Panti Pijat Tradisional (Papitra)
Cerita Sex Panti Pijat Tradisional (Papitra) – Karena aku nggak biasa sarapan pagi, jadi sarapannya tidak bisa cepat, sedikit-sedikit yang penting masuk. Nampak di belakangku mulai ada pembicaraan, semakin lama semakin keras. Oh, ternyata lagi ada pertengkaran, namun suaranya tidak terlalu keras. Bagus juga idenya kalau bertengkar cari tempat di luar rumah. Si wanita cemburu terhadap pasangannya, namum disanggah oleh si pria. Dia tak mungkin berselingkuh dikarenakan semua penghasilannya sudah diberikan padanya.
Tiba-tiba kulihat di luar ada seorang wanita berjalan dengan cepat sambil membawa tas plastik merah. Sepertinya kenal. Aku ingat-ingat. Oh iya, itukan Mbak Indah. Kulihat jam menunjukkan jam 11:30, berarti mulai berdatangan WP di depan rumah makan ini, tetapi ini masih yang juniornya alias yang baru lulus training.
Aku sudah tidak memfokuskan ke pembicaraan orang di belakangku. Tak lama sepeda motor berpenumpang melintas dan menurunkan penumpangnya tepat di belakang kendaraanku yang kuparkir di seberang rumah makan dan hanya tiga blok dari sebuah panti pijat tradisional (Papitra). Dia turun dan memberikan uang. Oh ternyata naik ojek, itu kan Mbak Anita.
Saat Mbak Anna masuk, sebuah bajaj berhenti lagi di belakang kendaraanku. Setelah bajaj berlalu tampak Mbak Ayu, dengan cepat melangkah masuk. Lama kelamaan parkir mulai penuh di sekitar Papitra, dan banyak pengemudi masuk ke situ. Nampak roda kehidupan Papitra mulai berputar.
Tanpa terasa suasana rumah makan mulai ramai. Pengunjung sudah bergantian keluar-masuk. Makananku pun sudah mulai habis. Aku pesan makanan penutup, sambil tidak sedikitpun membuang pandanganku ke arah sekitar mobilku. Bukannya takut kehilangan mobilku, tetapi di situlah rata-rata para WP turun dari kendaraan yang mengangkut mereka – mungkin malu dengan “pengantar”nya bahwa mereka bekerja di Papitra, sedangkan yang naik bis pasti berjalan kaki untuk mencapai tempat bekerjanya.
Hari semakin siang, sudah menunjukkan jam 13:00. Wp masih berdatangan. Ada yang muda dan kecil, rata-rata mereka menggunakan pakaian serba ketat atau hanya bawahannya saja yang ketat, nanti setelah masuk mereka akan menggunakan pakaian dinasnya yang setiap hari berganti warna tetapi dengan model yang sama, mempunyai bordiran nama di dada kanan sedangkan rok mininya ditulis nama WP dengan spidol di bagian dalam lipatan pinggang.
Nah jam segini yang datang biasanya para senior-senior. Ada yang keluar dari taksi sambil bicara dengan HP-nya. Begitu taksi yang menutupi pandanganku jalan, baru aku tahu kalau itu Mbak Febby. Ada yang jalan kaki tetapi sambil bicara juga dengan HP-nya, kalau nggak salah ini Mbak Anna, dari penampilan mereka rata-rata HP yang digunakan keluaran terbaru.
Tidak berapa lama ada seorang wanita berpakaian ungu muda keluar dari taksi. Begitu taksi pergi, dia jalan menuju ke Papitra. Siapa yah? orang barukah? kataku dalam hati sambil menyentuh daerah antara hidung dan bibir atas dengan telunjuk kiriku – rasa penasaran dan petualanganku mulai tumbuh – dari penglihatanku umurnya kurang lebih sekitar 30 tahun. Yang menarik adalah pinggulnya cukup besar. Bila berjalan seperti bebek, megal megol, seperti orang hamil (???), apa mungkin orang hamil bekerja di Papitra?.
Didorong rasa ingin tahu, aku menelpon ke Papitra di depan rumah makan itu.
“Hallo selamat siang,” suara resepsionis.
“Siang Mbak Ani,” jawabku.
“Mau pesan, Pak Budi?” katanya, masih ingat namaku. Mana mungkin lupa, khan setiap datang selalu diberi uang tip. (Hati-hati ada pengganti Mbak Ani, yang setiap mengembalikan uang jasa pijat selalu mengatakan kembaliannya kurang karena nggak ada uang kecil. Dia hanya menyediakan uang terkecil 10.000,- jadi di bawah nilai ini tidak akan dikembalikan – “pemerasan terselubung” alias tip maksa. Aku kalau bertemu dengan orang ini, selalu aku membayar lewat WP, agar kembaliannya tidak jatuh ke tangannya. Lebih baik jatuh ke tangan WP – khan dia yang “memeras”).
“Mbak Ani, yang barusan baru masuk menggunakan baju ungu siapa sih?” tanyaku.
“Oh itu Mbak Desi,” jawabnya.
“Sepertinya kok lagi hamil, Mbak?” tanyaku sambil menebak.
“Emang bener, Pak,” jawabnya.
“Mbak Ani, sorry aku nanyanya agak-agak nih, kalau lagi hamil tugas, berarti hanya mijat dong?” tanyaku mendesak.
“Dalam kamar siapa yang tahu Pak?” jawabnya diplomatis, benar juga.
“Sudah ada yang pesan?” tanyaku, jadi ingin coba, karena rasa keingintahuanku.
“Belum, Pak Budi mau pesan?”
“Iya deh.”
“Untuk jam berapa?”
“Hmmm,” mikir dikit, dia baru sampai, butuh istirahat, waktu makan siang sudah lewat, yah 30 menit cukup lah.
“Setengah jam lagi deh Mbak,” jawabku.
Empat puluh lima menit kemudian aku sudah tanpa baju hanya menggunakan CD dengan isi sudah pada posisi. Tidur telungkup menghadap tembok di kamar lantai tiga ukuran 2×3 dengan penyejuk ruangan. Tak lama tirai dibuka dan ditutup kembali.
“Selamat siang Pak,” sapanya.
“Siang,” jawabku sambil menolehkan muka ke arah atas, tetapi tetap tidur telungkup.
“Mau minum apa?” tanyanya, sambil meletakkan barang bawaannya, handuk, sabun, sprei, dan cairan pelicin untuk pijat di atas satu-satunya sofa yang ada di ruang itu.
“Air mineral nggak dingin,” jawabku. Dia keluar dan nggak lama membawa yang kuminta. Dia tidak menanyakan pijat berapa jam, karena aku berada di ruang VIP yang mempunyai waktu minimal satu setengah jam.
Terdengar dia melepaskan seragam dinasnya (padahal suhu ruang cukup dingin). Menutupkan selembar handuk ke punggungku mulai leher hingga pantat dan mulai memijit telapak kakiku. Selanjutnya aku tidak menjelaskan tahapan-tahapan pijat.
“Sebentar ya Pak, mau ke toilet,” ijinnya.
“Ya,” jawabku singkat.
Saat kembali dia mulai memijat kembali, mungkin terlalu lama berdiri saat memijat tadi, sehingga dia naik ke tempat tidur dan memijat kaki sebelahku yang belum disentuhnya dari tadi. Selanjutnya dengan mengangkang dia memijat punggungku. Terasa pahanya dibungkus dengan celana ketat, saat bersentuhan dengan pahaku.
“Kamu nggak pernah diisengin sama tamu, Mbak?” tanyaku.
“Itu sih sering Pak, santapan setiap hari!” katanya.
“Yang paling nyebelin seperti apa Mbak?” tanyaku.
“Belum lama ini ada tamu, saat lagi nafsu dia bilang, Mbak ngentot yuk? aku jawab aja, sama siapa Pak? dia jawab ya sama kamu, kirain sama kambing kataku, ngomongnya kasar banget,” jawabnya.
Mungkin ada benarnya kata tukang gado-gado langgananku di blok M. Dia mengatakan bahwa kelemahan wanita ada di telinga. Artinya kalau dia disanjung, diajak bicara yang indah-indah, pasti akan tunduk. Jadi bicaralah yang baik dengan wanita siapapun dia, pasti kalau kamu minta sesuatu dengannya akan diberikan.
“Maaf Pak, saya tinggal ke toilet lagi,” ijinnya.
“Ya,” jawabku singkat, membuyarkan lamunanku.
Nggak lama dia meneruskan pijatan yang belum selesai. Setelah menyelesaikan pijatan tadi, dia berkata.
“Pakai krim nggak, Pak?” tanyanya.
“He em,” kataku.
“Maaf Pak,” katanya sambil melipat CD-ku, menjepitnya ke celah-celah pantat, dan akan menutup sisi CD dengan handuk, tetapi.. “Tolong dilepas aja Mbak,” kataku. Dia menarik handuk dan melepaskan CD-ku. Nah telanjang deh aku sekarang. Dia mulai meratakan krim di seluruh permukaan kulit kakiku, dan mulai memijit, dan beberapa menit kemudian…
“Sebentar ya Pak, mau ke toilet lagi,” ijinnya untuk ke tiga kalinya.
“Ya” jawabku singkat, tanpa protes, karena aku memaklumi, karena saat hamil kandung kemih tertekan oleh kandungan, atau ada yang lain yang aku nggak tahu.
“Yah beginlah Pak kalau kondisinya seperti ini,” katanya saat masuk ke kamar.
“Aku maklum kok, Mbak,” jawabku.
Dia mulai memijat kaki satunya lagi. Setelah selesai dia mengeringkan krim dengan handuk, karena kakiku cukup banyak bulunya dia menaburi bedak bayi di seluruh permukaan ke dua kaki (kalau dilihat nggak ubahnya seperti bayi yang habis mandi terus dibedaki), sehingga minyaknya bergabung dengan bedak, kemudian di gosok dengan handuk satunya lagi, hasilnya lumayan kering.
Kemudian dia naik ke tempat tidur (biasanya WP bisa melakukannya dengan berdiri, mungkin karena beratnya menahan perut sehingga lebih baik sambil duduk di tempat tidur guna mengistirahatkan kedua kakinya). Wanita lagi hamil mana ada yang memakai rok mini, biasanya selalu serba longgar kan, kecuali wanita yang saat ini ada di atas pantatku.
Karena nggak ada tempat lagi untuk duduk, akhirnya dia mengangkangiku sehingga dia menduduki pantatku (asli lho, duduk plek, soalnya berat banget) dengan berlapiskan handuk dan mulai mengolesi krim. Saat sebelah kakinya diangkat untuk mengangkang terasa pahaku bergesekan dengan paha bagian dalamnya yang licin dan dingin. Tetapi anehnya kok sudah tidak memakai celana ketatnya lagi.
Setelah punggung rata dengan krim dia mulai memijat. Posisi memijat adalah maju mundur, mulai dari pinggangku ke arah pundak. Karena gaya pijat dan tumpuan duduknya pada tempat yang tidak rata walaupun dilapisi oleh handuk, lama kelamaan dia bergeser tepatnya terpeleset ke arah pangkal paha, kan ada sedikit bekas krim serta berat tubuhnya yang lumayan berat.
Dia mengembalikan posisi duduknya ke pantatku lagi. Akan tetapi tanpa handuk hanya beralaskan roknya. Sewaktu gaya maju – saat mengurut dari pinggang ke arah pundak – dia terpeleset lagi. Sewaktu mengembalikan pantatnya ke pantatku sudah tanpa handuk, sebab irama pijatannya sudah agak cepat, jadi kalau sebentar-sebentar ngurusin handuk nggak selesai-selesai mijatnya.
Semakin cepat pijatannya, yang kurasakan bukan punggungku lagi, akan tetapi di pantatku ada sesuatu yang sangat kasar. Ternyata roknya sudah tidak menjadi alas untuk duduk. Iseng, aku menoleh ke belakang bawah.
“Sudah, nggak usah lihat-lihat,” kata Mbak Desi, tetapi sekilas aku dapat melihat dia jongkok dengan roknya sudah di pinggang sementara di atas pantatku ada daging yang cukup tebal tanpa bulu (dicukur) nggak seperti bagasi mobilku, lebih tepatnya nonong. Pantes pahanya kok licin, nggak pakai celana!.
Aku ikutin perintahnya, prajurit muda lebih mengandalkan tenaga, berhadapan langsung, dan menekan sebaliknya prajurit tua lebih mengandalkan pikiran, menghindari kontak langsung, cenderung mengikuti (bukan mengalah), hasilnya tak jauh beda dengan yang muda hebatnya lagi tanpa keluar tenaga.
“Kenapa kok nggak pakai CD sih? Kamu khan lagi hamil,” tanyaku.
“Habis capek tiap kencing harus melorotin celana ketat. Tadi sewaktu keluar yang ke tiga udah kebelet banget jadi pas masuk nggak ketahan keluar. Yah sudah basah, mau pakai cadangan ada di lemari bawah, naik turun kan capek Mas. Tadi kencing pertama aja udah nggak bisa jongkok,” jawabnya panjang lebar. Perhatikan, panggilan sudah berubah. Artinya dia sudah mulai mengenal. Pantes saat kontak dengan pahanya terasa dingin kemungkinan dari air saat membasuh setelah kencing.
“Memangnya kenapa? Khan ada toliet jongkok,” kataku.
“Toliet khan jorok Mas bekas orang banyak, jadi kencingnya sambil berdiri tetapi kakinya dibuka lebar biar nggak kena,” jawabnya.
“Kamu nggak takut kerja tanpa CD?” kataku.
“Aku tadi diberi tahu sama Mbak Anita, kalau Mas orangnya nggak reseh,” katanya.
Ha ha, belum tahu dia, jawabku dalam hati. Mungkin pergantian panggilan tadi berubah setelah ada sekilas info dari Mbak Anita. Setelah selesai memijat punggung, dia mulai mengeringkan krim dengan cara seperti tadi.
“Mas balik,” katanya.
Aku segera membalikkan badanku, sambil kulihat wajahnya, dia tidak melihatku, tetapi melihat kemaluanku yang masih “bobo siang” sambil menutupnya dengan handuk kecil.
“kok dicukur Mas?” tanyanya setelah melihat burung yang tanpa bulu.
“Kamu sendiri kenapa kok dicukur?” tanyaku.
“Kalau ditanya dijawab dulu dong Mas!” katanya.
“Yah biar bersih aja,” jawabku.
“Apa nggak geli Mas dicukur gitu?” tanyanya.
“Eh, kamu nanya terus kapan jawabnya?” tanyaku. Dianya tersenyum. Bibir bagian bawahnya (yang di wajah yah) lumayan tebal ada belahan di bagian tengahnya. Bibirnya dibalut pewarna berwarna pink, kontras dengan kulit putihnya. Matanya bulat sekali.
“Yah biar bersih juga. Nanti kalau sewaktu-waktu melahirkan, nggak buru-buru mencukurnya. Mas aku ke toilet dulu yah?” jawabnya sembari ijin yang ke empat kalinya.
Kalau melihat posisi kandungannya sih udah di bawah, nampak sudah waktunya. Dia masuk ke kamar, dan naik ke atas tempat tidur, meminggirkan ke dua kakiku, sehingga bisa duduk di pinggir tempat tidur.
“Berapa usia kandunganmu?” tanyaku.
“Tujuh bulan lewat, Mas,” jawabnya.
“Suamimu kok tega, udah seperti ini kok masih disuruh kerja,” tanyaku.
“Lebih tega lagi Mas, dia tidak mengakui ini hasilnya, dan pergi begitu saja,” jawabnya sambil menunduk dan terus memijat.
“kok nggak di batalin aja?” tanyaku lagi.
“Biarin deh Mas, umurku sudah semakin tua, nanti nggak ada yang ngurus aku. Biarin deh aku usahakan sendiri,” jawabnya kalem bersamaan dengan selesainya mengeringkan salah satu kaki. Setelah kering dia menggosok betisku yang berbulu dengan handuk, kemudian mengangkangi kakiku tadi dan menggosok pahaku dengan handuk, dan terasa bulu betisku terasa beradu dengan sesuatu yang kasar. Aku pura-pura tidak tahu dan kuperhatikan wajahnya tidak berubah sedikitpun. Perubahan terjadi di balik handuk yang menutupi kemaluanku, seperti ada yang sedang mendirikan tenda.
Dia memijat kakiku yang sebelah. Perlakuan yang sama dengan kakiku yang sebelah tadi. Juga acara gesek-menggesek, sehingga makin sempurnalah rubuhnya tenda. Yah, dalam posisi terlentang kalau lagi “konak” nggak mungkin tegak sembilan puluh derajat, yang ada juga posisi jam sepuluh kurang sepuluh menit. Setelah selesai dengan kaki, diturunkan handuk kecil hingga menutupi kemaluanku saja dan…
“Perutnya dipijat Mas?” tanyanya.
“Terserah,” jawabku. Repot juga dia akan memijatnya, kalau sambil berdiri dia akan capek kalau dari samping membutuhkan tenaga yang lumayan banyak untuk menekan badanku. Yah terpaksa dia mengangkangi kemaluanku yang hanya dilapisi handuk kecil. Mulai memijat dari arah perut ke atas melebar ke sekitar pundak. Perlahan-lahan, semakin lama irama agak dipercepat.
Aku tidak tahu apakah percepatannya disebabkan prosedur pijatnya, ataukah ganjalan di kemaluannya yang semakin keras dan berdenyut-denyut. Disengaja atau tidak posisi batang kemaluanku berada di sela-sela bibir kemaluannya, hanya dipisahkan oleh handuk.
“Mas, kata Mbak Anita sama Mbak Anna, kalau ke sini nggak pernah main, kenapa sih?” tanyanya.
“Yang pentingkan puas Mbak, nggak main aja puas kok,” jawabku.
“Kalau sekarang aku ingin main sama Mas, gimana?” tanyanya.
Sewaktu berkata demikian, handuk sudah hilang sebagai pembatas. Hilangnya bukan ditarik tetapi terdorong oleh goyangan pantatnya. Jadi antara batangku dan bibirnya melekat.
“Berapa tips-nya?” tanyaku. Dia sudah menggoyangkan pinggulnya, kesepakatan belum terjadi pekerjaan sudah dimulai. Sebagai gambaran, bibir bawahnya lumayan tebal dan sudah cukup basah untuk penetrasi, maklum hamil (orang hamil lebih cepat basahnya karena kelenjar yang memproduksi lendir tertekan oleh kandungan).
“Seperti yang Mas berikan dengan Mbak Anita atau Mbak Anna,” katanya. Wah dilarang dumping harga rupanya di sini.
“Ya, sudah,” kataku. Begitu selesai aku bicara, bersamaan dengan mulai masuknya kemaluanku ke dalam kemaluannya. Ups, licin sekali (jadi ingat main bola saat kecil di tanah lapang dari tanah liat, nggak pernah membawa bola jauh, selalu terpeleset apalagi bila bertemu lawan pasti jatuh) tapi agak longgar, mungkin karena tekanan kandungan, dan ada sesuatu yang menyentuh di ujung kemaluan seperti ada benjolan di bagian dalam kemaluannya. Ternyata mulut rahimnya juga sudah turun.
Dia tidak melakukan gerakan naik turun, mungkin sudah terlalu lelah, jadi hanya bergoyang-goyang, tetapi goyangannya semakin lama semakin merunduk, bak padi yang semakin berisi, di kepalanya semakin berat, terdongak ke belakang, sementara pahanya terbuka sangat lebar mengingat perut besarnya.
Dia berusaha agar klitorisnya bergesekan dengan bulu kemaluanku yang tumbuh kasar di atas batang kemaluanku. Beberapa menit kemudian dia membalikkan badannya tanpa melepas batangku yang tertanam. Sekarang dia menghadap ke kakiku.
Gerakan yang sama dia lakukan, tanpa naik turun, tetapi menekan serta menggesek lubang anusnya yang agak keluar, bukan ambein lho, tetapi itu tekanan kandungan, sehingga lapisan bagian dalam anus yang lembut tergesek oleh bulu kemaluanku.
Dia tidak mengeluarkan suara, tepatnya menahan lenguhannya, agar tak terdengar di luar kamar. Hanya deru nafasnya yang berfrekuensi tinggi, isap buang isap buang, semua dilakukan melalui hidung. Mungkin mulutnya dikunci dengan menggigit bibir bawahnya takut tak sengaja keluar suara.
Akhirnya tangannya meremas pergelangan kakiku dan mengedan. Terasa sekali denyutan lubang anusnya. Tidak berapa lama aku pun keluar juga. Dia diam sejenak menikmati semburan spermaku. Setelah selesai, sudah tidak ada semburan dia mengangkat pantatnya, dan saat batangku telepas dari lubangnya, dia berusaha menjepit labia minoranya dengan jarinya tetapi tetap aja ada yang berjatuhan spermaku yang agak kental di kemaluanku.
“Banyak banget sih Mas?” tanyanya, sambil membersihkan vaginanya yang tembem banget dan nonong, tetapi masih mengangkang di atas kemaluanku.
“Iya udah lama nih nggak dikeluarin,” jawabku, sambil membersihkan spermaku yang berjatuhan.
“Kamu suka nyabu?” tanyanya, sambil turun dari tempat tidur dengan sangat hati-hati.
“Suka nyapu rumah, nyapu halaman,” jawabku. Dia tersenyum.
“Maksudku narkoba,” katanya.
“Nggak, kenapa sih?” kataku.
“Pantes. Udah keluar kok nggak mengecil, masih besar dan keras,” katanya.
“Sok tahu” kataku.
“Eh iya lho Mas, aku punya tamu dia habis nyabu (sekarang sudah jadi trend memakai narkoba di kamar Papitra, kadang bersama WP-nya) aduh setengah mati aku ngeluarin pejunya,” katanya polos. Wah habis “O” ngomongnya udah nggak terkontrol nih sih Mbak. Saat aku bangun memang sih kemaluanku masih keras dan berdiri hanya sembilan puluh derajat ditunjang dengan beberapa urat yang menonjol.
“Terima kasih yah, Mbak. Kamu lagi hamil gini, semua tamu kamu perlakukan seperti ini semua?” tanyaku.
“Yah nggak Mas, kebetulan aku udah lama nggak ngewe, terus lihat punya Mas keras banget, udah gitu aku dapat info dari Mbak-Mbak kalau kamu kalau ke sini nggak pernah main, tetapi bayar penuh, artinya khan Mas orang bersih.”
“Oh, jadi di kamar tunggu WP, banyak saling tukar informasi yah?”
“Harus itu, biar kita nggak salah, yang lebih penting lagi ini,” katanya sambil menunjukkan leleran sperma yang meleleh keluar dari vaginanya.
“Maksudmu?” kataku nggak mudeng.
“Aku taruhan sama Mbak-Mbak yang pernah sama Mas, lumayan sepuluh ribuan sepuluh orang, ini sebagai bukti bahwa kamu main sama aku,” katanya.
Ha, kaget aku. Wah gila aku dijadikan obyek judi, dasar.
“Sebentar Mas, aku ke toilet,” katanya. Aduh bukan tamunya yang didulukan, malah dia yang duluan.
Nggak lama dia masuk, dan…
“Nih aku bawain handuk yang baru,” katanya dengan wajah yang kelihatan seneng banget.
“Katanya nggak kuat naik turun, kok sudah bawa handuk bersih dari bawah?” tanyaku.
“Khan minta tolong sama room boy,” katanya.
“Nah tadi ngambil CD minta tolong aja sama dia,” kataku.
“Nggak enak lagi Mas nanti dikira macam-macam, lagian khan tadi belum ada modal buat nyuruh room boy,” katanya.
“Maksudnya?” tanyaku lagi.
“Khan menang taruhan, yah bagi-bagi rejeki. Aku kasih uang room boy-nya untuk ambil handuk, mereka kalau nggak ada uangnya nggak gerak Mas!” katanya. Aku geleng-geleng.
“Iya setali tiga uang sama kamu, kalau nggak ada uang juga nggak goyang,” kataku tapi dalam hati.
“Mbak Desi, kok kamu duluan sih ke kamar mandi?” tanyaku sambil memakai kimono dan membawa handuk serta sabun. Cerita dewasa ini di upload oleh situs ngocoks.com
“Aku tadi buru-buru ke sebelah ngasih tahu sama Mbak Anita, kalau dia kalah taruhan dengan menunjukan sperma Mas yang ngucur dari memekku,” katanya. Waduh udah kotor nih mulut Mbak Desi, mungkin terlalu gembira dengan kemenangannya dan “O”-nya.
Setelah mandi, berpakaian dan memberikan tips, aku bilang, “Kamu dapat tiga aku Cuma satu lho, Mbak!” kataku.
“Iya deh, lain kali aku kasih bonus,” katanya, tahu maksudku kalau dia dapat tips, menang taruhan dan “O”-nya.
“Janji yah, makasih Mbak,” kataku, sambil aku cium pipi kiri dan kanannya.
Saat turun ke depan resepsionis Mbak Desi mengikuti di sampingku, guna memberi tahu ke resepsionis berapa jam dan minum apa.