ANCAMAN YANG SEMPURNA

Sebelum memulai kisah, Nyubi mohon ijin untuk belajar bercerita kepada para . Semoga berkenan memberi sedikit petuah tentang cara menulis dan ber-ide yang baik dan benar. Terima kasih sebelumnya.
NB :
1. Mohon maaf sebelumnya, kalau eksekusi Em-Elnya tidak terlalu sering dan tidak sesuai ekspektasi para pembaca.
Karena saya berusaha untuk membangun keutuhan sebuah cerita.
2. Kalau ada kesamaan nama dan tempat dan tanggal lahir, itu hanya sebuah kebetulan bukan karena kesengajaan, dan semoga juga bukan kesamaan cerita.
***

Kisah ini dimulai saat waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Saat seorang pemuda mabuk, berjalan sempoyongan menelusuri gang senggol yang sudah sepi. Ridwan nama pemuda itu. Berusia hampir dua puluh tahun, bekerja di sebuah bengkel mobil sebagai montir. Pekerjaan itu didapatkannya seusai lulus sekolah SMK jurusan teknik mesin dua tahun yang lalu.
Dua tahun yang lalu itu ia baru mengetahui bahwa dia ternyata adalah anak asuh dari sebuah keluarga yang tidak mempunyai keturunan. Orang tua aslinya, baru dikenalnya, ketika mereka datang menemui ke dua orang tuanya untuk mengambil kembali hak asuh dari anak biologis mereka. Kisah yang lazim dari fakta sebenarnya sering terjadi di masyarakat kita.
Perlu berhari-hari, ke dua pasangan orang tua itu meyakinkan kenyataan kepada Ridwan yang marah dan mengamuk. Bahwasanya dia dilahirkan dari seorang ibu bernama Maya, yang mengandung di luar nikah hasil dari pemerkosaan seorang pria yang terpaksa harus dibui demi mempertanggung jawabkan pekerjaan maksiatnya itu. Sebenarnya si pria itu berani bertanggung jawab untuk menikahi Maya, cuma karena ia seorang pria beristri dan si istri yang marah itu memperkarakan perbuatan si suaminya. Terpaksa vonis lima tahun penjara untuk sang suami dijalaninya secara terpaksa. Kehilangan pekerjaan, istri, harta, itulah karma untuk seorang pemerkosa.
Sekeluarnya dari penjara, Si Pemerkosa mampu meyakinkan Maya untuk mau dilamar menjadi istrinya, walau pun usia mereka terpaut cukup jauh. Si Pemerkosa berusia empat puluh tahun saat itu, dan Si Korban masih tujuh belas tahun, yang terpaksa harus putus sekolah akibat hamil duluan.
Si Bayi yang tanpa dosa itu, diambil sepasang suami istri yang masih kerabat Maya, untuk dirawat dan dibesarkan. Maya yang tidak punya pilihan, terpaksa menerima lamaran pria pemrkosanya. Orang tua Maya sendiri, selesai anaknya dinikahi, mengultimatum anak dan menantunya langsung untuk berpisah rumah dengan mereka. Dan mereka berdua pergi pindah kota, mengontrak di sebuah bilik yang murah di pinggiran Jakarta.
Rudi, nama si pemerkosa itu, harus banting tulang mulai merintis usaha kecil-kecilan. Setelah usahanya mulai berhasil, walau pun hanya untuk hidup berdua dengan istrinya, beberapa kali mereka mencoba menemui kerabat dari Maya untuk mengambil hak asuh dari Ridwan. Cuma dengan berbagai alasan, salah satunya adalah bahwa Maya dan suaminya masih belum mapan. Keinginan untuk mengasuh anak mereka pun menemui kegagalan.
Hingga dua tahun yang lalu. Mereka datang lagi, tepatnya hanya Maya yang datang. Memohon kepada kerabatnya itu untuk menyerahkan Ridwan kepadanya. Dengan alasan yang menghiba, bahwa suaminya telah mengalami penyakit stroke setahun yang lalu. Yang mengakibatkan pekerjaan suaminya terhenti, dan mereka telah kehabisan uang. Maya terpaksa banting tulang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, mencuci dan menerima titipan mengasuh anak tetangganya dengan upah tidak seberapa. Dia memohon untuk mengambil Ridwan, semoga anaknya itu bisa dan mau bekerja sehingga bisa meringankan beban kesulitan sehari-hari mereka, apalagi Rudi yang sedang stroke itu harus terus berobat jalan. Yang tentu membutuhkan uang yang bukan sedikit.
Maka, dengan berat hati. Sepasang kerabat suami istri itu harus merelakan juga Ridwan untuk ikut dengan ibunya. Dapat dibayangkan kekecewaan dan kemarahan Ridwan saat itu. Mau tak mau ia terpaksa ikut ke rumah ibunya yang baru dikenalnya. Tepatnya bukan rumah, tapi kontrakan sempit yang berdempetan dengan kontrakan-kontrakan lainnya di lingkungan kumuh kota Jakarta yang belum tersentuh rencana tata kota.
Karena rasa kecewa dan kemarahan yang berlarut-larut itulah, Ridwan mulai bergaul dengan bergajulan, apalagi di lingkungan kerjanya kesehariannya tak jauh dari kegiatan para berandalan. Ridwan mulai kenal minuman keras, pil koplo, ***** dan lain-lainnya.
Pulang kerja, dia bukannya pulang ke rumah, melainkan nongkrong di warung minuman Bang Manap. Pulang dini hari dalam keadaan mabuk, berangkat kerja siang. Uang hasil kerjanya, tak pernah diberikan langsung ke tangan ibunya, keseringan ia taruh di atas televisi. Hingga jarang sekali, ia bercakap-cakap dengan ke dua orang tuanya. Dua tahun berlalu, keluarga itu masih juga dalam kekakuan dan kebisuan.
Itulah sekelumit latar belakang, perkenalan dari keluarga yang menjadi tokoh utama dalam kisah ini.
***
Jam sebelas malam itu, memang bukan jam kebiasaan Ridwan pulang ke rumahnya, karena biasanya ia pulang subuh. Dikarenakan malam itu ada hiburan dangdut di kampung sebelah, teman-temannya yang biasa nongkrong, berangkat nonton semua, kecuali Ridwan yang memang tak terlalu suka musik dangdut. Dengan terpaksa, daripada bengong sendirian, ia pun memilih untuk pulang dengan kepala pusing akibat minuman keras.
Sesampainya Ridwan di depan pintu kontrakan, saat ia mau memasukan kunci, mendadak terhenti. Kepalanya sedikit miring, mencoba mendengarkan sesuatu. Karena ia seperti mendengar suara bercakap-cakap lirih dari dalam. Agak aneh juga, karena sepulangnya ke rumah, biasanya rumah dalam keadaan sepi menandakan ibunya sudah tidur. Ia lupa, karena biasanya ia pulang paling telat jam tiga subuh.
Karena penasaran, Ridwan tidak buru-buru masuk. Ia mencoba mendengarkan ibunya sedang bercakap-cakap dengan siapa, agaknya lelaki, lawan bicara ibunya itu. Kalau dengan ayahnya yang sedang stroke tentulah tidak mungkin. Jangankan untuk bercakap-cakap, smengucapkan sepatah kata saja, susahnya bukan main.
“Ayolah…, buka cepat!” terdengar suara si pria.
“Iyaaa, sabarrr…,” itu suara ibunya, yang diiringi seperti sedang terkikik geli.
Dalam keadaan setengah mabuk, Ridwan mulai curiga. Dia mencari-cari sesuatu untuk membantunya melihat apa yang sedang terjadi di dalam. Dan ia melihat kursi yang biasanya dipakai duduk berjemur oleh ayahnya pagi-pagi. dia mencoba untuk berhati-hati, mabuknya sudah hampir hilang saking tegangnya. Kursi tersebut diangkatnya perlahan-lahan, kemudian ditaruhnya di depan pintu, untuk memudahkannya mengintip ke dalam melalui sela-sela lubang angin.
Rumah kontrakan yang ditinggali Ridwan sekeluarga, mempunyai tiga petak, petak satu yang paling depan adalah kamar tidur orang tuanya, sementara petak yang kedua adalah kamar tidurnya. Sementara petak ke tiga lebih panjang berdampingan dengan ke dua kamar tidur, singkatnya, pintu ke dua kamar, berhadapan langsung dengan petak ke tiga yang menjadi ruang keluarga sekaligus ruang makan, sedangkan dapur dan kamar mandi, berada di belakang.
Dan pemandangan yang dilihat Ridwan di dalam ruang keluarga itulah yang sekarang dilihatnya. Ia menyaksikan ibunya dalam keadaan setengah telanjang, tengah duduk dipangkuan seorang pria! Duduk saling berhadapan, sayangnya, si pria dalam posisi membelakangi arah pandangannya. Sehingga sulit untuk mengenalinya.
Ridwan hampir saja gelap mata dan menendang pintu rumah kontrakannya, kalau saja ia tidak merasakan napasnya mulai memburu, saat melihat tangan si pria sedang melepaskan baju tidur ibunya. Dan pemandangan yang dilihatnya, telah membuat penisnya mengejang kaku! Payudara ibunya terlihat begitu padat dan kenyal, dengan besar proporsional. Jari-jari si pria tampak sibuk meremas dan memilin payudara itu. Sesekali, bahkan menekan punggung ibunya agar mulut si pria bisa menghisap dan menggigit puting payudara yang mengkal tersebut.
“Keparat!” dengus Ridwan dalam hatinya. Sementara matanya terus menikmati tontonan gratis tersebut.
“Enggh…,” terdengar rintihan halus dari ibunya, mengangkat kepalanya sampai mendongak. Menggigit bibirnya. Sementara badannya, terayun-ayun naik turun. Badan yang sintal dan tak kalah padatnya dibandingkan badan Si Ningsih, pelayan warung minuman Bang Manap yang pernah digarapnya.
“Nikmaaat, sayaaang,” terdengar erangan dari si pria. Ridwan sedikit mengerutkan keningnya. Ia seperti mengenal suara itu. Tubuh si pria lawan main ibunya itu gempal dengan perut buncit. Tapi Ridwan tidak mau bersusah-susah untuk mengingat siapa pria itu. Karena ia sedang asik memasukkan tangannya ke dalam celana, mengocok-ocok penisnya sambil melihat siaran langsung persetubuhan itu.
Tak lama kemudian, si pria tampak mengejang sambil mengerang panjang. Agaknya ia telah mencapai orgasmenya, ibunya yang dalam posisi WOT cepat mengangkap pinggulnya, melepaskan penis lawan mainnya. Agaknya, ia tdak menginginkan penis itu mengeluarkan air maninya di dalam vaginanya. Dari penis pendek dan gemuk itu, menyembur sperma lumayan banyaknya. Membasahi perut buncit si pria.
Tampak raut muka kecewa dari ibu Ridwan, agaknya ia belum terpuaskan dengan persetubuhan itu. Ia terduduk di samping si pria yang masih terlentang menikmati kepuasan bercintanya dengan mata terpejam. Beberapa saat kemudian, ia bangun dengan susah payah, memeluk sambil mencium bibir ibunya Ridwan.
“Enak sekali memekmu, Maya. Legiiit,” terdengar gumaman dari si pria itu.
Ridwan yang sedang mati-matian mengocok penisnya, terbelalak saat muka si pria itu kini menghadap ke arah pandangannya.
Pak Hendi! Pak Hendi tetangga kontrakan terpisah beberapa sekat dari kontrakannya. Kerjanya si Pak Hendi ini menjadi satpam yang bertugas jaga malam di konveksi yang berada di mulut gang tempat mereka tinggal. Gila! Berani benar dia berselingkuh dengan ibunya dan meninggalkan tugas jaganya. Bagaimana kalau istrinya yang juga bekerja di konveksi itu mengetahuinya? Atau warga dan juga tetangga kontrakan mengetahui skandal ini? Benar-benar cari mati dia. Ridwan menghentikan kegiatan mengocok-ocok penisnya yang masih menegang kaku. Ia belum juga mencapai kenikmatan mengeluarkan maninya. Mungkin dikarenakan persetubuhan antara ibunya dan Pak Hendi terlalu cepat selesainya.
Dilihatnya Pak Hendi sudah mulai berpakaian, sementara ibunya juga sudah memakai kembali baju tidurnya. Seusai memakai seragam satpamnya, masih sempet-sempetnya ia memeluk dan mencium bibir ibunya Ridwan yang membalas alakadarnya. Karena masih terlihat raut muka kekecewaan akibat hasratnya yang belum terpenuhi dalam persetubuhan barusan.
“Ini, buat bayar kontrakanmu yang tertunggak dua bulan, tapi dengan syarat kau harus melayaniku saat aku ingin tubuhmu, Sayang,” kata Pak Hendi sambil memberikan sejumlah uang kepada ibunya.
“Terima kasih,” gumam ibunya Ridwan pelan. Dan diam saja saat Pak Hendi yang masih penasaran, memeluk dan mencium bibirnya, ke dua tangannya meremas nakal pantat yang padat di balik baju tidur itu.
Ridwan buru-buru meloncat dan memindahkan kembali kursi yang dipakainya sebagai pijakan ke tempatnya semula, saat tahu Pak Hendi melangkah hendak ke luar rumahnya. Dengan bingung, Ridwan buru-buru menyelinap ke sela-sela antara rumah kontrakannya. Terselip sejenak di situ. Sementara Pak Hendi yang tidak mengetahui bahwa perbuatannya tadi ada yang mengintip, berjalan sedikit berjingkat-jingkat, agar suara sepatunya tidak terlalu berbunyi di malam yang sepi itu. Menuju kembali ke tempat jaganya di konveksi.
Setelah dirasanya, Pak Hendi sudah jauh, Ridwan kembali ke depan rumah kontrakannya, berdiri sebentar di depan pintu, mencoba mendengar kegiatan ibunya di dalam. Dan ia mendengar keran air yang mengucur di bak mandi, agaknya ibunya sedang berada di kamar mandi. Cepat-cepat ia masuk, karena ternyata pintu tidak dalam keadaan terkunci. Pelan sekali, ia menutup pintu kembali agar tidak mengeluarkan suara. Melintas ke kamar depan, ia menyibak tirai kamar orang tuanya, mengintip ke dalam, karena yakin ibunya masih di kamar mandi. Di dalam, di atas tempat tidur, ayahnya yang sakit stroke tampak terlelap dalam tidurnya. Tahukah dia akan kejadian di ruang depan kamarnya ini? Bahwa demi membayar tagihan kontrakan, istrinya sampai hati menjual tubuhnya kepada satpam tetangga kontrakan? Pedih perasaan Ridwan melihat ketak berdayaan ayahnya. Sekaligus ia malu hati, seharusnya ia ikut peduli akan kesusahan dari orang tuanya, seharusnya ia lebih peduli dan bekerja lebih keras untuk mendapatkan uang, agar mampu menghidupi ke dua orang tuanya. Selama ini ia hanya memberikan uang sekedarnya, sisa dari membeli minuman keras, atau bersenang-senang sendiri. Sampai ibunya bekerja sebagai pengurus rumah orang kaya, atau mengasuh anak yang dititipkan tetangganya yang ke dua-duanya bekerja, ia sama sekali tidak mau tahu.
Dengan langkah gontai, dia menuju kamarnya, saat hendak masuk. Entah kenapa ia menjadi penasaran dengan ibunya yang sedang berada di kamar mandi. Tiba-tiba saja, pemandangan saat tubuh ibunya telanjang dan berkeringat, kembali terbayang dalam benaknya. Begitu terbayang, mendadak penisnya kembali menegang. Sialan! Ia mengumpat dalam hatinya. Tapi langkahnya berbalik menuju ke belakang, di mana letak kamar mandi dan dapur berada.
Di depan kamar mandi ia mengendap-endap, ia tahu benar bahwa pintu kamar mandi yang dari triplek itu telah robek dan bolong-bolong. Dalam gemericik suara air keran, ia mendengar desahan dan rintihan ibunya!
Sedang apa dia? Kata Ridwan dalam hatinya. Penasaran, ia mengintip dalam lobang pintu kamar mandi.
Dilihatnya, ibunya dalam keadaan telanjang membelakangi pintu kamar mandi, tengah mengggosok-gosok selangkangannya dengan cepat, sementara yang satu tangan lagi meremas-remas payudaranya. Satu kakinya berpijak dan tertekuk di pinggiran bak.
“Enggghhh…, ughhhh,” erangan halusnya makin sering.
Ridwan yang mengintip, merasakan napasnya sesak. Sementara penisnya terasa memberontak dalam celana ketatnya.
Pinggul ibunya terlihat padat menggemaskan, bergerak-gerak memutar. Pinggangnya yang ramping terlihat lentur dan menggelinjang.
“Owhhhh,” tiba-tiba erangan terdengar keras, diiringi tubuh sintal itu mengejang kaku. Kepala mendongak ke langit-langit kamar mandi. Sepi sesaat. Di depan pintu kamar, Ridwan memejamkan mata, ikut mengejang dengan mulut terbuka. Merasakan semburan panas sperma ke telapak tangannya.
Dua tubuh terhalang hanya selembar triplek penutup kamar mandi, tertekuk lemas. Sesaat kemudian terdengar gayung kamar mandi mengguyur tubuh yang di dalam. Sementara Ridwan mengundurkan diri, masuk ke dalam kamarnya dengan hati yang berdebar-debar. Sperma yang membanjir dalam telapak tangannya terpaksa dipeperin ke tirai kamar tidurnya. Sambil meredakan napsu birahinya, Ridwan tergeletak di atas kasur. Mulai sadar dengan perbuatannya, rasa malu membuatnya hatinya penuh ketakutan saat ada bayangan terlihat dari tirai kamarnya, melintas santai. Bayangan tubuh ibunya, tentu hanya memakai handuk. Menuju kamarnya untuk memakai baju.
Terbayang kembali tubuh telanjang itu, yang tadi berkeringat saat bercinta dengan Pak Hendi dan saat berada di kamar mandi, tubuh sintal dan padat, yang berusia sekitar tiga puluh delapan tahun. Begitu matang dan berisi. Penis Ridwan kembali menegang! Sialan! Sialan! Ia mengumpat-umpat dalam hati, mencoba memejamkan matanya. Mengelus-elus penisnya seolah menghiburnya agar bersabar. Dalam kegelisahan karena bayangan sintal tubuh ibunya selalu terbayang-bayang. Akhirnya Ridwan mampu juga untuk tidur.
***