BUTA MATA, MELEK NAPSU

 

Scane 1: Tanteku Perawan

AKU kasihan dengan Tante Weni. Kacamatanya tebal sekali, padahal umur Tante Weni baru 33 tahun. Maka itu sampai hari ini ia belum menikah.

Siapa mau menikah dengan orang buta, meskipun Tante Weni itu cantik, payudaranya montok, tingginya cukup, sebab kalau kacamata Tante Weni dilepas, total Tante Weni tidak bisa melihat apa-apa, alias seperti orang buta.

Kerja Tante Weni hanya duduk-duduk saja. Mama tidak mengizinkan Tante Weni bekerja, takut ia jatuh, malah tambah repot. Maka itu, kadang-kadang bikin Tante Weni stress. Tertawa sendiri, kadang-kadang ngomong sendiri.

Suatu hari kacamata Tante Weni jatuh, lensanya lepas dari bingkainya dan untuk memperbaikinya harus dibawa ke toko kacamata.

Mama menyuruh aku bawa, alasanku aku tidak mengerti, padahal bukan itu.

Tidak lama kemudian Mama pergi ke toko kacamata, aku melihat Tante Weni berjalan meraba-raba pergi ke tempat gantungan handuk. Inilah tujuanku. “Mau mandi ya, Tan…?” tanyaku mendekati Tante Weni.

“Iya, tolong ambilin handuk aku dong, Ndri…”

“Ya, Tante tunggu aja di situ, jangan jalan dulu ke kamar mandi. Aku ambilin handuknya sekalian nanti aku anter Tante ke kamar mandi.” jawabku.

Buru-buru aku pergi mengambil handuk Tante Weni, juga mengambil seutas tali rafiah. Pintu kamar mandi aku ikat dengan posisi terbuka, sehingga Tante Weni tidak bisa menutup pintu kamar mandi. Lalu aku mengantar Tante Weni ke kamar mandi dengan jantung berdebar-debar sampai Tante Weni masuk kamar mandi.

Karena Tante Weni buta tentu akan sangat sulit baginya untuk membuka ikatan tali rafiah yang terikat erat di pintu kamar mandi.

“Ndriiii… pintuuu….!” teriak Tante Weni.

Kalau dipikir-pikir, aku ini sungguh berdosa, jika bukan untuk penulisan cerita ini, he..he..

“Pintu kamar mandi rusak, Tante…!” jawabku dari jauh.

Tetapi setelah itu aku bawa hapeku pergi ke kamar mandi. Tentu saja bunyi dering hapeku kumatikan, karena yang hendak kupakai hanya kameranya.

Kasihan juga aku dengan Tante Weni sesampai aku di depan pintu kamar mandi aku melihat Tante Weni meraba-raba mencari gantungan baju untuk menggantung kaosnya yang sudah dilepas. BH-nya yang berwarna merah kekecilan di dadanya, sehingga kelihatan buah dadanya yang mulus putih menyembul dari bagian atas cup BH-nya.

Buah dada yang masih ‘original’ belum pernah dijamah tangan laki-laki. “Sini Tan, bajunya.” kataku. Pikirku Tante Weni akan kaget mendengar suaraku di depan pintu kamar mandi, ternyata tidak.

“Masuk sini…” suruhnya.

Aku masuk ke dalam kamar mandi mengambil kaos Tante Weni dari tangannya. Setelah itu aku buang keluar dari kamar mandi. Lantai di depan kamar mandi sudah pasti bersih, karena Mama setiap hari ngepel.

Kemudian Tante Weni menurunkan celana longgar ¾-nya dari pinggang. Hufff… pantat montok berselimutkan celana dalam berwarna coklat tinggi sepinggang itu kini terpampang di depanku.

Mama tidak pernah membeli celana dalam yang mahal-mahal untuk Tante Weni, hanya celana dalam kaki lima yang dijual di depan pasar kaget (pagi buka, siang bubar).

Kembali aku buang celana itu ke depan kamar mandi. Lalu memberanikan diri memegang pengait BH-nya…

Aku seperti mengadu nasib. Bisa jadi aku diteriakin… diomelin… aku harus terima semua caci maki Tante Weni, batinku.

“Buka dong, nunggu apa lagi sih…” kata Tante Weni.

Wooalaa..aahhh… suka banget aku mendengar suara Tante Weni berkata begitu…

Thezzz… 3 pengait BH yang berderet ke bawah sekaligus aku buka! Dan Tante Weni yang menurunkan tali BH pula dari pundaknya.

Cup BH-nya yang hangat bagaikan roti fresh from oven kucium. Huu…hhhh… asem, manis, wangi rasa nano-nano…

Berikutnya, aku memeluk Tante Weni dari belakang!

“Ndriiii…!! Aku nggak mau, ya…!”

“Ayo, jerit… teriak yang kenceng…!!” kataku.

“Orang gak mau, maksa…”

“Kalo aku mau maksa Tante, sudah dari dulu… nggak usah sekarang… kelamaan… atau Tante mau lapor Mama…? Silahkan…!”

“Jangan perkosa aku…”

“Nih… perkosa…” kunaikkan kedua tanganku menggenggam kedua payudara Tante Weni yang tidak muat di telapak tanganku.

Payudara Tante Weni di telapak tanganku rasanya kenyal, lembut, berisi. Putingnya mancung besar, aerolanya hitam seperti payudara yang berisi susu segar.

“Ndriiii…! Jangan dong…”

Malah kutimang-timang kedua payudara Tante Weni di telapak tanganku dan kucium pundaknya yang telanjang, lalu kujilat-jilat keringat di lehernya sampai belakang telinganya.

“Ndriiii…! Ndriiii…! Ndriiii…! Ndriiii…! Ndriiii…! Ndriiii…! ….! …! …! …!”

Tenggelam sudah suara Tante Weni. Tubuhnya terbang melayang tinggi seperti burung walet, lepas… lemas… bersandar di dadaku sembari kedua payudaranya kugenggam.

Aku teringat sama Mama. Jika Mama tiba-tiba pulang, bisa saja Mama tidak mampir ke pasar lagi demi mata adiknya, berarti terbang melayang tinggi sudah usahaku dengan percuma.

“Kita ke kamar yuk…” ajakku.

“Mamamu pulang nanti, aku belum mandi, ditanyain lagi… mulutnya cerewet begitu…”

“Aku yang jawab nanti kalo Mama tanya… ayo…” jawabku melepaskan Tante Weni dari pelukanku, lalu mengajaknya keluar dari kamar mandi.

“Bajuku mana?”

“Nggak usah dipakai, telanjang saja…”

Sambil Tante Weni berjalan aku melihat kedua payudaranya bergoyang-goyang saling bersenggolan, huuhhh…. aku membayangkan vaginanya yang perawan sekarang, bukan teteknya lagi.

Sesampai Tante Weni di dalam kamarku, kududukkan Tante Weni di tepi tempat tidur. Kedua teteknya yang montok itu barangkali berat sehingga punggungnya tampak membungkuk.

Kuangkat tetek Tante Weni, lalu kutunduk menghisap putingnya sembari aku duduk di sampingnya. “Ndriiii…! Ngghh… Ndriiii…! Oh… Ndriiii…!” desah Tante Weni.

Penisku tegang seperti ingin mengoyak celana pendekku. “Ndriiii…! Ngghh… Ndriiii…! Ndriiii…!”

Tidak perlu aku merobohkan Tante Weni di tempat tidur, Tante Weni roboh sendiri sambil membawa payudaranya yang masih kuhisap.

Plopp… lepas putingnya dari mulutku.

Kemudian kutarik lepas celana dalam Tante Weni, iapun tidak bisa menolak dan hanya bisa berbaring terlentang di tempat tidur dengan mata terpejam seperti pingsan.

Seketika selangkangan Tante Weni menjadi telanjang.

Bulu kemaluannya yang tumbuh di bagian atas vaginanya yang putih mulus tanpa kerutan itu persis bentuknya seperti kumis Charlie Chaplin.

Kujilat vagina Tante Weni yang bentuknya seperti sepasang garis rapat berdiri itu. “Ndriiii…! Ngghh… nggghh… ngghhh… Ndriiii…! Ngghh… nggghh… ngghhh… Ndriiii…! Ngghh… nggghh… ngghhh… oh…! Ngghh… nggghh… ngghhh… ooooooooooohhhh…!” lenguhnya panjang.

Diam!

Sepi!

Sunyi!

Apa yang terjadi?

Mata Tante Weni melotot seperti nyawanya sedang menghadap sakratul maut saat ia orgasme. Ini mungkin baru pertama kali ia orgasme seumur hidupnya.

Tunggu ia siuman, kapan… tanyaku dalam hati.

Kulepaskan celana pendekku, lalu naik ke tempat tidur dengan penis terkokang, kemudian aku berlutut di antara kedua paha Tante Weni yang terbuka (aku suka dengan gaya bersetubuh seperti ini. Maka itu dibanyak tulisanku sering terdapat gaya bersetubuh seperti ini, harap tidak bosan – pen).

Lantas kusumbat lubang vagina Tante Weni dengan kepala penisku. “Ndriiii… jangan langsung, aku belum pernah…!”

“Iya, sayang…”

Kutekan penisku, kutarik sedikit, tekan lagi… tarik-tekan-tarik-tekan… sehingga kepala penisku pun terbenam dan terjepit oleh lubang vagina Tante Weni yang sempit.

“Sakit…?”

“Nggak… nyeri… ngilu dikit…”

Kudorong lagi… sampai ¼ batang penisku masuk, akupun menindih Tante Weni dan mencium bibirnya. Saat itu aku bisa merasakan nafsu birahi Tante Weni menggelepar-gelepar yang selama ini ditahan-tahannya, mungkin Mama tidak mengajarinya cara masturbasi.

Tante Weni menyedot lidahku. Kulumat bibirnya yang tipis merekah merah delima itu. Kulepaskan, kupagut lehernya, terus kujilat ketiaknya yang basah berkeringat, selanjutnya… slurpp…slurppp… kutekan penisku lebih kuat masuk ke lubang vaginanya.

“Aggghhh…!!” jerit Tante Weni tertahan.

Mungkin jeritannya itu menandakan bahwa keperawannya sudah pecah… dipecahkan oleh keponakannya sendiri. Entah bagaimana kalau ketahuan Mama… bodo amat, kataku dalam hati, resiko belakangan!

Bleeesss… ekkk…

“Arrrggghhhhhh….”

“Jeritlah sepuasmu…” kataku. “Kontolku sekarang sudah ditelan semua sama memekmu…”

“Jahat…!”

“Jerit lagi aja lebih keras…” kataku mulai tarik-dorong-tarik-dorong-keluar-masuk penisku yang sekeras dan sebesar tongkat satpam itu.

Setiap sodokan penisku membuat Tante Weni menjerit nikmat. “Ahhh… ngg… ahhh… ngg…”

“Enak, ya…?”

“I…iya, masukin yang dalam kayak tadi..” rengeknya manja.

Kusodok terus lubang vagina Tante Weni yang sudah bisa beradaptasi dengan gerakan penisku itu, sehingga lubang sempit kecil tersebut mulai basah dan licin mengeluarkan enzim nikmatnya.

“Ahhh… ngg… ahhh… ngg…”

“Berisik!”

“Enak sih, masa gak boleh orang bersuara?!!”

“Ahhh… ngg… ahhh… ngg…” Tante Weni boleh terus melenguh, tetapi tubuhku sudah mulai mengejang, air maniku siap menerjang rahim Tante Weni.

Kukocok penisku lebih cepat di lubang vagina Tante Weni, plokk… plokk… plokk… plokk… plokk… plokk…

“Ahh… ahhh… ahh… ahh.. ahh…” riuh rendah suara rintihan Tante Weni sembari kedua teteknya meloncat naik-turun bertabrakan… uuuhh… erotis banget dah kalo kalian bisa lihat… lupa ku-video-in buat kalian nonton…

Crroooooootttt…. crrroooootttt… crrrooottttt… crrrooottttt….

“Ooohhhh…” erang Tante Weni.

Crroooooootttt…. crrroooootttt… crrrooottttt… crrrooottttt….

“Oohhh… ooohhh…”

Crroooooootttt…. crrroooootttt… crrrooottttt… crrrooottttt….

Sempat aku menyesal juga saat tubuhku sudah terkulai lemas di atas tubuh Tante Weni yang sexy.

“Mau jadi istriku?”

“Memang bisa…?”

“Bisa aja, tinggal lo jawab, mau apa kagak…” jawabku pakai bahasa lo gua.

“Sudah, nanti mamamu pulang?”

“Boleh lagi nggak lain kali?”

“Iya…”

Selanjutnya, apa yang kulihat di penisku yang masih setengah tegang itu? Penisku berlumuran darah segar bercampur air maniku. Demikian juga cairan yang mengalir keluar dari lubang vagina Tante Weni yang sudah bolong, darah segar dan air maniku.

Buru-buru aku mengambil banyak tissu membersihkan vagina Tante Weni biar ia tidak tahu vaginanya berdarah-darah. Setelah bersih dan tidak keluar darah lagi, baru aku menariknya bangun.

Aku memandikannya, sehingga ia jongkok kencingpun sudah tidak malu denganku lagi. Aku mengeramas rambutnya. Vaginanya kucuci dengan cairan konsentrat daun sirih punya Mama.

Aku mengeringkan tubuh telanjangnya dengan handuk. Memakaikan BH-nya dan celana dalamnya kulapisi dengan pembalut karena takut vaginanya berdarah lagi. Kukenakan pakaian yang bersih.

Tante Weni senang bukan main. Wajahnya cantik cerah berseri-seri mendapat pengalaman baru ngentot dengan keponakannya.

Beruntung Mama pulang dari memperbaiki kacamata Tante Weni, Mama tidak curiga melihat adik bungsunya itu.

Tante Weni memakai kacamatanya. Wajahnya kulihat semakin cantik dan karena ia sudah bisa melihat wajahku, rasanya ia ingin berlari memeluk aku, tetapi tidak berani.