Cerita Panas Di Rumah Duka
Di Rumah Duka
PAPA mertua dari kakakku meninggal dunia. Sudah lama almarhum menderita stroke. Usianya 60 tahun. Malamnya Papa, Mama, aku dan adikku Hardi pergi ke rumah duka.
Banyak tamu yang datang melayat, sehingga Papa, Mama dan aku langsung turun tangan membantu kesibukan di rumah duka, entah mengantar kue dan makanan kecil ke meja tamu atau membersihkan meja yang kotor.
Malam itu yang tidak henti-hentinya membuatku selalu memandang pada dirinya adalah kakak dari kakak iparku. Namanya Inge.
Wanita berumur 30-an ini sudah bersuami dan mempunyai 2 orang anak yang masih kecil.
Wajahnya biasa-biasa saja, tinggi sekitar 165 sentimeter. Namun yang membuat aku tergoda adalah dengan sepasang payudaranya yang menggantung berat di BH-nya yang longgar terlihat dari kaos putih tipis yang dikenakannya.
Jika tidak ada kedukaan, pasti akan membuat setiap mata lelaki serius memandang sepasang payudara itu. Besar, tidak besar. Montok, juga tidak montok, tetapi gumpalan daging kenyal itu kelihatan seperti berat sekali. Menggantung dengan sexynya di dada Inge.
Aku dan Inge jarang bertemu. Aku menjadi dekat dengan Inge karena aku ikut turun tangan membantu kesibukan keluarganya melayani para tamu yang datang melayat.
Jam 9 malam para tamu yang melayat mulai berkurang. Papa dan Mama juga sudah mau pulang, tetapi aku tidak dizinkan pulang oleh Mama. Aku diminta untuk menjaga di rumah duka.
Kakakku dan kakak iparku punya bayi tidak bisa menjaga. Mama mertuanya juga lagi sakit. Ternyata Inge ikut menjaga, sedangkan suaminya dan kedua anaknya pulang.
Inge tugasnya harus memasang hio terus menerus di depan peti jenasah ayahnya supaya bisa menyala sepanjang hari sepanjang malam untuk menerangi perjalanan almalhum ayahnya menuju nirwana.
Selain aku dan Inge yang menjaga, masih ada saudara jauh Inge yang bernama Andri dan seorang tetangga Inge yang ikut menjaga. Mereka berdua menjaga karena dibayar oleh keluarga Inge.
Kami berempat lalu ngobrol sambil makan kacang dan kwaci bercampur kopi hitam. Tapi menjelang jam 12 tengah malam, Andri terkapar duluan di kursi. Tetangga Inge yang bernama Rahmat, juga sudah setengah terkantuk-kantuk.
Mataku juga sudah terasa berat. “Sana tidur!” suruh Inge padaku. “Di kamar saja!”
Inge menyuruh aku tidur di kamar, karena rumah duka menyediakan satu kamar tidur lengkap dengan tempat tidurnya untuk keluarga yang menyewa rumah duka.
Inge beres-beres meja saat aku pergi ke kamar. Tapi di rumah duka begini mana aku bisa tidur pulas? Bau hio yang berembus masuk ke kamar karena pintu kamar terbuka lebar juga ikut mengganggu pernapasan.
Jadi aku sadar saat Inge masuk ke kamar dan ia berbaring di sampingku pada sebuah tempat tidur yang berukuran 1 meter.
“He, nggak bisa tidur?” ia mencolek pipiku dengan tersenyum.
Entah datangnya dari mana keberanianku saat itu. Aku memeluk Inge. Inge sama sekali tidak menolak dan melawan. Ia malahan merapatkan tubuhnya ke tubuhku di ruangan ber-AC dengan suhu sekitar 22 derajat itu.
Jenasah ayahnya yang berbaring kaku di peti mati kami tinggalkan. Bibir kami segera saling berpacu dalam kenikmatan.
Ludah dan lidah kami bersatu. Inge seolah-olah lupa dengan suami dan kedua anaknya ketika tanganku meremas payudaranya yang aku sukai itu.
Sungguh aku tidak menyangka kalau aku bisa bercinta dengan Inge. Bukan di kamar hotel, buka di villa, melainkan di kamar rumah duka.
Jilatan demi jilatan aku layangkan pada vaginanya dan sekali-sekali mulut Inge menghisap penisku. Lubang vaginanya menjadi rumah buat lidahku berteduh.
Saya kitari, saya tusuk lubang itu sampai Inge menjerit tertahan. Napasnya tersengal. Belum sempat lidahku menjelajahi klitorisnya, Inge sudah menarik aku ke tubuhnya yang setengah telanjang.
Penisku ditekannya ke lubang vaginanya. Lubang vagina Inge sudah tidak kencang, tapi baunya menempel terus di mulutku. Memang bau sekali vagina Inge. Bau ikan asin. Lalu aku segera menggerakkan pinggulku maju-mundur. Penisku menggesek-gesek dinding vagina Inge.
“Oouugg… anjrit… enak banget sayang, penismu…” rintih Inge.
Aku semakin memompa. Kulit payudara Inge yang mulus putih aku hisap hingga penuh dengan tanda hisapan bibirku. Demikian juga dadanya dan lehernya.
Entah bagaimana kalau nanti tanda-tanda merah itu ketahuan oleh suaminya. Aku tidak memikirkannya.
Vagina Inge bertambah becek. Di luar kamar sangat sepi, padahal di samping kiri kanan rumah duka juga ada jenasah, sehingga suara pompaanku bisa kedengaran dengan jelas.
Mungkin Andri dan Rahmat sudah tertidur sangat pulas di kursi.
Aku masih terus memompa vagina Inge. Payudaranya menjadi bulan-bulanan permainan tanganku dengan mulutku bergantian.
Akhirnya Inge menjerit panjang. “Ooouuuggggggg…. Rudolffffff…. sssshhett… aaahhhh… nikmatnya Rudolffff….”
“Orgasme kamu?” tanyaku.
Inge mencubit pipiku. “Nggak sangka ya?” ia bertanya padaku.
“Memang..” jawabku tidak ingin buru-buru mencabut penisku dari vaginanya.
Tapi kemudian pantat Inge menggeliat. “Rasakan…” katanya ketika vaginanya melumat penisku.
Penisku seperti mau patah, sehingga semakin dalam saja aku menusuk lubang vagina Inge. Tidak lama kemudian tubuhkupun mengejang.
“Ooouffff…” Inge mengeluh pada saat spermaku menembak kuat di rahimnya.
“Jadilah bayi untukku, sayang…” kataku melepaskan penisku dari vagina Inge yang digenangi oleh cairan spermaku.
Inge meloncat turun dari tempat tidur mengambil tissu membersihkan vaginanya. Aku memeluk Inge dari belakang dan sekali lagi aku menghujamkan penisku ke vaginanya dari arah belakang.
Aku entot Inge tidak memikirkan jenasah ayahnya. Ia terjerembab ke lantai ketika orgasme untuk yang kedua kalinya. “Sudah… sudahhh…” katanya, tapi aku masih menggenjotnya sembari ia tertelungkup di lantai
Sekitar 5 menit, akhirnya spermaku menggenangi vagina Inge lagi untuk yang kedua kalinya. Jam 5 pagi, mobil suaminya datang menjemput Inge pulang.
Apa yang terjadi di rumah tangga Inge di kemudian hari aku tidak tahu sampai jenasah ayahnya dikremasi, Inge tidak bertegur sapa dengan aku, kecuali tersenyum.
Tapi ia membalas WA-ku. “Saya juga mencintaimu, Rudolf. Kapan waktu kita bertemu lagi, yah…” katanya.