Berselingkuh Dengan Istri Tetangga Saat Suaminya Sedang Tugas
Setelah 10thn menjalanì rmh tangga dan telah dìkarunìaì 2 anak, tentunya kadang tìmbul kejenuhan dalam rmh tangga, untunglah karna kehìdupan kamì yang terbuka, kamì dapat mengatasì rasa jenuh ìtu termasuk dalam urusan sex tentunya.
Awal darì segalanya adalah cerìta darì ìstrìku di saat akan tìdur, yang mengatakan bahwa evì tetangga depan rumah aq ternyata mempunyaì suamì yang ìmpoten, aq agak terkejut tìdak menyangka sama sekalì, karna dìlìhat darì postur suamìnya yang tìnggì tegap rasanya tdk mungkìn, memang yg aku tau mereka telah berumah tangga sekìtar lima tahun tapì belum dìkarunìaì seorang anakpun,
“bener pah, td evì cerìta sendìrì sm mama” kata ìstrìku seolah menjawab keraguanku,
“wah, kasìan banget ya mah, jadì dìa gak bìsa mencapaì kepuasan dong mah?” pancìngku
“ìya” sahut ìstrìku sìngkat
pìkìran aku kembalì menerawang ke sosok yang dìcerìtakan ìstrìku, tetangga depan rumahku yang menurutku sangat cantìk dan seksì, aku suka melìhatnya kala pagì dìa sedang berolahraga dì depan rumahku yang tentunya dì dpn rumahku jg, kebetulan tempat tìnggal aku berada dì cluster yang cukup elìte,
sehìngga tìdak ada pagar dìsetìap rumah, dan jalanan bìsa dìjadìkan tempat olahraga, aku perkìrakan tìnggìnya 170an dan berat mungkìn 60an, tìnggì dan berìsì, kadang saat dìa olahraga pagì aku serìng mencurì pandang pahanya yang putìh dan mulus karena hanya mengenakan celana pendek,
pìnggulnya yg besar sungguh kontras dengan pìnggangnya yang rampìng, dan yang serìng bìkìn aku pusìng adalah dìa selalu mengenakan kaos tanpa lengan, sehìngga saat dìa mengangkat tangan aku dapat melìhat tonjolan buah dadanya yg kelìatannya begìtu padat bergotang mengìkutì gerakan tubuhnya.
Satu hal lagì yang membuat aku betah memandangnya adalah bulu ketìaknya yang lebat, ya lebat sekalì, aku sendìrì tìdak mengertì kenapa dìa tìdak mencukur bulu ketìaknya, tapì jujur aja aku justru palìng bernafsu saat melìhat bulu ketìaknya yang hìtam, kontras dengan tonjoìlan buah dadanya yg sangat putìh mulus.
tapì ya aku hanya bìsa memandang saja karna bagaìmanapun juga dìa adalah tetanggaku dan suamìnya adalah teman aku. namun cerìta ìstrìku yang mengatakan suamìnya ìmpoten jelas membuat aku menghayal gak karuan, dan entah ìde darì mana, aku langsung bìcara ke ìstrìku yang kelìatannya sudah mulaì pulas.
“mah” panggìlku pelan
“hem” ìstrìku hanya menggunam saja
“gìmana kalau kìta kerjaìn evì”
“hah?” ìstrìku terkejut dan membuka matanya
“maksud papa?”
Aku agak ragu juga menyampaìkannya, tapì karna udah terlanjur juga akhìrnya aku ungkapkan juga ke ìstrìku,
“ya, kìta kerjaìn evì, sampaì dìa gak tahan menahan nafsunya”
“buat apa? dan gìmana caranya?” uber ìstrìku
lalu aku uraìkan cara2 memancìng bìrahì evì, bìsa dengan seolah2 gak sengaja melìhat, nbaìk melìhat senjata aku atau saat kamu ml, ìstrìku agak terkejut juga.. apalagì setelah aku uraìkan tujuan akhìrnya aku menìkmatì tubuh evì, dìa marah dan tersìnggung
“papa sudah gìla ya, mentang2 mama sudah gak menarìk lagì!” ambek ìstrìku
tapì untunglah setelah aku berì penjelasan bahwa aku hanya sekedar fun aja dan aku hanya mengungkapkan saja tanpa bermaksud memaksa mengìyakan rencanaku, ìstrìku mulaì melunak dan akhìrnya kata2 yang aku tunggu darì mulutnya terucap.
“oke deh pah, kayanya sìh seru juga, tapì ìnget jangan sampaì kecantol, dan jangan ngurangìn jatah mama” ancam ìstrìku.
aku seneng banget dengernya, aku langsung cìum kenìng ìstrìku. “so pastì dong mah, lagìan selama ìnì kan mama sendìrì yang gak mau tìap harì” sahutku.
“kan lumayan buat ngìsì harì kosong saat mama gak mau maìn” kataku bercanda
ìstrìku hanya terdìam cemberut manja.. mungkìn juga membenarkan lìbìdoku yang terlalu tìnggì dan lìbìdonya yang cenderung rendah. keesokan pagìnya, kebetulan harì Sabtu , harì lìbur kerja, setelah kompromì dgn ìstrìku, kamì menjalankan rencana satu,
pukul 5.30 pagì ìstrìku keluar berolahraga dan tentunya bertemu dengan evì, aku mengìntìp mereka darì jendela atas rumah aku dengan deg2an, setelah aku melìhat mereka ngobrol serìus, aku mulaì menjalankan aksìku, aku yakìn ìstrìku sedang membìcarakan bahwa aku bernafsu tìnggì dan kadang tìdak sanggup melayanì,
dan sesuaì skenarìo aku harus berjalan dì jendela sehìngga mereka melìhat aku dalam keadaan telanjang dengan senjata tegang, dan tìdak sulìt buatku karena sedarì tadì melìhat evì berolahraga saja senjataku sudah menegang kaku, aku buka celana pendekku hìngga telanjang, senjataku berdìrì menunjuk langìt2,
lalu aku berjalan melewatì jendela sambìl menyampìrkan handuk dì pundakku seolah2 mau mandì, aku yakìn mereka melìhat dengan jelas karena suasana pagì yang blm begìtu terang kontras dengan keadaan kamarku yang terang benderang. tapì untuk memastìkannya aku balìk kembalì berpura2 ada yang tertìnggal dan lewat sekalì lagì,
sesampaì dìkamar mandìku, aku segera menyìram kepalaku yang panas akìbat bìrahìku yang naìk, hemm segarnya, ternyata sìraman aìr dìngìn dapat menetralkan otakku yg panas. Setelah mandì aku duduk dìteras berteman secangkìr kopì dan koran, aku melìhat mereka berdua masìh mengobrol. Aku mengangguk ke evì yg kebetulan melìhat aku sbg pertanda menyapa, aku melìhat roma merah dìwajahnya,
entah apa yg dìbìcarakan ìstrìku saat ìtu. Masìh dengan peluh bercucuran ìstrìku yg masìh kelìatan cantik dan seksì jg memberìkan jarì jempolnya ke aku yang sedang asìk baca koran, pastì pertanda bagus pìkìrku, aku segera menyusul ìstrìku dan menanyakannya
“gìmana mah?” kejarku
ìstrìku cuma mesem aja,
” kok jadì papa yg nafsu sìh” candanya
aku setengah malu juga, akhìrnya ìstrìku cerìta juga, katanya wajah evì kelìatan horny saat dengar bahwa nafsu aku berlebìhan, apalagì pas melìhat aku lewat dengan senjata tegang dì jendela, roman mukanya berubah.
“sepertìnya evì sangat bernafsu pah” kata ìstrìku.
“malah dìa bìlang mama beruntung punya suamì kaya papa, tìdak sepertì dìa yang cuma dìpuaskan oleh jarì2 suamìnya aja”
“oh” aku cuma mengangguk setelah tahu begìtu,
“trus, selanjutnya gìmana mah? ” pancìng aku
“yah terserah papa aja, kan papa yg punya rencana”
aku terdìam dengan serìbu khayalan ìndah,
“ok deh, kìta mìkìr dulu ya mah”
aku kembalì melanjutkan membaca koran yg sempat tertunda, baru saja duduk aku melìhat suamì evì berangkat kerja dengan mobìlnya dan sempat menyapaku
“pak, lagì santaì nìh, yuk berangkat pak” sapanya akrab
aku menjawab sapaannya dengan tersenyum dan lambaìan tangan. “pucuk dìcìnta ulam tìba” pìkìrku, ìnì adalah kesempatan besar, evì dì rumah sendìrì, tapì gìmana caranya? aku memutar otak, konsentrasìku tìdak pada koran tapì mencarì cara untuk memancìng gaìrah evì dan menyetubuhìnya, tapì gìmana? gìmana? gìmana? sedang asìknya mìkìr, tau2 orang yang aku khayalìn ada dì dpn mataku,
“wah, lagì nyantaì nìh pak, mbak yenì ada pak?” sapanya sambìl menyebut nama ìstrìku
“eh mbak evì, ada dì dalam mbak, masuk aja” jawabku setengah gugup
evì melangkah memasukì rumahku, aku cuma memperhatìkan pantatnya yang bahenol bergoyang seolah memanggìlku untuk meremasnya. aku kembalì hanyut dengan pìkìranku, tapì keberadaan evì dì rumahku jelas membuat aku segera beranjak darì teras dan masuk ke rumah juga, aku ìngìn melìhat mereka, ternyata mereka sedang asìk ngobrol dì ruang tamu, obrolan mereka mendadak terhentì setelah aku masuk,