Perjalanan Seorang Akhwat
Sanking asyiknya membaca buku, aku tidak menyadari kehadiran seseorang yang tiba-tiba saja sudah berada di dekatku, cukup dekat mengingat ia duduk di sampingku.
“Boleh pinjam!”
Deg…
Reflek aku melihat kesamping. “Astagfirullah…” Buru-buru aku menggeser dudukku.
“Maaf, aku ngagetin ya…” Katanya.
Aku menundukkan kepalaku, menjaga mataku dari perbuatan yang di haramkan. “Iya, seperti yang kamu lihat.” Jawabku seadanya.
“Aku boleh pinjam.” Katanya lagi.
Dia menggeser duduknya hingga kembali berada dekat denganku. Sumpah aku merasa risih melihatnya yang sok kenal denganku.
Ingin sekali aku pergi begitu saja mengabaikannya, tapi aku sadar kalau itu tidak sopan.
“Maaf Mas, jangan dekat-dekat, kita bukan muhrim.” Kataku mengingatkannya, sembari berdiri, sungguh aku merasa terganggu.
“Oh… Maaf.”
“Lain kali jangan di ulangi.” Kataku tegas. “Oh iya… hmmm… ini aku belum selesai baca, nanti kalau mau aku pinjamin setelah selesai baca.” Kataku kepadanya, kemudian aku memutar tubuhku dan berjalan meninggalkannya.
“Tunggu…”
Aku menghentikan langkahku, lalu melihat kearahnya sejenak dan kemudian kembali menundukkan wajahku. “Ada apa Mas?” Tanyaku pelan tapi tegas.
Walaupun aku tidak melihat pasti kewajahnya, tapi aku tau ia sedang tersenyum. “Aku Aldo!” Katanya, menyebutkan namanya begitu saja.
Tapi sayang aku tidak tertarik dengannya, sehingga aku kembali melanjutkan langkahku menuju kelasku, meninggalkannya dengan perasaan dongkol melihatnya yang sok keren.
Siapa yang tidak mengenal Aldo, Kakak senior tingkat akhirnya yang gak tamat-tamat, yang suka berbuat onar, jarang masuk kuliah, suka demo gak jelas, dan parahnya lagi dia seorang playboy. Sudah banyak mahasiswa yang jadi korbannya.
“Hei… kamu kenapa?” Aku tersentak kaget.
“Astagfirullah… Rani!” Ujarku kaget.
Dia mengangkat alisnya. “Kamu kenapa? Kok kayaknya lagi kesal.” Tanyanya, aku mendengus pelan, lalu duduk di bangku yang ada di depan kelas.
“Tadi ada cowok yang sok akrab!” Jawabku ketus.
“Siapa?” Tanya Rini, ia tampak antusias.
Rani memang selalu bersemangat setiap kali berurusan dengan yang namanya cowok.
Bayangkan aja, baru beberapa Minggu kami menjadi mahasiswa, ia sudah memiliki pacar, tidak tanggung-tanggung ia punya dua cowok sekaligus. Padahal dalam Agama pacaran itu jelas di larang.
“Mas Aldo.” Jawabku singkat.
Mulut Rini terbuka lebar dengan mata berkaca-kaca saat mendengar nama cowok yang telah membuatku kesal. “Serius Za?” Tanyanya tak yakin.
Entah kenapa, aku menyesal menceritakannya. “Iya.” Jawabku malas.
“Aldo senior kita itu?”
“Iya…”
“Eehmm… kenalin dong!” Rani mendadak histeris sembari menarik lenganku.
“Astagfirullah Ran.” Kataku sembari menatapnya.
Dia tersenyum malu-malu sembari memasang mata kelincinya. Aku menggelengkan kepalaku melihat tingkahnya yang terkadang kekanak-kanakan kalau sudah berurusan dengan cowok.
“Ran… mereka itu bukan muhrim kita! Haram hukumnya Ran.” Kataku mengingatkannya, untuk kesekian kalinya.
“Iya Bu Ustadzah.”
“Rani… aku serius.” Aku menatap tajam kearahnya.
Dia mendesah pelan sembari menyandarkan punggungnya. “Di ceramahin lagi.” Kataku lemas, ya… begitulah Rani, padahal niatku hanya ingin mengingatkannya.
“Astagfirullah Ran, aku tuh gak maksud ceramahin kamu, tapi sebagai sahabat, aku sudah kewajiban ku untuk meningkatkan kamu. Aku cuman gak mau kalau kamu nanti malah terjerumus.” Jelasku kepada Rani.
“Iya… Iya…”
“Rani… pacaran itu sudah mendekati zina, dan hukumnya haram.” Kataku tak pernah lelah menasehati dirinya.
“Iya Bu Ustadzah, terimakasih ya…”
Aku kembali menggelengkan kepalaku, entah kenapa rasanya sulit sekali menasehatinya.
Tapi aku tidak boleh menyerah, aku harus membawa temanku hijrah menjadi wanita muslimah yang Soleha, yang bisa di banggakan.
“Gini Ran…. A….”
“Sayang… lagi ngapain?” Tiba-tiba seorang pria sudah berada di depan kami.
Kulihat Fadli pacar baru Rani tiba-tiba saja duduk di samping sahabatku. Entah kenapa aku selalu kesal setiap kali melihatnya.
Aku merasa kehadiran Fadly hanya membawa pengaruh buruk untuk sahabatku.
“Alhamdulillah…” Teriak Rani.
“Kamu kenapa sayang?” Tanya Fadli bingung.
“Gak apa-apa kok yang… Eh… kita ngantin yuk.” Ajak Rani, kemudian Rani berdiri sembari mengamit tangan Fadli dengan erat.
Astagfirullah…
Kemudian tanpa mengatakan apapun kepadaku, ia mengajak Fadli pergi.
“Ran… jangan lupa bentar lagi dosen datang.” Kataku mengingatkannya.
Rani mengangkat jempolnya, kemudian dengan cepat menghilang dari pandanganku. Aku mendesah lirih, berharap ini terakhir kalinya aku melihat dirinya menggenggam tangan seorang pria yang bukan muhrimnya.
Lagi-lagi dia tidak masuk kelas karena Fadli, padahal aku sudah mengingatkan dirinya.
Tapi ia memang tidak pernah mau mendengarkan ku, selalu saja… dan selalu saja ia mengabaikan nasehatku, entah harus bagaimana lagi caranya menasehati dirinya agar ia mau mendengarkan ku. Sebagai sahabatnya aku merasa berdosa.
Gara-gara dia aku harus berbohong, untuk menyelamatkan absennya, aku terpaksa mengatakan kalau ia izin sakit.
Sungguh aku tidak ingin melakukannya, tapi aku tidak punya pilihan, aku tidak ingin ia sampai tinggal semester karena tidak bisa mengikuti ujiannya.
Walaupun aku tau ini dosa, dan ini di larang oleh Agama. Oleh karena sebab itulah aku tidak bersemangat, karena aku merasa sangat bersalah, menolong sahabatku yang jelas-jelas bersalah.
Bahkan aku merasa, aku ini bukan sahabat baiknya, karena kebohongan ku, secara tidak langsung aku menjerumuskannya.
Maafkan aku… maafkan aku… ya Tuhan…
Setibanya di kantin aku tidak menemukan Rani, yang ada aku malah bertemu Mas Aldo. Salah satu mahasiswa yang selalu ingin kuhindari.
Masih teringat jelas awal pertemuan kami dulu, saat itu masa orientasi kampus.
Aku yang ingin segera buang air, tanpa sadar malah masuk kedalam toilet pria, saat aku tersadar atas kesalahanku tiba-tiba seseorang menarik tanganku, menyelamatkanku dari rasa malu dan untunglah saat itu tidak ada yang menyadari kesalahanku, kecuali dia, dia yang menyelamatkanku.
Semenjak saat itu, ia selalu saja berusaha mendekatiku, dengan berbagai cara. Tapi untunglah, imanku cukup kuat untuk menolak godaannya, walaupun ia telah berjasa menyelamatkanku dari rasa malu yang tidak akan pernah bisa aku lupakan.
Tapi sejujurnya, terkadang aku merasa ada yang aneh tehadap diriku, setiap kali berada di dekatnya. Aku merasa jantungku berdetak cepat, dan pipiku rasanya terbakar, membuatku tidak nyaman.
Kupikir ini karena insiden memalukan yang terjadi di toilet pria, tapi rasanya bukan.
“Ziza…”
Oh Tuhan…
Kenapa sulit sekali menghindar darinya, ayo Ziza terus berjalan jangan berhenti.
Hatiku terus berteriak mendorongku, memintaku untuk terus melangkah, tapi pada akhirnya, aku tidak bergeser sama sekali, bahkan Tidak untuk satu langkah pun.
Ada apa denganmu Zizah? Kenapa kamu diam saja? Ayolah Ziza kamu pasti bisa.
“Mau pulang?” Deg… Deg…
“I… iya Mas.” Jawabku acuh.
“Bareng ya…” Pintanya.
Aku menarik nafas dalam, lalu tanpa menjawab pertanyaannya, aku langsung melangkah cepat walaupun kakiku gemetaran.
Dan seperti yang sudah aku duga dia mengikuti ku, berusaha mensejajarkan langkah kami, tapi aku berusaha mendahuluinya secepat mungkin.
Bukankah tidak baik seorang gadis muslimah berjalan beriringan dengan seorang pria yang bukan muhrimnya? Aku tidak ingin ada fitnah di antara kami berdua, aku harus tegas untuk urusan yang satu ini.
“Za…”
“Iya…” Jawabku menunduk.
Sejenak aku melihat ujung bibirnya yang sedang tersenyum. “Aku Aldo…” Katanya, membuat terhenyak, antara jengkel sekaligus lucu.
Ya… untuk kesekian kalinya ia memperkenalkan dirinya, dan seakan ia tidak pernah bosan menyebut namanya di depanku, membuatku semakin tidak nyaman dengan keberadaannya di dekatku.
Aku menggelengkan kepalaku, berusaha membuang perasaan aneh yang menjalar di seluruh tubuhku.
“Hei…” Seruannya.
“Kenapa Mas…” Oh Tuhan… kenapa suaraku mendadak serak seperti ini, seakan aku mendadak sakit tenggorokan yang mengganggu pita suaraku.
“Siapa namamu.” Pertanyaan konyol.
“Bukannya Mas sudah tau…”
“Ya… tapi aku mau kamu yang mengenalkan namamu kepadaku secara langsung.” Katanya sembari memasukan kedua tangannya kedalam saku celananya, sikapnya yang acuh tak acuh, membuatku benar-benar kesal.
Aldo… Aldo… Aldo…
Cukup menggodaku, seharusnya kamu tau, aku wanita dan kamu pria, kita punya batasan yang jelas, aku tak ingin melanggarnya.
Dan lagi kamu bukanlah pria yang baik, aku tak ingin mengenalmu lebih dari ini.
Aku mengabaikannya dan terus berjalan, sembari sesekali aku melihat ke depan, memastikan butuh berapa langkah lagi bagiku untuk mencapai parkiran motorku, karena aku merasa sudah tidak tahan lagi berada di dekatnya.
“Za….”
Aku melangkah makin cepat, bahkan aku nyaris menabrak mahasiswa lainnya.
Alhamdulillah, akhirnya aku tiba di parkiran, dan itu artinya kami akan berpisah sampai di sini. Ah… kenapa kata perpisahan itu terasa menyakitkan.
“Mas… aku pulang duluan ya.” Kataku pelan, tapi tetap dijaga agar terdengar tegas.
“Za…”
Tanpa memperdulikannya, aku segera naik keatas motorku. “Assalamualaikum.” Salamku cepat tanpa melihat kearahnya.
“Waalaikum salam Ziza.”
Dengan perlahan aku menjalankan motor maticku, dan entah kenapa aku melihat kekaca spion, dan pada saat bersamaan aku melihatnya tersenyum, sebuah senyuman yang menggetarkan hatiku.
Namaku Aziza Hidayah