Bu Wardoyo Yang Lumpuh
SUNGGUH, suatu pencobaan yang paling berat selama hidupku, yaitu kehilangan orang yang sangat aku cintai.
Ibuku terserang demam berdarah. Setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit, akhirnya nyawa Ibu tidak tertolong.
Melewati beberapa minggu setelah Ibu meninggal dunia, Ayah memutuskan untuk pindah ke rumah Nenek, ibu dari Ayah, Kakek sendiri sudah meninggal. Aku tidak begitu terpengaruh dengan kepindahan itu, karena memang kadang aku suka menginap di rumah Nenek, malah sekolahku menjadi agak dekat.
Awalnya Nenek ditemani oleh adiknya, tapi setelah beberapa hari kepindahan kami, atas permintaan anak tertua nenek, adik nenek pindah ke rumah bibiku yang jarak rumahnya sekitar 100 meter dari rumah nenek. Bibiku, kakak tertua Ayah, mempunyai kehidupan ekonomi yang lebih baik, bersama suaminya yang membuka rumah makan di pasar.
Nenek sendiri bekerja membantu sebuah keluarga, sepasang suami istri, Bapak dan Ibu Wardoyo, dimana Bu Wardoyo menderita sakit lumpuh yang cukup berat.
Saat pertama diajak menemani Nenek, aku merasa kasihan melihat Bu Wardoyo yang hanya berbaring di ranjang tanpa daya, jangankan untuk bergerak, untuk bicara saja Bu Wardoyo tidak mampu.
Kata Nenek, Bu Wardoyo berbaring di ranjang tanpa daya begitu, sudah sekitar 4 tahun. Bu Wardoyo termasuk orang berada. Dia menikah dengan pemuda yang usianya hampir 10 tahun lebih muda darinya.
Nenek membantu mencuci pakaian keluarga Bu Wardoyo, membersihkan rumah, bahkan Nenek bisa memijat, dan menjadi langganan Bu Wardoyo saat Bu Wardoyo sebelum sakit, sehingga Nenek sudah hafal kebiasaan Bu Wardoyo jika Bu Wardoyo hendak mandi, berganti pakaian, atau menginginkan sesuatu.
Jika Bu Wardoyo menginginkan sesuatu, dia biasanya hanya bisa menggerakkan telunjuknya, tangannya sendiri terkulai lemas. Setelah Nenek melihat gerakan jari Bu Wardoyo, biasanya Nenek menanyakan sesuatu kepada Bu Wardoyo, entah itu minum, atau makan. Jika Bu Wardoyo mengedipkan matanya, berarti dia setuju.
Aku jadi sering membantu Nenek, bahkan jika Pak Wardoyo keluar kota, kami suka disuruh menginap di rumahnya. Sampai akhirnya Pak Wardoyo jadi jarang pulang. Bisik-bisik antara Nenek dan adiknya, aku jadi tahu bahwa Pak Wardoyo mempunyai wanita lain, bahkan aku sendiri pernah mendengar Pak Wardoyo berbicara kepada istrinya.
Saat itu, kebetulan aku menginap di rumahnya, tanpa ditemani Nenek, karena Pak Wardoyo berencana pulang, tapi agak malam. Pak Wardoyo meminta izin istrinya untuk menikah lagi, dan sepertinya Bu Wardoyo mengijinkan, karena kudengar Pak Wardoyo mengucapkan terima kasih dan berjanji tetap menjaga Bu Wardoyo sampai kapanpun.
Saat aku bilang pada Nenek, Nenek berkata, ”Nggak baik mendengar pembicaraan orang, lagian, nggak apa-apa Pak Wardoyo menikah lagi, kan diizinkan oleh agama, asal istrinya setuju.”
Sejak itu, aku dan Nenek jadi lebih sering menginap di rumah Pak Wardoyo. Pak Wardoyo sendiri orangnya sangat baik, tak jarang dia mengajakku ngobrol bahkan bercanda.
Seringkali dia berkata, ingin sekali memiliki anak lelaki seperi aku. Mungkin itu yang membuatnya menikah lagi.
Lama-kelamaan, tak jarang pula aku menemani Bu Wardoyo hanya seorang diri, karena tidak mungkin Nenek meninggalkan rumah kami tiap malam. Ayah sendiri jarang di rumah.
Akhirnya, malam itu, malam yang mempengaruhi seluruh hidupku terjadi.
Awalnya tak ada hal yang luar biasa, sampai akhirnya aku merasa ingin pipis. Tapi saat aku keluar dari kamar tidur yang letaknya bersebelahan dengan kamar tidur Bu Wardoyo, aku mendengar desah napas Pak Wardoyo dari dalam kamar. Karena aku sudah menghafal situasi kamar tidur Bu Wardoyo, perlahan aku pergi mengintip dari jendela kamar yang tirainya tidak tertutup.
Sungguh, suatu pemandangan yang membuat jantungku berdegup kencang.
Kulihat di atas ranjang, dengan santai Pak Wardoyo menggenjot Bu Wardoyo yang terbaring. Kulihat badan Pak Wardoyo yang berkaos oblong dipenuhi peluh, sementara bagian bawahnya yang tanpa penutup apapun, tengah asyik maju-mundur di badan Bu Wardoyo yang terbaring tanpa reaksi, seperti mayat hidup.
Sampai akhirnya kudengar suara Pak Wardoyo mengerang hebat seperti hampir mau sekarat, dan kulihat badannya terjatuh dari tubuh Bu Wardoyo, dan aku dapat melihat kontol Pak Wardoyo dengan jelas saat dia mengelap alat kelamin Bu Wardoyo dan kemudian merapikan kainnya.
”Terima kasih ya Bu…, maaf agak lama Bapak nggak meniduri Ibu…” itu kata-kata yang keluar dari mulut Pak Wardoyo sebelum akhirnya diapun memakai kembali celananya.
Aku cepat-cepat kembali ke kamar tidurku tidak jadi pipis.
Sejak saat itu, kejadian ini terus menbayangiku. Sehingga jika aku diberi kesempatan oleh Nenek untuk memijat kaki Bu Wardoyo, sesekali aku berusaha mengintip ke dalam kain Bu Wardoyo jika dia tertidur, karena kutahu Bu Wardoyo tidak pernah mengenakan celana dalam. Bahkan jika sedang memijat tangannya, sesekali sengaja aku menyengol payudaranya.
Saat Pak Wardoyo ada, aku jadi suka menginap, mengharap dapat melihat kejadian itu kembali. Dan akhirnya 3 bulan setelah itu, aku kembali melihat Pak Wardoyo menggauli Bu Wardoyo di tengah malam.
Adegan itu dapat aku saksikan bahkan dari awal.
Kemudian, keesokan harinya karena Nenek kurang sehat hari itu, Nenek menyuruh aku membantunya menolong Bu Wardoyo buang air besar. Sungguh menyedihkan, badan Bu Wardoyo harus dimiringkan dan kemudian saat Bu Wardoyo mau pipis, lubang kencingnya harus dimasukkan selang kecil oleh Nenek.
Saat itu aku bisa melihat seluruh alat kelamin Bu Wardoyo yang pernah digenjot kontol Pak Wardoyo, sehingga makin menambah kacau pikiranku.
Nenek membersihkan alat kelamin mau pun anus Bu Wardoyo tanpa merasa jijik. Nenek membersihkanya dengan lap basah.
Saat aku tanya kenapa Nenek mau melakukanya, Nenek bilang, Nenek banyak berhutang budi kepada keluarga Bu Wardoyo. Nenek sendiri dulunya sering dibantu oleh ibunya Bu Wardoyo.
Malam itu, aku menemani Bu Wardoyo sendirian. Saat itu aku sedang menonton televisi, aku mendengar suara Bu Wardoyo yang tidak jelas itu dari kamar tidurnya. Aku segera meninggalkan tempat dudukku masuk ke kamar tidur Bu Wardoyo.
Melihatku, jari Bu Wardoyo menunjuk. Ternyata Bu Wardoyo ingin pipis. Jika aku pulang ke rumah memanggil Nenek, pulang-pergi, mungkin Bu Wardoyo sudah keburu ngompol di tempat tidur. Aku lalu segera mengambil selang dan senter.
Tanpa canggung, segera kusibak kain Bu Wardoyo. Bu Wardoyo berbaring pasrah saat kubuka lebar kedua pahanya. Seperti yang pernah kulihat bagaimana caranya Nenek membantu Bu Wardoyo pipis, dengan lampu senter yang sedang menyala menghadap ke selangkangan Bu Wardoyo yang penuh dengan bulu itu, jari tanganku membuka bibir kemaluan Bu Wardoyo, lalu perlahan kumasukkan selang ke lubang kencing Bu Wardoyo.
Sambil menunggu Bu Wardoyo pipis, pikiranku berkelana, hingga akhirnya entah setan mana yang membuatku berbuat nekat. Jari telunjukku memainkan kelentit Bu Wardoyo.
Kulihat mata Bu Wardoyo terpejam, wajahnya tanpa ekspresi, jantungku makin berdegup kencang, dan aku makin berani, karena aku tahu, bahwa Bu Wardoyo tidak mungkin akan melawan. Ketika kucabut selang dari lubang kencing Bu Wardoyo, napsuku makin tak terbendung. Aku nekat memasukkan jari tengahku ke lubang sanggama Bu Wardoyo yang basah.
Mata Bu Wardoyo tetap terpejam. Aku tidak menurunkan kain Bu Wardoyo. Aku menaruh selang dan botol berisi air kencing Bu Wardoyo di bawah tempat tidur. Bergegas aku melepaskan celanaku lalu naik ke tempat tidur berlutut di antara kaki Bu Wardoyo. Aku memijat perlahan paha Bu Wardoyo sambil perlahan tanganku menuju ke alat kelaminnya. Sekali lagi kumasukkan jari tengahku ke lubang sanggamanya yang makin basah saja.
Entah Bu Wardoyo merasakannya atau tidak. Melihat dia tanpa reaksi, aku mendekatkan kontolku yang tegang di antara bulu-bulu lebat Bu Wardoyo, napasku makin tak terkontrol, saat kepala kontolku membelah belahan memeknya, lalu aku berusaha menekannya, perlahan kumasukkan, hingga makin lama makin dalam kumasukkan kontolku dan rasanya hangat serta nikmat. Kemudian lambat laun, aku mulai menggerakkan pantatku maju-mundur, persis seperti yang Pak Wardoyo lakukan, tapi aku tidak berani mengganjal pantat Bu Wardoyo dengan bantal seperti yang Pak Wardoyo lakukan.
Kira-kira 15 menit, kenikmatan makin menjalar, tidak hanya di daerah kontolku, bahkan badanku sampai bergetar dan bergidik, hingga akhirnya, tanganku mengepal seprei dan, ahh.. ahh… ahh.. aku mengerang panjang, dan spermaku tumpah di dalam memek Bu Wardoyo.
Kurasakan denyutan sangat hebat, memek Bu Wardoyo seperti memijat-mijat batang kontolku. Kupejamkan mataku lama sekali, merasakan denyutan-denyutan itu.
Aku melihat wajah Bu Wardoyo. Kebetulan saat itu matanya terbuka. Aku sempat kaget. Tapi aku dapat melihat bahwa wajah Bu Wardoyo tampak tersenyum.
Pikiranku menjadi tenang, rasa penasaran sudah terpenuhi.
Aku membersihkan memek Bu Wardoyo dengan lap beberapa kali, takut ada sisa spermaku, hingga besok Nenek dapat mengetahuinya.
Gilanya, hanya berselang dua hari kemudian, saat Pak Wardoyo kembali tidak pulang, aku mengulangnya lagi.
Setelah selesai, aku melihat wajah Bu Wardoyo berhiaskan senyum lebih indah dari sebelumnya, hingga kuberani mencium bibirnya kali ini dan meremas payudaranya.
“Ibu suka…?” tanyaku.
Seperti biasa Bu Wardoyo mengedipkan matanya jika dia setuju.
Dilain kesempatan, akupun dengan leluasa melepaskan pakaian Bu Wardoyo. Perlahan kuisap puting susu yang menghiasi puncak payudaranya yang tak begitu besar. Kujilat puser dan perutnya. Kucium dan kujilat bulu kemaluannya.
Setiba di memeknya, kujilat kelentitnya dan lidahku juga memasuki lubang sanggamanya. Aku melihat wajah Bu Wardoyo benar-benar tanpa ekspresi, seperti aku bermain seks dengan mayat.
Sialnya, aku menikmatinya. Setiap aku naik di atas tubuh Bu Wardoyo, jantungku tetap berdetak hebat, rasa geli dan hangat menjalari kontolku saat aku menempelkan kontolku di mulut lubang memeknya, dan setelah aku memastikan, aku menemukan lubang yang aku inginkan, aku menekan kontolku dan perlahan kontolku memasuki lubang memek Bu Wardoyo. Kugenjot lubang yang licin dan basah itu.
“…aaa… aaa… aaa…..” terdengar suara parau keluar dari mulut Bu Wardoyo, bersamaan dengan itu kontolku bagaikan dipijat-pijat oleh dinding-dinding memeknya.
Aku kembali tak dapat menahan sepermaku, dan akhirnya spermaku memancar di dalam memek Bu Wardoyo.
Sungguh aku tak menyangka, apa dia bisa merasakan kenikmatan juga, mukanya tampak senyum. Aku memeluknya, dia makin tersenyum.
Malam itu, Ayah ada di rumah. Nenek dengan aku menginap di rumah Bu Wardoyo dan kebetulan malam itu juga ada Pak Wardoyo. Aku mengharapkan Nenek cepat tidur supaya aku bisa mengintip Pak Wardoyo menggauli Bu Wardoyo. Tapi belum berbaring satu jam, Nenek selalu keluar dari kamar tidur.
Aku keluar juga dari kamar tidur, bukan ingin menyelidiki apa yang Nenek kerjakan di luar, tapi aku hendak pipis. Tapi, di luar kamar tidur, aku melihat Nenek sedang membungkuk di depan jendela kamar Bu Wardoyo. Nenek kaget melihat aku, dan buru-buru Nenek menyilangkan jari telunjuknya di depan bibirnya.
Aku mengerti tanda yang diberikan Nenek. Perlahan kudekati Nenek, ikut mengintip Pak Wardoyo menggauli Bu Wardoyo yang tampaknya membuat Nenek terheran-heran antara percaya dan tidak melihat badan Pak Wardoyo menggenjot Bu Wardoyo yang berbaring terlentang bagaikan mayat hidup itu.
Tapi buat aku, bukan lagi percaya atau tidak, tapi aku jadi terangsang. Rupanya setan pandai memanfaatkan kesempatan. Nenek juga tidak mungkin tidak terangsang melihat kontol Pak Wardoyo yang tegang keluar-masuk ke dalam lubang memek Bu Wardoyo yang sudah sekian lama Nenek tidak menikmatinya.
Kupeluk Nenek dari belakang. Saat kulihat mulut Pak Wardoyo mengisap puting susu Bu Wardoyo, tanganku naik ke dada Nenek. Kusenggol payudara Nenek yang terbungkus BH di dalam dasternya. Ketika badan Pak Wardoyo mengejang di atas badan Bu Wardoyo, dan Pak Wardoyo mengerang… uuhhh….. tanganku segera meremas payudara Nenek yang montok dan aku bisa merasakan Nenek menelan ludah, lalu kugesek-gesek kontolku yang tegang ke sela pantat Nenek.
Nenek semakin menelan ludah ketika melihat kontol Pak Wardoyo yang menggelantung lemas saat dicabut keluar dari lubang memek Bu Wardoyo dan Nenek membiarkan aku terus meremas-remas payudaranya dari luar dasternya sambil dia memandangi kontol Pak Wardoyo. Kemudian Nenek melepaskan diri dari pelukanku berjalan ke dapur.
Setelah aku pipis, aku menunggu Nenek di kamar tidur. Nenek masuk ke kamar tidur duduk di tepi ranjang.
“Nenek nggak nyangka Bu Wardoyo masih bisa….” kata Nenek perlahan.
“Apa Nenek mau seperti Bu Wardoyo…?” tanyaku.
“Ahh, Nenek sudah tua…” jawab Nenek.
“Tapi Nenek pingin, kan…? Akui sajalah, Nek…! Fauzi sudah bisa kok…”
“Hushh… masa cucu begituan sih dengan neneknya…? Sudah malam, besok Nenek mau bangun pagi, kita tidur saja, nggak usah mempersoalkan yang begituan….” kata Nenek merebahkan badannya di tempat tidur.
Kupeluk Nenek dan kucium pipinya yang sudah mengeriput. Umur Nenek sudah 61 tahun. Ketika Nenek memejamkan mata, kucium payudaranya yang lumayan montok tampak dari luar dasternya.
“Matikan lampu kamar, Zi…” suruh Nenek.
Aku turun dari tempat tidur mematikan lampu kamar, sehingga yang tersisa adalah terang yang masuk dari ventilasi jendela. Ketika aku kembali ke tempat tidur, tampak Nenek duduk dan samar-samar kulihat Nenek mengeluarkan celana dalamnya dari kedua kakinya. “Kamu nggak boleh melihat ya, Zi…?” kata Nenek. “Ayo, lepaskan celanamu…!”
Aku menanggalkan celana pendekku. Nenek berbaring kembali di tempat tidur. “Ayo, tengkurap di atas badan Nenek sini…” suruh Nenek kemudian.
Tak terpikir lagi olehku Nenek sudah tua. Aku menindih Nenek dengan kontol mengacung. Nenek menjulurkan tangannya meraih kontolku. Disibaknya bagian bawah dasternya ke atas. Nenek lalu menggosok-gosokkan kepala kontolku ke belahan memeknya.
“Masukkan pelan-pelan, Zi…!” suruh Nenek.
Kutekan kontolku perlahan ke lubang Nenek yang rasanya kesat. Kontolku meluncur perlahan masuk ke lubang Nenek. “Fauzi boleh netek nggak, Nek…?” tanyaku.
Nenek menaikkan dasternya sambil kutekan terus kontolku di lubang Nenek. Kulepaskan daster Nenek. BH-nya kunaikkan ke atas sambil kutekan kontolku sampai mentok di lubang Nenek, terus kuisap puting susu Nenek.
“Oouuhh… Zii..iii…” desah Nenek.
Kukeluarkan puting susu Nenek yang kuisap sampai menegang dari mulutku, lalu bertanya pada Nenek,: “Enak ya, Nek…?”
“Ngg… ngg…”
Kugenjot lubang Nenek walaupun terasa kesat sampai tubuh Nenek terguncang-guncang sembari kulumat bibir Nenek dengan bibirku. Nenek tidak mau kalah. Meskipun sudah tua, memek Nenek masih mampu melumat batang kontolku, hingga membuatku mengerang.
“Yaa… keluarkan, Zii…! Uuhh…. uuhh… ! Hangat… Zii… uuhhh….!” desah Nenek saat kusiram lubang memeknya dengan spermaku.
Nenek memeluk aku erat. Ketika kucabut kontolku, Nenek buru-buru mengambil celana dalamnya buat menutupi lubang memeknya yang dibanjiri spermaku.
Setelah itu, aku menjatuhkan tubuhku di samping Nenek.
Nenek turun dari tempat tidur membuka tasnya mengambil handuk kecil yang biasanya dipakai Nenek sebagai sapu tangan. Nenek membersihkan kontolku yang loyo.
“Nakal ya kamu…!” Nenek berbicara dengan kontolku. “Hampir bikin Nenek semaput….! Iicchh….!” diciumnya kepala kontolku.
Malam itu kami tidur nyenyak sekali dengan telanjang.
Tiga bulan kemudian, Bu Wardoyo meninggal dunia. Aku sedih, sangat sedih karena dia meninggalkan banyak kenangan indah buatku.
Karena Nenek sudah tidak membantu keluarga Wardoyo, Ayah mengirim aku ke luar kota untuk membantu pekerjaannya. Aku jarang pulang ke rumah Nenek, tapi tetap kuingat bagaimana nikmatnya memek Nenek saat melumat-lumat kontolku di dalamnya.