AMNESIA

Satu-satunya yang dia lihat pertamakali ketika membuka matanya adalah langit biru jernih yang sangat luas. Langit itu kemudian berputar namun awan-awan tipis yang menghiasinya tidak ikut berhamburan. Bersamaan dengan saat itu, tiba-tiba dia merasakan pengar yang luarbiasa menyakitkan di bagian belakang kepalanya. Seperti ada ribuan tombak menghujaninya. Ujung tombak itu tumpul namun menembus masuk ke dalam otaknya dan dia benar-benar kesakitan. Dia berteriak tetapi mulutnya tak mengeluarkan suara apa pun. Lalu pandangannya gelap. Pekat. Dia tak sadarkan. Ketika dia membuka matanya untuk yang kedua kali, dia merasakan aroma rumput dan pepohonan belukar secara samar. Dia tidak bisa melihat langit yang biru jernih tapi dia bisa melihat-bintang, dia juga bisa mendengar gemericik air mengalir entah di mana. Kepalanya masih terasa pengar ditambah dengan bahunya seperti patah. Hidungnya tak bisa bernafas karena tersumbat sesuatu. Lalu dia mendengar beberapa orang berbincang di kejauhan. “Ini di mana?” Tanyanya dalam hati. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan tapi dia tak bisa melihat apa pun. Hanya bintang-bintang saja yang bisa dia lihat. Dia lalu menggerakkan badannya tapi seluruh tubuhnya terasa sakit. Dia bertanya-tanya mengapa dia berbaring miring dengan kaki di atas dan kepala di bawah. Dia mendengar orang-orang itu berbincang lagi, kali ini telinganya bisa menangkap dengan jelas. Lalu ada orang lain yang berteriak di kejauhan, dia bisa sangat jelas mendengarnya. “Ketemu tidak?” Suara orang pemilik teriakan itu seperti pernah akrab dengannya. Tapi dia tidak ingat apa pun. “Tidak. Belum, Ben.” Jawab seseorang, ah dia juga seperti pernah kenal dengan suara orang ini. “Dia tidak mungkin pergi jauh.” Kata orang lain lagi, suara itu lebih tenang dan dalam. Dia sangat mengenal suara orang itu. “Kau yakin anak itu meloncatnya di sini, Ben?” “Saya… saya yakin, Pak.” “Hm, kamu benar-benar ceroboh! Kau tidak mengikatnya dengan kuat.” Kata suara lelaki yang tenang dan dalam itu. “Bukan saya Pak yang mengikatnya, tapi dia.” Kata orang yang dipanggil Ben itu. “Anton, apa benar kamu yang mengikatnya?” “Demi Tuhan, Pak! Saya mengikatnya dengan sekuat-kuatnya.” “Ya, sudah. Coba kamu cari ke sana, dan kamu Ben turun ke bawah… ” “Baik, Pak.” Kata Ben. “Siap, Pak.” Jawab Anton. Tiba-tiba terdengar suara senjata api menyalak. Empat kali suara letusannya menggema sampai jauh diikuti dua teriakan mengaduh. “Itu pasti suara pistol.” Bisiknya sambil menahan sakit perih pada lengannya. Kemudian dia mendengar sebuah kesiur angin di samping kanannya, diikuti suara benda jatuh dan suara rintihan kesakitan. Suara itu dekat sekali dengan telinga. Sangat dekat. Dia merintih lalu menangis, “Huk… huk… huk… maafkan aku Pak Mojo… aku menyesal… aku menyesal…” Lalu dia mengeluarkan suara menguik yang keras dan panjang. Setelah itu diam. Tak bersuara. Dia mendengar suara tawa terbahak-bahak. “Ha ha ha… kalian pantas mati! Dasar penghianat tolol!” Kata Suara lelaki bersuara tenang dan dalam itu. Beberapa menit kemudian dia mendengar suara derum mobil, semakin lama suara mobil itu semakin pelahan. Lalu menghilang. Dia tak sanggup memahami apa yang sebenarnya terjadi. Pikirannya ngeblank total. Lalu dia melihat langit yang biru pekat itu ditutupi mendung yang tebal. Halilintar secara tiba-tiba menggelegar dan hujan pun turun. Sangat deras. Air hujan membuat pengar kepalanya sedikit hilang dan hidungnya yang mampet mulai membuka. Dia mencoba menggapaikan tangan, namun tiba-tiba saja kakinya terangkat dan dia terguling-guling. Lalu selama satu detik dia merasa melayang dan… byur! Dia kecemplung ke sebuah genangan air yang tenang dan dalam. Selama beberapa detik dia memberontak untuk mengeluarkan dirinya dari tenggelam ke dasar genangan. Kedua tangannya meronta-ronta mencari sesuatu untuk pegangan. Tidak, dia tidak menemukannya. Dia menelan banyak air dan dia merasa mengambang. Sebuah arus yang kuat menariknya entah ke mana, dia tak tahu. Tak peduli. Satu-satunya pikiran yang muncul di kepalanya adalah : aku harus hidup! Aku tak boleh mati.
***​