GADIS KONTRAKAN : ARINA
Namanya Arina Syafarani Putri. Tidak terlalu tinggi, 25 tahun, cantik, berkerudung, payudara 34B dengan puting bulat kecil berwarna coklat gelap. Arina adalah penghuni kontrakan yang paling tua, paling disegani, dan tentu saja, paling pengalaman soal melayani penis cowok. Sejak kehilangan keperawanan di acara kemping SMA-nya saat kelas 3, Arina berjanji tidak akan melakukannya lagi. Ironisnya, pemerkosaan yang dialaminya di minggu pertamanya menggunakan jilbab oleh teman kampusnya di lab justru menjadi titik balik kebiasaannya. Ia menjadi wanita berjilbab haus sex yang selalu ingin dipuaskan, meski hal itu dapat ditutupinya di lingkungan umum.
Di kontrakan, Arina selalu menjadi tempat Hani, Okta, dan Eva untuk berkonsultasi mengenai seks. Arina juga satu-satunya yang memiliki vibrator dan obat-obatan yang diperlukan jika terjadi hal yang tidak diinginkan, seperti disemburkannya sperma tepat di rahim Hani saat masa suburnya oleh Edwin. Arina sering meminjam pacar-pacar Hani, Eva, atau Okta untuk memuaskan hasrat seksnya.
Siang itu, Arina baru saja akan pulang dari shift-nya di sebuah bank. Ia mengenakan batik berbahan licin berwarna putih dengan beberapa aksen biru dan bunga. Baju tersebut menonjolkan payudara besarnya dengan sempurna, hal ini tentu menjadi santapan teman-teman prianya di kantor yang melihatnya keluar dari WC setelah ganti baju.
“Susunya mbak Arina mantep bener ya. Gede.” bisik seorang office-boy kepada teman di sebelahnya, diikuti sebuah cubitan kecil seorang office-girl di belakang mereka.
“Gak gue kasih susu lagi nih.” ujar sang office-girl ketus sambil berlalu.
***
“As…” Arina yang hendak mengucapkan salam tiba-tiba terhenti saat mendengar suara desahan dan lenguhan yang tidak asing baginya. Ya, tentu saja, Okta dan Bang Kiki, ujarnya dalam hati.
Melangkah pelan menuju teras, Arina melihat pergumulan Bang Kiki dan Okta. Okta yang terduduk pasrah sambil memejamkan mata dengan kepala mendongak sedang memangku Bang Kiki yang terlihat asik menikmati susu gadis itu, menjilat-jilat dan menghisap putingnya. Sesekali digigit dan ditarik kuat-kuat hingga Okta melenguh panjang karena nikmatnya.
“Duhh… ini si abang nagihnya nggak liat-liat tempat ya?” tegur Arina kepada kedua insan itu. Bang Kiki yang mendengar langsung menoleh dan mendapati sosok Arina sedang berdiri di sampingnya.
“Eh, mbak Arina. Hehehe. Biasa, mbak…” jawab Bang Kiki sambil tangannya terus memainkan puting besar Okta. Hal ini membuat Okta terus melayang dalam kenikmatan sehingga tidak menyadari kehadiran Arina di sana.
“Mbak mau?” lanjutnya. Matanya langsung tertuju ke bongkahan buah dada Arina yang menonjol ketat dari balik pakaiannya.
“Yeee… enak aja. Aku kan selalu bayar full, Bang.” ujar Arina sambil sesekali melirik ke arah penis Bang Kiki yang tertancap di memek Okta.
“Ya sudah lanjutkan sana, Bang. Aku masuk dulu ya.” ujar Arina sambil masuk ke dalam, meninggalkan Okta yang tubuhnya masih tertindih Bang Kiki.
“Oke, mbak.” jawab Bang Kiki singkat sambil tiba-tiba menggoyang-goyangkan pinggulnya ke memek Okta.
***
“Wah, dasar. Lagi pada pesta rupanya.” ujarnya dalam hati saat melihat Hani di kamar Okta tengah mengoral penis seorang cowok yang terbaring di sana dengan kaki menjulur ke lantai.
“Hufff… semua pada asik. Aku makan dulu aja deh.” ujarnya pelan kepada diri sendiri sambil menuju meja makan. “Kamu sabar ya,” lanjutnya sambil mengelus vaginanya yang terasa mulai berkedut dan basah.
***
“Kenapa, Ta?” tanyanya sambil menghampiri Okta. Okta tampak terkejut karena sebelum menghampiri Bang Kiki, penis Edwin mengacung dengan tegak dan terlihat sangat besar. Tapi, setelah pergumulannya selesai, penis Edwin tiba-tiba tampak mengecil. Hal tersebut tidak mungkin terjadi jika tidak ada yang menguras isi penis Edwin.
“Dia siapamu?” tanya Arina kepada Okta di sebelahnya.
“Temen chatting doang sih, mbak. Masih perjaka, dia minta diajarin ML, ya aku suruh dateng.” jawabnya.
“Tapi kok penisnya mengecil, tadi pas aku tinggal sebelum ke Bang Kiki tuh gede banget loh. Mbak Arina ya yang habis mainin penis dia sampe isinya keluar?” lanjut Okta.
“Yee… enak aja. Bukan mbaklah, mbak kan selalu bilang-bilang kalo mau ML sama pasangan kalian.” Arina melangkah memasuki kamar Okta.
“Mbak mau ngapain?”
“Cari pelakunya.” jawab Arina singkat meski dia sudah tahu bahwa Hani lah yang telah menggarap cowok itu.
Tanpa banyak bicara, Arina langsung jongkok tepat di depan penis Edwin, membuka paha cowok itu dengan kedua tangan, dan melahap penisnya langsung ke dalam mulutnya. Edwin yang sedang terlelap langsung melenguh saat Arina tiba-tiba menghisap penisnya.
“Ohh… mbak Haniiii… aah… hhh…” desah Edwin.
Arina langsung melepas emutannya dari penis Edwin yang baru saja akan ereksi. Sambil menoleh ke arah Okta yang tampak terkejut dengan kejadian tiba-tiba tersebut, ia berkata singkat, “Maharani Dwi Putrantiwi alias Hani.”
“Wow, mbak. Aku kaget tiba-tiba langsung masuk kamarku dan tau-tau oral penisnya.”
“Hmm, yahh… sebenernya aku udah tahu kalo itu Hani. Cuma mau nyobain aja. Hehehe,” ujar Arina sambil tertawa genit.
“Dasar, mbak ini. Udah lama ya, mbak? Hehehe… si Hani mah, perjakain jatah orang.” dengus Okta sebal sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya yang membuatnya terangkat dan semakin membusung indah.
“Yahh… hampir sebulanan. Hehehe. Makanya vibrator mbak cepet habis baterenya belakangan ini. Hehehe.” Arina tertawa. “Oh ya, kamu mau langsung main lagi apa mandi dulu? Bersihin itu tuh…” tanya Arina sambil menunjuk selangkangan Okta yang masih meneteskan sperma segar dari penis Bang Kiki yang baru saja mencicipi lubang kenikmatannya.
“Duh, iya nih. Masih lemes juga rasanya, pengen mandi dulu. Mbak emang mau ngapain?” tanya Okta.
“Umm… kalo boleh. Selagi kamu mandi, mbak pinjem cowoknya ya.” tanya Arina malu-malu. Sebulan tidak mendapat pasangan pemuas birahi tentu membuat nafsunya bertumpuk. Hal tersebut disebabkan putusnya Hani, Eva, dan Okta dari pacarnya masing-masing.
“Umm… ya udah, mbak. Pake aja dulu. Udah diduluin Hani juga, aku gak masalah nanti terakhir.”
“Wah, oke, Okta! Makasih yaa!!!” Arina kegirangan karena akhirnya bisa memberi makan vaginanya dengan daging asli, bukan daging palsu berwarna putih yang hanya bisa menggali vaginanya tanpa variasi.
Arina langsung masuk ke kamar Okta dan menutup pintunya. Ia terkagum-kagum melihat penis Edwin yang tadinya mengkerut sudah mulai mengembang ke ukuran normal karena hisapannya tadi.
“Dek, Dek,” Arina mencoba untuk membangunkan Edwin, tampaknya ia tidak tertarik untuk bermain di saat Edwin sedang tidur, seperti yang dilakukan Hani.
Edwin perlahan membuka matanya, dilihatnya sosok Arina yang sedang duduk di tepi ranjang sambil tersenyum kepadanya. Saat sepenuhnya sadar, Edwin kaget dan reflek menutup kemaluannya.
“Eh, oh… I-iya. Mbak siapa ya?”
“Kenalin, nama mbak Arina. Mbak juga penghuni kos di sini. Kamu temennya Okta kan?” tanyanya. Melihat Edwin yang terlihat gugup, Arina berusaha menenangkannya, “Udah buka aja. Santai aja kali. Mbak udah biasa lihat penis cowok kok.” lanjutnya.
Mendengar hal itu, Edwin perlahan membuka tangan dari kemaluannya. Dan seperti sulap, penisnya menjadi lebih besar daripada saat sebelum ditutup tadi. Jelas saja, siapa tidak terangsang berduaan saja dengan gadis berkerudung cantik dan berdada montok seperti Arina.
“Gimana?”
“Gimana apanya, mbak?”
“Ah, kamu. Itu, ML sama Okta dan Hani.” tanya Arina penasaran.
“Owhh, baru sama mbak Hani, mbak. Sama mbak Okta cuma baru sempet oral dia aja, belum sempet coba masukin penisku ke vaginanya.” jawab Edwin dengan lebih santai.
“Ohh… Okta lagi mandi sekarang, memeknya habis dipenetrasi sama orang tadi di teras. Dia masih lemes, jadi perlu jeda sebelum main sama kamu.”
“Hah? Mbak Okta diperkosa orang, mbak!?”
“Ummm… yaa, lebih tepatnya ada orang datang, Okta tiba-tiba buka handuk, tiba-tiba penis orang itu di dalam memeknya, semua senang. Nggak diperkosa kok.” jelas Arina. “Sambil nunggu Okta mandi, kamu mau main sama mbak dulu ya?”
“Eh?” Edwin tampak kaget dengan permintaan Arina yang tiba-tiba dan langsung ke poinnya.
“Iya, sejak temen-temen mbak pada putus sama pacarnya, mbak udah lama gak ML, nih. Mumpung ada kamu, mau ya? Gapapa kan sama kerudungan?”
Edwin hanya melongo saat Arina menjelaskan keadaannya. Ia sama sekali tidak menyangka akan bisa mencicipi tubuh gadis berkerudung yang selama ini cuma bisa menjadi fantasi seksnya.
“Kamu ga papa?” tanya Arina yang bingung melihat Edwin terdiam.
“Eh, oh, umm… gak papa kok, mbak. Aku cuma keinget temen SMA-ku. Namanya Syifa, dia kerudungan gitu deh. Waktu study tour ke pantai, aku nggak sengaja pegang dadanya waktu main games. Entah kenapa dia ketagihan, akhirnya kalo senggang dia selalu minta teteknya aku remes-remes. Sampe lulus, aku masih suka remes-remes payudaranya, padahal waktu itu aku punya pacar. Pas dia mau pindah kuliah di Sumatera, dia bilang makasih karena udah bikin dadanya jadi tambah gede. Dan di hari terakhir itu, pertama kalinya dia ngebolehin aku ngisep dada hasil karyaku itu.” cerita Edwin tentang masa SMA-nya.
“Wow, so sweet. Berarti kamu pengalaman sama cewek jilbab ya?” tanya Arina setelah mendengar cerita Edwin.
“Yah, tapi selama 3 tahun aku cuma remes-remes teteknya doang, mbak. Gak ML, nggak ciuman, nggak ngapa-ngapain. Itu pun dari luar baju seragam doang.” jelas Edwin.
“Owhh… kasiaaan. Ya udah, kalo gitu sama mbak aja yuk? Kalo bisa kamu bikin tetek mbak tambah gede juga ya. Hehehe,”
“Ah, punya mbak kan udah gede tuh. Hehehe.”
“Biarin, biar lebih gede dari punya Okta. Haha.”
Tanpa lama, Arina langsung mengarahkan tangan kanannya ke penis Edwin. Diremas-remasnya penis cowok itu dengan lembut, dirasakannya penis itu mengembang sedikit demi sedikit seperti adonan kue. Edwin sendiri menggeser duduknya sehingga kini mereka berdempetan. Ditariknya dagu Arina sehingga kedua bibir mereka mulai beradu.
“Hmmpphhh… hmmppphhhh…” sambil berciuman, Edwin meremas-remas bongkahan dada Arina. Dipijatnya bukit kembar itu dengan lembut. Arina sendiri tidak ketinggalan meremas penis Edwin sehingga batang itu semakin membesar dan tegang.
“Hmmpphh… slurrrppp… sluurrrrpppp…” lidah mereka saling berpagutan di dalam mulut masing-masing. Edwin memejamkan mata, berusaha menikmati bibir tipis Arina. Dikenyotnya bibir merekah itu sambil terus meremas dada Arina yang tampak semakin besar karena terangsang.
Arina meremas-remas batang Edwin seperti sedang memerah susu sapi. Dirasakannya batang itu semakin besar sehingga tangan mungilnya semakin kesulitan memerahnya. Edwin hanya menikmati momen sensual bersama karyawati berjilbab itu, seakan tidak ingin melepaskan kesempatan emas di depan mata untuk menikmati tubuh gadis berjilbab.
Keduanya saling melenguh, menikmati bibir dan remasan satu sama lain. Sudah hampir 20 menit mereka saling berpagut dan meremas. Penis dan payudara keduanya sudah tampak menegang maksimal, siap digarap lebih jauh lagi.
“Hhh… hhh… hhh… Dek, mbak mau tanya,” kata Arina sambil terengah-engah.
“Hhh… hhh… hhh… a-apa, mbak?”
“Kamu punya fantasi seksual?”
Edwin tersenyum mendengar pertanyaan Arina
***
Edwin memegang sebuah pisau. Sambil telanjang, ia berjalan pelan mengitari sebuah tubuh seksi berbungkus jilbab yang sedang duduk di sebuah kursi kayu. Tangan dan kakinya terikat erat dengan tali tambang tipis, sedangkan mulutnya tertutup. Arina terbelalak melihat Edwin menyeringai kepadanya sambil memegang sebuah pisau. Ia merasa sedikit takut, takut karena permintaannya sendiri agar Edwin dapat merealisasikan fantasi seksualnya kepadanya.
Cowok itu mendekati tubuh Arina, dibukanya satu per satu kancing baju gadis itu. Dirasakannya desah nafas yang semakin cepat dari Arina saat Edwin semakin menuju kancing bawah.
“Wooww!!” takjub Edwin saat akhirnya ia disuguhkan kedua bongkahan dada Arina hanya dengan BH. Begitu besar dan menggairahkan, tampak dua gunung Arina mengeras karena sudah diisi birahi oleh jari jemari terampil Edwin.
BRETTT… BRETTTT… SERRRTTTT…!!!
Dengan gerakan pisau yang lihai, Edwin merobek baju Arina, meninggalkan BH dan celana dalam melekat di tubuh gadis itu, dan jilbab tentunya.
Edwin melongo melihat badan Arina yang kini setengah telanjang, begitu putih dan mulus. Tidak ada lipatan di perutnya, begitu rata dan menggairahkan. Pinggang kecilnya membuat Arina tampak memiliki pantat dan payudara besar. Edwin menelan ludah melihat tubuh indah itu terikat tak berdaya, di depannya, di kamar yang tidak ada siapapun kecuali mereka.
SLURRRPPPPP…!!!
Arina mendongak, terdengar lenguhan pelan saat Edwin menjilat belahan dadanya. Ia mencucuk dada besarnya yang hanya tertutup setengah oleh branya yang seksi. Tanpa kesulitan, Edwin melepas kait bra Arina yang berada di depan. Tampaklah kedua gunung kembar gadis itu, begitu besar dan menantang. Puting coklatnya menghias ujung dadanya seperti buah ceri di atas kue tart. Tidak ingin melewatkan pesta, Edwin pun langsung memasukkan ceri coklat itu ke dalam mulutnya, menghisapnya seperti anak kecil mengemut permen favoritnya. Dihisap, diemut, kadang digigit kecil dan ditarik. Edwin membuat Arina bergelinjang dengan permainannya di puttng susu gadis itu.
“Hmmphhhh… hhhmmppphhhh…” Arina tiba-tiba tampak panik saat dilihatnya Edwin mendekatkan mata pisau yang dipegangnya ke puting susunya. Edwin menyeringai kecil. Ditariknya puting susu Arina kuat-kuat dan didekatkannya pisau itu seolah ingin memisahkan puting kecil itu dari dada Arina.
Edwin mulai menggesekkan pisaunya di puting Arina. Arina tampak kesakitan, terlihat dari badannya yang terus bergerak seolah ingin melepaskan diri dari kursi yang mengikatnya tersebut. Kepalanya mendongak, melenguh panjang dan mulai terdengar isakan tangis di baliknya. Edwin terus menikmati gesekan pisaunya dengan puting Arina, gesekan sisi tumpul pisau dengan puting gadis itu benar-benar dinikmati Edwin. Hal yang sama terjadi dengan puting sebelahnya, sehingga tidak terbayang betapa sakitnya Arina karena perlakuan Edwin terhadap puting susunya.
Selesai bermain dengan kedua puting Arina, Edwin mulai melirik ke arah organ intim gadis itu, satu-satunya yang masih tertutup.
BREEETTTT…!!
Satu tarikan, vagina Arina terbuka bebas, menampakkan gundukan daging tebal dengan balutan bulu tipis di sekitarnya. Edwin terbelalak melihat indahnya vagina Arina. Ia mengelusnya, memasukkan jarinya ke dalam, dan sesekali menarik rambut kelamin Arina.
“Mbaak, seksi banget sih?” ujar Edwin pelan sambil perlahan menjilat vagina gadis berjilbab itu, terus naik sampai ia menjilat kedua payudara Arina hingga kemudian berhenti dengan mencium hidung karyawati tersebut.
Arina menggelinjang karena geli oleh serangan lidah Edwin. Edwin terus menyapu seluruh badan Arina tanpa tertinggal setitik pun. Lidahnya berakhir di vagina. Dibukanya lebar-lebar vagina Arina dengan kedua tangannya sebelum lidahnya menyapu bagian dalam lubang pribadi gadis itu. Dirasakannya vagina Arina sudah sangat basah oleh cairan kenikmatannya sendiri. Edwin menjilat dan sesekali menggigit klitoris Arina yang ditemukannya. Arina bergelinjang semakin kuat saat Edwin menggigit dan menarik biji kecil itu, seolah ingin melepasnya dari vagina Arina.
Edwin menghentikan kegiatannya. Ia berdiri memandang Arina yang terengah-engah setelah tubuhnya dijamah habis-habisan oleh cowok itu. Tampak sedikit air mata menitik dari tepi mata Arina, hasil menahan sakit fantasi Edwin terhadap tubuh indah yang telanjang itu.
PLAKK…!!!
Edwin mendapat tamparan keras saat ia memutuskan untuk melepas ikatan Arina dan mengakhiri fantasinya. Arina langsung bangkit dan tanpa pikir panjang mendaratkan tangannya ke pipi Edwin.
“Kamu apa-apaan sih! Aku kira fantasi apa, ternyata seperti itu! Kamu pikir gak sakit apa putingku kamu sayat kayak gitu, klitorisku kamu tarik kayak gitu! Kamu kira… AAAKKKHHHHH…!!!” Arina yang sedang memarahi Edwin mendadak menjerit tertahan saat Edwin menusukkan sesuatu ke tubuh telanjang Arina.
Tubuh Arina bergetar, kepalanya mendongak sambil mulutnya mengeluarkan lenguhan, “Akkhhh… aakkkhhhh…”
Dalam satu serangan tiba-tiba, Edwin menusuk Arina tepat di alat kelaminnya. Tusukan yang begitu dalam hingga mentok ke rahim karyawati bank itu. Arina tidak berdaya di tangan Edwin. Tangan yang saat ini sedang memegang kedua bongkahan pantatnya, mendorong tubuhnya hingga tusukan penis cowok itu di vaginanya mencapai maksimal. Edwin memastikan penis 20 cm-nya menusuk vagina Arina sepenuhnya, seperti yang dilakukannya kepada vagina kecil Hani.
“Akkkhhhh… aaakkkhhhhh…” Arina menjerit kecil karena kelaminnya dipaksa menelan seluruh penis besar Edwin.
Edwin terus menerus mendorong pantat Arina sambil ia sendiri menggoyangkan pinggulnya menusuk-nusuk liang surgawi Arina. Jilbabnya sudah sangat berantakan. Tubuhnya mulai bergetar tanda orgasme hebat akan datang melanda. Edwin yang menyadari hal tersebut semakin cepat mengocok tubuh Arina.
“Sssshhh… aaakkkkkkk… aaaaaaaaaakkkkkk…” pekik Arina saat dirasakannya penis Edwin mendesak rahimnya.
“S-siap… mbak? Akkhhhh…” Edwin memperingatkan Arina bahwa mereka akan segera orgasme hebat.
CROOOT… CROOOT… CROOOOOTTTTT…!!!
Edwin orgasme. Penisnya menyemburkan sperma ke dalam rahim Arina seperti selang air, begitu banyak dan kencang. Tubuh Arina bergetar hebat menerima tembakan peju itu. Lelehan putih sperma tampak mengalir pelan dari celah vagina gadis itu, mengalir turun melalui paha, sebagian langsung menetes ke lantai.
Arina tampak terkulai. Tulangnya serasa dilolosi setelah dilanda orgasme hebat tersebut. Nafasnya tersengal-sengal seolah ia baru saja melakukan olahraga
PLOP!
Begitu bunyi ketika Edwin melepas penisnya dari vagina Arina. Dasar Edwin, penisnya tidak mengecil sedikit pun meski sudah menyemburkan sperma seperti itu. Edwin membopong tubuh lemas Arina ke ranjang. Direbahkannya tubuh telanjang itu dengan kaki terjulur ke lantai. Vagina Arina yang masih melelehkan peju tampak terekspose jelas.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Edwin mengambil telepon genggamnya dan langsung memotret tubuh indah yang tergeletak hanya tertutup jilbab itu. “Dapet banyak nih gue.” ujarnya salam hati sambil terus mengabadikan tubuh Arina.
“Duh! Tadi gue lupa lagi ngambil foto mbak Hani habis ngentot sama dia.” lanjutnya. Beberapa diambilnya secara selfie. Tampak ia tidur di samping Arina dan mengambil foto mereka berdua, ada juga pose Edwin sedang mengemut puting susunya, sampe pose di mana Edwin foto bersama vagina Arina yang masih mengeluarkan peju dari kelaminnya.
Edwin memang membuat semacam perjanjian dengan teman-temannya, siapapun yang berhasil meniduri cewek selain pacarnya, akan ditraktir teman-temannya yang lain. Sampai saat ini, baru Geri yang sukses mendapat makan dan nonton gratis setelah berhasil menembus memek Shela, adik tingkatnya di kampus, saat diadakan kemping. Shela sendiri memang terkenal binal dan sudah lama tidak perawan, jadi Geri beruntung saat berpasangan dengannya untuk mencari kayu bakar di hutan karena tiba-tiba mahasiswi semester 3 itu menciumnya. Sebagai cowok normal, Geri tentu membalas ciuman tersebut dan berlanjutlah hingga penisnya hinggap di vagina Shela. Berbekal foto dirinya sedang memeluk Shela yang sedang topless dari belakang, Geri langsung makmur saat pulang.
Walau melewatkan tubuh Hani, Edwin tetap merasa menang setelah mendapat bukti fotonya bersama tubuh Arina yang masih tergeletak lemas. Belum lagi setelah ini ia akan mencicipi Okta, semakin makmur lah ia sepulang nanti. Selain Farid, itu pun pacarnya semua, belum ada lagi temannya yang bisa meniduri 3 cewek sekaligus dalam satu hari.
Setelah melihat-lihat foto Arina yang telah diambilnya, Edwin pun kembali bernafsu. Arina yang masih terlihat lemas tidak tahu bahwa akan ada bagian kedua yang diterimanya.
Edwin membalikkan tubuh Arina menjadi tertelungkup, menampakkan bongkahan pantat yang begitu indah dan sekal. “Hhh… hhh… hhh… kamu mau apa lagi, Win?” tanya Arina tanpa bisa mengelak lagi.
Tanpa menjawab, Edwin mengarahkan penisnya ke lubang anus Arina yang tampak masih perawan. Dipegangnya dua bongkah pantat itu dan dibuka sehingga menampakkan lubang kecil anus gadis berjilbab itu.
Tanpa aba-aba dan tanpa belas kasih, Edwin langsung menghujamkan penis besarnya dengan kekuatan penuh, menembus anus Arina dalam sekali hentak.
JLEBBBBB…!!!
“AAAAAAAAAA…!!!”