Akibat Berimajinasi Mesum
Om Edi bekerja sebagai di sebuah perusahaan periklanan di daerah Bogor, sedangkan Tante Yanti adalah karyawati di sebuah pabrik farmasi di Jakarta. Mereka sudah menetap di Depok kurang lebih 7 tahun karena sebelumnya pernah ada salah seorang kawan perantau yang lebih dulu menempati rumah kos tersebut, namun memutuskan menyerah balik kampung. Dengan berbekal ijazah dan pengalaman kerja di Semarang, Om Edi dan Tante Yanti mantap melangkah mengadu nasib ke Jakarta walaupun cerita mulut ke mulut tak seindah didengar pun modal materi yang dibawa tak melimpah. Apalagi yang lebih dulu diterima kerja adalah Tante Yanti. Barulah Om Edi menyusul setahun kemudian karena setahun tak ada jawaban dari lamaran kerja yang dikirimnya ke Jakarta. Kota hujan akhirnya menjadi pilihan.
Dari cerita mereka, aku sungguh-sungguh menjalani pendidikanku, kendati kamar kos di lantai dua yang kutempati ini banyak nyamuk dan gerah ketika musim kemarau. Berbeda dengan kamar kos Om Edi dan Tante Yanti yang sudah berpenghasilan sehingga dapat memasang AC di kamarnya. Bangunan kos yang kutinggali ini cukup unik. Tangga-tangga besi berada di pojok sebelah kanan, menghubungkan 3 lantai yang masing-masing lantai terdiri atas 5 kamar kos dengan tipe atau kelas berbeda-beda. Setiap lantainya pula ada kamar mandi yang berada di pojok sebelah kiri. Kamar mandi itu dikhususkan untuk tamu dan penghuni yang tak memiliki fasilitas kamar mandi di dalam kamar kosnya. Di Setiap lantai ada dua kamar yang memiliki fasilitas kamar mandi dan menggunakan pendingin ruangan. Salah satunya adalah kamar kos om Edi dan Tante Yanti. Sementara aku cukup membuka jendela, berharap angin dari luar masuk.
“Hendra enggak kuliah?”, tanya Tante Yanti duduk di kursi kayu depan kamar kosnya. Ia sedang menjamu seorang pria gembul dengan muka sangar yang kukira adalah rekan kerjanya.
“Agak siangan, pagi kebetulan kosong jadwal”
“Ohh, sudah sarapan belum?”
“Wah belum tuh, ini baru mau nyari”
“Kalau belum, itu di dalam kamar ada nasi uduk, Om Edi tadi lupa bawa untuk sarapannya”
“Enggak deh”
“udah, ambil saja, daripada gak dimakan, keburu basi kan”
“Yaudah deh”
Ketika hendak masuk dan membuka pintu kamar kos Tante Yanti, aku menyapa permisi saat melintas di depan Tante Yanti dan temannya. Kulihat di atas meja yang berada di antara mereka berdua tersuguhi sepasang cangkir teh dan gorengan pisang, tahu, serta tempe. Di dalam aku melahap nasi uduk yang sudah dingin, tetapi masih enak di perut. Aku perhatikan kamar kos om dan tanteku ini lebih luas, tertata, dan nyaman daripada kamar kosku. Aku berpikir mengapa mereka tidak mencari kontrakan saja. Barangkali banyak uang yang bisa dihemat untuk membeli rumah atau kebutuhan lain yang aku tidak tahu.
Di sisi lain, aku sedikit heran kok bisa-bisanya Tante Yanti menerima teman laki-lakinya dengan hanya mengenakan daster, malah kedua pahanya terpampang kemana-mana. Ditambah bodinya yang terbilang semok berisi, pasti menggetarkan batin dan pikiran laki-laki normal yang memandang. Ah kukira sehelai kain batik tadi sudah cukup untuk menutupi bagian lengan dan dadanya.
“Gak kedengeran, tenang…”
“Mas Pardi jangan ke sini lagi besok ya, kalau ketemuan di luar aja. Gak enak dilihat sama orang-orang di sini”
“Iya, ini aku juga baru sekali berkunjung”
“Kan aku udah bilang, jangan kesini. Tapi tetep nekat juga ke sini”
“Kok gorengannya gak dicolek? Udah sarapan ya?”
“Maunya nyolek yang nyediain, biar kenyang gak makan lagi. hehehehe”
“Ah Mas Pardi, masih pagi bercandanya sudah begitu”
“Kan gak separah bercanda kamu di WA, Mba. hahahaha”
“Yang mana?”
“Yang kamu kasih foto kamu sehabis mandi kemarin itu. Hihihi.”
“Aisshhh masih inget saja itu kan bukan bercanda, enggak dihapus?”
“Enggak dong, supaya kalau kangen kamu lihatnya itu saja”
“Kan beneran jadi kepikiran terus kan”
“Enggak apa kepikiran kamu terus, bikin aku bahagia kok”
“Masa?”
Dari bilik jendela yang terbuka sedikit, aku mengunyah makanan sembari menguping pembicaraan antara Tante Yanti dan teman laki-lakinya. Pembicaraan yang tak biasa, namun serius kuamati. Sepertinya mereka berdua menjalin hubungan pertemanan istimewa karena tak pantas saja Tante Yanti sudah bersuami dicandai seperti itu atau barangkali mereka sudah lumrah dengan candaan menggoda begitu. Lagipula, mengapa Tante Yanti tumben-tumbenan tidak pergi bekerja. Aku juga sungkan bertanya. Setelah selesai makan, aku tak terlalu peduli dengan obrolan yang berlangsung di depan kamar kos ini. Justru yang menarik perhatianku adalah bunyi ponsel yang berada di bawah ranjang tempat tidur kamar Tante Yanti. Aku menunduk, bukan hanya ponsel kulihat tetapi sebuah dildo yang tersarung sebuah kondom bergerigi sedang tergeletak. Astaga! Sempat memegang dan melihatnya, aku letakkan kembali benda tak lazim itu ke posisi semula. Lalu aku pergi menghampiri Tante Yanti memberitahukan bahwa ponselnya berbunyi sekaligus pamit kembali masuk ke kamar kosku.
Di dalam kamar, aku sejenak memikirkan apa yang kualami di kamar kos Tante Yanti. Selanjutnya aku fokus menyelesaikan tugas kuliah yang belum tuntas dan beres-beres mandi bersiap berangkat ke kampus. Aku menyibukkan diri, menghindari pikiran macam-macam dari kunjungan sebentar ke kamar Tante Yanti dan Om Edi. Keluar dari sana, kudapati tak ada lagi yang bicara. Barangkali Tante Yanti juga baru berangkat pergi bekerja sama halnya denganku.
Setelah peristiwa itu, aku berharap bisa melupakan segalanya. Malahan yang terjadi justru sebaliknya. Ketika akan berangkat kuliah pagi hari. Kudapati Tante Yanti pergi bekerja dibonceng motor oleh lelaki yang menjadi teman mengobrolnya beberapa hari yang lalu. Waduwh, kok bisa?