G I G O L O
Aku merasa takdir yang tersurat untukku kurang bagus. Karena ibuku meninggal ketika usiaku baru 5 tahun. Sedangkan ayahku meninggalkan aku dan Ceu Imas, satu – satunya saudaraku. Untungnya Ceu Imas sudah punya suami. Sementara aku masih duduk di bangku SMP, sehingga untuk mengandalkan Ceu Imas untuk membiayai sekolah dan kebutuhan sehari – hariku.
Itu pun hanya sampai tamat SMP. Setelah aku lulus SMP, kakakku “angkat tangan”. Aku malah disuruh cari kerja saja, supaya bisa menghidupi diriku sendiri.
Tapi apa yang bisa kuperbuat dengan ijazah SMP ? Lagipula saat itu umurku baru 14 tahun. Melamar ke mana – mana pun takkan diterima, karena masih di bawah umur.
Sementara Ceu Imas hanya bisa memberi uang seadanya tiap bulan. Uang yang jumlahnya tidak seberapa. Untuk makan sehari – hari pun tidak cukup.
Karena itu aku berusaha mencari duit sendiri dengan segala cara. Dengan membantu – bantu di pasar pun jadilah. Yang penting bisa makan tiap hari, tanpa harus menunggu kiriman dari kakakku.
Hal itu berlangsung selama bertahun – tahun.
Setelah usiaku 18 tahun, aku mulai berpikir untuk mencari kegiatan yang lebih bagus daripada sekadar menjadi kuli di pasar. Karena itu aku sengaja membuat SIM A dan C. Dengan tujuan, ingin menjadi sopir angkot. Mudah – mudahan nanti ada pemilik angkot yang bersedia menyerahkan mobilnya untuk kusopiri.
Tapi sebelum hal itu terjadi, aku berjumpa dengan teman karibku, Dadang, yang menghentikan sedannya persis di sampingku.
“Asep ! Apa kabar ?” tanyanya sambil memelukku.
“Dadang ?! “ sahutku kaget, “Wah … keren … loe sudah punya mobil sendiri ?”
“Asal rajin nabung, beli mobil aja sih gak susah – susah amat Sep. “
“Gue juga senang nabung. Tapi kalau penghasilan gue pas – pasan, apa yang bisa gue tabung ?”
“Ayo deh ikut gue. Biar bisa ngobrol lebih panjang lebar. “
Aku pun masuk ke dalam sedan Dadang. Dengan perasaan kagum, karena teman karibku sudah punya sedan segala. Padahal dahulu dia senasib denganku. Sama – sama anak orang tak punya. Tapi sejak ia pindah ke kota, aku tak pernah berjumpa lagi dengannya. Sementara aku tetap tinggal di kota kecamatan yang jaraknya 30 kilometer dari kota besar.
“Kalau mau maju, loe harus mau tinggal di kota Sep, “ kata Dadang sambil menjalankan sedannya ke arah timur, “Di pinggiran begini, mana bisa nyari duit ? Kecuali kalau loe mau bikin tempe atau dagang sayur, mungkin bisa untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari. “
“Gue kan gak punya saudara di kota. Mau tinggal di mana ? Harus nyewa kamar ? Dari mana duitnya ?”
“Kalau loe punya niat untuk mencari duit di kota, loe bisa tinggal di rumah gue. “
“Loe udah punya rumah sendiri di kota ?”
“Udah, “ Dadang mengangguk.
“Loe hebat Dang. Umur loe sebaya dengan gue, tapi sudah punya rumah dan mobil segala. “
“Gue setahun lebih tua dari loe. Sekarang gue udah sembilanbelas tahun Sep. Ohya, loe mau ikut ke kota sekarang ?”
“Mau. Tapi gue harus nitipin dulu kunci ke tetangga sebelah. Takut kakak gue pulang gak bisa masuk. “
“Ya udah, sekarang ke rumah loe dulu. Sekalian bawa baju untuk ganti. Siapa tau loe kerasan di rumah gue nanti. “
“Kalau dikasih kerjaan, pasti gue kerasan di rumah loe Dang. “
“Kerjaan sih ada. Asal mau aja loe ngerjainnya. “
“Kerjaan apa pun akan gue kerjakan, asal jangan maling aja. “
“Nggak. Kerjaan kita takkan merugikan orang lain. Percayalah. “
Setibanya di mulut gang menuju rumahku, Dadang menghentikan sedannya. “Gue nunggu di mobil aja ya, “ kata Dadang.
“Iya, “ sahutku, “tunggu sebentar ya Dang. “
Bergegas aku melangkah ke dalam gang menuju rumahku yang kecil dan nyaris roboh itu. Di dalam rumah, kukumpulkan semua pakaian yang sudah dicuci dan disetrika. Lalu kumasuklkan ke dalam ransel.
Sambil menggendong ransel, aku keluar dari rumahku. Lalu kukunci pintu depan. Anak kuncinya kutitipkan ke tetangga sebelah, agar kalau Ceu Imas datang, bisa masuk rumah.
Kemudian bergegas aku menuju jalan besar, di mana Dadang tengah menungguku di mobilnya.
Pada waktu aku masuk ke dalam mobil, Dadang memandang ke arah kakiku yang cuma mengenakan sandal jepit. “Kenapa gak pakai sepatu Sep ?”
“Sepatu gue udah jebol. Belum punya yang baru, “ sahutku jujur.
“Nanti di rumah gue banyak sepatu yang udah gak dipake. Kelihatannya kaki loe seukuran dengan kaki gue, “ kata Dadang.
“Gue biasa pakai sepatu ukuran empatpuluh. “
“Sama. Gue juga pakai nomor itu, “ kata Dadang sambil menjalankan mobilnya.
“Gue memang sengsara Dang. Sejak ayah gue menghilang, gue mengandalkan belas kasihan Ceu Imas. Tapi dia kan punya suami, tidak bebas juga untuk ngeluarin duit. Makanya setelah tamat SMP, gue gak bisa lanjutin ke SMA. Karena kakak gue gak sanggup biayai sekolah gue lagi. “
Dadang terdiam. Mungkin sedang memikirkan kesengsaraanku ini.
Lalu Dadang berkata, “Kalau loe mau mengikuti langkah gue, pasti takkan kekurangan lagi. Asalkan loe mau aja. “
“Mau Dang. Gue takkan pilih – pilih kerjaan. Tugas apa pun akan gue jalanin, asalkan penghasilannya memadai. Memangnya apa pekerjaanmu ?”
“Loe harus merahasiakannya ya ? Jangan sampai orang kampung kita ada yang tau pekerjaan gue sekarang. “
“Gue pasti akan merahasiakannya Dang. Memangnya apa sih pekerjaan loe ?”
“Gue hanya bertugas menyenangkan kaum wanita yang rata – rata berusia di atas tigapuluh sampai limapuluh tahun. “
“Ohya ?! Bagaimana cara menyenangkannya ?”
“Ngentot memek mereka. Hahahaaa … sambil menyelam minum air. Dapet duit banyak sambil menikmati enaknya ewean. Enak pekerjaanku kan ?”
“Enak banget. Gue juga pengen kerja seperti itu. Tapi duitnya gede Dang ?”
“Ya gedelah. Kalau gak gede gue juga gak mau. Buktinya dalam tempo setahun aja gue udah punya rumah dan mobil. Karena gue dianggap memuaskan birahi ibu – ibu itu. “
“Ibu – ibu itu pasti orang – orang tajir ya ? “
“Ya iyalah. Ada istri pengusaha, ada yang bisnis sendiri, ada juga yang istri pejabat. Dengan berbagai alasan mereka mencari kepuasan dengan mencari gigolo. ”
“Gigolo ?”
“Iya. Profesi gue sekarang ini gigolo. Tapi gigolo kelas tinggi. Karena yang ngajak kencan sama gue selalu dari kalangan elit. “
“Terus cara beroperasinya gimana ?”
“Ada yang ngatur, seorang wanita yang biasa dipanggil Mamih, “ sahut Dadang, “Dialah yang menentukan siapa yang harus hadir dan harus kencan dengan siapa, gitu. “
“Owh … gitu ya. “
“Nanti loe udah siap, akan gue ajak ke rumah Mamih. Tapi sebelum itu loe harus berdandan serapi mungkin, supaya loe kelihatan ganteng di mata Mamih. Kalau Mamih menilai loe ganteng, pasti ganteng pula di mata ibu – ibu itu. “
“Pakaian gue udah lusuh – lusuh, gimana bisa dandan Dang ?”
“Nanti gue kasih pakaian yang gak kampungan. Pokoknya loe harus berdandan sebaik mungkin, supaya tidak kelihatan baru datang dari pedesaan. Soal itu nanti gue yang dandanin. “
“Iya terserah loe aja Dang. Gue akan ikut apa kata loe aja. “
“Ohya, nama loe harus diganti. Jangan pakai nama Asep. Kedengarannya seperti orang kampung. “
“Lalu mau diganti dengan nama apa ?”
“Yosef aja. Biar keren kedengarannya. Gue juga bisa tetap manggil Sep, tapi berasal dari nama Yosef, bukan Asep. Gue sendiri udah ganti nama jadi Danke. “
“Danke ? Tapi kalau manggil masih tetap Dang ya. “
“Iya. Mmmm … loe udah ada pengalaman mengenai sex ?”
“Udah. “
“Sama siapa ? Sama pelacur ?”
“Iiih amit – amiiit. Gue sih gak pernah nyentuh pelacur. Lagian di kampung kita mana ada pelacur ?”
“Beneran gak pernah nyentuh pelacur ya. Soalnya nanti akan diperiksa oleh dokter mengenai kebersihan darahmu. Kalau ada benih – benih penyakit kotor, loe pasti ditolak oleh Mamih. “
Sejam kemudian, kami tiba di rumah Dadang alias Danke. Rumah yang lumayan besar dan keren bentuknya. Ada garasinya segala. Bahkan setelah masuk ke dalam, ternyata ada kolam renangnya segala. Hebat juga rumah teman karibku ini.
“Wah … ada kolam renangnya segala Dang, “ komentarku sambil mengamati kolam renang di dalam ruangan tertutup itu.
“Iya, “ sahut Danke, “Renang itu salah satu olahraga terbaik. Untuk membangun body yang bagus, untuk melatih pernafasan dan sebagainya. Nanti kalau loe mau berenang, berenang sajalah. Jangan sungkan – sungkan. Anggap aja rumah ini rumah loe sendiri. “
“Iya. Makasih Dank. Gue seneng juga berenang, tapi di sungai. Karena di kampung kita gak ada kolam renang. “
Danke alias Dadang memang sangat baik padaku. Beberapa setel pakaian diberikannya padaku, Pakaian yang lazim dikenakan orang kota. 3 sepatu yang kelihatan masih baru pun diberikannya padaku. Supaya jangan kelihatan kampungan, katanya.
Aku pun ditempatkan di kamar yang berdampingan dengan kamar Danke.
“Mulai saat ini biasakanlah mandi dua kali sehari. Biasakan ganti pakaian tiap hari. Dan terutama harus selalu menjaga kebersihan. Supaya ibu – ibu dan tante – tante yang berkencan dengan loe merasa nyaman ketika sedang bersama loe, “ kata Danke yang kuanggap sebagai nasihat baik.
Danke juga meminjamkan beberapa buah buku pengetahuan tentang cara – cara bergaul. Supaya aku jadi cowok yang sangat menyenangfkan.
Danke pun membuka lemari kecil obat – obatan di ruang keluarga, lalu menunjuk isinya, “Ini semua berisi supelmen, supaya kita senantiasa fits, terutama agar kontol kita selalu tangguh dalam menghadapi wanita serakus apa pun dalam melampiaskan afsu birahinya. Kalau mau pakai, pilih yang ini saja … sehari cukup satu kaplet saja, “ kata Danke.
Selama beberapa hari aku digembleng oleh Danke. Supaya aku lulus dalam test di rumah Mamih nanti, katanya.
Sampai pada suatu pagi, Danke mengajakku berangkat ke rumah Mamih.
Rumah Danke berada di kompleks perumahan kaum menengah ke bawah. Sementara wanita yang harus selalu dipanggil Mamih itu berada di kompleks perumahan elit, yang letaknya nyaris berseberangan dengan kompleks perumahan Danke.
Ternyata rumah Mamih itu ada salonnya segala. Ketika aku dan Danke masuk ke dalamnya, Danke langsung menemui seorang lelaki yang bertugas sebagai kasir salon. Danke berbicara sebentar dengan lelaki itu. Kemudian lelaki itu menyerahkan sebuah amplop yang entah berisi apa.
Danke pun menghampiriku sambil berkata setengah berbisik, “Ayo ke laboratorium dulu. Untuk pemeriksaan kondisi darah loe. “
Aku mengangguk. Lalu mengikuti langkah Danke menuju mobilnya. Di dalam mobil Danke menyerahkan amplop itu sambil berkata, “Sebenarnya isi amplop ini rujukan dokter langganan Mamih untuk laboratorium. Ada beberapa hal yang harus diperiksa di laboratorium nanti. Kita hanya akan menunggu dua jam di laboratorium, lalu langsung keluar hasilnya. “
“Setelah keluar hasilnya, harus diserahkan kepada dokter yang mengeluarkan surat rujukan ini ?” tanyaku.
“Nggak usah. Mamih sudah mengerti arti semua yang tertera di hasil laboratorium itu nanti. Soal pembayaran di laboratorium, gak usah dipikirin. Gue yang akan bayarin. “
“Terima kasih Dank. Gue jadi ngerepotin terus sama loe ya. “
“Jangan mikir gitu. Kita kan temenan sejak kecil. Bukan baru kenal sehari dua hari. “
Di laboratorium … setelah diambil darah dan menjalani pemeriksaan dengan beberapa alat, Danke membayar biayanya, kemudian mengajakku makan di sebuah rumah makan yang letaknya di sebelah barat gedung laboratorium itu.
Di rumah makan itu Danke berkata, “Nanti setelah berada di dalam ruang kerja Mamih, ikutilah apa pun yang dikatakan olehnya. Jangan berbicara kalau tidak ditanya. “
“Iya, “ sahutku, “Tadi Mamih gak kelihatan. Apakah dia sedang keluar ?”
“Dia di lantai atas, di ruang kerjanya. Dia memang jarang muncul di salon. Ohya … pasien salon itu pada umumnya wanita yang suka memesan brondong pada Mamih. Jadi di salon itu pula tante – tante pada dirias, sambil bertukar pengalaman. “
“Tadi belum ada pasiennya ya Dank. “
“Kan masih pagi. Ohya, nanti setelah mempertemukan loe sama Mamih, gue langsung cabut ya. Gue udah janjian mau kencan sama pelanggan gue yang paling setia. “
“Iya. Gue bisa pulang sendiri kok. Gampang ngingetinnya. Perumahan Mamih berseberangan dengan perumahan loe kan ? “
“Iya. Perumahan Mamih dan perumahan gue cuma dibatasi jalan raya aja. Jalan kaki juga bisa. Tapi kalau males jalan, pakai ojek aja. Nih buat naik ojek nanti, “ kata Danke sambil memberikan selembar uang seratusribuan.
“Makasih Dank, “ ucapku sambil memasukkan duit itu ke saku celana jeansku. Celana pemberian Danke beberapa hari yang lalu. Baju kaus biru muda yang kukenakan pun pemberian Danke.
Di rumah makan itu kami ngobrol banyak. Danke mengkhususkan diri untuk menceritakan Mamih, sebagai boss di dalam “bisnis jasa” itu.
“Jadi nanti loe akan difoto dari semua arah, dalam pakaian lengkap mau pun telanjang. Loe jangan susah kalau disuruh telanjang nanti kan. Soalnya pelanggan Mamih suka minta foto telanjang kita, “ kata Danke setelah kami cukup lama nongkrong di rumah makan itu.
Aku cuma mengangguk saja. Padahal aku belum pernah difoto dalam keadaan telanjang.
Tak lama kemudian, kami tinggalkan rumah makan itu, kembali ke laboratorium. Ternyata hasil pemeriksaan laboratorium itu sudah selesai dan diberikan padaku dalam sebuah amplop bertuliskan nama perusahaan laboratorium itu.
Sambil melangkah ke arah mobilnya yang terparkir di depan laboratorium itu, Danke membuka amplop itu dan mengamati hasil pemeriksaan laboratorium itu.
“Kelihatannya bagus semua Sep, “ kata Danke, ”Loe pasti diterima sama Mamih. “
“Mudah – mudahan aja diterima. “
“Ohya, loe bisa nyetir ?” tanyanya.
“Bisa. SIM juga punya. “
“Kalau gitu loe aja yang nyetir. Biar gue buktiin sehalus apa loe bawa mobil, “ kata Danke sambil menyerahkan kunci sedannya. Sebenarnya sedan Danke tidak ada kuncinya, hanya ada remote control bergantelan dompet kecil berisi STNK. Kebetulan aku pernah nyoba mobil sejenis ini di kampungku. Sehingga aku tidak bingung setelah duduk di belakang sedan matic ini. Cukup dengan menekan tombol di dekat batang setir, kemudian memijatnya lagi sambil menginjak pedal rem.
Ketika sedan itu mulai kularikan di jalan besar, Danke yang duduk di samping kiriku berkata, “Gak nyangka … loe bisa nyetir sehalus ini. Bagus Sep. Nanti kalau sekali – sekali kita ke luar kota, kita bisa gantian nyetir. “
Aku memang punya bakat nyetir dan hafalin jalan. Dengan sekali jalan saja, tak mungkin tersesat. Maka ketika aku nyetir dari laboratorium ke rumah Mamih, aku tahu pasti jalan mana yang harus dilalui, tanpa harus dibimbing oleh Danke.
Hanya butuh setengah jam aku berhasil menghentikan sedan Danke di depan rumah Mamih.
“Loe nyetirnya meyakinkan. Gue suka cara loe bawa mobil Sep, “ kata Danke sebelum turun dari mobilnya.
Kulihat banyak mobil diparkir di depan rumah Mamih.
Untuk mencapai ruang kerja Mamih ternyata harus melewati salon dulu. Ibu – ibu yang sedang ngobrol di salon, spontan berhenti bicara. Karena memperhatikan kedatanganku bersama Danke. Pandangan mereka semua tertuju padaku. Mungkin karena aku orang baru di lingkungan mereka.
Aku pun mengangguk sopan ke arah mereka. Yang mereka sambut dengan senyum di bibir masing – masing. Kemudian kuikuti langkah Danke menuju lantai dua.
Setelah mengetuk sebuah pintu di lantai dua, terdengar suara dari dalam ruangan itu, “Siapa ?”
“Danke Mam !” seru Danke.
“Masuklah. “
Danke membuka pintu dan masuk ke dalam. Aku mengikutinya dari belakang.
Setelah masuk ke dalam ruangan kerja itu, kulihat seorang wanita mengenakan gaun berwarna hijau tosca yang mengkilap, dengan belahan cukup panjang di kanan – kirinya. Ia berdiri di belakang meja tulisnya ketika melihatku. Lalu menjabat tanganku tanpa menyebutkan namanya. Lalu ia duduk lagi sambil menoleh ke arah Danke.
“Mamih … Ini calon yang saya sebutkan tempo hari itu, “ kata Danke.
Wanita setengah baya yang dipanggil Mamih itu mengangguk, “Siapa namanya ?”
“Nama aslinya Asep, nama aliasnya Yosef, “ sahut Dadang alias Danke.
“Bagusan pakai nama Yosef, “ kata Mamih.
“Iya, ini hasil pemeriksaan dari laboratorium Mam, “kata Danke sambil menyerahkan amplop dari laboratorium itu.
Mamih membuka amplop itu, lalu mengeluarkan selembar kertas berisi hasil pemeriksaan laboratorium. Ia memperhatikan hasil pemeriksaanku itu dengan seksama.
Mamih mengangguk – angguk. Lalu menoleh ke arah Danke yang masih berdiri di sampingku. “Bagus semua hasilnya, “ kata Mamih, “Tinggalkan saja Yosef di sini. Kamu ada janji dengan Bu Nina kan ?”
“Betul, “Danke mengangguk, “Saya tinggalkan Yosef ya Mam. “
Mamih mengangguk. Danke menepuk bahuku sambil berkata, “Gue pergi dulu ya. “
“Iya, “ sahutku.
Setelah Danke keluar, Mamih mengunci pintu keluar, lalu kembali ke kursi ala direktur yang bisa berputar itu. “Duduklah Sef, “ katanya sambil duduk di kursi itu.
Aku pun duduk di kursi depan meja tulis Mamih. Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu.
“Umurmu berapa ?” tanya Mamih
“Delapanbelas, “ sahutku.
“Sudah punya pengalaman dalam sex ?” tanyanya dengan tatapan menyelidik.
“Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam … “
“Dengan perempuan nakal ?”
“Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. “
“Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?”
“Dengan … dengan saudara sepupu, “ sahutku jujur.
Mamih mengangguk – angguk sambil tersenyum. “Kamu benar – benar berniat untuk menjadi gigolo ?”
“Iya, saya berminat. “
“Apa yang mendorongmu ingin menjadi gigolo ?”
“Pertama karena saya butuh uang. “
“Kedua ?”
“Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. “
“Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata – rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. “
“Saya siap Mam. “
“Coba kamu berdiri dan perlihatkan kontolmu seperti apa. “
Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
“Hmm … kelihatannya panjang juga kontolmu meski dalam keadaan lemas begitu. Coba berdirinya di sini, “ kata Mamih sambil menunjuk ke sebelah kanan meja tulisnya.
Aku pun melangkah ke sebelah kanan meja tulis Mamih. Sambil memegang kontolku yang masih lemas ini.
Mamih memutar kursinya, jadi menghadap padaku. Dan memegang kontolku, sambil meremasnya perlahan. Kontolku tetap lemas. Mungkin karena masih punya perasaan segan kepada Mamih. Dan jadi panik ketika kontolku dipegang olehnya.
“Bagaimana cara kamu supaya kontolmu ini ngaceng ?”
“Bi … biasanya sih kalau melihat foto wanita telanjang atau nonton bokep, “ sahutku jujur.
Mamih berdiri. Lalu duduk di pinggiran kanan meja tulisnya, sambil menurunkan celana dalamnya yang putih bersih. Aku cuma berdiri canggung dan bertanya – tanya, apa yang akan Mamih lakukan ? Wooow … dia menyingkapkan gaunnya, lalu memamerkan memeknya yang bersih dari bulu … !
“Nah … pandanglah memekku … supaya kontolmu bisa ngaceng … “ kata Mamih sambil mengusap – usap memeknya.
Jelas aku sangat terangsang menyaksikan memek Mamih itu. Tapi batinku masih linglung, sehingga kontolku hanya memanjang dan membesar, namun belum ngaceng full.
Tampaknya Mamih benar – benar ingin menyaksikan seperti apa kalau kontolku sudah ngaceng. Lalu ia duduk mengangkang di pinggiran meja tulisnya, sambil menarik kontolku. Dan mengoles- oleskan moncong kontolku ke memeknya … !
Kini kontolku benar – benar ngaceng dibuatnya. Terlebih setelah terasa memek Mamih jadi basah dan licin dan hangat.
“Wow … setelah ngaceng kontolmu gagah sekali Yosef. Gede dan panjang sekali. Coba dorong sampai masuk ke dalam memekku, “ kata Mamih sambil mengangakan memeknya dengan tangan kiri dan tetap memegang kontolku dengan tangan kanannya.
Aku menurut saja apa yang diperintahkan oleh Mamih. Kudorong kontolku sekuat tenaga. Tapi sulit masuknya.
“Uuuughhhh … susah masuknya ya …. sebentar … kita pindah ke kamarku aja yuk, “ Mamih menjauhkan kontolku dari memeknya, lalu turun dari meja tulis sambil meraih celana dalam putihnya dan menuntun tanganku menuju pintu yang di dekat sofa itu.
Aku mengikuti apa pun yang Mamih katakan, bukan semata – mata karena teringat pesan Danke. Tapi juga karena diam – diam aku merasa suka kepada Mamih yang bertubuh tinggi langsing tapi tidak kurus, Mamih yang berwajah manis dan berkulit putih bersih (menurut ukuran bangsaku).
Ternyata Mamih membawaku ke sebuah kamar tidur. Di kamar ini ada sebuah tempat tidur berukuran lebar. Sebuah lemari pakaian, sebuah meja rias yang berkaca cermin dan ada pula kamar mandi tersendiri.
Lalu Mamih bertolak pinggang di depanku, sambil berkata, “Sekarang kamu akan menempuh latihan. Agar jangan mengecewakan wanita – wanita yang membayarmu nanti ya. “
“Siap Mamih, “ sahutku sambil berdiri tegak, dengan kontol yang masih ngaceng.
Mamih memegang kedua bahuku sambil berkata, “Anggap saja sekarang kamu sedang berhadapan dengan wanita yang akan membayarmu. Kamu harus tau apa yang sebaiknya kamu lakukan. Pertama … lepasin gaunku. “ Mami membelakangiku, sehingga aku tahu bahwa di bagian punggung gaunnya ada ritsleting yang harus diturunkan. Maka kuturunkanlah ritsleting itu.
Setelah ritsleting itu diturunkan dengan mudah aku bisa menurunkan gaunnya, sampai terlepas dari sepasang kaki Mamih.
Mamih membelakangiku dan berkata, “Sekarang behanya lepasin. “
Kuikuti saja permintaan Mamih itu. Kulepaskan kacing kait behanya yang terletak di bagian punggungnya. Mamih sendiri yang menanggalkan behanya, lalu melemparkannya ke atas bed.
Mamih masih membelakangiku. Dan berkata, “Kalau aku ini wanita yang membayarmu, kamu harus aktif. Jangan berdiam pasif. Coba katakan apa yang ingin kamu lakukan sekarang seandainya aku ini wanita yang membayarmu ?”
“Mung … mungkin ingin memegang pantat Mamih yang gede dan indah sekali bentuknya ini, “ sahutku.
“Peganglah … remaslah … tepok – tepok juga boleh … “ ucap Mamih yang masih membelakangiku.
Aku pun langsung melakukannya. Memegang bokong gede Mamih, meremasnya dan menepuk – nepuknya. Namun kedua tanganku ditarik oleh Mamih ke depan, kemudian diletakkan di permukaan sepasang toketnya. “Agar wanita membayarmu cepat horny, peganglah teteknya. Lalu remas dengan lembut. Mainkan pentilnya dengan jarimu. “
Lalu aku meremas toket kiri Mamih, toket yang belum jelas bentuknya karena aku meremasnya dari belakang Mamih. Sementara tangan kananku diarahkan oleh Mamih, untuk mengelus pentil toket kanannya dengan ujung telunjukku, sedangkan jempol dan jari tengahku untuk menjepit pentil itu.
Mamih membiarkan kedua tanganku beraksi beberapa menit. Kemudian ia bertanya, “Pernah jilatin memek ?”
“Sering, “ sahutku, “saudara sepupu saya selalu ingin dijilatin memeknya setiap kali mau bersetubuh. “
Tiba – tiba Mamih memutar badannya, jadi berhadapan denganku. Sambil tersenyum ia mengusap – isap memeknya. Dan berkata, “Kalau begitu jilatin memekku sekarang ya. Biar latihannya lancar.
“Iya Mamih, “ sahutku spontan. Karena sejak tadi pun aku sudah ingin menjilati memek Mamih yang bersih dari jembut itu, tapi belum ada instruksi dari Mamih.
Lalu Mamih melangkah ke arah springbednya yang dilapisi kain seprai berwarna pink. Di situlah Mamih celentang sambil mengusap – usap memeknya. “Kamu harus telanjang dulu Sef. “
“Iya Mam, “ sahutku sambil melepaskan sepatu dan kaus kakiku, lalu menurunkan celana jeans dan celana dalamku, sampai terlepas dari kedua kakiku. Lalu kulepaskan baju kausku, sehingga aku jadi telanjang bulat seperti Mamih.
Lalu aku naik ke atas springbed Mamih.
“Yosef … badanmu bagus sekali, “ kata Mamih, “Kamu sering olahraga ya ?”
“Iya Mamih. “
“Menurutmu … aku ini seperti apa ?” tanya Mamih.
Aku yang sudah terbiasa memuji orang lain, lalu menyahut, “Mamih … ya cantik ya manis pula. Tubuh Mamih pun luar biasa indahnya. Mudah – mudahan para wanita yang akan membayarku kelak seperti Mamih semua. “
“Hihihiii … gak mungkinlah … wanita – wanita yang akan membayarmu itu, ada yang agak muda, ada yang lebih tua dariku. Ada yang item, ada yang putih. Ada yang gendut ada yang kurus. Ada cantik, ada yang jelek, “ kata Mamih.
Lalu kata Mamih lagi, “Tapi mereka semua orang – orang tajir. Karena itu kamu harus bersikap sebaik mungkin kepada mereka. Jangan sampai ada yang kapok, akibat sikap dan perilakumu yang kurang sopan. “
“Iya Mamih. Petunjuk dari Mamih akan kuingat terus, “ sahutku sambil berlutut di antara kedua kaki Mamih yang mengangkang.
Lalu aku menelungkup, dengan wajah berada di atas memek Mamih. Dan mulai mengusap – usap permukaan memek yang lumayan tembem itu. Lalu … dengan penuh nafsu kuciumi permukaan memek Mami. Lidahku pun mulai kujulurkan, untuk menyapu – nyapu memek Mamih yang agak ternganga sehingga bagian dalamnya yang berwarna pink itu terlihat jelas olehku.
Mamih mulai terasa mengejang – ngejang. Kedua tangannya pun mengusap – usap rambutku. Terlebih setelah aku menyelinapkan jaru tengah dan telunjukku ke dalam celah memeknya, sementara lidah dan bibirku terkonsentrasi untuk menjilati dan mengisap – isap kelentitnya.
Mamih pun mulai mendesah dan merintih perlahan, “Yosef … oooooh … Yosef … ternyata kamu sangat … sangat pandai jilatin … jilatin memek …. oooh … Yosef … jilatin dan isep terus itilnya Seeeef … oooohhh … ini enak sekali Yoseeeef … “
Mamih menggeliat – geliat terus, sambil merintih – rintih perlahan. Tangannya bukan cuma mengusap – usap rambutku lagi. Kini rambutku diremas – remas, terkadang dijambak – jambak.
Ini mengingatkanku pada Lilis, saudara sepupu yang usianya 10 tahun lebih tua dariku. Tapi dia harus manggil Kang padaku, karena ibunya adik almarhumah ibu kandungku.
Aku masih ingat bahwa Lilis yang saat itu menjanda, merupakan pengalaman pertamaku merasakan hubungan sex. Lilis selalu ingin dijilatin memeknya sebelum kusetubuhi. Sehingga aku cukup berpengalaman dalam soal jilmek.
Dan kini aku berhasil membuat Mamih terlena – lena, dengan tubuh menggeliat – geliat, dengan nafas berdesah – desah. Terlebih ketika kelentitnya kuisap – isap sekuatnya, terasa tubuh wanita setengah baya yang cantik itu tergetar – getar dibuatnya.
Sampai pada suatu saat, kedua telapak tangan Mamih mendorong kepalaku. “Cukup Sef … masukkan aja kontolmu. “
Tanpa buang waktu, aku pun berlutut di antara kedua kaki Mamih yang mengangkang, sambil meletakkan moncong kontolku di mulut memek yang sudah basah itu. Sambil berlutut dan membungkuk pula kudesakkan kontolku sekuat tenaga. Langsung membenam ke dalam liang memek yang sudah licin ini. Tapi tidak bisa masuk semuanya, karena mentok di dasar liang memek Mamih.
“Duuuh … kontolmu memang panjang sekali … sampai nabrak dasar liang memekku … “ ucap Mamih terengah, “nanti pasti banyak ibu – ibu yang ketagihan sama kamu … ayo entotin Sef … “
Mendengar instruksi itu aku langsung mengayun kontolku yang sudah berada di dalam liang memek Mamih.
Mamih pun menarik kedua lenganku, sehingga dadaku terhempas ke sepasang toket Mamih yang berukuran sedang dan masih lumayan padat kenyal itu.
“Sambil mainin tetekku Sef, “ ucap Mamih ketika entotanku mulai lancar.
Lalu Mamih memberi petunjuk bagaimana cara memainkan toket yang benar. Bahwa aku boleh meremasnya, tapi jangan terlalu kuat, karena bisa menyakitkan pasangan seksualku nanti. Mamih juga menganjurkan untuk mengulum pentilnya sambil menjilatinya di dalam mulutku.
Mamih juga menganjurkan untuk menjilati lehernya. Bahkan ketiaknya juga. Karena bagian – bagian sensitif itu akan menimbulkan kenikmatan tersendiri bagi wanita yang kusetubuhi.
Mamih juga ngasih tahu, bahwa sebagian wanita senang kalau Sang Gigolo memakai kondom pada waktu menyetubuhinya. Tapi banyak juga yang tidak suka benda yang terbuat dari karet itu. Jadi sebaiknya aku selalu membekal kondom setiap mau berkencan dengan wanita yang akan membayarku.
Banyak lagi petunjuk dari Mamih, yang harus kucamkan di dalam hati.
Lalu kulanjutkan lagi “latihan” dengan Mamih ini. Ternyata aku mendapat pujian. Mamih berkata, “Kontolmu luar biasa panjangnya Sef. Pasti bakal banyak wanita yang ketagihan nanti. Soalnya enak sekali. Puncak kontolmu bisa terus – terusan menyundul dasar liang memek begini … lagian wajahmu tidak mengecewakan. Kamu lebih tampan daripada Danke. “
Kebetulan pula aku cukup tangguh pada waktu menyetubuhi Mamih ini. Sudah bermacam – macam posisi kami lakukan, sehingga Mamih sudah orgasme 2 kali. Tapi aku tetap tangguh dan belum terasa gejala – gejala mau ngecrot.
Aku benar – benar digembleng oleh Mamih, untuk membentuk diriku sebagai lelaki muda yang tangguh dan memuaskan di atas ranjang.
Mamih pun menasehatiku, agar selalu berdandan rapi sebelum ketemuan dengan wanita yang akan “menyewaku”. Aku juga harus selalu menjaga sopan santun waktu sedang bersama dengan “klien”. Ya, Mamih menyebut wanita – wanita yang suka memakai jasa gigolo itu sebagai klien.
Sebelum pulang, aku masih sempat mendengar bisikan Mamih, “Kapan – kapan kalau aku pengen dientot sama kamu, harus mau ya. “
“Iya Mamih. “
Lalu Mamih memberikan 5 lembar uang seratusribuan. Buat membeli vitamin dan suplemen, katanya.
Hari sudah larut malam ketika aku meninggalkan rumah Mamih.
Setibanya di rumah Danke, ternyata sahabatku itu sudah ada di rumah lagi.
“Kok udah pulang ? Kirain mau nginep bersama wanita yang nyewa loe, “ kataku.
“Wanita yang punya suami sih gak bisa nginep. Kecuali kalau suaminya sedang jauh atau ke luar negeri, baru bisa nginep. Ohya, tadi ngapain aja di rumah Mamih ? Dikasih perempuan untuk latihan ngewe ?”
“Sama Mamih sendiri. “
“Haaa ?! Jadi latihan eweannya sama Mamih ?”
“Iya. Sampai berjam – jam. “
“Hahahaaa … berarti nasib loe bagus Sef. Gue aja gak dilatih langsung sama Mamih. “
“Kirain semua gigolo dilatih sama Mamih. “
“Berapa ronde main sama Mamih tadi ?”
“Tiga ronde. Makanya sampai berjam – jam. Mamih ingin tau ketangguhan gue seberapa kuat. Karena kadang – kadang suka ada dua atau tiga wanita yang membooking seorang gigolo, katanya. “
“Berarti loe lulus trainingnya dong. “
“Lulus. Malah gue dikasih duit limaratusribu. Buat beli vitamin dan suplemen katanya. “
“Wah sukurlah. Berarti loe bakal jadi kesayangan Mamih tuh. “
“Gue sih gak terlalu ngarepin masalah itu. Sekarang ini cita – cita gue sih pengen banyak duiiiit … itu aja. “
“Soal duit sih akan datang dengan sendirinya setelah loe bisa nyenangin orang. “
“Ohya, menurut loe apa yang paling menyenangkan hidup sebagai gigolo itu Dank ?”
“Gue sih enjoy banget Sef. Rasanya pekerjaan gue selalu nyenengin. Soalnya gue bisa nyobain bermacam – macam memek wanita setengah baya. Sedangkan gue udah lama seneng banget sama wanita setengah baya. Kadang gue mikir gak dikasih duit juga gakpapa, asalkan bisa ngentot memeknya aja. Hahahaaaa …. !”