Siraman
SIRAMAN SINOPSIS Suatu tradisi rahasia dijalankan seorang gadis muda sesudah upacara pernikahan. DISCLAIMER * Cerita ini adalah fiksi dan berisi adegan-adegan yang tidak pantas dibaca mereka yang belum dewasa, jadi jika pembaca masih belum dewasa, harap tidak melanjutkan membaca. Penulis sudah mengingatkan, selanjutnya adalah tanggungjawab pembaca. * Semua tokoh dalam cerita ini adalah fiktif. Kemiripan nama tokoh, tempat, lembaga dan lain-lain hanyalah kebetulan belaka dan bukan kesengajaan. * Sebagian tokoh dalam cerita ini digambarkan memiliki latar belakang (profesi, kelas sosial, suku dll.) tertentu. Tindakan mereka dalam cerita ini adalah fiksi dan belum tentu menggambarkan orang-orang berlatar belakang serupa di dunia nyata. *Pemerkosaan, pelecehan seksual, KDRT, dan trafiking di dunia nyata adalah kejahatan dan penulis menentang semua itu. Penulis harap pembaca cukup bijak untuk dapat membedakan dunia nyata dan khayalan. * Penulis tidak memperoleh keuntungan uang apapun dari cerita ini dan tidak memaksudkan cerita ini dijadikan sumber pendapatan bagi siapapun. Ada komentar? Ide cerita? Mau diposting di situs anda? Silakan kontak penulis di ninjaxgaijinATyahoo dot com. Selamat membaca. Siraman Ninja Gaijin Malam sesudah resepsi pernikahan. Seharusnya pekerjaan Ny. Sri sebagai perias pengantin sudah selesai, tapi tidak kali ini. Masih ada satu tugas lagi yang harus dia lakukan. Tidak biasa, tapi para kliennya punya permintaan istimewa. Tentu dengan imbalan tambahan untuk mengganjar kerepotannya. Tapi Ny. Sri bukan hanya melakukannya demi uang, melainkan juga demi jalan hidupnya. Demi pedoman yang dia pegang, demi budayanya. Demi para leluhur yang menitipkan itu semua kepada dia dan sesamanya. Ny. Sri memeriksa lagi hasil karyanya untuk terakhir kali. Semua rincian sanggul, dandanan, pakaian, perhiasan. Perempuan muda di depannya sudah seharian berdiri dengan riasan lengkap, namun belum bisa beristirahat, ada satu lagi acara yang harus dia jalani. Dan sesuai permintaan, riasannya harus diperbarui. Sambil mengamati, Ny. Sri merenungkan betapa zaman berubah. Berbagai pengaruh dari luar menyerang budayanya, bahkan hingga hal-hal kecil seperti penampilan pengantin. Dia kadang sedih sekaligus marah melihat bagaimana pengaruh itu seenaknya mengubah pakem tampilan yang telah ada ratusan tahun, memaksakan aturan sendiri, menyalah-nyalahkan yang tadinya tak dipermasalahkan. Membuat bangsanya kehilangan jati diri, seperti yang telah pengaruh itu lakukan ke banyak bangsa lain, menjadikan mereka semua seragam, keras, suka menghakimi. Maka Ny. Sri merasa, tiap dia memasang sanggul, mengerik anak rambut, membebat ketat pinggang pengantin, itulah sedikit upaya dia untuk melestarikan budayanya, membela jati dirinya, menantang pengaruh itu. Setidaknya ada yang bisa dia lakukan. “Sudah siap?” tanya Ny. Sri ke si perempuan muda. Gadis itu mengangguk. —– Si perias dan si pengantin perempuan berdiri di depan sepasang pintu ganda besar di satu bangunan rumah joglo kecil yang sepi. Rumah kecil itu berada di satu kompleks bangunan tradisional; sebelumnya, resepsi diadakan di aula bangunan terbesar di sana. Kini semua tamu telah pulang dan sisa-sisa pesta hampir selesai dibereskan. Tak ada orang yang melihat kedua perempuan itu. Keduanya tak berbicara, menunggu pintu dibuka. Perempuan muda itu, Rr Nawina Murti, berdiri patuh dalam busana dan tata rias lengkap pengantin Solo Basahan. Tubuhnya terbungkus kemben kain dodot hijau bertatah benang emas yang tak menutup bahu, selendang merah, dan di bawahnya, kain cinde merah yang menyampir sampai terseret di lantai. Murti, demikian dia bisa dipanggil, berambut tebal dan panjang sekali yang kalau diurai hampir mencapai pantat. Dengan demikian dia tak perlu memakai sanggul rambut palsu, rambut aslinya saja ketika ditata sudah bisa dijadikan sanggul besar yang dihias sembilan tusuk sanggul. Rambut bagian depannya disasak menjadi sunggar setengah lingkaran yang membingkai wajahnya. Bagi yang tahu penampilan Murti sehari-hari, tentu akan “pangling” dengan wajahnya yang telah dirias lengkap oleh Ny. Sri sesuai pakem. Mungkin sampai tak mengenali. Wajahnya tertutup lapis tebal bedak dan foundation sehingga seolah berwarna lebih muda dan lebih kekuningan daripada warna kulit aslinya. Namun pemakaiannya merata sampai leher dengan gradasi halus sehingga tak terlihat belang. Ilusi garis rambut eksotis dibentuk oleh lukisan paes hijau tua di dahi, tiap lekuknya mengandung makna dan maksud. Alisnya dilukis bercabang seperti tanduk menjangan, kelopak matanya dihias warna coklat dan hijau, senada dengan paes di atasnya, sementara bulu mata palsu mempertegas garis matanya. Bibirnya yang tebal penuh ditutupi selapis lipstik merah cerah berkilau. Namun di balik kecantikan sang pengantin ada hal-hal yang hanya bisa dilihat dengan mata batin. Sebagai juru rias berpengalaman, Ny. Sri melihat lebih banyak daripada yang kentara, mengetahui lebih banyak daripada yang dikatakan. Dan sepanjang hari dia melihat beraneka tanda. Salah satunya, janur gagar mayang yang tak lama sesudah dipasang, sudah terkulai layu. Lalu paes yang tadi sempat berleleran ketika dipulaskan. Meski si mempelai tak bercerita, Ny. Sri tahu apa arti itu semua. Ny. Sri biasa menjaga rahasia. Banyak rahasia, demi kepentingan yang lebih besar. Maka dia tak berkata apa-apa. Ny. Sri menoleh ke Murti, tapi pada saat itu pintu pun membuka. —– Lukman, Rinaldi, dan Tomo ialah tiga teman akrab sang pengantin laki-laki, R. Saguno atau panggilan akrabnya Nono, sejak SMA dan kuliah. Maka mereka hadir di setiap acara pada hari pernikahan Nono, sejak pagi, menyaksikan semua upacara formal dan adat, dan terus ada di sana sampai resepsi usai. Dan sebagai sahabat-sahabat setia, mereka telah menerima undangan khusus dari Nono untuk satu acara lagi, acara istimewa sesudah resepsi. Ketiganya seumuran dengan Nono, dewasa muda, dan semuanya belum menikah. Dalam rumah joglo itu Lukman, Rinaldi, dan Tomo menunggu bersama Nono, di balik sepasang pintu besar. Namun bukan hanya mereka yang ada di sana. Ada dua laki-laki lain di sana, keduanya lebih tua daripada mereka bertiga. Yang satu, Pak Wid, adalah atasan Nono di tempat kerjanya yang juga teman keluarga Nono. Satunya lagi bernama Sukmo, namun Nono memanggilnya “Ki Sukmo”. Dia dikenal sebagai penasihat spiritual keluarga Nono. Nono dan yang lain menyaksikan selagi Murti memasuki ruangan, ditemani perias. Bagi mereka semua, Murti juga teman lama. Lukman dan Rinaldi sama-sama mengenal Murti sejak kuliah, seperti mereka mengenal Nono. Tomo, Nono, dan Murti bahkan sudah saling kenal sejak sebelum itu; keluarga ketiganya, sama-sama ningrat, memang dekat. Murti berdiri di depan keenam orang itu dengan pandangan tertunduk, seolah tak berani menantang tatapan mereka. Ny. Sri melakukan peran terakhirnya. Dia mencabuti dan mengumpulkan sebagian besar perhiasan dan ronce melati di rambut dan tubuh Murti, lalu maju untuk berbicara dengan Ki Sukmo. Keduanya saling bisik, tidak ada yang tahu apa yang mereka bicarakan. Ny. Sri lalu keluar dari ruang itu dan menutup pintu. Ki Sukmo berdiri di hadapan Murti, mengucap beberapa kalimat dalam bahasa kuno seolah membaca mantra. Yang terdengar oleh yang lain cuma kalimat terakhir, suatu pertanyaan. “Kowe wis siap, Nduk?” “Kamu sudah siap, Nak?” “Sendiko dawuh, Romo…” jawab Murti. Siap sedia, Bapak. Ki Sukmo pun berpindah ke belakang Murti, lalu mendekati tubuh gadis itu. Kelima orang lain mendekat, mengelilingi Murti, dengan Nono, si pengantin laki-laki, berdiri tepat di depan Murti. Murti menahan nafas ketika dia merasakan tangan-tangan Ki Sukmo bergerak melepas busana pengantinnya. Ki Sukmo mengurai ikatan dan lilitan kain dodot yang membungkus tubuh indah Murti, cukup lama karena memang rumit. Namun akhirnya si pengantin perempuan terbebas dari bebatan kain. Murti berdiri hanya mengenakan sepatu hak tinggi dan celana dalam. Sungguh pemandangan eksotis, seorang pengantin perempuan dengan tata rambut dan rias sempurna namun nyaris telanjang. Benar-benar sesuatu yang hampir mustahil terwujud di dunia nyata. “Den, ini mempelaimu, milikmu, siap melayanimu,” kata Ki Sukmo ke Nono. “Nduk, turutilah segala kemauannya.” Semua laki-laki di situ menatap tubuh perempuan muda di depan mereka. Tubuh Murti tampak begitu indah; kulitnya kencang dan mulus; payudara sedangnya tegak sekal di dada, belum merosot. Nafsu-nafsu badani pun terpantik. Nono menjulurkan tangan dan membelai Murti, dari pipi, ke leher, ke payudara dan perut, turun sampai selangkangan dan paha. Murti seperti berusaha menahan agar badannya tak menggeliat dan mulutnya tak mendesah. Meski demikian, dia tiba-tiba merasa basah. —– SEBULAN SEBELUMNYA “Sebenarnya ini tradisi keluargaku, sejak dulu. Tidak ada yang tahu selain kami sendiri. Tapi bentuknya terserah yang menjalankan,” kata Nono ke Murti ketika mereka berbicara berduaan. “Apa kamu setuju kalau seperti yang kuusulkan tadi?” “Saya manut kamu saja, Mas,” jawab Murti sambil memegangi tangan Nono. “Keluarga kami dari dulu jadi pengikut keluarga Mas Nono, dan saya mesti ikuti tatanan itu. Jadi apapun rencana Mas, saya manut.” “Apa kamu sendiri rela? Memang ada tradisi itu. Tapi kan zaman sekarang kita juga sudah mulai menghormati hak pribadi. Kalau kamu merasa terpaksa, tidak usah,” kata Nono lagi. “Ndak, Mas,” ujar Murti tenang. “Saya senang kalau bisa menyenangkan Mas. Jadi saya setuju dengan acara yang Mas mau bikin. Dari hati saya sendiri.” Nono tersenyum lalu memeluk dan mencium dahi Murti. “Aku sayang kamu,” katanya. “Kesempatannya memang cuma nanti. Sesudah resepsi.” —– RUMAH JOGLO Murti berlutut di depan Nono. Mata Murti terpejam. Pandangan Nono tak bisa lepas dari wajah mempelainya di bawah, sejajar dengan bawah pinggangnya. Terlihat rambut Murti yang disanggul, paes di dahi Murti, sepasang mata dengan bulu mata palsu tebal, berkedip-kedip. Murti meraih tangan Nono, lalu mencium dan menyentuhkannya ke dahi, pertanda bakti. Lalu dia menoleh ke atas menatap Nono, pandangannya mengundang. Ketiga teman Nono menyaksikan adegan itu, kejantanan mereka masing-masing mulai mendesak dalam celana. —– SEBULAN SEBELUMNYA “Aku mau ajak Rinaldi dan Tomo,” kata Nono ke Murti. Murti menanggapi, “Tomo masih kalangan kita, dia sudah pas. Rinaldi juga orang kita, memang dari kawulo alit, tapi cukup bisa dipercaya.” “Ada orang yang kamu mau ajak?” tanya Nono. “…Sebenarnya ada Mas… tapi saya nggak berani. Dia orang seberang. Biarpun akrab sama kita, saya ndak yakin dia bakal ngerti atau mau… Lagian dia kan… Mas tahu kan…” “Lukman?” ujar Nono, menebak orang yang dimaksud. Wajar, karena selain Nono, Murti juga sangat akrab dengan teman kuliah mereka yang satu itu. “Memang benar dia bukan orang kita. Tapi kamu tahu kan, dia bisa dipercaya. Dan selama ini susah-senang kita bareng dia. Jadi aku bakal ajak dia.” Murti tersipu. Nono tersenyum sedikit. —– RUMAH JOGLO Tangan Nono menjelajah tubuh Murti yang kembali berdiri diam, menggerayangi seluruh tubuh sampai menyentuh bagiannya yang paling pribadi. Murti pasrah tanpa berkata apa-apa, terikat janji kepatuhan dan ketundukan yang sebenarnya bukan baru diikat pada hari itu, melainkan sejak puluhan tahun sebelumnya ketika keluarganya bersumpah setia mengabdi kepada keluarga Nono. Sebenarnya dalam hati dia sempat tak menyangka Nono berencana melakukan ini kepadanya. Namun semenjak sebelum pernikahan pun mereka sudah akrab… sangat akrab. Jiwa raga. Mereka saling tahu apa yang menjadi hasrat masing-masing. Murti dan Nono bukan dua orang yang baru atau belum lama saling kenal. Malah kedekatan mereka sudah sejak kecil. Keakraban yang menjangkau rahasia-rahasia terdalam, fantasi, nafsu. Maka seiring keintiman mereka, Murti tahu apa fantasi dan kesukaan Nono. Dan meski awalnya kaget, lama-lama dia menerima dan mencoba meladeni Nono sebaik mungkin. Ada hal-hal yang dinikmati sehari-hari. Dan ada kenikmatan yang harus direncanakan perwujudannya. Hari itu hari istimewa, jadi sekalian saja mewujudkan keinginan Nono… dan siapa lagi yang bisa mewujudkannya kalau bukan Murti. Murti juga sebenarnya tak habis pikir mengapa dia membiarkan Nono melaksanakan rencana untuk memuaskan fantasinya itu. Tapi saat itu tubuhnya mulai terhanyut oleh nafsu, oleh sentuhan Nono. Sama seperti Murti, Nono juga tahu apa yang Murti sukai. Sentuhan yang bisa membuat Murti hilang akal dan segala pertimbangan. Sentuhan yang bisa membuat Murti takluk dan bersedia melakukan apapun demi mendapatkannya. Dan orang-orang lain itu, mereka menonton. Mata mereka tertumpu ke tubuh si mempelai perempuan. Dapat terlihat nafsu di mata mereka, andai Murti mendongak. Namun karena Murti menunduk, dia melihat nafsu di bagian lain tubuh mereka. Keras menegang. Nono berbisik di telinga Murti, memuji kecantikannya. Juga bertanya apakah Murti sudah siap melakukan yang sudah mereka rencanakan. “Saya siap, Mas…” Nada suara Murti pasrah namun dia merasa seluruh tubuhnya terbakar gairah. —– SEBULAN SEBELUMNYA “Habis ini kamu nggak bisa happy-happy lagi sama kita dong, No,” ujar Tomo sambil berteriak, agar terdengar di tengah musik riuh di klub tempat mereka berada. “Soalnya udah nggak bujangan lagi! Malam-malam dikekepin istri, hahaha…” “Yah, emang udah waktunya, toh?” kata Rinaldi, juga keras-keras, lalu menenggak minuman. “Tapi mumpung masih sempat nikmatin aja…” “Duh, kalian ini,” kata Nono. “Nggak usah kuatir, ntar kami tetap bisa nongkrong sama kalian kok! Tapi kalian mesti, wajib, datang ke acaranya ya. Semuanya. Dari pagi sampai malam. Kami mau adain acara khusus buat kalian… iya kan Mur?” “No!… Aah… aku masih malu nih…!” ujar Murti yang duduk di sebelah Nono. Tapi dia tersenyum dan tertawa ke teman-temannya, Lukman, Rinaldi, dan Tomo yang sedang menikmati suasana klub malam itu. Mereka berdua memang mengajak ketiganya ngumpul sesudah memutuskan akan mengadakan acara spesial. “Jadi begini rencananya…” Nono mulai menjelaskan. —– RUMAH JOGLO Kain yang tadi membungkus erat tubuh Murti kini menggeletak di sekeliling kaki gadis itu. Nono menyuruh Murti berputar untuk memperlihatkan seluruh sisi tubuhnya ke yang lain. Pak Wid bersiul, mengagumi kecantikan si pengantin perempuan. Sambil berputar Murti sekalian mengamati isi rumah joglo tempat mereka berada. Rumah itu lebih berupa satu ruang besar yang berdinding kayu di semua sisi, dengan pintu dan jendela yang semuanya tertutup. Lantainya ubin kuno, namun ada permadani tebal di sana, dan di setiap sisi ruangan ada beberapa sofa dan kursi bergaya klasik yang selaras dengan interior tradisional rumah joglo itu. Semua laki-laki di sana masih mengenakan pakaian formal untuk resepsi: kemeja batik dan celana panjang. Kecuali Ki Sukmo yang mengenakan beskap, blangkon, dan kain; dan Nono yang bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana cinde, satu-satunya busana pengantin yang tersisa dari yang dia pakai ketika resepsi. Sebelumnya Nono mengenakan topi kuluk, kain pembungkus pinggang, berbagai perhiasan dan keris, namun tetap bertelanjang dada sepanjang resepsi, sebagaimana lazimnya pengantin laki-laki Solo Basahan. Namun mereka mulai membuka pakaian mereka juga… —– “Kamu MAU nurutin kemauan Nono yang seperti itu?” kata Lukman tak percaya ke Murti. Keduanya berbicara di posisi agak jauh dari teman-teman mereka, yang sedang asyik sendiri. Dalam cahaya temaram klub itu, Murti melihat ekspresi Lukman seperti tak rela. “Awalnya memang rasanya aneh, tapi apa salahnya…?” jawab Murti tenang, sambil tersenyum. “Saya tahu Mas Nono sukanya apa, khayalannya apa saja. Apa salah kalau saya penuhi keinginannya?” “Iya, tapi… Masa’ yang seperti itu kamu patuhi juga, Mur? Ini bagian pengabdian keluarga kamu ke keluarga dia seperti yang kamu cerita dulu itu? Masa iya sampai segitunya? Aku nggak ngerti, Mur… Kok kamu mau?” Lukman terus menyatakan kekurangsetujuannya. “Tradisi, Mas Lukman… Mungkin kami lebih paham soal ini daripada Mas Lukman yang em… beda asalnya dengan kami. Iya, ini tidak biasa. Bisa-bisanya Mas Nono saja kepikiran. Ya ndak apa-apa. Khayalan orang bisa aneh-aneh. Tapi saya rasa dia pasti senang kalau bisa terwujud,” kata Murti. “Aku nggak ngerti kalian…” keluh Lukman. “Aku pikir aku ngerti kamu, Mur, tapi sekarang aku nggak ngerti.” Dia mengatakan itu sambil menggenggam tangan Murti dan menatap mata gadis itu. “Mas Lukman nggak rela kah saya dibegituin?” tanya Murti sambil nyengir. Lukman tak menjawab. “Nggak apa-apa Mas Lukman… Saya ngerti Mas Lukman seperti saya ngerti Mas Nono… juga seperti Mas Rinaldi dan Mas Tomo. Saya biasanya tahu perasaan kalian.” Mereka berlima, Nono, Murti, Lukman, Rinaldi, dan Tomo, memang akrab. Empat laki-laki, satu perempuan. “Akrab.” —– RUMAH JOGLO Nono biasa berbagi dengan teman-temannya. Apa saja. Dia orang yang murah hati. Memang, kehidupan yang berkelimpahan sejak kecil membuat dia relatif tidak terikat dengan apapun yang dia punya; pikirnya, apapun yang dia beri bisa dengan mudah dia dapatkan lagi. Dia terkenal royal. Tapi dia juga diajari untuk berhati-hati dalam bergaul. Semua orang suka diberi, dan mereka akan menempel ke orang yang memberi. Tapi jarang orang yang bisa setia tanpa memandang pemberian itu. Keluarganya mengajarkan, hanya sedikit yang layak berada di dekatnya, dan dia harus tahu cara membedakan siapa yang setia dan siapa yang tidak. Demikianlah, pada masa dewasa mudanya Nono telah berhasil memilih orang-orang terdekatnya yang dipercaya. Murti dan Tomo, teman-teman sejak kecil, dari keluarga-keluarga yang dikenal sejak lama. Rinaldi, yang pernah membantu dia di kala mengalami musibah, dan bantuannya dia balas setimpal. Lukman, seseorang yang Nono pandang berwatak baik dan terhormat, meski berasal dari suku dan budaya yang beda. Dua orang lagi yang hadir di situ adalah mereka yang Nono hormati. Ki Sukmo, pembimbingnya, yang mengajari begitu banyak hal dan menegaskan jati dirinya. Pak Wid, rekan orangtuanya yang dititipi dia dan memberi pengalaman dalam menghadapi dunia nyata. Kepada mereka semua Nono ingin berbagi… —– Mereka semua mulai melepas pakaian. Nono adalah yang pertama kali telanjang, karena dia tinggal memelorotkan celana. Dia meminta Murti berlutut. Sambil memegang lembut kepala Murti, dia membimbing Murti menuju kejantanannya yang sudah tegak. Bibir penuh Murti membuka dan mengulum kepala burung Nono. Murti mulai mengisap-isap penis Nono, Perlahan Nono menggerakkan pinggulnya menyenggamai mulut mempelainya itu. Dia nyengir ke arah teman-temannya yang kini juga mulai memegang kemaluan masing-masing. Sudah disepakati bahwa Nono sebagai pengantin akan dapat prioritas, dalam semua yang akan dilakukan. Namun pemandangan yang tampil di depan mereka memang seolah sesuatu yang mustahil. Seperti campuran adegan film porno dan video dokumentasi pernikahan… Seorang perempuan cantik melakukan blowjob, namun mengenakan sanggul dan tata rias pengantin tradisional. Nono menyaksikan pengantinnya mengisap kemaluannya dan tersenyum, mengetahui bahwa ini sesuatu yang telah lama dia impikan. Sebenarnya mereka berdua bukannya belum pernah saling sentuh sebelumnya. Sebaliknya, mereka justru sudah saling intim… sudah sempat berbuat seolah sudah suami-istri. Maka sebenarnya itu bukan pertama kalinya Nono menikmati seks oral dari Murti. Yang beda kini adalah pakaiannya. Dan peran Murti sebagai pengantin. Itu yang terlintas dalam benak Nono selagi dia melihat dahi Murti yang bergambar paes itu dari atas, maju mundur di depan selangkangannya. Murti melihat ke atas, ke arah Nono, selagi menjulurkan lidah dan menjilati kepala penis Nono. Murti kemudian mendesah sambil menjepit kepala itu di bibir merahnya. “Mmmh.” Tangan Murti menggenggam erat batang penis itu, perlahan mengocok selagi lidahnya menyapu seluruh bagian kepala penis Nono. Dengan alat kelamin laki-laki di mulutnya, Murti melirik ke orang-orang lain di sana, sempat-sempatnya mengedip nakal ke arah mereka, sebelum kembali memberi kenikmatan. Dia masukkan batang Nono lebih dalam sampai mulutnya penuh. Terlalu dalam; dia tersedak. “Ghah!” teriak Murti ketika refleks membuat kepalanya mundur dan mengeluarkan penis Nono dari mulutnya. Namun Murti tak melepas kocokannya. Dan jelaslah bahwa Nono sudah lebih terangsang daripada yang dia kira, karena dia mendapat orgasme tanpa disengaja, menyemprotkan cairan kental ke pipi si mempelai perempuan. Murti bereaksi dengan cepat dan langsung mengulum kepala penis yang sedang muntah itu, merasakan benih Nono tercurah. Ketika Nono akhirnya selesai ejakulasi, Murti melepas penisnya dan tersenyum ke arah Nono. Kemudian Murti membuka mulutnya untuk menunjukkan benih Nono, lalu menutup mulut dan menelannya. “Ah, banyak bener…” kata Murti. “Nghh… enak,” ujar Nono. Lalu sambil menoleh ke yang lain, “…Ayo silakan.” —– Murti memikirkan posisinya yang sungguh tak biasa. Hanya bercelana dalam, namun dengan tata rambut dan tata rias pengantin yang sebagian besar masih utuh, dikelilingi lima laki-laki. Selain Nono, beberapa yang lain sudah memelorotkan celana dan kejantanan mereka tampak di berbagai tingkat ereksi. Nono dan mereka memandangi Murti, tersenyum. Salah satu di antara mereka, yang celananya sudah copot dan kemaluannya sudah keras mencuat, berkata, “Sini, Nduk.” Rupanya Pak Wid. Murti yang berposisi berlutut lantas berjalan jongkok ke depan Pak Wid, bersimpuh di depan atasan Nono itu. Pak Wid lalu membimbing Murti untuk berdiri. Dia lalu berdiri di belakang Murti dan menggerayangi pinggul dan dada si mempelai perempuan dengan kedua tangan. —– Buat Pak Wid, itu impian tersendiri. Dia adalah direktur satu perusahaan perakitan kendaraan yang cukup sukses, selain itu dia juga masih termasuk keluarga ningrat sebagaimana Nono dan Murti. Karena eratnya hubungan antar keluarga-keluarga mereka, dia dititipi Nono dan Murti di perusahaannya sesudah keduanya lulus kuliah. Karier Nono bagus biarpun titipan, pemuda itu sudah menjadi asisten manajer humas. Sementara Murti menjadi salah satu sekretaris Pak Wid—meski sekarang sudah mengundurkan diri. Kecantikan Murti selama ini tak lepas dari perhatian Pak Wid, apalagi posisinya sebagai sekretaris membuat dia sering bertemu dengan Pak Wid. Biarpun sudah berkeluarga dan punya anak remaja, Pak Wid masih laki-laki yang memiliki nafsu, dan kadang dia merasa tergoda mau macam-macam dengan sekretarisnya itu. Sebagai ningrat, Pak Wid biasa sangat kuat dalam menahan diri, dan dia tidak pernah menyentuh Murti di tempat kerja. Sampai suatu ketika. Rombongan direktur pergi naik pesawat ke luar negeri untuk urusan bisnis. Para sekretaris juga dibawa. Pak Wid duduk di sebelah Murti sepanjang penerbangan malam. Ketika Murti tampak tertidur dan suasana sepi di kabin pesawat yang gelap, Pak Wid tak bisa menahan tangannya. Dimulai dari mengusap-usap paha Murti, terus sampai masuk ke balik roknya. Naik terus sampai pangkal paha. Tanpa terlihat karena kebetulan Murti memakai selimut. Murti menggeliat dan meregangkan paha; Pak Wid terus menjelajah ke selangkangan. Murti makin geli dan sebenarnya jadi terjaga, namun dia malah terus memejamkan mata. Sesudah memastikan tidak ada yang memperhatikan ulahnya, Pak Wid makin berani, tangannya menyelip ke balik celana dalam Murti. Dia menemukan klitoris Murti dan menggodanya sampai sekretarisnya itu orgasme. Untung Murti hanya mendesah lemah, jadi seolah melindur. Lalu Pak Wid menarik tangannya. Murti membuka mata lagi, berdiri, dan pergi ke toilet tanpa berkata apa-apa. Dia hanya tersenyum ke arah Pak Wid. Tidak ada yang terjadi lagi sesudah itu, baik selama mereka di luar negeri maupun di penerbangan pulangnya, dan dalam kehidupan profesional keduanya sesudah itu. Namun rahasia itu sempat diketahui Nono ketika menemani Pak Wid minum-minum di bar bersama rekan bisnis. Pak Wid yang kebanyakan minum keceplosan bercerita pernah menggerayangi Murti di pesawat. Ketika itu Nono sudah bertunangan, namun dia menyimpan saja informasi yang dia dapat itu; bagaimanapun Pak Wid sudah sangat banyak berjasa bagi dia. Maka ketika Nono memutuskan akan mengajak Pak Wid di acara spesialnya, sang bos sebenarnya senang sekali (dan agak curiga: dari mana Nono tahu dia penasaran dengan Murti?) namun dengan formalitas priyayi Pak Wid mengangguk setuju dan memasang tampang bijak, seolah dia sesepuh yang wajar dilibatkan dalam acara seperti itu. —– Kesempatan itu Pak Wid manfaatkan untuk memuaskan apa yang menjadi keinginannya. Memang tak persis khayalannya, yaitu menggerayangi Murti, sekretarisnya, di kantor. Tapi bisa menggerayangi Murti sebagai pengantin pun sama gregetnya bagi dia. Kedua tangannya sudah menjamah dada dan pantat Murti. Setelah bermain-main dengan payudara Murti cukup lama, Pak Wid mencubit kedua puting Murti cukup keras, menarik keduanya sehingga memaksa Murti balik badan menghadap sang bos. Wajah Murti tampak meringis dan malu-malu, tapi suka. Pak Wid tampak sangat puas. Kemudian Pak Wid merenggangkan paha Murti dan tangannya bermain di balik celana dalam Murti, menggoda klitoris dan vagina Murti, membuat gadis itu menggeliat-geliat dan mendesah-desah. Pak Wid menggoda dan memainkan kelentit Murti, dia tampaknya ahli sekali melakukan itu. Laki-laki berumur awal lima puluhan itu memang tak mencari sekadar seks. Dia suka menggerayangi dan menikmati reaksi sasaran penggerayangannya. Dia cukup tahu tubuh perempuan dan seberapa jauh bisa menggodanya. Tangannya saja cukup untuk membuat Murti keenakan. Dan ketika Murti hampir mencapai klimaks, dia sengaja menghentikan rangsangannya! Murti meringis tak rela, sampai akhirnya Pak Wid merangsang lagi dan memberikan klimaks pertama malam itu untuk Murti. Saking kuatnya, Murti sampai ambruk terduduk. Sesudahnya, Pak Wid menjulurkan jari-jarinya yang basah karena cairan kewanitaan Murti ke depan bibir si mempelai. Dia menyuruh Murti mengulum jarinya, dan ketika Murti melakukan itu, sungguh lebar senyum di wajah Pak Wid. —– Nono merangkul Murti dari belakang. Dia mendengarkan si gadis terengah-engah sesudah klimaks. Dan tidak membiarkan Murti begitu saja. Ganti dia yang menggerayangi Murti. Seperti tadi, Rinaldi dan Tomo kembali mendekat untuk ikut-ikutan. Selagi Nono menjilati dan mengisap pentil Murti, tangan kedua temannya ikut menjamah paha dan perut Murti. Murti lalu bersandar ke tubuh Nono, kedua pahanya meregang. Jemari Rinaldi dan Tomo mulai bergerak ke selangkangan Murti, menggoda kewanitaan Murti dari balik celana dalam. Nono melepas celana dalam si mempelai perempuan, pakaian terakhir yang masih melekat. Kedua temannya memandang ke dia seolah minta izin, dan Nono mengangguk. Silakan. Dan Rinaldi pun mulai beraksi, menjulurkan lidah untuk menjilati kewanitaan Murti. “Ah…. agh… ahh…” desah Murti menanggapi jilatan nakal Rinaldi, yang bukan hanya merangsang rekahan vaginanya, tapi sampai ke lubang satunya lagi. Lalu dia bergantian dengan Tomo. Kedua pemuda itu bergiliran menjilati kemaluan Murti sementara Nono membukakan lebar-lebar paha Murti untuk mereka. Dan ketika Murti sudah cukup terangsang… Pak Wid ikut nimbrung lagi. Jari tengahnya yang ahli menggantikan lidah-lidah Rinaldi dan Tomo, menerobos kewanitaan Murti. Murti merasa vaginanya basah dan banjir. Tusukan jari tengah Pak Wid bertubi-tubi, ditambah godaan ke klitoris, membuat Murti tak tahan. Tiba-tiba dia mencengkeram lengan Nono, kepalanya tersentak ke belakang, dan menjerit keras, “AAAIIIHHH!!!” Cairan terciprat-ciprat dari kewanitaan Murti, tanda orgasme yang sungguh kuat, yang kedua kalinya dari tangan Pak Wid. —– Murti memang sudah tak perawan ketika itu. Nono sudah tahu. Dia sendiri sudah sempat merasakan bersetubuh dengan Murti sebelum pernikahan. Itu sebabnya dia membiarkan saja jari Pak Wi d mencolok kemaluan si pengantin. Namun sebenarnya bukan Nono yang mendapat keperawanan Murti… —– Ki Sukmo mendekati Murti dengan kain jarik sudah lepas, meski baju beskapnya tetap dia pakai. Kejantanannya berusaha berdiri, meski tak sekeras para laki-laki muda di sana, karena umur mulai melemahkannya. Dia sendiri orang yang sudah sangat puas dengan senggama; istrinya tiga, namun ada banyak sekali perempuan yang pernah dia rasakan. Posisinya sebagai guru spiritual memang membuat dia mendapat banyak sekali kesempatan menikmati perempuan. Nono melihat Murti membuka bibir merahnya untuk mempersilakan “pusaka” sang guru masuk. Murti mengatupkan bibirnya di sekeliling batang itu, membuat Ki Sukmo menggerung saat merasakan isapan si mempelai perempuan. Batang tua itu mulai mengeras. Rinaldi dan Tomo juga mendekat, penis mereka mengacung ke arah muka Murti. Murti dikelilingi tiga batang keras, dan selagi mengisap Ki Sukmo, dia menggenggam dua yang lain dan mulai memijat-mijat keduanya perlahan. Murti lalu menggilir mengisap ketiga penis itu, sementara tangannya mengelus, memijat, memainkan biji yang sedang tak diisap, membuat mereka semua makin terangsang. Ketiga batang itu menjadi basah dengan air liur dan mulut Murti mulai mengeluarkan bunyi-bunyi seruputan makin keras. “Oumh… kamu hebat Nduk…” Ki Sukmo sampai memejamkan mata dan menengadahkan kepala. Dia berusaha sangat keras untuk mengendalikan kejantanannya. Dia ingin menikmati isapan dan sedotan Murti selama mungkin. Belum waktunya menumpahkan benih dalam mulut si mempelai perempuan. Murti lalu beralih ke Rinaldi, mengisap kemaluan Rinaldi lebih cepat. Lalu giliran Tomo, dan kembali ke Ki Sukmo. Dia bergonta-ganti menyepong ketiganya seperti itu cukup lama, sambil mendesah-desah. “Emmh…” Murti lalu menggenggam kejantanan Rinaldi dengan tangan kanan dan Tomo dengan tangan kiri, mengocok keduanya, lalu menyepong Rinaldi. Ki Sukmo berjongkok dan meremas-remas payudara Murti selagi Murti beralih menyedot batang Tomo. Lalu Pak Wid datang, menggantikan posisi Rinaldi. Nono juga ikut, penisnya yang tadi sudah satu kali dipuaskan disodorkannya lagi ke Murti. Ki Sukmo pindah ke belakang Murti, mengarahkan Murti sehingga posisinya berubah dari berjongkok ke berlutut sambil mengangkang lebar. Tangannya bermain di selangkangan Murti, merangsang dan menyentuh klitoris Murti. Murti mulai mendapat rangsangan lagi, mungkin lebih gencar daripada yang dia beri kepada kejantanan-kejantanan di sekelilingnya. Nono, Rinaldi, Tomo, dan Pak Wid, empat batang mereka bergantian mendapat sentuhan tangan dan mulut Murti, cukup untuk tetap keenakan sehingga tegang namun tidak sampai klimaks. Rinaldi menyorongkan kemaluannya ke mulut Murti, dan pada waktu yang sama Tomo menyodorkan kepala burungnya ke bibir Murti juga. Mata Murti membelalak dan dia mendesah selagi dua kejantanan dimasukkan ke mulutnya bersamaan. Mulut Murti benar-benar penuh dan dia berusaha keras mengisap dan menjilat dua kepala burung di dalamnya. Namun akhirnya Rinaldi dan Tomo sama-sama menarik keluar barang mereka dari mulut Murti. Nono malah maju dan menjajarkan ereksinya bersama milik teman-temannya. Dengan seksi Murti memegang dan menjilati tiga ujung batang yang berdekatan tepat di depan bibirnya. Akhirnya Murti menyepong Nono yang di tengah sambil kedua tangannya mengocok Rinaldi dan Tomo. Mata Murti menatap ke arah wajah si mempelai laki-laki. Ukuran ketiga batang itu hampir sama. Murti menoleh ke Rinaldi, kembali memberi rangsangan dengan bibir dan lidah; ganti tangannya ke Nono. Rinaldi aktif menggenjot. Murti mendesah-desah, mulai susah konsentrasi karena selain dikeroyok batang di atas, kemaluannya dibikin basah oleh godaan jari Ki Sukmo. Pak Wid juga menggerayangi payudaranya. Sekali lagi tiga kejantanan berebut tempat di depan wajah Murti. Dari depan atas Murti, Nono mendapat pemandangan luar biasa erotis dan langka: wajah seorang pengantin tradisional Solo Basahan dikelilingi tiga lingga, yang dijilati dan diisapnya bergantian. Andai tadi belum klimaks mungkin Nono bakal muncrat tepat saat itu juga ke atas wajah berias tebal Murti. Mereka bergantian. Rinaldi dan Tomo digantikan Ki Sukmo dan Pak Wid berdiri di sekeliling Murti; giliran kedua pemuda itu menggerayangi Murti sementara kedua laki-laki tua dikocok dan disepong. Ki Sukmo dan Pak Wid lebih dominan daripada Rinaldi dan Tomo. Ki Sukmo bahkan menahan kepala Murti dalam posisi menyepong, seolah memaksa si mempelai perempuan tak melepas isapan dalamnya. Tapi ada satu orang yang dari tadi belum juga ikut terlibat. Lukman… —– BEBERAPA TAHUN SEBELUMNYA “Nggak mau!” teriak Murti ke Nono. “Jangan mentang-mentang keluargamu posisinya di atas keluargaku ya. Aku nggak sudi sama kamu!” Ketika itu mereka masih di kampus. Hubungan Nono dan Murti masih sebatas teman, namun Nono coba-coba meminta lebih ke Murti. Tak disangka Murti bereaksi negatif. Murti meninggalkan Nono dengan marah, dan kebetulan bertemu Lukman sesudahnya. Curhatnya ke Lukman tentang kelakuan Nono berlangsung berhari-hari. Lama-lama Murti nyaman dengan Lukman dan akhirnya keduanya jadi dekat. Sudut pandang Lukman, sebagai orang dari suku dan pulau yang berbeda, segar bagi Murti yang sangat terbiasa dengan dunia sesukunya. Lebih hitam putih, tak sebegitu abu-abu. Dan karena kesal dengan Nono, akhirnya Murti sengaja jalan bareng Lukman. Lukman juga cenderung tidak sebebas Nono dan yang lain dalam aturan hidup; misalnya, dia tak pernah minum minuman keras. Tapi dia tak masalah ikut bergaul dengan teman-temannya ke mana-mana. Makanya Lukman paling sering jadi tukang antar teman-temannya kalau mereka semua terlalu mabuk untuk nyetir. Suatu malam ketika terjadi seperti itu, mereka semua terlalu asyik bersenang-senang sampai tidak bisa pulang sendiri, Lukman mengantar pulang Murti. Murti ketika itu mabuk, dan ketika dipapah Lukman masuk ke rumah, dia merangkul dan mencium-cium pipi Lukman. Kala itu mereka habis dari klub dan Murti berpakaian cukup seksi. Dan tanpa sengaja Lukman terangsang… ketika akhirnya dia bisa menaruh Murti dengan aman di sofa dalam rumah, dan pergi, dia meninggalkan rumah Murti dengan gundukan keras dalam celananya. “Terima kasih sudah diantar tadi malam,” kata Murti ke Lukman di kampus esoknya. “Emm tapi saya barangkali berbuat yang kurang pantas ke kamu, Mas…” ujar Murti malu-malu. “Tidak usah dipikirkan,” kata Lukman. Tapi dia sendiri memikirkannya, dan badannya bereaksi. Ketika itu keduanya berdiri berhadapan di tempat agak sepi di kampus. “Awh…” Murti menatap ke bawah. Lukman gelagapan menyadari dia terangsang memikirkan ciuman sahabat perempuannya malam sebelumnya. Rasa penasaran Murti tidak membantu dia menahan diri. “Mas, kamu… Itu…” celetuk Murti. Sesudah itu hubungan mereka tetap sama, teman, namun Murti tahu Lukman tertarik secara fisik kepadanya. Pada saat yang sama dia masih berusaha menjauh dari Nono, jadi Murti merasa mungkin lebih baik lebih dekat ke Lukman. Suatu ketika Nono, Murti, Lukman, Rinaldi, dan Tomo liburan bareng ke tempat peristirahatan di kawasan pegunungan. Mereka hiking di perbukitan namun dalam perjalanan kembali, hujan turun deras dan Nono mengalami kecelakaan, terpeleset dan jatuh dari jalan setapak ke jurang. Untung jurangnya tak dalam, namun Nono luka-luka. Sambil menembus hujan empat orang itu menggotong Nono ke villa, tapi karena tidak ada peralatan pertolongan pertama yang memadai, mereka memutuskan membawa Nono ke puskesmas setempat. Rinaldi dan Tomo yang pergi membawa Nono, sedangkan Murti dan Lukman tak ikut. Hujan deras dan hawa dingin membuat Murti menggigil. Secara naluriah dia mendekati sumber kehangatan terdekat… Lukman. Ketika kawan-kawan mereka pergi, keduanya saling dekap dalam villa yang dingin. Jantung Murti berdebar ketika dia merasakan ada yang tak bisa ditahan lagi di antara mereka berdua. Tanpa bicara, dia menarik Lukman ke salah satu kamar. Keduanya melanjutkan saling dekap di atas ranjang. Seorang laki-laki, seorang perempuan, cuaca mendukung. “Kamu… mau?” tanya Lukman. Murti mengangguk malu tapi tersenyum. Tubuhnya terasa panas. Wajahnya memerah. “Aku pengen, Mas…” bisik Murti. Lukman memeluknya erat, menciumnya, dan dunia Murti serasa berputar cepat… Terlepaslah baju keduanya, kulit bertemu kulit, jari-jari saling merangsang, Murti akhirnya cukup basah dan Lukman cukup keras. Lukman memasuki Murti. Laki-laki pertamanya. Awalnya sakit. Murti memejamkan mata dan merapal suatu baca-bacaan yang diajarkan kepadanya apabila suatu saat dia memutuskan untuk berhubungan intim. Bukan mantra atau doa. Sekadar permohonan izin kepada jagat untuk membuka tahap baru, rahasia tubuh, ajaran leluhur demi kedalaman asmara. Kejantanan Lukman terasa memenuhi diri Murti. Tusukan-tusukannya mengguncang tubuh Murti selagi Murti merangkul laki-laki pertamanya erat. “Aku mau keluar…” bisik Lukman, lalu dia bertanya. “Aku cabut?” “Jangan,” jawab Murti lirih. Tak lama kemudian Lukman memenuhi vagina Murti dengan cairan hangat lengket. Terasa kejantanan berkedut-kedut di dalam selagi benih kehidupan mengalir masuk kewanitaan Murti. Dia mendesah, “Ohhh…” Lukman juga melenguh keenakan, wajahnya memerah, dan ambruk di atas tubuh Murti. Lalu dia mencabut kejantanannya yang lemas dan berbaring di sebelah Murti. Keduanya tak bicara. Cukup lama. Sampai akhirnya hawa dingin memaksa mereka bebersih dan berpakaian lagi. Beberapa jam sesudahnya hujan reda dan kawan-kawan mereka datang lagi. Persetubuhan yang pertama, hanya satu kali, tiada yang tahu selain mereka. Murti melakukan sanggama pertamanya pada hari aman, sehari sesudahnya dia haid. Hubungan dia dan Lukman juga merenggang, karena entah kenapa, Lukman seperti memendam rasa menyesal memerawani Murti. Tapi keduanya tetap berteman baik. Bahkan ketika Murti kembali dekat dengan Nono. Belakangan Nono tahu juga Murti sudah tak perawan; tapi Nono tak pernah mempertanyakan itu ke Murti. Lukman tak pernah menyentuh Murti lagi sesudahnya, walau dia tetap memperhatikan Murti—sampai mempertanyakan apakah Murti benar-benar rela menjalani acara yang sekarang. —– RUMAH JOGLO Murti berusaha menahan diri tapi tangan-tangan para laki-laki yang menjamah tubuhnya memperlemah pertahanannya. Dia mendesah selagi dia tak bisa menahan tangan Nono menggoda klitorisnya. Belum lagi penampakan dan bau penis-penis ereksi di sekelilingnya, yang dari tadi digodanya. “Ahh… Ndak tahan… Mas… saya ndak tahann…” rintih Murti. “Ndak tahan pengen apa, Murti?” goda Nono. “Mas… masuk… kin…” pinta Murti pasrah selagi Nono menggelitik itilnya. “Hmm… dimasukin sama siapa?” tanya Nono, menusuk langsung ke hati Murti. Murti sudah terangsang berat, sehingga pasrah, tak berani meminta. “Terserah Mas…” erangnya. Nono menoleh ke semua orang. Memang kesepakatan sebelumnya, dia sebagai mempelai didahulukan. Namun dia punya gagasan lain. “Lukman,” Nono memanggil, “Nggak ikutan, Bung?” Lukman, yang dari tadi diam saja dan ragu-ragu untuk terlibat, kaget ketika dipanggil Nono. Apalagi Murti lantas berdiri dan mendekati dia juga. “Aku kasih kesempatan pertama buat kamu,” kata Nono ke Lukman. “Murti juga pertamanya sama kamu kan… Nggak apa, aku nggak masalah. Karena kamu teman baik kami semua.” Nono tersenyum lebar seperti biasanya ekspresi dia kalau habis berbagi sesuatu ke teman-temannya. Murti tersenyum malu melihat keputusan Nono. Lukman kelihatan rikuh. “Lihat saya, Mas Lukman,” kata Murti ke Lukman. “Mas Lukman pengen lagi kan…?” Nadanya lemah lembut dan penurut namun sebenarnya ucapannya nakal sekali. Lukman, mungkin tanpa sadar, mengangguk. Dan Murti sudah menggenggam kemaluan Lukman, mengelusnya, mengocoknya. Murti berlutut, mencium dan mengisap kejantanan Lukman, lalu berubah posisi lagi, rebah mengangkang. “Mas Lukman, masukin aku lagi…” goda Murti, sambil menarik kemaluan Lukman dengan kedua tangannya. Lukman tak kuasa menolak, dia berlutut lalu bersiap, membiarkan penisnya diarahkan Murti ke sasaran. Murti sendiri yang memasukkan kejantanan Lukman ke vaginanya. Sudah basah sehingga Lukman masuk tanpa masalah. Tak ada darah. Karena dulu darah perawan Murti sudah ditumpahkan oleh Lukman… Murti mendesah penuh nafsu selagi Lukman menyetubuhinya perlahan, lembut. Dia mengangkang makin lebar. “Haa… hhh… ahh… ahh… ahh hhh”. Bisa terlihat Lukman keenakan dengan jepitan Murti. Dia berusaha keras agar tidak cepat keluar. Dia memegangi paha Murti sambil menggenjot maju mundur. Nono melangkah maju ke arah wajah Murti. Dia berlutut lalu mengacungkan kejantanan yang mulai keras lagi ke depan wajah si mempelai perempuan. Murti menyambut dengan membuka mulut dan menerima kepala burung itu dengan lidahnya. Sambil menggenggam batang keras Nono, Murti menjilati lembut kepalanya, membagi konsentrasi untuk dua laki-laki. Namun selagi mengulum dan menjilati kemaluan Nono, Murti menjerit tertahan. Genjotan Lukman mendorongnya mencapai orgasme lagi. Lukman terus menggenjot selagi Murti dilanda klimaks. Nono mundur untuk memberi kesempatan Murti menyerah kepada nafsu, menjerit sepuasnya tanpa terhalang. Murti menatap wajah Lukman yang tak tahan. Tapi dia malah meminta, “Tahan dulu mas… Jangan dulu keluarin.” Setengah mati Lukman berusaha menahan. Lukman memperlambat genjotannya, lalu menarik keluar penis yang masih keras. Lukman berjalan menjauh, digantikan Ki Sukmo. Laki-laki tua itu duduk dekat Murti lalu meraih tangan Murti, mengajaknya bangun sementara dia sendiri telentang. Murti mengerti apa yang diinginkan. Si mempelai perempuan mengangkang di atas tubuh Ki Sukmo dan memasukkan kejantanan Ki Sukmo ke dalam vaginanya. Begitu masuk, Ki Sukmo langsung menggerak-gerakkan pinggang, menyodok-nyodok Murti dari bawah; Murti membalas dengan menggoyangkan pinggang dan mendesah-desah keenakan. Dia melonjak-lonjak sambil memegangi paha Ki Sukmo. Kembali ada yang ikut nimbrung. Rinaldi maju menyodorkan kejantanannya ke depan wajah Murti. Sambil Ki Sukmo menyetubuhi di bawah, Murti menyepong Rinaldi. Rinaldi sejenak seperti mau menyentuh kepala Murti, tapi dia mengurungkan niat, takut merusak tata rambut Murti (yang sebenarnya sudah mulai berantakan). Di sisi sebelahnya Tomo juga mendekat dan mendapat pelayanan kocokan tangan Murti. Tomo sekalian meremas-remas payudara Murti. Murti berusaha keras memberi perhatian ke tiga orang sekaligus, di bawah dan di kanan kiri. Dia gantian menyepong Tomo dan mengocok Rinaldi. Lalu menjilati keduanya bergantian sambil mendesah-desah penuh nafsu. Bahkan sesekali berusaha memasukkan kedua kepala penis ke mulutnya berbarengan. Ganti posisi dan ganti orang lagi. Murti meninggalkan Ki Sukmo, Rinaldi, dan Tomo lalu berposisi menungging membokongi orang berikutnya—Pak Wid. Atasan Murti itu sudah keras lagi batangnya, dan memasuki Murti dari belakang. Dia menusuk pelan-pelan tapi dalam, membuat Murti terdorong dan mengerang dengan tiap tusukan, sambil memuaskan diri meremas pantat Murti di hadapannya. Setelah beberapa lama malah Murti sendiri yang bergerak maju mundur menyetubuhi batang keras di belakangnya. Sementara tangan Pak Wid menjamah pantat, perut, dan dada Murti. “Aahh… aahh… Paak… enaak… ahh…” erang Murti nakal. Pak Wid menarik lengan Murti sehingga tubuh depan Murti terangkat. Murti menengok sehingga Pak Wid bisa melihat ekspresi wajahnya, bukan cuma sanggul di belakang kepalanya. Murti bertumpu dengan satu tangan saja. Di depan Murti, Nono menyodorkan kejantanan yang mulai tegak. Erangan Murti dibungkam dengan masuknya kembali batang itu ke mulut Murti. “Aahmm… mmm… mmhm….” Tubuh Murti maju mundur seiring genjotan Pak Wid dari belakang. Nono menyentuh belakang kepala Murti, menikmati pemandangan wajah pengantinnya mengisap kemaluan. Pak Wid berhenti menggenjot lalu berubah posisi, jadi duduk telentang. Murti di pangkuannya. Dalam posisi itu Murti lebih aktif, mengangkang sambil bergerak naik turun menyetubuhi batang Pak Wid. Namun itu tidak lama, Pak Wid kemudian keluar dari vagina Murti dan bergeser. Berganti-ganti mereka menyetubuhi si mempelai perempuan. Ki Sukmo merebahkan Murti menyamping, mengangkat paha Murti, lalu menyodok gaya gunting. Murti mengerang dan mendesah keenakan, tapi mulutnya kembali disibukkan sodoran penis Rinaldi. Sambil menyetubuhi mulut Murti, Rinaldi meremas-remas payudara Murti. Murti makin hanyut dalam kenikmatan, dia sudah tak peduli lagi bersetubuh dengan siapa. Dia merasakan dipindah posisi, tengkurap di atas tubuh Tomo, sementara dia terus menyepong Rinaldi. Tomo memasuki vaginanya. Murti menengok ke Nono, wajahnya memohon. “Mas… kamu kemarin… ahh pengen… cobain di situ kanh…?” Nono mengangguk. “Boleh sekarang?” “Sekarang boleh Mas… Mas boleh coba pantatku…” Beberapa yang lain nyengir mendengar pemberian izin itu. Nono senyum lebar, sudah lama dia sebenarnya penasaran. Kebetulan mereka juga sudah menyiapkan pelumas; penisnya yang tegang langsung dia lumasi. Tanpa banyak bicara, Nono berusaha memasukkan kejantanannya ke lubang dubur Murti, merasakan lubang sempit itu didesak terbuka. “Ahhh… ssshh ah Maasss… aduhhh…” Murti meringis, memejamkan mata. Rinaldi yang melihat ekspresinya sampai kasihan. “Sakit kayaknya No,” pintanya. Nono tidak tega dan tidak jadi memasukkan ke sana. “Tidak usah,” kata Nono. Dia meminta Murti berdiri. Murti melepaskan diri dari Tomo di bawahnya, lalu berdiri dan berbalik, merangkul dan mencium Nono. “Nanti saja kapan-kapan, ya… Soalnya aku pengen keluarin di dalam kamu,” kata Nono. Dia memandangi wajah si pengantin perempuan. Makin terangsanglah dia. “Iya Mas… Saya mau dicrotin di dalam sama Mas,” kata Murti. Nono perlahan merebahkan kembali Murti di bawah. Murti membuka lebar pahanya, menyambut datangnya Nono… kembali masuk ke lubang yang benar. “Masukin… ahh… masukin saya Mas…” pinta Murti nakal. Nono mulai menggenjot, wajahnya tampak keenakan sekaligus berkonsentrasi. Dia memandangi wajah Murti dan dalam tiga puluh detik kemudian… “Ahh gga tahann… Mau keluarr… Ohh… Oohhh…” “Mmm aahhh iya Maasss….” Murti merasakan semburan Nono dalam kelaminnya. “Ahh anget Mass… Keisi penuhh Mass… yahh teruss…” Semua yang lain mengocok kemaluan masing-masing, terangsang melihat si pengantin cantik menerima benih Nono. Sama seperti Nono, mereka semua sudah tak tahan. Tapi sesuai kesepakatan, hanya Nono yang boleh ejakulasi di dalam. Yang lainnya… Nono akhirnya selesai mengeluarkan pejuhnya lalu mencabut kejantanannya dari vagina Murti yang penuh. Sedikit cairan putih kental meleleh keluar. Ekspresi wajah Murti nanar tapi puas. Dia lalu berlutut di tengah semua orang yang ada di sana. “Mas, Bapak, semua, silakan, saya sudah siap…” ujarnya lirih. Biarpun habis disetubuhi beramai-ramai, Murti tetap tampil anggun. Tata rambutnya sedikit rusak tapi rias pengantin tebalnya masih cukup utuh. “Kita mulai ‘siraman’-nya”, kata Ki Sukmo. Lima laki-laki itu, Ki Sukmo, Pak Wid, Lukman, Rinaldi, dan Tomo berdiri mengelilingi Murti, mengocok kejantanan masing-masing. “Saya duluan ya,” kata Pak Wid sambil mendekati Murti dari samping. Murti mendongakkan kepalanya, memejamkan mati selagi Pak Wid mendekatkan kepala burungnya ke pipi Murti. Pak Wid menggerung selagi menyemburkan cairan kejantanannya berkali-kali ke wajah Murti. Sebagian besarnya mendarat di pipi Murti yang berbedak tebal. Seciprat mengenai mata Murti, membuat si mempelai perempuan sempat bereaksi menoleh menjauh. Selagi Pak Wid menghabiskan isi penisnya, ganti Rinaldi dan Tomo mendekat, Rinaldi dari belakang Murti, Tomo dari depan. Murti sempat membuka matanya sebentar tapi segera memejamkan mata lagi begitu melihat lubang kejantanan Tomo tepat di depan muka. Rinaldi dan Tomo berejakulasi hampir persis bersamaan. Semburan Tomo kencang, sebagian mendarat di bulu mata palsu Murti, lainnya di samping hidung. Keluaran Rinaldi lebih lemah, jatuh membeleber dari kemaluannya di atas dahi Murti, sebagian mengenai rambut dan paes hitam di dahi Murti. Murti meringis selagi wajahnya kena semprot dari dua arah. Ki Sukmo berdeham dan mendekati Murti yang wajahnya mulai belepotan untuk menambahkan cairan lelaki ke sana. Pejuhnya kental dan tidak menyembur kuat. Sebagian besarnya tumpah di atas bibir merah dan dagu Murti. Tinggal satu. Lukman. Dan Lukman sedikit merasa tak tega melihat Murti dibegitukan. Tapi Murti memanggilnya. “Mas Lukman… Ayo sini Mas Lukman…” “Ayo Mas, Mas keluarin di muka saya juga…” kata Murti, suaranya menggoda. Dia meraih kemaluan Lukman dan membuka mulutnya. Lukman satu-satunya yang mendapat perlakuan lebih, Murti menjilat dan mengisap penisnya beberapa kali, dan itu sudah cukup untuk membuat dia muncrat ke mulut Murti. Beberapa semburan terakhirnya mendarat di leher dan dada Murti. —– Selesai sudah. Keenam laki-laki itu terdiam. Di tengah mereka, seorang pengantin perempuan tradisional, tanpa busana, wajahnya yang tadinya dirias sempurna kini telah berlumuran cairan kental putih. Kedua tangannya dikatupkan dalam posisi seperti semedi. Matanya masih terpejam, selagi dia merasakan sedikit-sedikit mani beberapa lelaki di wajahnya mengalir pelan turun. Ki Sukmo komat-kamit, yang lainnya terdiam tenang, kecuali Lukman yang masih saja tidak mengerti dengan upacara tak biasa yang baru diikutinya. Tanpa berbicara lagi, satu demi satu mereka pergi. Pertama Ki Sukmo, lalu Pak Wid, lalu Rinaldi dan Tomo. Lukman mengelus rambut Murti, menatap wajah cantik yang bermandi pejuh itu, memandangi Nono, lalu pergi dengan berat hati, bergabung dengan yang lain di luar. Ketika tinggal Nono dan Murti, Murti membuka matanya. “Murti…” ujar Nono lirih. “Terima kasih buat selama ini, Mas,” kata Murti, sambil membuka matanya. “Mulai saat ini kita tidak bisa seperti dulu lagi,” kata Nono murung. “Saya selalu tahu akan begini akhirnya, Mas,” kata Murti tenang. “Semoga Mas bisa bahagia dengan istri Mas…” —– Sepeninggal Nono, barulah Murti menundukkan wajahnya dan terisak. Seseorang lagi mendekatinya dan menyeka air matanya. Ny. Sri. “Sudah, jangan nangis,” kata si perias sambil menyeka air mata si gadis. Dia juga mulai menyeka berbagai cairan di wajah Murti. “Saya ngerti kedudukan kita begini… tapi hati saya tidak bisa bohong,” kata Murti sambil terisak, “…Ibu.” Ya, Murti adalah putri Ny. Sri. “Mas Nono derajatnya lebih tinggi, dan ke depannya dia akan lebih tinggi lagi, sekarang dia sudah jadi suaminya Gusti Raden Ayu. Kelak dia akan pegang jabatan tinggi,” kata Ny. Sri kepada putrinya. “Kita tahu diri. Kita ningrat tapi abdi, takdir kita membantu dan mendukung keluarga mereka. Hari ini tugas kamu untuk dia selesai, selama ini kamu sudah ajari dia ilmu katuranggan wanito. Ibu juga begitu buat rama-nya Mas Nono dulu.” Murti menatap ibunya, tanpa ekspresi, tidak tahu harus bereaksi apa. Dia tahu bahwa keakrabannya dengan Nono adalah karena secara turun temurun keluarganya menjadi “pengajar” agar pemuda laki-laki ningrat bisa melatih keperkasaan dan pengenalan akan perempuan supaya siap menghadapi pernikahan. Namun sebagai gadis biasa, Murti tidak bisa mengesampingkan begitu saja perasaan yang tumbuh dalam hatinya bagi Nono. Ny. Sri menyampirkan kain, menutupi tubuh telanjang putrinya. Dia sudah selesai menyeka wajah Murti, setidaknya sampai semua cairan di sana bersih, tapi sisa-sisa riasan masih ada. Dia akan perlu membersihkannya lebih cermat, tapi yang sekarang sudah cukup. “Ayo kita pulang.” Tengah malam, dua perempuan berjalan keluar dari rumah joglo. Di luar mereka melewati beberapa karangan bunga, dari beberapa petinggi tingkat negara dan daerah, memberi selamat atas pernikahan R. Saguno dan putri bangsawan yang gelarnya menunjukkan tingkat jauh lebih tinggi. Murti memalingkan muka, matanya berkaca-kaca lagi, hatinya pedih. TAMAT