Kisah Tiga Wanita : Vina, Inge dan Memey

Cerita ini sudah saya tulis beberapa tahun lalu dan hanya tersimpan di file pribadi, sepenuhnya fiktif meskipun diinspirasi oleh pengalaman pribadi. Genre saya adalah MILF seperti beberapa fr yang sebelumnya saya launching di SF FR Jabodetabek (sekarang blm dapat tag UG-FR +…hiks). Kisah ini semata-mata ditulis hanya untuk kesenangan saja tanpa banyak mengerutkan dahi, dengan plot tunggal tanpa konflik yang berat. Jika ada kesamaan nama, karakter, waktu atau tempat hanyalah kebetulan saja.

Aku bekerja di sebuah perusahaan keluarga yang bergerak dalam bidang kontraktor. Seluruh top manajemen merupakan anggota keluarga besar yang merupakan warga keturunan. Perusahaan ini didirikan oleh orang tua mereka dan setelah meninggal maka anak-anaknya yang memegang kendali operasional. Direktur Utama perusahaan ini adalah Pak Ivan yang merupakan anak sulung dari pendiri perusahaan. Direktur Keuangan dipegang oleh Ibu Vina yang merupakan istri Pak Ivan. Direktur lainnya dijabat oleh adik-adik Pak Ivan, tetapi dalam operasional sehari-hari hanya Pak Ivan saja yang aktif. Adik-adiknya telah memiliki perusahaan lain warisan orang tuanya dan Pak Ivan di sana duduk sebagai Direktur. Aku maklum saja karena ini memang perusahaan keluarga. Ibu Vina tidak setiap hari masuk kantor, tetapi hanya sesekali saja datang ke kantor. Seminggu paling banyak tiga hari saja ia ke kantor untuk memeriksa keuangan.

Pak Ivan dan Ibu Vina berasal dari Jakarta dan setelah menikah maka mereka pindah kota ini. Kotaku adalah sebuah kota propinsi yang tidak terlalu besar.

Saat itu aku diikutkan untuk sebuah proyek yang berada di luar kota. Untuk urusan pekerjaan maka aku sering keluar kota bersama-sama dengan pimpinan meninjau proyek di lapangan. Meskipun para pimpinanku adalah warga keturunan, namun mereka baik dan fair terhadap karyawannya. Suasana kekeluargaan sangat terasa di kantor. Tidak jarang kami makan bersama, baik di restoran ataupun di kantor dengan nasi bungkus sederhana.

Ibu Vina sudah berumur empatpuluhan, tetapi badannya masih terlihat kencang. Dari muda ia memang rajin berolahraga. Beberapa cabang olahraga ia kuasai. Hanya sekarang yang rutin masih ia lakukan adalah bulu tangkis dan tenis. Kalau ikut meninjau ke lapangan Ibu Vina lebih suka berjalan kaki untuk melihat dari satu tempat ke tempat lainnya yang jaraknya sampai ratusan meter. Untuk menahan panas matahari paling ia hanya mengenakan topi lebar.

Ibu Vina memiliki wajah cantik dengan rahang menonjol, rambut berombak sampai punggung, tubuh yang tinggi, bahunya terlihat lebar dan kuat. Kadang-kadang saja ia mengenakan kacamata. Kalau lagi mengenakan kacamata ia nampak semakin matang saja. Menurutku bentuk tubuh dan rambutnya mirip dengan artis panas tahun 90-an, Lela Anggraeni. Ia seorang yang tegas dalam mengambil keputusan, tetapi tetap bijaksana dan mau berdiskusi untuk menentukan suatu keputusan. Kalau argumen kami masuk akal, maka iapun akan mempertimbangkan apa yang kami sampaikan. Kami kadang berdebat cukup sengit sampai terdengar seperti orang bertengkar untuk menyampaikan budget proyek atau jika ada masalah dengan keuangan. Namun setelah keluar dari ruangannya dan masalah tersebut bisa diatasi, maka sikapnya kembali seperti biasanya.

Memang, kami dibiasakan menyampaikan argumentasi jika masalah yang disampaikan menyangkut pekerjaan, tanpa berusaha menyalahkan atau memojokkan seseorang secara personal. Kalau sudah begitu aku bisa berdebat habis-habisan dengan teman atau pimpinan. Keluar dari ruangan selesai sudah dan kami semua bisa bercanda seperti biasa.

Kadang di luar jam kantor akupun sering dipanggil Pak Ivan untuk diajak diskusi mengenai pekerjaan atau hanya sekedar ngobrol saja. Aku sampai jengkel karena kalau memanggil ke rumahnya sepertinya tidak tahu waktu. Hari liburpun harus siap untuk dipanggil ke rumahnya. Sudah begitu sampai di sana hanya mengulang satu masalah yang sudah didiskusikan sebelumnya di kantor. Namun aku mencoba untuk menghargai perhatiannya kepadaku, sehingga meski kadang dengan mengomel sendiri, aku tetap berusaha untuk datang kalau dipanggil ke rumahnya. Ibu Vina kadang juga ikut bergabung dengan kami.

Hampir setengah tahun pekerjaan proyek yang aku tangani berjalan dengan lancar. Kalaupun ada masalah dapat segera diatasi. Kemajuan proyek cukup bagus, di atas lima puluh persen, sementara waktu masih tersisa setengah tahun lagi.

Suatu sore Ibu Vina datang ke kantor. Aku ingat hari ini jadwalnya olahraga. Agaknya sore ini ia akan main bulu tangkis. Aku bertemu dengannya di depan ruangannya. Ia mengenakan celana pendek longgar selutut warna coklat dan t-shirt dengan warna coklat muda.
“Eh, Ibu. Bulutangkis sore ini?” tanyaku menyapanya.
“Iya, Pak Anto. Ayo dong ikut olahraga biar badannya tidak kegemukan,” katanya.
Badanku memang sudah sedikit overweight.
“Ah.. masih banyak kerjaan Bu. Lain kali saya mungkin bisa ikut”.
“Ya silakan dilanjutkan pekerjaannya. Nanti lain kali harus ikut”.
“Baiklah Bu, saya kembali ke ruangan saya,” kataku sambil masuk ke dalam ruanganku. Ruanganku terletak di sebelah ruangannya. Kantor kami terdiri dari tiga lantai. Lantai satu dan dua untuk ruang kerja, lantai tiga untuk mess tamu intern dan kamar istirahat untuk Direksi. Ibu Vina juga masuk ke ruangannya dan sebentar kemudian ia sudah keluar lagi. Ketika melewati pintu ruanganku ia melihat kle arahku dan berkata,”Ayo Pak, saya berangkat”.
“Silakan Bu. Jangan lupa warming up dulu sebelum main,” kataku sambil menghentikan pekerjaan sejenak.
“Terima kasih Pak Anto. Yuk.!” katanya sambil tersenyum dan berjalan ke luar. Aku kembali sibuk membuat perencanaan untuk minggu depan.

*****

Beberapa hari kemudian Ibu Vina pagi-pagi sudah menelponku.
“Hallo Bu..”
“Pak Anto kalau tidak sibuk nanti sore kita main badminton yuk. Ajak saja teman-teman yang lain biar seru,” katanya.
“Baik Bu. Nanti saya hubungi teman-teman supaya ikutan, tapi saya tidak punya raket Bu”.
“Nanti pakai punya saya saja. Atau ee..e kalau gitu nanti kita beli saja raket untuk inventaris kantor. Sudah ya, nanti sore jangan lupa”.
Ibu Vina kemudian menutup telponnya.

Aku menghubungi teman-teman kantor untuk mengajak ikut main badminton sore nanti. Sebagian menyatakan tidak bisa, yang lain menyatakan ikut tetapi dari nadanya aku meragukan keseriusan mereka. Akhirnya aku memutuskan melihat kondisi nanti sore saja. Yang penting aku sudah menyiapkan diri. Celana pendek, kaus dan sepatu olahraga kumasukkan dalam tas dan kubawa ke kantor. Kalau nanti sore tidak jadi tidak apa-apa, kubawa pulang lagi.

Sampai di kantor aku sudah sibuk tenggelam dalam pekerjaan. Beberapa teman yang kuhubungi tadi ada juga yang membawa tas sepertiku. Mungkin sama pikirannya denganku, melihat situasi nanti saja. Setelah istirahat makan siang Ibu Vina masuk ke kantor dan langsung ke ruangannya. Kulihat sopirnya membawa empat buah raket yang masih baru. Rupanya Ibu Vina benar-benar serius mengajak kami ikut main badminton.

Sekitar jam tiga sore Ibu Vina memanggilku ke ruangannya. Aku masuk ke dalam ruangannya.
“Silakan duduk Pak Anto,” katanya datar tanpa ekspresi.
Tidak biasanya Ibu Vina berbicara denganku dengan nada demikian. Aku duduk di depannya. Di mejanya kulihat laporan kas proyek terakhir.
“Begini Pak Anto, saya baru periksa laporan kas proyek. Kelihatannya ada indikasi penyimpangan,” katanya sambil menatapku tajam.
“Maksud Ibu?” tanyaku.
“Coba lihat faktur pembelian ini,” katanya sambil menunjuk ke sebuah faktur pembelian barang di proyek. Sekilas tidak ada yang aneh menurutku. Ibu Vina memandangku sekilas.
“Goresan tanda tangan di faktur ini sangat mirip dengan tanda tangan Sandi, bagian logistik di proyek,” katanya lagi sambil menunjukkan contoh sebuah tanda tangan. Kuamati dengan teliiti dan ternyata tarikan garisnya memang sangat mirip. Namun aku tidak mau langsung ambil keputusan.
“Baiklah Bu. Saya akan menghubungi proyek untuk mendapatkan kejelasannya”, kataku tenang.
‘Kalau begitu saya kembalikan dulu laporannya. Setelah jelas nanti kasih ke saya lagi”.

Aku mengambil laporan itu dan kembali ke ruanganku. Segera kuhubungi bagian logistik proyek di lapangan. Rupanya Sandi yang langsung menerima telponku sehingga aku bisa menanyakan tentang masalah tadi. Sandi mengakui bahwa ia yang telah menandatangani faktur tersebut, karena faktur aslinya hilang atau tercecer. Sandi menjelaskan dengan yakin kalau ia tidak memanipulasi nilai pembelian, hanya saja ia tetap mengaku salah atas kejadian itu.

Aku kembali ke dalam ruangan Ibu Vina dan menjelaskan apa yang disampaikan Sandi tadi. Ibu Vina memeriksa kembali laporan tadi dan berkata,” OK Pak Anto. Laporan ini saya terima, tetapi tolong berikan teguran kepada Sandi atas kejadian ini. Saya paling tidak mau kalau ada yang coba-coba untuk berlaku curang”.
Akupun segera mohon diri untuk kembali ke ruanganku. Sebelum aku berdiri dari tempat duduk, Ibu Vina bertanya,”Nanti sore jadi ikut main kan? Siapa saja yang ikut?”
“Ya, saya usahakan Bu. Yang lain tadi saya lihat juga ada beberapa yang membawa pakaian ganti dan sepatu kets,” kataku.
Aku kembali ke ruanganku.

Pukul empat lebih dua puluh aku hendak menuju ke toilet untuk buang air kecil. Untuk menuju toilet harus melewati ruangan Ibu Vina. Pintunya tidak tertutup sempurna sehingga ada sedikit celah. Tanpa sengaja aku melihat ke arah dalam ruangannya. Aku terkejut karena terlihat Ibu Vina sedang melepas bajunya dalam posisi membelakangi pintu sehingga hanya kelihatan punggungnya yang polos. Aku menghentikan langkahku. Kemudian ia memakai kausnya. Rupanya ia sudah bersiap-siap untuk main badminton. Sebelum ia berbalik dan memergokiku aku segera melanjutkan langkahku. Sampai di toilet aku baru sadar kalau pemandangan tadi membuat aku terangsang sehingga adik kecilku mulai bereaksi dan membesar. Setelah menuntaskan kencingku perlahan penisku kugoyangkan perlahan. Mulai timbul rasa nikmat di tubuhku. Kukocok sebentar penisku sambil membayangkan tubuh Ibu Vina, namun kemudian aku tersadar dan kembali memasukkan penisku ke balik celana dalamku.

Ketika kembali melewati pintu ruangan Ibu Vina kembali aku melihat dari celah pintu. Kulihat Ibu Vina sudah mengenakan kaus dan celana pendek warna putih. Ia tampak sedang membungkuk dan mengikat tali sepatu kets-nya. Payudaranya yang besar tercetak menggantung di balik kaus putihnya. Aku semakin berdebar-debar. Ketika ia menegakkan tubuhnya akupun berlalu dari depan pintu ruangannya.

Pukul setengah lima Ibu Vina memanggilku melalui telepon, menanyakan apakah aku jadi ikut main badminton. Kujawab aku mau menanyakan pada teman-teman lainnya. Satu persatu teman-teman yang tadi pagi menyatakan kesediaannya mendadak membatalkan untuk ikut. Kebanyakan beralasan ada tugas mendadak yang harus diselesaikan, jadi harus lembur di kantor. Aku jadi ingat memang ada pekerjaan yang harus kami siapkan dalam satu dua hari ini.

Aku masuk ke ruangan Ibu Vina untuk memberitahukan bahwa kami ada pekerjaan yang harus diselesaikan secepatnya.
“Maaf Bu, saya baru ingat kalau kami harus menyelesaikan bahan presentasi untuk lusa. Jadi kami tidak bisa ikut menemani Ibu main badminton,” kataku menjelaskan.
“Emmhh, tapi tadi pagi kamu sudah menyatakan bersedia dan katanya ada juga beberapa orang yang mau ikut ,” katanya dengan nada kecewa.
“Ya Bu. Maaf, tadi pagi saya berpikir sore ini tidak ada pekerjaan yang mendesak karena sebenarnya bahan presentasi sudah siap kemarin, tetapi ternyata ada beberapa perubahan yang penting,” kataku lagi.
“E..ee. Tunggu sebentar ya!” katanya sambil menekan tombol telepon.

Sebentar kemudian ia berkata di telepon.
“Halo.. pi. Aku mau badminton dulu. Tadinya sama anak-anak kantor tapi ternyata ada kerjaan mendadak”.
Ternyata di menelepon suaminya.
“Ya..ya. Mungkin sampai sekitar jam enam atau setengah tujuh, tergantung rame atau tidak di lapangan ……. Hmmm kalau gitu biar aku bawa mobil sendiri saja. Oh ya pi.. gimana kalau aku ngajak Pak Anto untuk menemaniku…… Ini orangnya ada di sini. Nih Pak Anto, Bapak mau bicara,” katanya sambil mengulurkan gagang telepon ke arahku.

Aku menyambut gagang telepon itu dan ..
“Halo Pak”
“Pak Anto, lusa kan ada presentasi. Bahan-bahan dari proyek gimana?”
“Sudah lengkap Pak, tinggal menyusun saja. Sebenarnya dari kemarin sudah jadi, tetapi informasi dari teman-teman di kantor ada beberapa perubahan yang cukup penting, jadi rencana mau dilembur malam ini,” kataku panjang lebar.
“Ya sudah kalau begitu. Tolong diawasi saja anak-anak agar malam ini bisa selesai. Besok masih ada waktu untuk dipelajari dan bisa diperbaiki jika diperlukan”.
“Ya Pak..”.
“Oh ya. Katanya Ibu mengajak main badminton ya? Aduh saya memang kurang suka olahraga, beda dengan ibu yang memang suka olahraga dari dulu. Paling kalau sempat saya hanya pakai sepeda statis atau threadmill di rumah. Ya sudah kalau gitu, yang penting nanti diawasi saja pekerjaan anak-anak agar selesai,” katanya memberi perintah.
“Baik Pak. Bapak mau bicara lagi pada Ibu?” tanyaku.
“Ya..ya. Tolong berikan telepon pada Ibu!”
Ibu Vina kembali menerima telepon dari suaminya sambil melirik ke arahku. Ibu Vina tersenyum-senyum saja sambil sesekali mengiyakan. Akhirnya setelah beberapa saat ia meletakkan gagang telepon.
“Beres khan. Ayo kita berangkat!” ajaknya.

Akhirnya kami berdua berangkat ke sebuah gedung olahraga yang biasa digunakan Ibu Vina bermain badminton. Ibu Vina menyerahkan kunci mobil kepadaku. Ia duduk di kursi depan. Sebenarnya aku agak sungkan juga, namun aku hanya diam saja. Sekilas kulirik pahanya yang mulus dan padat.

Sesampainya di gedung olahraga, aku yang belum sempat ganti pakaian di kantor, langsung ke ruang ganti. Sebentar kemudian aku sudah siap untuk bermain. Ibu Vina kulihat mengobrol dengan beberapa orang, mungkin rekan bisnisnya atau teman-temannya di sebuah yayasan warga Tionghoa, karena kebanyakan dari mereka berkulit kuning dan bermata sipit.

Setelah melihatku keluar dari ruang ganti, Ibu Vina mendekatiku dan memberikan sebuah raket yang masih baru.
“Nih, pakai saja. Tadi aku suruh sopir beli raket untuk inventaris kantor biar bisa dipakai sama-sama”.
“Terima kasih Bu,” kataku sambil menerima raket itu.

Kami kemudian melakukan gerakan-gerakan peregangan beberapa saat. Kemudian kami masuk ke lapangan bulu tangkis yang terletak di paling pinggir. Ada dua lapangan bulu tangkis dan satu lapangan tenis indoor di gedung itu. Sambil melakukan pemanasan dengan memukul-mukul bola ada sepasang pria dan wanita yang mendekati kami. Ibu Vina menghentikan pukulannya.
“Eh Pak Wijaya. Mari gabung sama-sama Pak,” ajak Ibu Vina kepada pasangan tadi. Kemudian mereka bergabung dan akhirnya kami bermain ganda campuran. Ibu Vina berpasangan denganku melawan Pak Wijaya dengan istrinya.

Ibu Vina memang masih lincah dan staminanya cukup kuat. Permainan bola pendek dan smashnya cukup membuat lawan kerepotan. Aku hanya bertahan saja. Pada dasarnya aku juga tidak terlalu pandai main bulutangkis, hanya sekedar bisa saja. Mungkin kalau pasanganku bukan Ibu Vina barangkali kami sudah kalah telak. Smash tajam dari Pak Wijaya sering membuahkan nilai, sedangkan istrinya kuat dalam bermain bertahan.

Tiga set sudah berlalu dan akhirnya kami harus mengakui keunggulan lawan dengan skor 1-2. Tubuhku basah kuyup oleh keringat, demikian juga dengan Ibu Vina. Setelah beristirahat sejenak untuk mengeringkan keringat tanpa berganti pakaian kami berempat masuk ke kafe di depan gedung. Kami hanya memesan minuman dingin sambil ngobrol. Aku lebih banyak berdiam diri, hanya mendengarkan obrolan mereka. Sesekali kalau ditanya baru aku menjawab. Aku justru lebih banyak memperhatikan kaus Ibu Vina yang basah oleh keringat sampai mencetak bentuk payudaranya yang padat. Bau tubuhnya yang bercampur keringat yang tertiup angin dan masuk ke hidungku membuatku semakin penasaran.

Seperempat jam kemudian kami berpisah. Ibu Vina kembali menyerahkan kunci mobilnya kepadaku.
“Ayo, aku antar kamu pulang dulu!” katanya sambil duduk di jok depan.
“Kalau ibu mau cepat, biar saja saya naik kendaraan umum Bu,” kataku padanya.
“Ah enggak ada yang dikejar kok. Habis ini langsung pulang, nanti malam ada undangan pernikahan teman di yayasan”.

Mobil kujalankan pelan. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, langit mulai gelap dihiasi awan. Kelihatannya mau turun hujan. Sambil menyetir aku sesekali melirik ke paha mulusnya dan dadanya yang montok. Aku berpikir akan mampir ke kantor dulu sambil melihat pekerjaan teman-teman di kantor. Ibu Vina kemudian sadar kalau aku mengambil jalan ke arah kantor.
“Pak Anto mau ke kantor?”
“Ya Bu. Mau lihat pekerjaan teman-teman untuk acara presentasi lusa”.
“Oooo….”

Sampai di kantor tanpa mematikan mesin aku turun dan menyerahkan mobil kepada Ibu Vina. Aku segera menemui teman-teman yang sedang bekerja di ruang teknik di lantai satu.
“Gimana man? Udah siap pekerjaannya?” tanyaku kepada mereka.
“Sebentar lagi juga kelar, Cuma ganti angka-angka saja. Format presentasinya sudah beres dari kemarin. Udah 85%-an,” jawab salah seorang dari mereka.
“Oke kalau gitu. Nanti kalau lembur sampai malam beli makan aja pakai uang kalian dulu. Besok bonnya kasih ke aku. Oke?”
“Ya Pak. Gampang itu…”.
“Kalau gitu aku pulang duluan ya. Kelihatannya akan turun hujan”.

Aku menyempatkan diri ke ruanganku dulu untuk mengambil sebuah berkas yang akan kubawa pulang untuk kupelajari. Dari lantai tiga kudengar guyuran air. Karena sudah sepi kututup pintu ruangan dan aku mengganti celana pendek dengan celana panjang, sementara kausku kubiarkan saja menempel di badan, meski terasa sedikit lengket. Aku berpikir siapa yang mandi, atau jangan-jangan ada tamu. Tapi kalau ada tamu biasanya aku akan diberitahu oleh bagian umum atau office boy.

Kucari berkas yang kuperlukan. Rasanya sebelum berangkat badminton tadi kuletakkan di dalam laci mejaku. Setelah mengaduk- aduk seluruh isi laci tidak juga kutemukan berkas yang kucari. Akhirnya aku menyerah. Sambil pulang nanti akan kutanyakan kepada teman-teman yang sedang bekerja di lantai satu adakah di antara mereka yang menggunakannya.

Ketika keluar dari ruangan kulihat seseorang turun dari tangga lantai tiga. Ternyata Ibu Vina. Rupanya tadi yang mandi di lantai tiga adalah Ibu Vina.
“Eh.. Ibu. Saya kira tadi langsung pulang,” kataku.
“Belum. Tadinya mau langsung pulang, tapi rasanya badan enggak enak keringetan gini. Makanya kupikir aku mandi saja dulu baru pulang,” katanya sambil berjalan ke arahku.
Kuperhatikan Ibu Vina memakai kemeja longgar warna merah dan celana jeans hitam ketat. Kancing kemejanya yang paling atas terbuka sehingga sedikit terlihat dadanya yang putih dan belahan payudaranya. Sekilas tampak seperti seorang gadis remaja. Ketika jaraknya sudah semakin dekat kucium harum tubuhnya yang menguar.
“Ayo kalau mau pulang,” katanya.
“I..i..iya Bu. Silakan…”.
“Kamu naik apa?” tanyanya lagi.
“E..e.. Saya pakai sepeda motor,” kataku terbata-bata karena konsentrasiku buyar melihat bentuk tubuh Ibu Vina dan aroma harum yang lembut dari tubuhnya.

Ibu Vina berjalan mendahuluiku. Dari belakang aku mengikuti dengan rasa gairah yang terpendam. Nafsuku mulai naik dan membakar tubuhku. Badanku terasa panas dingin melihat caranya berjalan dalam balutan jeans ketat. Baru kali ini aku melihat Ibu Vina dalam pakaian seperti itu. Aku mengikutinya dalam jarak tiga langkah di belakangnya, cukup leluasa untuk mengamati tubuhnya dari belakang dan mencium harum tubuhnya. Terasa sesuatu mendesak di balik celanaku.

Sampai di bawah ternyata tiba-tiba saja hujan turun dengan lebatnya. Aku masih tertahan di teras kantor, sementara Ibu Vina sudah masuk ke dalam mobil. Kulihat mobilnya menuju kearahku dan berhenti tepat di depanku. Jendela mobil turun sedikit dan kulihat Ibu Vina melambaikan tangan mengajakku masuk ke dalam mobil Sekilas aku masih ragu-ragu. Kembali kulihat lambaian tangannya. Akhirnya kubuka pintu mobil dan aku masuk ke dalamnya.

“Kenapa kamu lama sekali masuk ke dalam mobil?” tanyanya pelan.
“Emmh.. enggak kok Bu. Saya hanya merasa sungkan saja dan lagian kelihatannya hujannya tidak lama kok,” kataku.
“Kenapa? Daripada kamu kehujanan. Aku antar kamu pulang dulu ya. Motormu bisa ditinggal di kantor saja”.
“Ah tidak usah Bu. Ibu langsung saja menuju ke rumah, saya nanti turun di supermarket yang searah dengan rumah Ibu. Ada yang mau saya beli,” kataku sekenanya sekedar mencari alasan.
Aku bingung sendiri kupikir lagi apa yang mau kubeli.

Sambil berjalan kami masih ngobrol tentang macam-macam hal, mulai dari urusan kantor, situasi nasional sampai gosip terkini di televisi. Karena aku tidak pegang kemudi maka aku lebih leluasa menikmati keindahan tubuhnya. Meskipun memakai kemeja longgar dadanya tetap saja indah untuk dipandang. Aku beberapa kali mengubah posisi dudukku dengan gerakan yang tidak menyolok karena ada sesuatu yang mengganjal di bagian bawah tubuhku.

Sampai di depan supermarket yang kumaksudkan aku memberi aba-aba untuk turun.
“Ya Bu. Saya turun di halte depan situ,” kataku.
Setelah tiba di halte aku turun setelah mengucapkan terima kasih. Ibu Vina hanya tersenyum kecil.

Tiba-tiba aku ingat tentang berkas yang tadi kucari. Kenapa aku lupa kalau tadi siang berkas itu diminta Ibu Vina untuk dipelajari. Isinya adalah penawaran produk yang akan kami pakai dalam proyek yang sedang dikerjakan. Biarlah besok pagi akan kuminta dan kupelajari sebentar.

*****

Hujan sudah reda dan aku masih di halte. Aku masih terbayang tubuh Ibu Vina yang membikin khayalanku melambung. Badanku terasa pegal sekali karena memang sudah lama aku tidak berolahraga. Aku ingat di gang belakang situ terdapat sebuat panti pijat. Barangkali saja dengan dipijat badanku bisa lebih enak. Kata orang sih kabarnya ada “service plus”. Tapi biarlah aku lihat apa yang akan terjadi nanti.

Masuk ke dalam panti pijat aku disodori sejumlah foto-foto pemijatnya. Dari foto tersebut semuanya terlihat cantik dan menggoda. Tapi feelingku mengatakan jangan cari yang kelihatan cantik di foto. Akhirnya aku memilih foto pemijat yang menurutku biasa saja. Mbak yang jaga di depan memandangku dan tersenyum penuh arti, kemudian mengantarku masuk ke dalam bilik pijat. Tidak ada yang istimewa dengan bilik ini. Ukurannya hanya 2,5 x 2 m dengan sebuah ranjang kecil untuk satu orang. Ada meja kecil dengan krim pijat di atasnya. Di dinding ada sebuah cermin dan kapstok.
“Tunggu sebentar mas ya. Nanti pemijatnya akan ke sini,” kata mbak tadi sebelum meninggalkanku.

Aku berbaring di atas ranjang sambil memejamkan mata. Terbayang kembali tubuh Ibu Vina yang kausnya basah oleh keringat sehingga mencetak bentuk gunung kembar di dadanya dan pantatnya yang tercetak di balik celana jeans ketat. Bau tubuhnya ketika berkeringat ataupun sehabis mandi sama-sama seakan-akan feromon yang membuatku terangsang.

Aku hampir tertidur ketika ada suara halus menayapku.
“Selamat sore mas”.
Aku memperhatikan sumber suara itu. Rupanya pemijat yang kupesan sudah datang. Ia mengenakan celana panjang kain warna gelap dan kaus warna putih. Aku lebih terkejut lagi ketika kulihat ternyata mirip dengan Ibu Vina, hanya kulitnya lebih gelap. Aku tidak tahu apakah sebenarnya ia memang mirip Ibu Vina atau karena pikiranku saat ini sedang tertuju kepada Ibu Vina. Wanita itu tersenyum ketika melihat aku mengamatinya dengan teliti.
“Kenapa Mas?” tanyanya.
“Ah enggak apa-apa kok Mbak. Rasanya beda dengan yang di foto tadi,” jawabku pelan.
“Gini Mas. Mbak Susi yang mas pilih, tadi tiba-tiba sakit dan pulang. Saya disuruh untuk menggantikannya. Tetapi kalau Mas tidak cocok boleh kok memilih lainnya,” katanya lembut.
Aduh.. suaranya juga terdengar seperti suara Ibu Vina. Aku semakin bingung karena hanya Ibu Vina dan Ibu Vina yang ada di pikiranku saat ini.
“Gimana Mas, mau pijat sama saya?” tanyanya lagi.
“Ya..ya mau..mau…” jawabku terbata-bata.
Mbak tadi tersenyum manis.

“Ayo dilepas pakaiannya Mas,” katanya sambil menarik tanganku perlahan.
“Bukain dong..!” kataku.
“Hmm…. Manja juga Mas ini. Masak sudah tua gini gak bisa buka baju sendiri,” katanya sambil melepaskan kancing kausku.
“Ayo sekarang turun, lalu membungkuk dan tangannya lurus ke depan..”
Aku akan protes, tapi dengan tersenyum ia menganggukkan kepalanya memberi tanda agar aku mengikuti saja.

Aku membungkukkan badanku dan kedua tanganku lurus ke depan. Ia sedikit membetulkan posisi tubuhku dan tangannya memegang kuat leher kausku. Dengan gerakan cepat ia menarik kausku dan seketika itu juga kausku sudah terlepas. Aku terkejut dan surprise. Darimana ia belajar teknik membuka kaus dengan cara begini. Dari roman mukanya agaknya ia juga sedikit surprise dengan dadaku yang bidang dan berbulu. Aku menunggu dengan penasaran, teknik apa yang akan dilakukan untuk membuka celanaku. Ternyata untuk membuka celanaku ia hanya membukanya dengan cara biasa. Dilepasnya kepala ikat pinggang dan pengait, ditariknya ritsluiting dan kedua tangannya mulai melepaskan celana panjangku. Celana dalamku nampak cembung karena penisku yang dari tadi sudah membesar di baliknya. Ia hanya tersenyum tanpa menyentuh penisku. Ketika celanaku sudah melorot sampai di atas lutut ia menyuruhku duduk di tepi ranjang. Aku mengikutinya saja. Aku masih shock dengan caranya melepas kausku.
“Nah sekarang tinggal berbaring tengkurap,” katanya.

Hanya dengan bercelana dalam saja aku tengkurap di atas ranjang dan ia mulai mengurut punggungku. Mula-mula terasa agak sakit sehingga aku sedikit mendesis, tetapi kemudian mulai terasa enak.
“Siapa namanya Mbak?” tanyaku.
“Saya Sofie, Mas,” jawabnya sambil terus mengurutku.
“Tubuh Mas bagus dan keras, meski kelihatan agak gemuk. Mas suka olahraga ya?”
“Ya dulu sih suka olahraga, tapi sekarang sudah enggak sempat lagi. Ini tadi habis main badminton, makanya terasa pegal-pegal”.
“Ya, ini terasa uratnya kaku, hik..hik hi hi. Lagian Mas belum mandi ya, makanya baunya luar biasa.,” katanya sambil tertawa menggodaku.

Dari bilik sebelah terdengar suara deritan ranjang dan desah tertahan. Lama-lama suara itu semakin kuat. Aku menjadi terangsang karena membayangkan apa yang sedang terjadi di bilik sebelah. Penisku mengeras. Sofie agaknya tahu apa yang sedang kupikirkan. Ia membisikkan sesuatu di telingaku.
“Tuh.. di sebelah lagi seru main kuda lumping Mas!”
Aku hanya tersenyum saja sambil mengusap pahanya yang masih tertutup celana panjang.

Kami terus mengobrol sementara ia mengurutku. Lumayan juga urutannya, badanku menjadi lebih segar dan rileks. Sekarang ia menyuruhku telentang. Sambil duduk di tepi ranjang Sofie mengurut tanganku sampai ke telapak tangan. Agaknya sebentar lagi pijatan ini akan selesai. Benar saja, sebentar kemudian ia menghentikan pijatannya sambil mencolek penisku yang semakin menggembung di balik celana dalam. Dilihatnya di celana dalamku ada titik cairan yang merembes di permukaan celana dalamku.
“Ih sudah basah ya..,” katanya sambil mengusap bulu dadaku.
Aku semakin terangsang. Kuputuskan untuk mengeluarkan amunisiku dengan cara apapun.

Kupegang tangannya yang mengusap bulu dadaku. Ia memandangku tersenyum datar.
Kubisikkan,”Sof, aku mau service tambahan bisa enggak?”

 

Kupegang tangannya yang mengusap bulu dadaku. Ia memandangku tersenyum datar.
Kubisikkan,”Sof, aku mau service tambahan bisa enggak?”

Tanpa menjawab ia turun dari ranjang dan mengambil handuk di atas meja.
“Sana mandi yang bersih mas. Krim pijatnya biar hilang”.
Aku penasaran dengan sikapnya dan berusaha memeluknya. Tapi ia menepis pelukanku dan mengangsurkan handuk yang dipegangnya. Aku kemudian sadar bahwa ia sengaja membuatku penasaran sehingga ia bisa menaikkan tarif servicenya. Sadar dengan hal demikian aku segera meraih handuk tadi dan pergi ke kamar mandi di sudut ruangan.

Dengan sabun cair yang ada aku mulai menyabuni tubuhku. Kuperhatikan dari lubang penisku keluar cairan bening encer. Kupegang penisku dan kukocok sebentar. Penisku semakin menggeliat dan membesar. Setelah kurasa ketegangannya maksimal aku menghentikan kocokanku. Aku mau biarlah Sofie yang mengeluarkan isinya, dengan segala cara.

Aku kembali ke dalam kamar hanya berlilitkan handuk tanpa celana dalam. Celana dalamku kuselipkan di dalam lipatan handuk. Kulihat Sofie sudah duduk di atas ranjang. Celana panjangnya kulihat sudah digantungkan di kapstok. Dari balik kaus putihnya terlihat samar-samar tonjolan puting payudaranya. Ia memandangku dengan mata sayu.

Ia menggeserkan tubuhnya dan aku duduk di sampingnya. Tangan kirinya memegang dan meremas jari kananku. Ia merapatkan tubuhnya ke arahku kemudian mendorongku sehingga aku telentang di atas ranjang. Ia turun dan memeriksa kain yang menjadi penutup bilik, menambahkan beberapa jepitan yang mengunci kain tersebut. Dengan isyarat ia memintaku agar berbaring tengkurap.

Setelah aku berbaring tengkurap perlahan-lahan Sofie naik ke atas tubuhku dan menarik handuk yang menutup bagian bawah tubuhku. Kini aku sudah dalam keadaan telanjang bulat. Ia duduk di atas pantatku dan menundukkan kepalanya dan lidahnya menyapu tengkuk, leher terus ke punggung sepanjang tulang belakangku. Rasanya geli sekali, tetapi sekaligus menimbulkan rangsangan yang sangat hebat. Sesekali dadanya yang membusung di balik kausnya ditekankan di punggungku. Aku menggelinjang dan menggigit bantal untuk menahan sensasi rasa yang ditimbulkannya. Pantatku merasakan sentuhan kulit dengan kulit tanpa penghalang dan sesekali kurasakan bulu halus di selangkangannya menggesek pinggulku. Demikian terus ia mencium dan menjilati daerah belakang punggungku. Penisku terasa mengganjal di perutku sehingga membuat aku kurang nyaman. Ia mengerti gerakan tubuhku dan menghentikan aksinya.

Ia sedikit mengangkat tubuhnya dari tubuhku dan membantu membalikkan badanku. Aku dalam keadaan telanjang bulat dan Sofie duduk diatas pahaku dengan hanya mengenakan kaus tanpa pakaian dalam. Ia memegang pundakku, terasa begitu hangat dan buah dada yang sejak tadi kuperhatikan itu kini tergantung hanya beberapa sentimeter saja dari wajahku.

Titik-titik keringat menempel di dahinya, mungkin karena tenaga yang dikeluarkan sewaktu memijitku tadi, namun di mataku justru menambah daya tariknya. Harum tubuhnya semakin menggoda nafsuku untuk berbuat lebih jauh. Kuangkat kepalaku untuk melihat lebih jelas ke arah bagian bawah tubuhnya. Sepintas kulihat bukit di selangkangannya yang ditumbuhi rambut tebal. Aku menelan ludah.

Beberapa saat kami berdua sama-sama terdiam. Ia memegang tanganku sambil mengelus punggung tanganku, aku merinding dibuatnya, sementara di bawah, penisku yang sejak tadi sudah tegang itu mulai mengeluarkan cairan hingga menampakkan cairan putih bening tepat di permukaan lubangnya. Aku sudah sangat terangsang.

Tangannya terus mengelus punggung telapak tanganku dan menjalar ke lengan sampai ke atas dan kemudian beralih mengusap bulu dadaku. Bibirnya mendekat ke wajahku dan kemudian mengecup pipiku lalu disapukan bibirnya ke pelipis, leher dan telingaku.
“Mas peganglah dadaku!” katanya dengan mendesah.
Sofie menuntun telapak tanganku ke arah payudaranya yang menggelembung besar di balik kausnya.
“Mas.., oohh”, suara itu keluar begitu saja, dan Sofie hanya melihat tingkahku sambil tersenyum. Kucium bibirnya dengan lembut, ia membalas dengan ganas dan langsung menyedot bibriku kuat. Aku yang akan melepaskan bibirku tidak diberinya kesempatan. Ia semakin kuat menyedot bibirku sampai terasa agak sakit, namun kemudian rasa sakit itu terkalahkan oleh rasa nikmat.

Sofie melirik ke arah selangkanganku.
“Waawww.., keras sekali punya kamu Mas?”, serunya lalu secepat kilat tangannya menggenggam kemaluanku kemudian mengelus-elusnya. Ibu jarinya mengusap lubang kencingku yang sudah menitikkan cairan dan kemudian mengusapkannya merata ke kepala penisku. Secara refleks tanganku langsung berada di permukaan buah dadanya bergerak meremas dengan lembut sampai menimbulkan desah dari mulutnya.
“Aaahh.., mm remas terus sayang oohh”.
“Teruskan, Mas.., buka kausku,” perempuan itu mendesah pelan.
Aku masih meremas buah dadanya dari balik kausnya. Aku masih belum ingin melihat secara keseluruhan. Nanti ada saatnya ia akan kutelanjangi. Sesekali kususupkankan tanganku ke balik kausnya untuk meremas dan memilin putingnya. Matanya berbinar saat putingnya kupilin dengan lembut.
“Mmm.., Mas..”, ia menggumam merasakan kenikmatan buah dadanya yang kupermainkan.

Kausnya kusingkapkan ke atas dan kedua buah dada itu membuat mataku benar-benar terbuka jelalatan.
“Mm… Mas, aku mau kamu ..”, Belum lagi kalimatnya habis aku sudah mengarahkan mulutku ke puncak bukit kembarnya dan “Slrrupp..”, sedotanku langsung terdengar begitu bibirku mendarat di permukaan puting payudaranya.
“Aahh.., Mas, oohh.., sedoot teruus aahh”, tangannya semakin mengeraskan genggamannya pada batang penisku. Sesekali kulirik tangannya yang masih sibuk bekerja di batang penisku sambil terus menikmati puting buah dadanya satu persatu. Sofie tampak senang sambil tersenyum melihat tingkahku yang seperti anak kecil menetek pada ibunya. Jelas Sofie pasti sudah berpengalaman sekali menghadapi lelaki. Batang penisku tak lagi hanya diremasnya, ia mulai mengocok-ngocoknya. Sebelah lagi tangannya menekan-nekan kepalaku ke arah dadanya.

“Aku buka pakaian dulu, Mas” ia menarik kaus yang dikenakannya, tetapi aku mencegahnya.
“Biar saja Sof, kamu makin kelihatan menggairahkan dalam keadaan begini. Nanti pasti akan kutelanjangi tubuhmu. Sekarang aku masih mau menikmatinya seperti ini dulu”.

“Kita lakukan sekarang Mas..”, katanya sambil menarik tanganku mendarat di permukaan selangkangannya.
Aku merasakan lembutnya bukit di selangkangannya yang mulai basah itu. Sofie langsung merebahkan tubuhnya di atas tubuhku. Sofie membuka pahanya agak lebar agar tanganku mudah mneyusup di celah kedua pahanya.

Ia masih menindihku, buah payudaranya menempel lembut di dadaku. Bibir kamipun kini bertemu, Sofie menyedot lidahku dengan lembut. Uhh, nikmatnya, tanganku menyusup di antara tubuh kami, meraba-raba dan meremas kedua belahan payudaranya yang besar itu.

“Mmm.., oohh.., Sof.., aahh”, rasa geli bercampur nikmat timbul saat Sofie memberikan kecupannya di leherku sambil menggesekkan selangkangannya yang basah itu pada penisku.
“Isap payudaraku … Mas?”, tangannya meremas sendiri buah dada itu, aku tak menjawabnya, bibirku merayap ke arah dadanya, bertumpu pada tangan yang kutekuk sambil berusaha meraih payudaranya dengan bibirku. Lidahku mulai bekerja liar menjelajahi bukit kenyal itu senti demi senti.
“Hmm.., pintar kamu Mas, oohh..” Desahan Sofie mulai terdengar parau tertahan nikmatnya jilatanku pada putingnya yang mulai mengeras.

Tangannya kembali meraih batang penisku yang semakin tegang. Ia berjongkok di atas tubuhku dan dengan cepat Sofie memasukkan penisku ke mulutnya.

“Ohh.., nikmat Sofie oohh.., oohh.., ahh”, geli bercampur nikmat membuatku seperti melayang. Penisku tampak semakin tegang, keluar masuk seluruhnya ke dalam mulut Sofie. Tanganku bergerak meremas-remas payudaranya. Dalam posisi jongkok tangannya meraih penisku di antara pahanya. Pelan sekali ibu jari dan telunjuknya menempelkan kepala penisku di bibir kemaluannya. Aku mengangkat pinggulku ke atas menyambut pantatnya yang turun. Dengan perlahan, mili demi mili batang penisku masuk ke dalam vaginanya.
“Ahhooww, yang pelan sayang oh punya kamu enak sekali!”, desahnya genit saat merasakan penisku yang sudah masuk seluruhnya ke dalam vaginanya itu.
Dengan pelan kugerakkan lagi pinggulku, pelan sekali, rasanya seperti memasuki lubang yang sangat sempit.

Aku masih mengatur ritme gerakan, dan tampaknya Sofie sangat menikmatinya, matanya memejam.
“Hmm.., oohh..”, Sofie kini menggerakkan pinggulnya. Pinggulnya seperti berdansa ke kiri kanan. Liang vaginanya bertambah licin saja. Penisku kian lama kian lancar, kupercepat goyanganku hingga terdengar bunyi selangkangannya yang becek bertemu pangkal pahaku. Plak.., plak.., plak.., plak.., aduh nikmatnya perempuan ini. Mataku merem melek memandangi wajah Sofie yang masih saja mengeluarkan senyuman.

Nafsuku semakin liar, gerakanku yang tadinya pelan kini tak lagi berirama. Buah dadanya tampak bergoyang ke sana ke mari, mengundang bibirku beraksi. Aku menaikkan punggungku, sehingga Sofie duduk dalam pangkuanku berhadapan. Tanganku bergerak melepaskan kausnya. Ia membantu tanganku dengan mengangkat tangannya sehingga kini tubuhnya polos di hadapanku. Kini aku dapat melihat tubuh Sofie yang montok itu dengan jelas. Buah dada besar itu bergelantungan sangat menantang. Dengan penuh gairah tangan dan bibirku menjamah payudaranya.
“Ooohh sayang kamu buas sekali. hmm.., aku suka permainanmu, oohh.., terus mm”.
“Uuhh nikmat Sof.. oohh..”.
“Ooohh sedoot teruus payudaraku aahh..”.
Jeritannya semakin keras dan panjang, denyutan vaginanya semakin terasa menjepit batang penisku yang semakin terasa keras dan tegang.
“Mashhh….!”, dengusannya turun naik.
“Kenapa Sof..”.
“Uuuhh…. aku mau keluar hampiirr.., aahh..”, gerakan pinggulnya yang liar itu semakin tak karuan, tak terasa sudah lima belas menit kami bergelut menimba kenikmatan. Akupun juga sudah tidak tahan lagi untuk menyelesaikan permainan ini.
“Ooohh… Sof ….. nikmat…”.

Aku ingin menumpahkan seluruh lahar kenikmatanku ke dalam tubuhnya dengan kenikmatan maksimal. Kubalikkan tubuhnya dan kugenjot dengan sekeras-kerasnya. Ranjang yang kami pakai mulai terdengar berderit. Tak kuhiraukan Sofie yang menegang keras, kuku-kuku tangannya mencengkeram punggungku, pahanya menjepit keras pinggangku yang sedang asyik turun naik itu.
“Aaahh…., Aku ke..luaarr.. yyaahh”, vagina Sofie terasa berdenyut keras sekali, seperti memijit batang penisku dan ia menggigit pundakku sampai membekas kemerahan. Dalam posisi di atas kunikmati wajahnya yang bergerak menggeleng ke kanan kiri. Sejenak aku membayangkan sedang bercinta dengan Ibu Vina. Tiba-tiba betisnya menjepit pahaku dengan keras.
“Aahh.., aku nggak kuaat aahh, Mass”, teriaknya panjang tertahan seiring tubuhnya yang menegang. Tanganku meremas kedua buah dadanya yang sejak tadi bergoyang-goyang.
Kepala penisku seperti tersiram cairan hangat di dalam liang rahimnya. Kutekankan pinggulku sekuatnya sehingga penisku masuk sampai sedalam-dalamnya.
“Ouuh Vin… Vina aku keluar sekarang……”
Tidak sadar aku menyebut nama Ibu Vina ketika puncak kenikmatan itu kuraih.
“Masshhhh …..”

Kami saling berciuman dengan ganas untuk menahan erangan agar tidak terdengar ke bilik sebelah dan juga untuk melampiaskan kenikmatan puncak yang kami rasakan. Kemaluan kami sama-sama berdenyut saling memberikan kenikmatan yang maksimal. Kakinya mengejang dan mengunci betisku, pantatnya terangkat naik menyambut penisku. Setelah itu sesaat kemudian kami sudah terkulai lemas.
“Makasih Mas, Sudah lama aku nggak pernah mengalaminya.., makasih ya Mas”.

Aku masih terkapar lemas tak berdaya di atas tubuh Sofie. Penisku yang masih tegang dan keras berangsur-angsur melemas. Masih jelas bayangan tubuh sintal Ibu Vina dalam diri Sofie yang kugumuli beberapa menit yang lalu. Sofie bangun mengenakan bajunya dan keluar dari bilik. Ia memberi isyarat agar aku menunggu saja di dalam kamar. Sebentar kemudian ia sudah kembali dengan membawa baskom kecil berisi air hangat. Dengan mesra ia mengelap dan membersihan seluruh tubuhku dan terakhir ia mengusap penisku dan kemudian menciumnya.

“Capek ya Mas? Habis masnya nakal sekali.”.
“Hmm.., kamu yang nakal dan menggodaku. Tapi kamu juga hebat”.
Aku tak tahu harus bilang apa lagi. Badanku rasanya masih melayang-layang. Ia mengurut tanganku dengan lembut. Tak lama kemudian ia meletakkan kepalanya di atas dadaku dan kemudian tangannya mengusap bulu dadaku.
“Mashh. Aku puas sekali. Kapan Mas bisa ke sini lagi?”
“Yahh, sama aku juga sangat puas. Nanti kalau waktuku senggang aku akan ke sini”.
“Bener ya Mas. Awas kalau bohong..”
“Emang kalau bohong mau diapain?”
“Nanti kugigit baru tahu,” katanya sambil menggigit dadaku. Eh benar-benar ia menggigitku. Setelah dilepaskan mulutnya dari dadaku kulihat bekas gigitan kemerahan di dadaku.
“Nah rasain kamu Mas”.

Aku bangun dan mengenakan pakaianku. Sebelum pulang kuletakkan sejumlah uang di atas meja kecil. Sofie memperhatikan sekilas dan tanpa menghitungnya ia memasukkannya ke dalam saku celananya. Tiba-tiba saja ia teringat sesuatu.
“Eh Mas, waktu keluar tadi kok menyebut Vina. Pacar Mas ya?”
Aku hanya tersenyum saja.
“Orang mainnya dengan Sofie tapi kok yang disebut Vina,” gumamnya sambil pura-pura cemberut.
“Habis kamu mirip dengan sekali dengan Vina, makanya aku terbayang dan tanpa sadar menyebut namanya,” kataku sambil mengecup bibirnya.
“Nggak penting siapa Vina. Toh aku juga yakin nama kamu juga bukan Sofie. Besok-besok kalau ke sini aku akan tetap panggil kamu Vina”.
“Ah Mas ini genit deh. Terserah Mas saja…,” katanya sambil mencubit pinggangku.

Kuperhatikan lagi Sofie dengan seksama. Sebenarnya sih tidak terlalu mirip dengan Ibu Vina. Kulitnya jelas lebih gelap. Tinggi badan, bentuk badan dan mukanya memang sekilas mirip Ibu Vina. Rambutnya lurus sebahu, sedangkan rambut Ibu Vina agak bergelombang sampai di punggung. Mungkin karena seharian ini aku sangat terangsang dengan Ibu Vina maka muncul bayangannya pada diri Sofie. Ah sudahlah. Yang penting sekarang aku sudah merasa lebih lega karena gairahku sudah tersalurkan. Sebelum aku keluar dari bilik, Sofie sekali lagi memelukku dan mengecup bibirku.
“Makasih ya Mas. Jangan lupa ke sini lagi. Atau kalau mau setelah jam kerja kita bisa check in ke hotel!”
Kujawab hanya dengan gerakan tubuh. Aku keluar dari panti pijat itu dan langsung pulang naik angkutan umum.

Dilema

Sampai di rumah aku segera mandi dan makan sambil nonton TV. Tiba-tiba terdengar HP-ku berbunyi tanda ada SMS masuk. Kulihat nomornya ternyata nomor Ibu Vina. Kubuka dan kubaca pesannya.
“Udah sampai di rumah? Kapan-kapan kita main badminton lagi ya!”
Kubalas “Sudah, boleh Bu, lain waktu sama teman-teman kantor juga, biar rame”.
Sejujurnya kalau sebenarnya aku akan lebih senang jika hanya berdua dengan Ibu Vina, tetapi tentu tidak pantas kalau aku membalas SMS-nya demikian. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran Ibu Vina. Barangkali saja aku yang begitu terobsesi dengan Ibu Vina.

Hari-hari berikutnya aku semakin akrab dengan Ibu Vina. Ibu Vina lebih sering masuk ke kantor daripada waktu sebelumnya. Terlebih jika Pak Ivan kebetulan sedang keluar kota. Aku tidak berani menyimpulkan perubahan ini akibat karena sikapku. Terlalu naif untuk menyimpulkan hal itu dan tentu agar aku tidak merasa ge-er. Aku hanya menganggap bahwa volume pekerjaan semakin tinggi menjelang selesainya proyek dan kalau Pak Ivan tidak ada tentu ia yang bertanggung jawab atas operasional perusahaan.

Urusan mengenai keuangan juga lebih lancar lagi. Tetapi justru aku merasa takut dan tidak enak. Bagiku justru merupakan beban karena aku merasa kurang diawasi sehingga aku takut salah langkah. Olahraga badminton menjadi kegiatan rutinku jika tidak ada pekerjaan yang mendesak. Kadang kami juga berangkat ramai-ramai dengan teman lainnya yang sesekali ikut.

Suatu kali aku diajak ke proyek oleh Pak Ivan. Ibu Vina juga akan ikut ke sana. Ketika kami sudah siap untuk berangkat tiba-tiba saja Pak Ivan mendapatkan telepon dari proyek lainnya yang arahnya berlawanan dengan proyek yang akan kami tuju sekarang. Katanya ada suatu masalah yang harus segera diatasi oleh top manajemen. Akhirnya kami membatalkan kunjungan ke proyek. Tetapi Ibu Vina berkata,”Pi, Papi selesaikan saja masalah di proyek itu. Biar saja saya dan Pak Anto berangkat sesuai rencana. Ingat proyek yang ini sudah mendekati 85% dan waktu masih tersisa sekitar 25%. Bagus sih kita bisa selesai lebih cepat, tetapi kita harus waspada jangan sampai kualitas pekerjaan kita jadi turun. Makanya harus ada yang melihat ke sana”.

Aku sangat senang dengan usulan Ibu Vina, tetapi untuk menutupinya aku berkata,”Sebaiknya Ibu dengan Bapak saja. Biar saya berangkat sendiri”.
Pak Ivan akhirnya setuju dengan usulan Ibu Vina. Diputuskan Pak Ivan berangkat ke proyek satunya yang sedang bermasalah didampingi Manajer Umum dan Ibu Vina bersama saya ke proyek lainnya yang berada di bawah pengawasanku.
“Mi, cari saja sopir lain di kantor untuk mengantar kalian,” kata Pak Ivan kepada istrinya.
Ternyata tidak ada sopir yang kosong, jadi Ibu Vina memutuskan aku saja yang menyetir mobil. Perjalanan ke proyek memakan waktu kurang lebih 6 – 7 jam.

Dalam perjalanan tidak ada sesuatu yang istimewa. Aku harus lebih berkonsentrasi karena jalan yang kami tempuh cukup jauh dengan kondisi beberapa ruas jalan cukup terjal dan berliku-liku. Aku tidak berani membayangkan tentang Ibu Vina atau sekedar mencuri pandang menikmati keindahan tubuhnya. Takut kalau konsentrasiku buyar terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Karena berangkatnya sudah agak siang, maka kami tiba di proyek ketika hari sudah mulai gelap dan semua karyawan sudah beristirahat. Aku mendapat kamar di mess, bersebelahan dengan kamar yang biasa ditempati Pak Ivan dan Ibu Vina. Aku langsung mandi karena tubuhku terasa kotor dan lengket. Kamar mandi tamu mess terletak di dalam kamar. Dari kamar Ibu Vina aku juga mendengar kalau ia sedang mandi. Kamar mandi kami bersebelahan, hanya dibatasi oleh dinding kayu.

Aku mencoba mengusir bayangan Ibu Vina dalam keadaan telanjang sedang mandi yang tiba-tiba muncul dalam pikiranku. Semakin kuusir bayangan itu justru semakin jelas muncul dalam pikiranku sosok tubuh Ibu Vina. Aku sudah selesai mandi ketika tiba-tiba kulihat lubang kecil di dinding kamar mandi. Dari suara guyuran air Ibu Vina belum selesai mandi.

Kumatikan lampu kamar mandi dan kutempelkan mataku ke lubang di dinding itu. Aku agak kesulitan untuk melihat apa yang ada di kamar mandi sebelah. Hanya terlihat samar-samar tubuh Ibu Vina dari bagian perut ke atas. Aku masih mencoba mengintip Ibu Vina yang sedang mandi. Ketika penisku mulai berdiri, maka Ibu Vina juga sudah selesai mandi dan keluar kamar mandi dengan berbalutkan handuk. Aku sudah terlanjur terangsang dan harus mencari jalan untuk melepaskan gairahku. Aku sudah memutuskan untuk beronani ketika pintu kamar diketuk.

Dengan berlilitkan handuk kubuka pintu kamar. Rupanya penjaga mess.
“Maaf Pak Anto. Bapak mau makan di mess atau di luar,” tanya penjaga mess.
“E..ee sebentar Pak. Kalau saya sih inginnya makan di mess saja. Tapi saya harus tanya Ibu Vina dulu, siapa tahu ia ingin makan di luar,” jawabku.
Penjaga mess tadi kelihatan termangu-mangu, mungkin ia segan untuk bertanya pada Ibu Vina.
“Ya sudah Pak, nanti biar saja saya yang tanyakan. Beliau baru selesai mandi. Tapi siapkan saja dulu makanannya, kalaupun tidak makan di mess tinggal dibereskan saja”.

Aku berpakaian dan setelah lima belas menit kuketuk pintu kamar Ibu Vina. Sebentar kemudian Ibu Vina membuka pintu kamarnya. Kulihat ia sudah mengenakan pakaian santai, celana kulot dan T-shirt.
“Maaf Bu, Ibu mau makan malam di mess atau di luar?” tanyaku.
“Sebentar Pak Anto. Kita lihat dulu apa makanan di mess,” jawabnya sambil menutup pintu kamar dan langsung berjalan menuju ke ruang makan. Di atas meja terlihat beberapa masakan. Ibu Vina mengamati sekilas.
“Makanannya sudah dingin. Kayaknya lebih baik kita makan di luar saja ya. Saya lagi pengen makan yang berkuah, rasanya segar sekali?”
“Terserah Ibu..”.
Sebenarnya Ibu Vina meskipun kaya tidak terlalu memilih dalam hal makanan. Tetapi malam ini agaknya ia memang sedang tidak berselera makan di mess. Akhirnya kami makan di sebuah rumah makan kecil yang menyediakan menu sop buntut.

Kami makan dengan santai sambil mengobrol membicarakan rencana peninjauan ke lapangan besok. Lokasi mana saja yang akan kami datangi. Sekilas kupandang wajah Ibu Vina. Dengan riasan minimal dan pakaian sederhana tidak mengurangi keindahan tubuh dan kecantikan wajahnya. Ketika ia memandangku dan mata kami bertemu aku menjadi berdebar-debar dan salah tingkah. Untuk menutupinya aku minum air putih. Ia hanya tersenyum dan melanjutkan makan. Selesai makan kami segera pulang dan langsung masuk ke kamar masing-masing.

Malam itu aku gelisah dan sulit tidur. Bayangan Ibu Vina selalu hadir dalam pikiranku. Penisku terasa mengeras, tetapi rasanya sayang kalau aku harus onani. Akhirnya aku bisa juga tertidur dan ketika bangun pada pagi hari kurasakan ada bekas cairan yang sudah mengering lengket di celana dalamku. Rupanya aku mimpi basah tadi malam. Aku tidak ingat dengan siapa aku bermimpi.

Setelah mandi dan makan pagi kami segera berangkat ke lapangan didampingi oleh Site Manager dan beberapa staf lainnya. Dari beberapa lokasi yang didatangi umumnya sudah sesuai dengan rencana. Ada satu dua titik yang masih harus diperbaiki dan hal inipun sebenarnya sudah direncanakan oleh staf lapangan. Akhirnya setelah lewat tengah hari kami sudah kembali ke mess proyek.

Sekitar jam tiga aku dan Ibu Vina sudah berangkat dari proyek. Karena tadi tidak sempat makan siang, maka kami terlebih dahulu singgah di sebuah rumah makan. Kami makan dengan lahap, menunya ikan bakar dengan lalapan ditambah sayur asem. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan. Di bawah guyuran hujan lebat setelah melewati sebuah kota kecil kami mengalami kemacetan panjang. Setelah bertanya kepada petugas yang kebetulan lewat di dekat kami ternyata ada jalan yang longsor di depan kami. Dia menjelaskan sudah ada alat berat yang sedang bekerja, tetapi agaknya dengan cuaca begini keesokan harinya baru bisa selesai.

Akhirnya kami putuskan untuk kembali ke kota yang baru kami lewati untuk sekedar mencari tempat beristirahat. Sebenarnya ada juga jalan alternatif yang bisa ditempuh. Tetapi dalam kondisi hujan lebat begini jalan tersebut juga rawan longsor. Daripada terjebak di daerah yang asing lebih baik mencari penginapan saja. Beberapa mobil di depan kami juga sudah berbalik ke arah semula.

Setelah mendatangi beberapa hotel melati akhirnya kami bisa mendapatkan sebuah kamar yang cukup lumayan. Kami mengambil dua kamar yang berhadapan. Setelah masuk ke dalam kamar aku berganti pakaian dengan celana pendek dan kaus oblong lalu mulai berbaring di atas ranjang single bed yang muat untuk dua orang. Mataku sudah mulai terpejam ketika kudengar suara wanita dan ketukan di pintu kamar. Tadinya kukira hanya perempuan yang menjajakan diri. Tetapi setelah kuperhatikan lebih lanjut ia menyebut namaku dan nada suaranya seperti ketakutan.
“Pak Anto… Pak. Pak Anto tolong bukain pintunya!”
Aku terkejut karena ternyata suara itu adalah suara Ibu Vina.
“Ya..ya Bu. Sebentar…”.

Aku terkejut karena ternyata suara itu adalah suara Ibu Vina.
“Ya..ya Bu. Sebentar…”.

Sempat aku berpikir hal-hal yang kuinginkan selama ini yaitu bercinta dengan Ibu Vina. Tetapi mendengar nada suaranya ia seperti ketakutan.

Dengan cepat aku melompat dari tempat tidur dan membuka pintu. Di hadapanku Ibu Vina dengan hanya mengenakan daster tipis dan longgar menenteng tas pakaiannya. Mukanya kelihatan sedikit pucat. Ia langsung menerobos masuk ke dalam kamarku.
“Pak Anto…Pak… Saya tidur di sini aja,” katanya tersengal-sengal. Melihat mukanya dan nada suaranya aku berpikir ada sesuatu yang aneh. Aku yakin ia ke sini bukan untuk menggodaku atau berbuat yang lebih jauh.

Kuambil kursi di dekat meja dan kusilakan ia duduk.
“Kenapa Bu? Ada apa?” tanyaku setelah ia bisa mengatur nafasnya.
“Aku tidur di sini saja Pak Anto. Aku takut di kamar sebelah. Dari luar jendela tadi kudengar ada suara orang mengendap-endap. Aku takut sekali”.
“Eee bagaimana ya Bu. Atau kita pindah kamar atau cari hotel lainnya saja?”
“Enggak mau. Pindah kamarpun aku sudah merasa tidak aman. Pindah hotel aku tidak yakin bisa dapat kamar, karena tadi banyak mobil yang berbalik arah. Mungkin saja mereka berpikiran seperti kita. Daripada menginap di tengah persawahan, lebih baik menginap di kota saja”.
“Tapi….”.
“Enggak apa-apa. Aku yakin kamu tidak akan berbuat yang tidak senonoh padaku. Bedmu kan cukup untuk kita berdua,” tukasnya memotong kata-kataku.

Akhirnya aku tidak bisa berkata-kata lagi. Setelah meletakkan tasnya Ibu Vina berbaring di atas ranjang dan menarik selimut menutupi sekujur tubuhnya. Sempat aku melihat bayangan pakaian dalam yang dikenakan di balik daster tipisnya. Ia mengenakan pakaian dalam berwarna krem yang tidak terlalu mencolok. Memang kuperhatikan selama ini ia tidak pernah mengenakan BH dengan warna gelap. Meskipun memakai baju warna putih atau tipis, tetapi pakaian dalamnya tidak terlihat mencolok. Kadang aku memiliki fantasi melihatnya memakai BH warna hitam dengan baju putih yang tipis sehingga bisa terlihat dengan jelas bayangan dadanya dan kulitnya. Tetapi sampai saat ini aku tidak pernah melihatnya.

Ia tidur dengan posisi telentang. Aku kebingungan hendak mengambil posisi berbaring.
“Sudah Pak Anto… tidur di sini saja. Namanya keadaan darurat, apa boleh buat. Hanya saja hal ini jangan sampai tersebar di kantor. Tidak baik dan memalukan. Cukup kita saja yang tahu. Toh kita juga tidak melakukan apa-apa selain benar-benar tidur”.
Aku mengambil selimut satunya dan membentangkan di lantai.

Ibu Vina melihatku dan berkata dengan nada agak keras.
“Pak Anto, jangan begitu, tidur saja di sini”.
“Tapi Bu… Biar saja saya tidur di bawah”.
“Tidak. Kalau Pak Anto tetap mau tidur di bawah, maka aku juga akan tidur di bawah,” katanya sambil bangun dari ranjang.
Akhirnya aku tidak bisa berbuat apa-apa. Mudah-mudahan saja ia nanti yang memulai untuk mengajakku bercinta, tapi kutepis pikiran itu. Akhirnya aku berbaring di sebelahnya.

Aku tidak bisa tidur dengan Ibu Vina di sebelahku. Posisiku serba salah. Mau miring menghadap ke dia tidak enak membelakangi juga tidak enak, apalagi tidur telungkup. Akhirnya aku tidur telentang. Nafas Ibu Vina terdengar sudah mulai teratur artinya ia sudah tidur. Posisinya miring menghadapku. Dengan mencuri-curi kupandangi wajahnya yang cantik. Kulitnya tidak terlalu kuning karena dari pihak neneknya mengalir darah Sunda. Lewat tengah malam aku baru bisa tertidur.

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Kulihat Ibu Vina masih tertidur dengan nyenyaknya. Selimut dan dasternya sudah berantakan tidak karuan sehingga nampak paha dan sebagian celana dalamnya. Kutarik selimutnya dan kututupkan pada tubuhnya. Aku melakukannya dengan tulus tanpa maksud yang tidak baik. Ia menggeliat ketika selimut itu sudah menutupi tubuhnya. Matanya sedikit terbuka. Kelihatannya ia masih belum sepenuhnya sadar berada di mana.

Beberapa saat kemudian.
“Ooouuaahh…”.
Ia menguap dan menggeliat lagi. Matanya terbuka sepenuhnya.
“Jam berapa sekarang?” tanyanya.
Kuambil arlojinya di atas meja.
“Setengah lima Bu. Masih gelap di luar”.
“Rupanya nyenyak sekali tidurku. Ada yang menjagai,” katanya menggodaku.
Hmm, aku yang jadi susah tidur, kataku dalam hati.

Ia bangun dan masuk ke kamar mandi. Tidak lama kudengar desisan air yang keluar terjepit dua gundukan kecil dan disusul guyuran air. Kuintip dari balik gorden jendela keadaan di luar. Kelihatannya sudah ada tamu yang mulai bangun dan bersiap-siap. Di luar gerimis perlahan menitik dari langit.

Ibu Vina keluar dari kamar mandi dan duduk di atas ranjang. Tubuhnya yang indah di balik daster tipis itu membentuk silhouet terkena lampu tidur di atas meja. Ia meregangkan tangannya ke atas sehingga dadanya semakin kelihatan membusung. Aku mengalihkan perhatianku agar tidak semakin tergoda.

Akal busukku berkata,”Ayo hampiri dia dan lakukan sekarang atau kamu tidak dapat kesempatan lagi. Kamu tidak akan dianggap kurang ajar karena ia sendiri yang mendatangimu ke kamarmu”.
Akal sehatku berkata,”Jangan kamu ganggu dia. Dia adalah pimpinanmu yang harus kamu hargai dan lindungi”.
Akhirnya ada suara ditengah kedua suara itu.
“Biarkan saja. Nanti ada saatnya dengan berjalannya waktu. Biar dia sendiri yang memulainya”.

Tiba-tiba aku tersentak ketika Ibu Vina bertanya,”Jam berapa kita akan pulang?”
“Eh..e..ngg. Kenapa Bu?”
“Hey melamun ya. Jam berapa kita pulang?”
“Mungkin kita dari sini sekitar jam tujuh saja Bu. Perjalanan tinggal tiga jam lagi. Kita bisa tiba sekitar jam sepuluh. Mudah-mudahan tidak ada gangguan lagi di perjalanan”.
“Iya deh. Kalau gitu aku mau mandi dulu. Kita check out pagi-pagi saja, takut kalau ada yang mengenali kita. Nanti kita cari sarapan di jalan saja. Meskipun kita tidak melakukan apa-apa, tetapi mana orang percaya. Begitu melihat kita keluar dari hotel sama-sama, pasti orang akan menyimpulkan telah terjadi sesuatu yang tidak baik,” katanya sambil masuk ke kamar mandi dengan menenteng handuk dan pakaian ganti.
Aku masih melihat ke luar jendela.

Sambil menunggu Ibu Vina mandi aku melakukan senam ringan di dalam kamar. Tidak lupa kulatih otot PC-ku dengan senam Kegel. Ini rutin kulakukan setiap pagi. Biasanya kulakukan begitu bangun pagi ketika batang penisku masih mengeras. Tetapi kali ini tidak bisa kulakukan. Meskipun penisku tidak dalam kondisi ereksi aku tetap mengencangkan otot panggul dan melakukan gerakan otot panggul seperti menahan kencing. Beberapa kali kulakukan gerakan ini. Kontraksi.. relaksasi..kontraksi … relaksasi dan seterusnya.

Lima belas menit Ibu Vina sudah selesai mandi dan keluar dengan sudah berganti pakaian. Kemeja lengan pendek warna biru kembang-kembang dan celana jeans putih.
“Ayo mandi, lalu kita check out dan cari sarapan,”katanya.
Aku segera masuk ke kamar mandi dan sebentar kemudian aku sudah keluar dari kamar mandi.
“Lho kok cepat sekali mandinya. Kamu mandi atau cuci muka?”
“Ya mandi sekedarnya saja Bu. Kalau seluruh tubuh sudah terkena air itu sudah sah mandinya,” kataku sambil cengengesan.

Sebentar kemudian kami sudah keluar dari kamar. Untuk menuju tempat parkir mobil kami harus melewati belakang kamar yang tadinya ditempati oleh Ibu Vina. Kulihat bekas lumpur dari tapak kaki di bawah jendelanya. Rupanya apa yang didengar oleh Ibu Vina memang betul-betul bukan sekedar perasaan saja. Tetapi aku tidak mengatakannya pada Ibu Vina. Ia tidak memperhatikan bekas-bekas lumpur di bawah jendela tersebut. Sampai masuk ke dalam mobil aku tidak bertemu dengan orang yang sekiranya mengenali kami.

Setelah selesai sarapan kami segera mengambil jalan untuk pulang. Jalan yang longsor semalam sudah diperbaiki, tetapi kendaraan yang lewat harus perlahan-lahan dan berhati-hati sebab licin akibat sisa lumpur longsoran.

Jam setengah sepuluh kami sudah sampai di kota dan langsung ke kantor. Tidak berapa lama kemudian Pak Ivan juga baru tiba dari proyek satunya.
“Lho baru datang Pak?” tanyaku ketika melihatnya.
“Iya. Banyak jalan yang longsor. Jadi macet dan terhambat,” jawabnya.
“Pak Anto jam berapa tiba?” tanyanya lagi.
Aku bingung harus menjawab apa.

Tiba-tiba dari belakang terdengar suara,”Eh Papi baru tiba. Kita juga baru sampai setengah jam yang lalu. Ada jalan yang longsor sehingga kami terjebak macet. Mami coba kontak Papi tetapi tidak ada sinyal”.
Pak Ivan hanya mengangguk-angguk karena keterangan istrinya memang masuk akal. Daerah jalan yang longsor kemarin memang blank spot area yang belum dapat dijangkau oleh sinyal telepon selular. Ibu Vina memberi kode kepadaku. Aku tinggalkan suami istri itu berbicara sambil berjalan masuk ke ruangan Pak Ivan.

Pak Ivan kemudian naik ke lantai tiga, kemudian disusul oleh Ibu Vina. Kudengar suara guyuran air di lantai tiga. Rupanya Pak Ivan tidak sempat mandi. Sampai tengah hari suami istri itu tidak turun ke ruangannya. Mungkin mereka sedang beristirahat di lantai tiga dan mungkin juga sedang bergumul di atas ranjang.

Muncul rasa cemburuku. Ibu Vina yang semalam tidur seranjang denganku mungkin sedang bergelut memadu cinta dengan suaminya. Aku membayangkan betapa panas mereka bercinta. Ketika sadar kupukul kepalaku dengan telapak tanganku. Apa urusanku dengan pasangan suami istri itu. Ibu Vina mau diapakan oleh Pak Ivan itu bukan urusanku. Aku jadi tersenyum kecut.