa telat? Ibu kangen ini..” Yulia memegang penis Jali dan mengusap-usapnya pelan.
Jali menggeleng. “Aku harus memasukkan ayam-ayamku dulu ke kandangnya.”
Tentu saja dia tidak bisa berkata yang sebenarnya. Tidak mungkin dia mengatakan kalau dia telat karena tadi sibuk bercinta dengan mbak Ira. Bisa panjang urusannya, bisa-bisa bu Yulia marah dan dia tidak diberi jatah lagi. Kan rugi. Sebagai penebus rasa bersalahnya, Jali berjanji akan memberi kepuasan yang sempurna pada wanita itu.
“Hhmmmp,” sebagai permulaan, dia mencium mesra bibir Yulia. Dia lumat bibir tipis wanita itu dengan penuh nafsu.
Yulia cuma bisa memejamkan mata menikmatinya. Bibirnya perlahan terbuka saat lidah Jali menyusup dan menjelajahi rongga mulutnya. Lidah mereka bertemu untuk saling membelit dan bertukar air liur. Setiap hisapan Yulia pada mulutnya dibalas Jali dengan hisapan yang jauh lebih kuat, membuat nafas keduanya jadi berat dan memburu. Saat ciuman itu terlepas, tubuh Yulia sudah dibanjiri oleh keringat dingin, menunjukkan kalau wanita itu sudah begitu bernafsu. Dan dia makin bernafsu karena sekarang Jali sudah beralih pada sasaran lain. Lidah bocah itu menyapu cuping telinganya dan menggelitik disana hingga membuat Yulia terkikik kegelian.
“Uh, geli.” Wajah wanita itu merona merah.
Tapi Jali masih belum berniat untuk berhenti. Ciumannya terus turun menuju leher jenjang Yulia yang putih. Bocah itu membuat beberapa cupangan disana. Setelah Yulia merintih kesakitan, barulah Jali beralih, sekarang menuju buah dada wanita itu yang menggantung indah. Bentuknya begitu bulat dan sempurna dengan puting mungil kemerahan. Jali memandanginya cukup lama sebelum akhirnya dia membuka mulutnya lebar-lebar dan melahap daging kembar itu dengan rakus. Jali mencucup dan menghisap putingnya bergantian. Ia melakukannya bagai seorang bayi yang kehausan. Sambil menghisap, lidahnya juga aktif bergerak, menjilat dan menggelitik seluruh permukaan bukit kembar itu seolah benda itu adalah es krim berukuran jumbo. Apa yang dilakukan Jali itu membuat kedua puting susu Yulia menegak dengan cepat.
“Oh, Jal. Geli. Oohhhh!” Yulia merintih tak tahan.
Tubuh wanita itu menggelinjang hebat seiring setiap hisapan Jali di payudaranya. Begitu nikmat rasa yang diterimanya hingga Yulia tak sadar kalau sekarang tubuhnya sudah terbaring di lantai. Sambil terus menyusu, Jali menggerayangi tubuh Yulia yang telanjang. Tangan bocah itu mengelus-elus perut Yulia yang rata. lalu terus turun hingga ke selangkangan Yulia yang berambut lebat. Perlahan tangan bocah itu menyusup dan mengelus-elus gundukan bukit kemaluan Yulia yang sudah sangat basah.
“Ouuggh!” kembali wanita itu merintih.
Ciuman Jali juga ikut turun. Lidah bocah itu menyapu perut Yulia yang rata, bermain-main sebentar di pusarnya, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan menuju ke pangkalan akhirnya; yaitu lubang kemaluan Yulia yang hangat. Ibu guru muda itu segera membuka kakinya lebar-lebar saat merasakan bibir Jali yang menjelajahi paha dan pinggulnya.
Kepala Jali masuk terlebih dahulu.
“Auww!” Yulia memekik lirih saat bocah itu membenamkan wajah di selangkangannya.
Dia merintih saat lidah Jali menyusul tak lama kemudian. Bocah itu langsung mengobok-obok vaginanya dengan rakus. Jali menghisap dan menjilat, dia menggerakkan lidahnya, mencoba untuk bermain-main di situ selama mungkin.
Yulia hanya bisa terlentang pasrah. “Ouuuhhh!” dia menjerit saat Jali menemukan dan mengecup lembut klitorisnya.
Bocah itu menyapukan lidahnya dari atas ke bawah, terus berusaha untuk menggelitik benda mungil sebesar biji kacang itu. ‘Serrr… serrr..’ cairan kewanitaan Yulia meleleh keluar tak tertahankan lagi, membanjiri kemaluannya, membuat wanita cantik itu memekik-mekik kecil karena keenakan. Yulia mengepit paha mulusnya dan menarik kepala Jali ke depan, berharap agar bocah itu menjilat dan menghisap makin kuat. Jali telah membuatnya melayang, apa yang dilakukan oleh bocah itu telah membuat tubuhnya jadi menggelinjang-gelinjang hebat. Tak pernah seumur-umur dia merasakan sensasi seperti ini. Geli dan nikmat bercampur menjadi satu, hingga akhirnya sebuah orgasme datang menghampirinya.
“Auwww!” diawali pekikan nyaring, tubuh Yulia melenting dan bergetar-getar beberapa kali. Di bawah, otot-otot vaginanya mengejang dahsyat, berkontraksi, dan menyemburkan cairan bening yang tumpah tak karuan membasahi karpet.Belum juga dia mengatur nafasnya, Jali sudah menindih tubuhnya. Bocah itu rupanya sudah tak tahan lagi.
“Lakukan, Jal.” Bisik Yulia pasrah, dia tak sampai hati untuk mencegah karena Jali sudah memberinya kenikmatan yang tiada tara barusan. ‘Sleppp!’ tanpa kesulitan ujung penis Jali yang besar lenyap, membelah kemaluan Yulia jadi dua, dan masuk menusuk hingga ke dasar.
“Auhhh!” wanita itu terpekik oleh rasa nikmat yang menjalari liang kewanitaannya.
Jali yang sudah tak tahan, segera menggoyang pinggulnya. Dia menarik kemaluannya agar bisa bergesekan dengan dinding vagina Yulia yang nikmat. Tapi karena terlalu bersemangat, penisnya malah terlepas. Benda hitam besar itu terangguk-angguk di luar. Ujungnya yang bulat mirip jamur tampak basah berlumuran lendir.
“Masukin lagi,” pinta Yulia. Dia memegang penis itu dan mengarahkan lagi ke kemaluannya.
Tanpa disuruhpun, Jali akan melakukannya. Dia mendorong lagi, dan kembali benda itu amblas masuk menembus kemaluan Yulia.
“Heggh!” wanita itu menggeliat. Rasa nikmat kembali menyapa kemaluannya. “Pelan-pelan,” bisiknya saat melihat Jali mulai menggerakkan pinggulnya. Yulia tidak ingin penis itu kembali copot.
Jali mengocok penisnya dengan lembut. Ia menarik mundur benda itu sedikit, lalu kembali mendorong masuk sedalam tadi. Tarik lagi pelan, kemudian tusuk lagi. Tarik lagi, tusuk lagi. Tarik pelan, tusuk. Tarik, tusuk. Gerakan monoton itu sudah cukup untuk membuat Yulia menggelinjang nikmat. Pompaan kecil itu belum berlangsung lama ketika Jali menjerit tertahan.
“Ouuuggghhh.. bu, aku keluar. Arrgggg!” tubuh bocah itu mengejang bersamaan dengan semprotan spermanya yang menyerang liang rahim Yulia.
“Tahan, Jal. Goyang terus. Bentar lagi ibu nyusul.” Bisik wanita itu sambil terus berupaya untuk menggoyang pinggulnya.
Dirasakannya penis Jali masih berdenyut-denyut di dalam vaginanya. Benda itu masih terus memancarkan cairan kental dan hangat, terus dan terus seperti tidak pernah habis. Jali yang sudah kelelahan, ambruk di dada Yulia. Dia menyandarkan kepalanya diatas buah dada Yulia yang besar.
“Hughh, nikmat banget, bu.” kata bocah itu sambil mengecup bibir ibu gurunya pelan.
Yulia cuma bisa membelai-belai rambut Jali sebagai jawaban. Wanita itu masih terus menggoyangkan pinggulnya, berusaha untuk mengejar orgasmenya yang sudah hampir datang. Didalam kemaluannya, penis Jali sudah terdiam. Benda itu sudah mulai mengecil sekarang meski rasanya masih keras. Yulia yang tidak ingin terlambat, menggoyangkan pinggulnya makin cepat..
“Tahan bentar, ini ibu datang.” Dan bersamaan dengan itu, memancarlah cairan cinta Yulia, “Aaagggghhhhh!” wanita itu menjerit. Tubuhnya gemetar dan dia mengejang beberapa kali.
Di bawah, Jali merasakan penisnya seperti disemprot beberapa kali. Saat dia mencabut penisnya, cairan itu merembes keluar dengan cepat, bercampur dengan spermanya, membasahi karpet yang baru kemarin diganti.
“Makasih, bu. Cuma ibu yang bisa bikin Jali keluar duluan” bisik bocah itu mesra.
“Iya, sama-sama. Kamu juga satu-satunya orang yang bisa bikin ibu puas.”
Mereka berciuman lagi sebelum Jali bertanya sesuatu, ”Apa yang ibu lakukan di perbatasan desa kemarin malam?”
Yulia mendelik, kaget. “Siapa lagi yang tahu selain kamu?”
“Cuma saya.” Jali memilin-milin puting susu Yulia yang coklat kemerahan. “Waktu pulang dari Pasar, saya lihat ibu mengendap-endap di pagar perbatasan,”
“Ehm, ibu cuma nyari angin.” Kelihatan sekali kalau wanita itu berbohong. Setahu Jali, bu gurunya ini bukan tipe wanita yang suka keluyuran malam-malam sendirian.
“Ibu nggak takut?” Jali mencucup benda mungil itu dan menghisapnya pelan.
“Uhh, kenapa harus takut?” Yulia merintih.
“Kata orang, rumah itu angker. Ada wanita misterius yang tinggal di sana.” Jali menggelitik dengan lidahnya.
“Benarkah? Ibu baru tahu.” Yulia menggelinjang. Memang baru 4 bulan dia pindah ke desa ini. Sebelumnya Yulia tinggal di kota kecamatan yang jaraknya hampir 25 kilo.
“Katanya, wanita itu sering terlihat kalau laut sedang pasang.” Jali menambahkan.
Yulia menatap bocah itu. “Apa lagi yang kamu ketahui tentang wanita itu.” Dia kelihatan penasaran.
“Orang yang melihatnya akan mati. Itu kata ibuku.” Jali bergidik. “Karena itu tidak ada penduduk desa yang berani keluar kalau laut sedang pasang.”
“Jadi begitu ya,” Yulia mengangguk-angguk mengerti. Dia seperti mendapat ide dengan penuturan Jali barusan.
“Saya sering ke sana kalau siang.” Jali berterus-terang.
“Apa yang kau lihat?”
“Cuma rumah kosong biasa.” Bocah itu berusaha mengingat-ingat. “Meski beberapa kali saya lihat ada bayangan aneh. Bukan wanita, tapi laki-laki. Tapi itu mungkin cuma pohon, soalnya jaraknya kan jauh sekali.”
Yulia mengangguk. “Ya, mungkin juga. Jangan pergi ke sana lagi. Berbahaya. Berjanjilah pada ibu.”
“Ehm, janji? B-baiklah.” Jali bingung, dalam sehari dia disuruh untuk menjauhi rumah itu oleh dua wanita cantik yang sudah dia rasakan kehangatan tubuhnya. Aneh sekali. Ada apa ini? Dia jadi makin penasaran.
Yulia mendorong tubuh Jali saat merasakan penis bocah itu yang kembali menggeliat. “Sudah bangun lagi ya?” tanyanya.
Jali mengangguk, “Iya. Masukin lagi ya, bu?” dia mengelus-elus benda itu dan memamerkannya di depan Yulia. Sebentar saja, penis hitam besar itu sudah kembali keukurannya yang semula, siap digunakan untuk mengobok-obok vagina ibu Gurunya yang hangat dan basah.
“Apa kamu nggak capek?” tanya Yulia sambil membuka kakinya lebar-lebar, tanda kalau Jali bebas untuk menyetubuhinya lagi.
Tanpa membuang-buang waktu, Jali maju dan menggesekkan-gesekkan penis besarnya ke vagina Yulia yang basah. Pelan-pelan, sedikit demi sedikit, dia dorong kepala penisnya masuk.
“Uhh, pelan-pelan, sayang.” gumam Yulia lirih
Setelah masuk dan amblas seluruhnya, Jali segera mengocok dengan cepat. Kali ini dia tidak akan kalah. Dia sudah keluar tadi sehingga kali ini akan bertahan lebih lama.
“Oughhh,” Yulia kembali larut dalam kenikmatan. Matanya terpejam menikmati tiap sodokan penis Jali yang menghunjam keras di vaginanya.
Penis besar itu menggesek-gesek dinding-dinding kemaluannya dengan kasar, menyentuh pangkal rahimnya, membuatnya mengerang dan mendesis-desis keenakan. Jali tahu tak perlu waktu lama baginya untuk kembali menghantarkan wanita itu pada puncak kenikmatannya. Dengan goyangan dan sodokan yang semakin cepat, dia pun berhasil melakukannya.
“Arrggghhh, aku keluar!!” Yulia menjerit tertahan. Tubuhnya bergetar-getar hebat, sementara vaginanya menjepit penis Jali dengan erat, jauh lebih keras dari sebelumnya.
Jali tersenyum puas, inilah saat yang dia tunggu-tunggu. Dengan terus menggerakkan penisnya, bocah itu bisa menikmati bagaimana penisnya seperti diurut-urut, seperti menikmati vagina milik perawan saja. Ohh, sungguh luar biasa sekali rasanya. Apalagi ditambah dengan semprotan-semprotan kecil yang menghujani ujung penisnya, membuatnya jadi makin merintih tak karuan. Jali merasa, beberapa tusukan lagi, ia juga akan ikutan muncrat. Diiringi geraman penuh kenikmatan, bocah itu pun melepas benih cintanya.
“Aakkhhhh, bu.. Saya keluar juga!” Jali memeluk guru lesnya yang cantik itu dengan mesra.
Dia menekan penisnya dalam-dalam, menembakkan seluruh spermanya yang hangat ke dinding rahim Yulia. Wanita itu tersenyum dan mengangguk.
“Keluarin semua, sayang.” Yulia mengecup dan mengusap kepala Jali yang bersandar lemas di belahan dadanya. Dibelai pipi bocah itu dengan sayang. “Terima kasih ya,” dia berbisik.
Jali mengangguk, nafasnya masih agak tersengal. Perlahan, penisnya menciut dan kembali ke ukurannya yang semula. Benda hitam yang kini sudah keriput itu terlepas dengan sendirinya dari vagina Yulia. Kelelahan, mereka berpelukan tanpa berkata apa-apa lagi. Yulia membiarkan Jali yang sekarang asik menetek di payudaranya. Bocah itu mencucup dan menjilati putingnya dengan lembut. Sesekali Jali juga menggit-gigitnya kecil.
“Ah, kamu sudah ereksi lagi!” desah Yulia sambil menggenggam penis Jali yang sekarang sudah kembali membesar. “Cepat banget?” Tanyanya.
Jali tersenyum, “Itu karena lawannya orang secantik ibu.”
Yulia cuma tersenyum mengiyakan. Dia lebih sibuk mengamati penis Jali yang terus membesar dan membesar dalam genggamannya. Yulia bingung, harus mengeluh atau senang dengan keadaan ini. Dia masih lelah, dan vaginanya juga masih panas, tapi dia juga tidak bisa menolak gairah liar yang mengalir deras di dalam tubuhnya. Dia begitu menikmati apa yang telah diberikan oleh bocah itu, bocah 16 tahun yang baru 3 bulan dia kenal.
“Ughh.” Yulia tidak bisa berpikir jernih saat Jali kembali menggiring penisnya dan menggesek-gesekkannya di bibir kemaluannya yang basah. Wanita itu akhirnya menyerah,
“Masukkan sekarang.” Yulia memohon. Rasa gatal menjalar cepat melingkupi liang vaginanya, membuatnya jadi tidak tahan lagi.
“Tahan ya, bu.” Jali mulai mendorong.
“Hegghhh!” meski sudah mengantisipasi, tak urung ukuran penis Jali yang super besar tetap membuat Yulia terhenyak.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Jali mulai menggoyang. Dia tindih tubuh sintal wanita itu dengan penuh nafsu. Tangannya menggerayang, mengusap-usap paha dan pantat Yulia yang bulat. Mulutnya beberapa kali menyambar, menghisap dan mencucup puting payudara Yulia yang mungil kemerahan, membuat ibu guru cantik itu makin merintih keenakan. Di bawah, penisnya yang besar terus bergerak, mengocok keluar masuk, menggese-gesek, hingga membuat vagina Yulia makin terasa panas dan basah.
“Lebih cepat.” Yulia berbisik diantara desahannya. “Terus, tekan lebih kuat. Ibu sudah mau keluar.’
Jali terkejut mendengarnya. Terkejut karena tak menyangka Yulia akan keluar lagi secepat itu. Tapi dia juga gembira, niatnya untuk memberi kenikmatan yang sempurna pada wanita itu telah tercapai. Dengan penuh semangat, Jali mendorong lebih kuat.
“Ughh, ya, begitu.” Rintihan Yulia terdengar makin keras. Birahinya sudah sampai di ubun-ubun sekarang. “Terus! Itu yang ibu suka. Terus!”
Sambil mendekap tubuh sintal Yulia, Jali mempercepat goyangan pinggulnya. Dia merobek dan menghujani kemaluan wanita itu dengan sodokan-sodokan dan tusukan penisnya yang mematikan. Mulutnya kembali menyergap, menghisap dan mencucupi puting mungil Yulia yang tegak mengacung, tanda kalau si empunya sudah benar-benar bergairah sekarang.
“Auw, terus, sayang.” pekik Yulia lirih saat merasakan ujung penis Jali yang menabrak-nabrak dinding rahimnya dengan kasar. Penis bocah itu terus mendesak masuk, berusaha untuk menjamah dan menjelajahi lebih dalam lagi.
“Aku keluar!!” Yulia mengerang. Tubuhnya gemetar beberapa kali sebelum akhirnya ambruk di lantai. Cairan cintanya yang hangat memancar keluar memenuhi liang vaginanya.
Jali yang merasa gairahnya juga sudah di ujung tanduk, terus mengocok penisnya, cepat dan semakin cepat. “Bu, saya juga mau keluar.” Bisik bocah itu. Di bawah, vagina Yulia menjepit makin erat, memberinya pijatan-pijatan kecil yang membuatnya makin tak tahan.
“Argghhhhh!” diiringi jeritan kecil, Jali menembakkan spermanya. Penisnya berdenyut-denyut kencang saat cairan putih lengket itu menghambur memenuhi liang rahim Yulia.
“Ahh,” Yulia cuma bisa melenguh keenakan merasakan liang vaginanya yang kini jadi begitu penuh.
Jali mengecup pipi ibu gurunya, “Terima kasih ya, bu, sudah ngijinin Jali nyicipin tubuh ibu yang bahenol ini.”
“Kamu bocah nakal, kamu telah menodai ibu gurumu sendiri.” sungut Yulia.
“Ibu marah?”
“Setelah apa yang kamu lakukan, apa pantas ibu marah?”
Jali tersenyum, baru tahu kalau Yulia cuma pura-pura barusan. “Ibu puas?” tanyanya lagi.
“Puas banget, sayang.” Yulia mengecup pipi Jali dengan lembut.
“Mau mengulanginya lagi?” Tanya bocah itu sambil menggerakkan penisnya yang masih menancap di liang rahim Yulia.
Yulia memekik lirih saat merasakan batang kemaluan Jali yang kembali mengeras di dalam vaginanya. “Dasar kamu anak nakal, belum puas juga?”
“Ngentot sama ibu tuh gak pernah bikin puas, maunya nambah dan nambah lagi.” Jali tertawa.
Bersambung…