Aib 2
Kami memiliki 2 buah rumah yang cukup luas. Satu rumah diperuntukkan untuk kos-kosan akhwat dan satu lagi untuk kos-kosan ikhwan. Kos-kosan kami berhadap-hadapan dimana kami sekeluarga tinggal di depan kos-kosan para ikhwan. Sementara kos-kosan para akhwat ada persis didepan rumah kami.
Setahun kebelakang suamiku ingin merenovasi kos-kosan ikhwan. Suamiku yaang juga pengurus partai berhaluan agama di kotaku ini ingin agar nanti kos-kosan ikhwan beralih fungsi menjadi semacam asrama akhwat. Suamiku ingin ada asrama di dekat kampus-kampus di kotaku ini. keinginan ini ternyata imbas dari kebijakan partai yang ingin memberikan beasiswa kepada akhwat-akhwat berprestasi.
Aku sebagai istri hanya patuh dengan keinginan suamiku. Maka aku mulai berbicara kepada para ikhwan yang indekos. Kusampaikan bahwa setelah habis lebaran mereka kuminta untuk pindah. Setelah itu mulai lah satu-persatu ikhwan yang kebetulan habis masa kontraknya pindah. Dalam hal kos-kosan ini kami memang memungut biaya 3 bulan sekali. Sekarang tinggal 6 ikhwan yang masih menempati kos-kosan itu.
Ya tinggal 3 bulan lagi mereka akan pindah tepat sebulan setelah lebaran maka kami pikir itu waktu yang tepat untuk mereka mencari indekos yang baru. Rumah kami terhitung besar ada 4 kamar tidur. Sementara ada tembok tinggi yang menghalangi kamar-kamar para ikhwan ada lorong kecil untuk masuk sepeda motor dan jalan masuk menuju kamar kos.
jam menunjukkan pukul 9 malam ditengah hujan gerimis yang menyambangi malam dimana aku dan suamiku bercengkrama membicarakan masalah akidah dan agama. Di dalam rumah ini hanya tinggal aku dan suamiku beserta anak bungsuku bernama mahmud. Tapi malam ini mahmud sedang menginap dirumah kawan nya untuk menyelesaikan tugas kuliahnya.
Saat aku dan suami bercengkerama pintu di depan rumah kami diketuk.
Tok…. tok… tokkk…
“Permisi.” Suara seorang laki-laki.
“Ya” jawab suamiku,
Lalu kami berdua menuju pintu. Suamiku membukakan pintu.
“Ya ada apa”
“Maaf pak menganggu. Saya Albert ingin mencari kos-kosan. Saya tahu kos-kosan bapak memang untuk yang muslim. Kebetulan saya non muslim. Cuma saya sudah daritadi sore berkeliling mencari kos-kosan semuanya penuh dan saya lihat disini masih menerima anak kos. Boleh saya kos disini pak. Atau boleh saya menginap satu malam ini aja di kamar kos yang kosong. Besok saya pamit pulang untuk mencari kos-kosan.”
Aku lalu ikut menghampiri pria muda yang barusan mengetuk pintu kami.
‘Wah ia sih dek disini Cuma nerima kos muslim.”
Belum sempat suamiku menyelesaikan bicaranya. Aku lalu ikut berbicara.
“Emang kemarin tinggal dimana dek. Kok baru hari ini cari kos-kosan.”
“Pria itu lalu memandangku yang baru saja mengajak ia berbicara.’
“Ia bu saya kemarin sampai hari ini tinggal di rumah paman. Cuma tadi ada insiden sama anaknya paman jadi saya memutuskan untuk pindah. Makanya saya nyari kos-kosan.’
“Kamu kuliah atau kerja?”
“Saya kerja pagi terus malamnya lanjut kuliah bu. Kebetulan kuliah saya di kampus **** makanya saya cari kos-kosan yang dekat sini. Biar pulangnya gak kejauhan.”
“Begini saja. kamu boleh nginap di kamar kos. Besok kamu tinggal nyari kos-kosan lagi.”
“Bi.”
“Ia ummi.”
Aku membisikkan pembicarraanku kepada suamiku.
“Bi terima ajalah kasihan. Toh 3 bulan lagi juga kos-kosan juga di bongkar.”
Saat aku selesai membisikkan pembicaranku tanpa kusadari Albert memandangi tubuh ku. Memang aku tidak sadar. Lagian malam ini aku juga memakai pakaian muslimah yang tebal dan tertutup rapat. Tapi saat mata kami beradu ada perasaan aneh dalam diriku.
“Ya sudah kamu boleh kos disini. Tapi Cuma 3 bulan aja karena kos-kosan ini mau di bongkar. Jadi semua penghuni kos disini sampai habis lebaran tinggalnya dan kamu harus ikut aturan kos disini. Gak boleh membawa tamu perempuan, dilarang minum-minuman keras dan membawa makanan haram. Dilarang berkumpul di dalam kamar kos sampai jam 10 malam. Kamu setuju?”
“Ia pak saya setuju. Terima kasih.”
“Ya kalau begitu ayo ke kamar kamu. Ummi ambilkan kunci kamarnya ya.”
Aku pun mengambil kunci kamar kos. Saat mengambil kunci kulihat HP suamiku berdering. Segera kuambil HP nya lalu aku menyusul suamiku.
“Abi ada telpon.”
“Eh dari siapa ummi.’
“Dari pak Anton”
Lalu suamiku menghampiriku. Ia segera mangambil HP nya.
“Ummi kasih aja kuncinya ya terus abis tuh langsung masuk rumah ya.”
“Ia bi.”
Suamiku lalu melangkah keluar menuju teras rumah kami. Sementara diriku yang berada pada lorong kamar tepat dihadapanku seorang pria muda berkulit hitam dan berambut sedikit gondrong serta keriting. Tinggi tubuhnya kutaksir sekitar 180 cm.
“Ayo.” Aku mendahuluinya.