Anak Kakekku

Anak Kakekku

Perpindahanku ke rumah kakekku berurusan dengan pekerjaanku. Di rumah kakekku, aku tinggal bersama dengan kakekku, istri kedua dari kakekku dan satu anaknya.

Istri kedua?

Ya, istri kedua kakekku, karena kakekku cerai dengan nenek, aku belum lahir waktu itu, jadi jabang bayi saja belum, karena usia ibuku baru 17 tahun.

Kakek yang berumur 47 tahun kemudian menikah lagi dengan seorang gadis berumur 25 tahun.

Karena kami tinggal berbeda kabupaten berbeda propinsi, sehingga kami lama sekali tidak bertemu.

Pertemuanku dengan keluarga kakekku baru terjadi sekarang ini setelah aku lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan dan bekerja di sebuah pabrik ‘recycle’ bahan-bahan plastik bekas, yaitu dimana barang-barang bekas dari plastik digiling menjadi biji plastik, kemudian dipakai lagi untuk memproduksi barang jadi dengan kwalitas yang lebih rendah dan harga yang lebih murah.

Misalnya ember cor, ember yang biasa dijual dikeprek-keprek lewat depan rumah kita, bangku plastik, atau kantong plastik kresek hitam.
Tidak boleh dipakai untuk membungkus gorengan tuh kantong plastik kresek hitam, tetapi tetap dipakai juga (!).

Istri kakekku yang kedua ini aku panggil Bude. Umurnya 50 tahun. Kakek berumur 72 tahun. Anak mereka, Lestiyani aku memanggilnya Mbak Lesti berumur 24 tahun, karena ia tidak mau aku memanggilnya tante.

Dari Mbak Lesti inilah aku direkomendasikan bekerja di pabrik ‘recycle’ bahan-bahan plastik bekas ini, karena disitu Mbak Lesti bekerja sebagai kasir, aku bekerja di bagian pabrik.

Pulang pergi kerja kami berboncengan sepeda motor. Makan siang dimasakkan oleh Bude, kami bawa ke pabrik.

Setiap istirahat siang aku dan Mbak Lesti selalu makan berdua, tidak pernah kami mencari makan di warung seperti karyawan lain. Dengan demikian, aku dan Mbak Lesti juga bertambah akrab.

Dari keakraban ini tidak ayal membuat aku tertarik pada Mbak Lesti secara fisik.

Aku begitu bergairah sampai kadang membuat jantungku berdebar-debar kalau duduk di dekat Mbak Lesti atau tercium olehku bau parfum yang telah bercampur dengan bau keringatnya.

Pagi-pagi Mbak Lesli bangun tidur atau libur ia berada di rumah ia tidak memakai BH. Untuk melihat payudara Mbak Lesti tidak sulit.

Begitu juga dengan Bude. Karena aku ini adalah cucunya, Bude tidak merubah penampilannya sehari-hari. Dan untuk aku melihat payudaranya juga gampang sekali.

Sebab itu kalau aku melihat celana dalam dan BH Bude atau Mbak Lesti yang sudah dicuci menggantung di tempat jemuran meneteskan air, darahku sering berdesir.

Pernah aku mencuri cium celana dalam Mbak Lesti yang selangkangannya sudah menguning, ternyata baunya wangi parfume pewangi pakaian! Aku juga pernah mencuri cium kaos kaki Mbak Lesti, karena aku suka dengan kakinya yang sangat mulus.

*****​

Pulang kerja pada suatu sore kami menemukan sebuah tempat nongkrong, yaitu di tepi lapangan sepak bola.

Di tepi lapangan sepak bola itu setiap sore ramai orang duduk-duduk. Karena ‘dimana ada gula disitu ada semut’, di tepi lapangan bola itu banyak orang berjualan macam-macam minuman dan makanan.

Mula-mula kami membeli es sirup seorang segelas, lalu duduk di rumput yang terdapat di tepi lapangan sepak bola itu ngobrol. Sore berikutnya pulang kerja lagi, kami mampir lagi ke tepi lapangan sepak bola itu.

Kali ini kami makan bakso, tetapi minumannya sudah segelas berdua. Perut kenyang, Mbak Lesti bersandar di sebatang pohon yang tumbuh di tepi lapangan sepak bola melihat hape-nya.

Melihatnya akupun memanfaatkan kesempatan itu dengan meletakkan kepalaku di paha Mbak Lesti berbaring di rerumputan.

Siapa yang berani mengusik kami, kami tidak berbuat mesum di tempat itu, karena banyak juga anak muda seperti kami yang berpacaran di situ.

Satu dua kali aku berbaring terlentang di paha Mbak Lesti, kemudian akupun memberanikan miring ke arah gundukan di selangkangan Mbak Lesti yang tertutup celana jeans, kadang ia memakai celana legging.

Kalau Mbak Lesti memakai celana jeans bau vaginanya tidak terlalu tembus ke hidungku, tetapi kalau Mbak Lesti memakai celana legging, bau vaginanya nyata sekali di hidungku, tetapi aku tidak berani berbuat lebih selain mencium selangkangan Mbak Lesti.

Pulang dari lapangan malam itu aku buru-buru merendam pakaianku dengan air sabun supaya besok kalau Bude mencuci pakaianku tidak tercium bau air maniku oleh Bude, karena tadi aku berbaring di paha Mbak Lesti mencium bau vaginanya aku sempat meremas penisku dari luar celanaku sampai keluar air mani.

Selesai Mbak Lesti mandi, keluar dari kamar mandi, ia memberikan gulungan pakaian kotornya padaku. “Dick, Mbak nitip…” katanya.

Darahku berdesir, jantungku berdebar kencang, karena sewaktu kubuka gulungan pakaian kotor itu aku menemukan BH dan celana dalam Mbak Lesti, sehingga aku bisa merasakan bau tetek Mbak Lesli yang asli dari BH-nya dan bau vaginanya juga lewat celana dalamnya, tidak hanya bau, tetapi aku juga menemukan lendir basah.

Aku pesta, benar-benar pesta. Celana dalam dan BH Mbak Lesti tidak aku rendam, melainkan aku bawa ke kamarku untuk bahan masturbasiku sampai keesokan paginya baru aku menaruh di ember.

Sepeda motor baru dari kakek.

Kakek seperti bisa mencium bau tak sedap antara aku dengan Mbak Lesti. Tanpa aku minta tiba-tiba kakek membelikan aku sepeda motor seperti beliau ingin memisahkan aku dengan Mbak Lesti meskipun kakek mengatakan padaku bahwa sepeda motor itu dari temannya untuk membayar hutang pada kakek.

“Dicky… ikut pulang dong…” teriak Mbak Yati ketika aku melewati ketiga wanita teman kerjaku yang sedang berjalan pulang di tepi jalan yang berdebu sore itu.

Aku menghentikan sepeda motorku, kemudian Mbak Yati naik ke sepeda motorku. Neng dan Mbak Sri, keduanya pun berteriak serempak, “Uiiii… Mbak Yatiii… dapat pacar baruuuuu….!!!”

“Biarin saja mereka… nggak usah diladeni…” kata Mbak Yati padaku memeluk aku dari belakang. “Sepeda motor baru ya, Dick…?” tanya Mbak Yati tidak mempedulikan payudaranya yang kenyal tergencet di punggungku.

“Iya…” jawabku.

“Banyak duit ya kamu… minjem dong…”

“He.. he.. mau berapa banyak Mbak minjemnya?” tanyaku.

“Ngg.. ngg… tiga ratus…”

“Aku sekarang nggak bawa duit sebanyak itu, besok sore aja, ya?” kataku.

“Iya, tapi kamu jangan cerita sama Neng dan Mbak Sri, ya…” pesan Mbak Yati.

Keesokan paginya aku bertemu dengan Neng di pabrik aku menegur Neng, gadis berumur 21 tahun itu. “He… jangan berteriak gitu dong kalian, kalo kedengaran orang kan gak enak kita… apa lo cemburu…?” kataku. “Nanti aku anter kamu pulang, deh…”

“He.. he..” Neng tertawa renyah.

“Sudah pernah ke lapangan situ belum?” tunjukku.

“Belum, rame ya…”

“Mau gak, nanti pulang kita kesana… sekalian nyobain sepeda motorku…”

“Mau dong kalo dibayarin makan bakso…” jawab Neng.

Pada sore harinya pulang kerja aku berusaha menghindar dari Mbak Yati. Neng seperti tau aku menghindari Mbak Yati. Ia keluar dari pabrik duluan. Sepeda motorku langsung melesat pergi membonceng Neng sambil Neng memeluk aku dari belakang.

Sesampai di tepi lapangan bola, setelah aku parkir sepeda motorku Neng menggandeng tanganku seperti sudah lama kenal dan terasa benjolan dadanya di lenganku yang terhalang oleh baju kerjanya. Aku tekan, aku dorong-dorong bulatan kenyal itu dengan lenganku.

Dan di depan gerobak tukang bakso, si bapak bertanya padaku, “Yang kemarin mana, Mas?”

Pertanyaan itu langsung disambar oleh Neng. “Yang kemarin itu tantenya, Bang… sekarang, aku pacarnya…!”

Aku tertawa dalam hati.

Aku puaskan Neng dengan bakso dan es cendol malam itu. Selesai makan dan minum aku mengajak Neng duduk di tempat yang sepi. Neng cerita padaku bahwa ia lagi kecewa dengan pacarnya yang selingkuh dengan gadis kampung lain.

Aku berhasil mencium bibir Neng, merogoh BH-nya dan meremas teteknya. “Enak…” kata Neng, teteknya belum pernah diremas oleh pacarnya, tetapi ciuman sudah sering mereka lakukan.

“Kita lanjutkan besok, ya…” kata Neng padaku.

Sesampai di rumah, aku dimarahi Mbak Lesti. “Aku nggak tau kamu pacaran apa?” katanya dengan cemburu.

“Pacaran dengan siapa?”

“Neng…”

“Astaga… Mbak, baru pertama kali kenal masa pacaran sih…? Percayalah Mbak padaku, aku tetap pegang komitmen…”

“Pakai komitmen segala… komitmen apa… ngomongan kamu kayak duta besar aja…”

“Ya itu… mmm… mmm…” aku tidak berani menyebutkan bahwa aku mencintai Mbak Lesti, lalu aku memeluknya.

Ketika Mbak Lesti merangkul aku erat-erat, aku baru berani berkata bahwa aku sayang padanya, aku mencintainya.

Kami jatuh ke kasur bersama, kami berciuman. Tadi aku berciuman di tepi lapangan bola dengan Neng, bibirku masih kaku. Sekarang bibirku sudah luwes saat berciuman dengan Mbak Lesti, buah dadanya aku remas hingga napas Mbak Lesti tidak beraturan.

Aku tidak berani lebih. Yang penting aku sudah menaklukkan Mbak Lesti dengan memberikan aku mencium bibirnya dan meremas teteknya.

Tengah malam aku mendengar suara kakekku melenguh, “Oooooooggggghhhh….” mungkin kakek lagi memancutkan spermanya di lubang memek Bude karena besoknya pagi-pagi aku bangun, aku melihat Bude sudah keramas.

Aku tersenyum.

“Ada apa, Dick…?” tanya Bude.

“Kenapa Kakek semalam, Bude?”

“Hussstt…” kata Bude buru-buru menutup mulutku, lalu menarik aku ke dapur. “Kamu mau juga?” tanya Bude membuat aku kaget.

“Mau apa, Bude?”

Lalu Bude membuka sedikit handuknya untukku. “Ini…” katanya menunjukkan tubuh telanjangnya padaku.

Melihatnya membuat aku menelan ludah meskipun tetek Bude sudah menggantung kendor, tidak seperti tetek Neng atau tetek Mbak Lesti yang bulat kencang, tetapi tetek Bude besar. Di bawah perutnya terdapat bulu-bulu hitam.

“Dicky nggak bisa Bude… belum pernah… nanti Bude kecewa…” jawabku dengan jantung berdebar, padahal aku mengharapkan sebaliknya.

“Tapi kamu nggak boleh ngomong dengan siapa-siapa, ya? Ini rahasia…” kata Bude. “Tunggu Bude di kamar, nanti Bude ke sana…”

Aku menunggu Bude di kamarku sepertinya sangat lama sekali. Akhirnya Bude datang juga.

Tubuh Bude seperti wanita setengah tua pada umumnya, tidak sexy.