CERsex KISAH PETUALANGAN SURADI
Suradi adalah seorang pengusaha kecil yang sedang menggeliat menjadi pengusaha menengah. Lahir di Garut, besar di Bandung dan kini tinggal di Cimahi. Secara umum dia adalah lelaki biasa yang sederhana, memiliki seorang istri dan satu orang anak laki-laki. Semua kisah yang ada dalam cerita ini sepenuhnya fiktif. Kesamaan nama, tempat dan kejadian bukan tidak disengaja. Tetapi anda harus yakin bahwa itu hanyalah rekaan penulis semata.
OM, MINTA PULSA DONG!
1 Suradi, kontraktor kelas teri yang sehari-hari tinggal di Kota Cimahi, berhasil mendapatkan tender kelas kakap di Kabupaten Bandung. Setelah proyek berjalan seminggu, dia merasa sangat kecapean. Setiap hari dia harus menempuh 2 X 2,5 jam perjalanan dengan mobil pick up bututnya yang sudah loyo. Dia mengeluh badannya pegel dan kepalanya sakit. Setelah berhitung dengan cermat dan berdiskusi dengan istrinya, maka dia memutuskan mengontrak sebuah kamar sederhana yang lokasinya tidak jauh dari proyek yang sedang dikerjakannya. Kamar yang dikontraknya terletak di tengah-tengah perkampungan yang sangat padat penduduk. Setiap hari ke proyek, dia pergi dan pulang berjalan kaki. Selama hampir dua minggu, setelah tersesat dan nyasar beberapa kali, akhirnya dia menemukan jalan terpendek dari kamar kontrakannya menuju lokasi proyek. Dia tidak lagi melewati gang-gang lebar yang bisa di lalui motor, tapi dia melalui gang-gang kecil yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Jika dia berjalan melalui gang-gang yang lebar, waktu tempuhnya sekitar 20 menit berjalan kaki cepat. Tapi jika dia menempuh gang-gang kecil itu, dengan berjalan santai dapat ditempuh dengan waktu 10 menit. Setiap pagi dan sore, dia dengan puluhan pejalan kaki lainnya melewati gang kecil itu hingga tiba di ujung gang yang besar. Dari gang besar itu lokasi proyeknya sudah terlihat, dia tinggal menyebrangi jalan kabupaten, sampailah dia di lokasi proyek. Baru saja seminggu menjadi pelanggan gang-gang kecil itu, banyak kenalan yang dia dapat. Dari buruh pabrik sampai tukang es cendol. Suradi merasa gembira . 2 Hari itu Suradi bangun kesiangan. Semalam dia pulang larut karena kiriman barang telat dan dia juga harus menyelesaikan administrasinya. Dia berangkat dari rumah kontrakannya jam 10. Saat melangkah di sepanjang gang kecil itu, dia merasa agak aneh karena suasananya yang lengang. Tak ada buruh pabrik yang berjalan tergesa, tukang es cendol yang santai mau pergi ke pasar, emak-emak yang berjalan sambil bergunjing… tidak ada. Sepanjang gang itu sepi. Ketika Suradi melewati gang yang paling kecil, di teras sebuah rumah dia melihat ada seorang cewek sedang duduk sambil bermain HP. Dia duduk dengan ke dua kakinya naik ke atas kursi dan agak mengangkang. Kedua tangan cewek itu ada di atas pahanya. Kesepuluh jari jemarinya sedang asyik menari-nari di atas screen HP sambil senyam-senyum. Sebetulnya, dia mengenakan rok yang panjang, tapi entah bagaimana lapisan rok bagian atasnya hanya menutup 3 cm di bawah lututnya. Itu berarti 95% betisnya tak tertutup. Suradi adalah lelaki normal. Usianya baru 38 tahun. Sejenak dia menghentikan langkah, melirik dengan ujung matanya, menikmati betis dan paha putih bersih yang mulus serta celana dalam berwarna kuning pias tanpa motif. Di tengah-tengah pucuk celana dalam itu ada sebuah belahan sepanjang 3 atau 4 cm yang terlipat dan terselip. Dia melihat dengan jelas lipatan belahan itu basah, soalnya jarak dia dengan cewek itu paling jauh juga 2 meter. Tiba-tiba Suradi melihat satu tangan cewek itu bergerak ke arah belahan celana dalamnya dan jarinya menggosok-gosoknya. Cewek itu mendadak sadar ternyata ada orang yang berjalan di gang depan rumahnya. “Maaf. Permisi.” Kata Suradi. Mata cewek itu melotot. Tapi Suradi merasa aneh, walau pun cewek itu melotot tapi kelihatannya tidak benar-benar marah. “Om, ngintip ya.” Tuduhnya. “Enggak.” Kata Suradi gugup. “Saya cuma tak sengaja ngelihat…” “Wew!” Kata cewek itu sambil menjebikan bibirnya dan masuk ke dalam rumahnya. 3 Dua hari setelah kejadian itu, Suradi pulang agak malam, sekitar jam 9. Dia melewati rute yang sama dan ketika menemukan gang yang paling kecil itu, dari arah sebaliknya, dia melihat cewek itu sedang berciuman dengan seorang cowok yang kemungkinan besar adalah pacarnya. Suradi merandek. Dia melihat cowok itu selain menciumi mulut cewek itu dia juga mengoles-oleh belahan celana dalam si cewek dengan asyiknya. “Udah ah.” Kata si cewek. “Ah terus ah.” Kata si cowok. “kalau terus digituin, neneng ga kuat aa.” “Ga kuat pengen ya.” Si cewek yang bernama Neneng itu menjebikan mulutnya. “Sok tahu ah.” Katanya. “Ke belakang yuk?” Ajak si Cowok. “Mau ngapain?” “Nih pegang kontol aa udah ngaceng, memek neneng juga udah basah… yuk ke belakang.” Si Neneng tidak menjawab. Tapi Suradi melihat mereka berjalan dengan hati-hati ke gang di sebelah rumahnya yang sempit dan gelap. 4 Keesokan harinya, Suradi berangkat agak siang. Ketika melewati gang kecil itu, dia melihat Neneng sedang duduk sambil bermain HP. “Permisi.” Katanya. Tapi Neneng tidak menjawab. Setelah melangkah beberapa meter, tiba-tiba cewek itu memanggilnya. “Eh, Om, sebentar.” Katanya. Suradi menghentikan langkahnya. “Ada apa, ya?” “Om, punya internet ga? tetringin sebentar aja. Kuota Neneng habis.” Katanya. “Kebetulan, kuota Om juga habis. Ini mau cari pulsa ke depan.” “Jangan ke depan Om jauh, di belakang juga ada yang jualan pulsa.” Kata Neneng, “Lewat sini Om, tapi Neneng juga dibeliin ya Om, yang 10 ribu aja.” “Boleh. Kemana jalannya?” Neneng kemudian menuntun Suradi menyusuri gang yang sangat sempit itu, ke luar dari gang sempit itu mereka memasuki halaman belakang sebuah rumah yang tak terawat. Dari situ ada gang sempit lain yang menuju gang besar yang bisa di lalui motor. Di gang besar itulah ada penjual pulsa. Dia membeli pulsa untuk dirinya sendiri dan untuk Neneng, dia membelikan pulsa 20 ribu. Neneng melonjak gembira. Mereka kembali melalui rute semula setelah pulsa berhasil masuk, ketika berada di halaman belakang rumah yang tak terawat itu, Suradi tak sengaja menginjak kerikil sehingga dia hampir terjatuh, tangannya gelagapan mencari pegangan. Tak sengaja dia meraih tangan Neneng dan berhasil menyeimbangkan diri. “Maaf.” “Ga pa pa, Om.” “Terimakasih neneng yang cantik.” Dipuji begitu, wajah Neneng yang putih menjadi kemerahan. “Neneng yang harusnya makasih udah dibeliin pulsa.” “Sama-sama deh kalo begitu.” Kata Suradi. “Om mau pergi kerja ya?” “I ya. Ini udah kesiangan.” “Kerja di mana Om?” “Di proyek di depan.” “Om, udah punya istri belum?” “Udah. Memang kenapa?” “Mmm… enggak… Om kemarin ngintip neneng waktu main HP ya?” “Enggak, kebetulan lewat aja.” “Tapi ngeliatin celana dalam neneng kan?” “I ya. Emang kenapa? Kan Om punya mata.” “I ya tapi waktu itu mata Om kayak orang melotot?” “Ah, masa?” “Kirain Om marah.” “Masa Om marah sih? Gemes malahan … eh.” Suradi kaget dengan apa yang dikatakannya secara spontan. “Gemes? Maksudnya apa itu Om?” “Enggak… maksudnya… maksudnya… ” Melihat Suradi gugup, Neneng malah tertawa cekikikan. “Udah deh Om ga pa pa. Neneng cuma becanda.” 5 Selama satu minggu, Suradi pergi ke beberapa kota untuk menemukan bahan baku terbaik dan termurah untuk pelaksanaan proyek tersebut. Meskipun deal sudah dilakukan sebelumnya melalui HP, namun Suradi punya kebiasaan untuk melakukan pengecekan secara langsung. Setelah kembali ke kamar kontrakannya, Suradi melakukan aktivitasnya seperti biasa. Pergi pulang jalan kaki. Sore itu, ketika dia pulang melewati gang kecil itu, Neneng ada di teras dengan mengenakan pakaian seragam putih abu. “Kamu tuh kerjaannya minta pulsa melulu.” Suara seorang perempuan terdengar nyaring. “Mamah… 10 ribu aja.” “Ga ada!” Terdengar pintu dibanting. Neneng terduduk diam di teras ketika Suradi lewat persis di depannya. Suradi tersenyum. “Eh, Om ke mana aja?” “Ada. Cuma engga lewat sini.” Suradi berbohong. “Om, minta pulsa dong.” “Boleh. Berapa?” “10 ribu aja.” “Itu tadi ibumu ya?” “I ya itu mamah.” “Pulsanya transferin aja Om.” “Om ga bisa nransfernya. Sama neneng aja nih.” Kata Suradi sambil memberikan HPnya. “Eh, Om masuk dulu. Mau neneng bikinin kopi?” “Jangan, ga usah.” Suradi masuk ke teras dan duduk di samping Neneng. “Om pulsanya banyak banget. Boleh ya minta 20 ribu?” “Jangankan 20 ribu, semuanya juga boleh.” “Beneran?” “Bener.” “Serius?” “Serius.” “Ya, udah, kalau gitu 50 ribu aja ya? Ga pa pa kan Om?” “Ga pa pa.” Kata Suradi, agak meringis. “Om, kenapa meringis?” “Ini, neng, Om dari tadi nahan pipis.” “Ke kamar mandi aja, apa susahnya.” “Wah, jangan, nanti ibumu gimana?” “Mamah udah pergi kerja, barusan lewat jalan belakang.” “Bapak?” “Belum pulang, nanti jam 10 malem.” Suradi memasuki rumah yang sederhana itu dan menemukan kamar mandinya yang terletak di belakang. Selesai kencing, dia keluar kamar mandi dan melihat Neneng masuk ke dalam rumah. “Udah belum?” “Udah, Om.” Kata Neneng. “Om waktu Om dulu bilang gemes itu maksudnya pengen nyolek ya? Jawab yang jujur ya Om.” “Itu… maksudnya… bukan… tapi Om pengen…” “Pengen apa?” “Mmmm….” “Om mau lihat lagi ga?” Suradi terdiam. Neneng tiba-tiba duduk di kursi sofa dan menyingkapkan roknya, dia lalu membuka lebar ke dua pahanya. Terlihat celana dalamnya yang putih. “Lihat Om sini, yang deket.” Suradi mendekat dan membungkuk. “Gemes ga Om?” Suradi mengangguk. “Sekarang kalo udah gemes, pengen apa?” “Pengen… pengen… ngejilatin. Boleh ga?” “Engga boleh. Harus di kamar.” Kata Neneng terkikik. Neneng pergi ke kamar diikuti Suradi. Dia melepaskan rok dan celana dalamnya sekaligus. Dia lalu berbaring di ranjang dan membentangkan ke dua pahanya. Suradi tahu Neneng sudah tidak perawan. Tapi benda mungil di hadapannya memang lucu dan menggemaskan. Kedua jari jemari Suradi membekap buah pantat Neneng yang kenyal. Sambil berlutut, dia mendekatkan wajahnya ke arah benda mungil yang indah itu. Dengan kedua jempolnya, Suradi mencoba membeliakkan bibir-bibir itu agar terbuka lebih lebar. Lubang yang sempit, klitoris yang genit mengintip, bibir-bibir labia minora yang kemerahan… Selalu membuat Suradi terpesona. Dia menatap semuanya itu dengan penuh kekaguman. “Ini adalah memek remaja yang indah.” Katanya dalam hati. Pelahan dia menjilatinya secara sistematis. Dari bawah dekat lubang pantat, menyisir ke pinggiran paha, terus naik ke pubis yang dijembuti bulu-bulu halus. Setelah itu dia menyisir bibir-bibir bagian luar sekelilingnya, lalu bagian dalam… clitoris yang sedang mengintip malu-malu itu dilahapnya dengan lembut, digoyang-goyangkan dengan lidahnya… lalu dia menjulurkan lidahnya, menyusupkannya ke dalam liang memek yang masih sempit itu. Suradi tentu saja mendengar Neneng mengerang-erang seperti orang kesurupan. Tapi Suradi tidak peduli. Dia terus melakukan itu sampai Neneng merintih-rintih meminta kontolnya dimasukan. “Om… kontol..Om.” Kontol Suradi tentu saja sudah menegang dari tadi. Dia melepaskan pantalon hitam beserta celana dalamnya sekaligus. Dia memasukan kontolnya pelahan agar dapat menikmati denyar-denyar liang memek Neneng yang hangat. Pelahan Suradi membenamkan seluruh batang kontolnya sampai habis. Menahannya sebentar. Kemudian menggenjot naik turun pelahan, lalu cepat, pelahan lagi… tahan dulu. Dia ingin merasakan denyutan-denyutan itu. Dia menggenjotnya pelahan, lalu agak cepat, lalu cepat… Suradi bisa merasakan letupan itu. Ketika Neneng mengerang setengah menjerit dan tubuhnya gemeteran seperti orang terkena penyakit ayan. Sebelum Suradi akhirnya meledakan spermanya di dalam memek Neneng, dia melakukan genjotan terakhir dengan kecepatan tinggi. Ugh!!!! Crot… crot… serrrr… serrr… serrrr 6 Selama 9 bulan mengerjakan proyek itu, entah berapa kali Suradi mengentot Neneng. Dia lupa. Tapi minimal 1 minggu 1 kali, kadang 2 atau 3 kali. Suradi merasa bersyukur Neneng tidak hamil karena dia selalu ngecrot di dalam. Suradi tak pernah pelit jika Neneng meminta uang. Apalagi yang dimintanya tidak banyak, paling 500 ribu. Tapi dia pernah minta 1 juta, Suradi memberinya sambil tersenyum. Beberapa bulan setelah proyek itu selesai dan kembali ke Cimahi, Suradi pernah merasa sangat kangen kepada Neneng. Dia pernah 1 kali datang ke rumah itu tapi ternyata Neneng sudah menikah dan pindah ke tempat lain. Tapi Suradi tidak kecewa. Biasa saja. Petualangan lain akan selalu ada menunggunya.***
MA..MAAFKAN SAYA, BOS… INI BUKAN SALAH SAYA…
1 Suradi adalah seorang kontraktor kecil yang tinggal di Cimahi, sekarang usianya sudah menginjak 40. Istrinya lebih tua 5 tahun darinya dan mengajar di sebuah SMP Negeri yang terletak tidak jauh dari rumah. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki, Reyhan 17 tahun, yang bercita-cita ingin menjadi musisi. Reyhan sekarang duduk di kelas 11 sebuah SMA Swasta yang cukup ternama di Bandung. Suradi dikenal oleh anak buahnya sebagai bos yang kalem dan tenang. Dia sangat loyal terhadap anak buahnya dan tidak pernah mengingkari janji, baik soal upah atau janji-janji kecil yang diucapkannya. Suradi tahu persis bagaimana mengatur dan mengelola anak buahnya, dengan pendekatan seperti bapak kepada anak-anaknya. Hal itu mungkin dikarenakan Suradi tahu benar bagaimana rasanya menjadi seorang kuli. Suradi sendiri pernah mengakui bahwa dia meniti karirnya benar-benar dari bawah. Begitu lulus STM (Sekarang SMK) Tehnik Bangunan, dia langsung ikut bekerja bersama ayahnya menjadi kuli bangunan, untuk membantu meringankan biaya sekolah adik-adiknya. Bertahun-tahun jadi kuli, dia kemudian menjadi mandor dan berihtiar menjadi pemborong kecil-kecilan. Setelah menikah dengan Iis Sukaesih, Suradi mendirikan perusahaan sendiri. Dan rajin mengikuti berbagai tender, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah, swasta maupun BUMN. Bahkan dia juga menerima pekerjaan borongan dari perseorangan yang umumnya bernilai tidak pernah lebih dari 500 juta. Prinsip Suradi sederhana, apa pun pekerjaannya, kalau bisa dia kerjakan dan ada lebihnya, pasti digarap. Suradi tidak pernah pilih-pilih pekerjaan. 2 Siang itu Suradi baru saja tiba dari Bandung bersama anak buah kesayangannya Ugi, ketika seorang laki-laki berkacamata tebal berusia sekitar 58 tahun, namanya Pak Joni, mendatangi kantornya dan memintanya melakukan renovasi rumah dengan nilai kontrak sebesar 100 juta. Tanpa ba bi bu lagi, Suradi menyanggupi dan langsung pergi ke lokasi untuk melakukan survey. Pak Joni menginginkan rumahnya yang besar itu direnov menjadi rumah kost-kostan yang nyaman, baik untuk yang indekost maupun untuk dirinya sendiri. Sambil berjalan pelahan mengelilingi dan meneliti rumah itu, Suradi mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan keinginan kliennya dengan serius dan penuh perhatian. “Untuk saya dan istri, tidak perlu tempat yang luas. Cukup satu kamar tidur, ruang tamu yang kecil, ruang tengah sederhana untuk nonton TV, dapur yang luas yang sekaligus berfungsi sebagai ruang makan dan kamar mandi. Sisanya untuk kost-kostan semua.” Kata Pak Joni. “Bagaimana kalau nanti anak-anak Pak Joni datang dan akan menginap, apakah…” Kalimat Suradi dipotong oleh Pak Joni. “Tidak. Itu jangan dipikirkan. Mereka sudah bertebaran jauh, ada yang ke Papua, Kalimantan bahkan di Singapura. Mereka beberapa kali ke sini tapi selalu menginap di hotel.” “Oh, begitu, Pak. Baiklah. Saya akan melakukan pembuatan partisi gypsum untuk pembentukan kamar-kamar dan pembuatan 2 kamar mandi tambahan. Bapak juga harus mengosongkan berbagai perabotan yang ada di sini… bisa kami lakukan dengan tambahan biaya sedikit. Sedangkan untuk perbaikan pagar dan perbaikan halaman samping menjadi tempat parkir motor, saya khawatir tidak masuk dalam kalkulasi 100 juta, mungkin ada tambahan sekitar 10 atau 15 juta. Besok saya akan datang lagi membawa peralatan gambar dan rincian biaya, kalau bapak setuju, lusa kita bisa tanda tangan kontrak biar masing-masing merasa nyaman. Bagaimana?” Kata Suradi. “Setuju, itu bagus sekali. Kira-kira pengerjaannya berapa lama ya?” “Paling lama 20 hari kerja, empat minggu. Saya punya 10 orang pegawai yang cakap dan berpengalaman, saya juga punya peralatan yang memadai. Dijamin hasilnya baik dan tepat waktu.” Kata Suradi dengan tegas dan meyakinkan. “Uang mukanya?” “25%, sisanya dibayar paling lambat 5 hari kerja setelah serah terima barang.” “Oke.” 3 Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Suradi bersama anakbuahnya, Ugi dan Tono, mendatangi rumah itu dengan membawa peralatan gambar dan meteran. Karena pintu rumah masih dikunci, mereka melakukan pengukuran pertama di halaman depan dan samping sambil menunggu penghuninya ke luar. Tiba-tiba, datang dari arah pintu gerbang seorang perempuan STW semok membawa kantung kresek yang menggembung. Dia memakai baju piyama ketat dan tipis, sehingga belahan pada pantatnya demikian jelas tercetak. “Wah, bapak-bapak sudah pada datang. Maaf saya baru dari warung membeli kopi.” Katanya. “Saya bu Joni. Bapak belum bangun ya?” “Mungkin belum, Bu. Tadi saya ketuk-ketuk, tapi pintu enggak ada yang buka. Jadi kami melakukan pengukuran di luar dahulu.” Kata Suradi. Dia menatap Bu Joni langsung ke matanya dan merasakan ada sesuatu yang nakal di sana. “Saya ke dalam dulu, ya.” “I ya,bu. Silakan.” “Wuih!” Kata Tono, mandor senior yang sudah punya 2 cucu ini meleletkan lidahnya. “Busyet bener itu bodi.” “Dia gak pake CD.” Kata Ugi. Sepasang matanya tampak masih nanar menyaksikan pemandangan yang baru saja lewat. Remaja 18 tahun yang sudah ikut dengan Suradi selama 2 tahun, semenjak lulus SMP itu, sepertinya terkesima. “Sudah. Ayo kerja lagi.” Kata Suradi datar. Sepanjang pagi hingga siang, Suradi sibuk membuat gambar denah di ruang tengah dengan wajah serius. Sementara Bu Joni bolak-balik melewati ruang tengah itu dan mencuri-curi pandang kepadanya. Suradi pura-pura tidak tahu. Beberapa kali Bu Joni mendekati Suradi, dengan sangat dekat, untuk melihat gambar-gambar yang masih setengah jadi dan berkomentar memuji. Suradi sengaja menggoda STW itu dengan pura-pura tak sengaja menyentuh beberapa bagian sensitifnya. Bu Joni tampaknya menyukainya. Bahkan Bu Joni seperti sengaja menyentuhkan kedua nenen pepayanya untuk menyentuh-nyentuh pundak Suradi. “Kalau bukan istri klien, pasti sudah kusikat saat ini juga.” Kata Suradi dalam hati. Siangnya, gambar-gambar itu sudah selesai beserta perhitungan biayanya. Suradi mengajukan perubahan menjadi 115 juta. Pak Joni setuju. “Baru melihat gambarnya saja istri saya sudah sedemikian senang, biasanya dia bersikap agak cemberut… tapi sekarang, lihatlah… dia mau sedikit berdandan dan sikapnya sangat riang.” Kata Pak Joni. Suradi hanya tersenyum biasa saja. 4 Setelah kontrak ditandatangan, Suradi beserta anak buahnya langsung bekerja. Pada minggu pertama, mereka memprioritaskan pemenggalan ruangan untuk membentuk kamar tidur, ruang tengah dan ruang tamu mungil yang menghadap ke halaman belakang untuk tempat tinggal pasutri tersebut. Pada minggu ke dua dan ketiga, mereka membongkar garasi dan membuat partisi kamar-kamar sesuai dengan denah rencana. Pada minggu ke 3 ketika semua rencana gambar telah berhasil diwujudkan, Pak Joni mengundangnya makan siang dan mengucapkan terimakasih atas pekerjaan Suradi yang efektif dan efisien. Dia sangat puas dengan hasil kerjanya. “Kepppuasssan… itulah moto kami.” Kata Suradi. Dia mengerling sejenak ke arah Bu Joni yang sedang berdiri di belakang suaminya. Orang yang diberi kerlingan memberikan senyum seribu arti. “Untuk pembayaran, kami sudah mempersiapkan sisanya sesuai dengan perjanjian. Begitu selesai, kami bayar. Hanya saja…” Pak Joni menghentikan kalimatnya. “Hanya saja, apa pak?” “Istri saya agak mengeluh mengenai penataan perabotan di sini… lihat, masih berantakan kan? Belum perabotan-perabotan di luar yang kelihatannya tidak bisa masuk lagi ke dalam tempat kami yang mengecil ini…” “Tenang, Pak. Saya bisa atur. Saya akan suruh Ugi untuk membantu.” Kata Suradi. “Kapan mulainya ya Pa?” Tanya Bu Joni, suaranya terdengar manja. “Oh, secepatnya,Bu.” Jawab Suradi sambil tersenyum. Sore itu, ketika anak buahnya membereskan peralatan kerja mereka, Suradi memanggil Ugi dan membawanya ke halaman belakang. “Kita akan bantu bu Joni beres-beres.” Katanya. “Siap, Bos.” Jawab Ugi, nadanya riang. “Bos kalau boleh tahu, kira-kira berapa ya umurnya Bu Joni?” Suradi menatap Ugi dengan kening berkerut. “Maaf, bos, jika pertanyaan saya lancang.” Ugi tampak rikuh. “Umurnya mungkin sekitar 50-an…” Kata Suradi kalem, “tapi bodi dan semangat di dalamnya mungkin masih 30-an.” “Ma maaf, bos, maksudnya apa?” Tanya Ugi bingung. Suradi tersenyum. “Ah, sudahlah. Saya akan ke dalam dan menemui bu Joni. Kamu di sini, ambil sampah-sampah yang berserakan ini dan kumpulkan bersama sampah lainnya, nanti suruh siapa saja yang mau untuk membuangnya.” “Siap bos.” Suradi mengetuk pintu paviliun belakang rumah itu yang sudah disulap penataan ruangannya menjadi seperti rumah type 21. Pak Joni membukakan pintu, dia memakai sarung dan kaos singlet. Badannya berkeringat. “Sesuai janji, saya akan bantu melakukan pemberesan.” Kata Suradi, dia melihat wajah Pak Joni yang murung. “Oh, iya iya.” Katanya. “Masuk, Pak. Tapi maaf ya jika istri saya bersikap kurang baik karena dia sedang uring-uringan.” “Tidak apa.” Kata Suradi tersenyum. Suradi tidak tahu, beberapa menit sebelumnya, Pak Joni baru saja mengentot istrinya. Tapi Bu Joni tampaknya tidak puas sehingga dia uring-uringan. Suradi memasuki ruangan dan melihat Bu Joni sedang merapikan susunan kaset VCD di ruang tengah. “Bu, ini ada Pak Suradi.” Kata Pak Joni. “Ya, tolong Pak perbaiki lemari di dapur masih belum pas letaknya.” Suradi masuk ke dalam dapur dan merasa heran, lemari itu letaknya sudah pas. Tak ada yang perlu di lakukan lagi di sini. Sementara itu Pak Joni masuk ke dalam kamar tidur dan membiarkan pintunya terbuka, dia tiduran. “Sebentar lagi bapak akan tertidur nyenyak.” bisik bu Joni yang ternyata mengikuti Suradi ke dapur. Dia meraih tangan Suradi dan membawanya ke selangkangannya, menggesekkannya. Bu Joni mengenakan baju gamis panjang rumahan yang biasa dipakai sehari-hari. “Tapi tidak lama. Paling 30 menit.” katanya masih dengan berbisik. Wajah Suradi tampak tegang. Tangannya yang telah berpengalaman itu menolak diajari lagi oleh tangan Bu Joni yang menggesek-gesekannya ke belahan memek dari luar kain. “Apakah dia sudah tidur?” Bisik Suradi. Dia melepaskan tangannya dan memeluk Bu Joni dari belakang. Kedua tangannya merambahi perut dan kemudian meremas ke dua susu Bu Joni yang besar dan lembek. “Mungkinhkh…” Jawab Bu Joni sambil mengeluh ketika mulut Suradi menciumi daun telinga dan tengkuknya. Tiba-tiba terdengar suara dengkuran Pak Joni yang sangat keras dari dalam kamar. Suradi segera berjongkok dan menyingkap gamis Bu Joni. Suradi masuk ke dalamnya dari belakang dan menemukan pantat semok itu tanpa celana dalam. Ke dua tangannya merayap di pinggiran pinggang yang sudah menggelambir itu, merabainya dan mencari-cari pangkal pahanya. Sementara mulutnya menciumi buah pantat Bu Joni. “Masih lumayan.” Batin Suradi. Suradi merasa berada di dalam kurungan kain gamis Bu Joni pemandangannya samar bahkan agak gelap. Kedua tangannya sudah menemukan memek Bu Joni tapi kurang leluasa untuk melakukan gerakan-gerakan yang bisa menimbulkan kenikmatan. Suradi ke luar dari dalam gamis dan berdiri. Dia melihat wajah Bu Joni tampak merah. Mungkin karena nafsu berahinya sudah memuncak. Dia membalikkan badan Bu Joni dan menciumi bibirnya dan mengulum lidahnya sebentar. Dia berjongkok lagi dan masuk ke dalam gamis Bu Joni untuk menemukan susu sebesar buah pepaya. Menggampar-gamparkan pipinya pada nenen yang lembut itu dan melumat-lumat putingnya dengan mulutnya. Suradi kemudian menurunkan kepalanya dan mengemuti perut dan kedua pangkal paha Bu Joni. Setelah itu barulah dia menjilati bibir-bibir Memek bu Joni dengan lidahnya. Suradi mengajari itil Bu Joni bagaimana lidah bisa membuat sang itil berdenyar dan merasakan sensasi nikmat yang sulit diucapkan, tetapi bisa didesahkan. “Aghkhkh… aghkh… ” Ke luar dari kurungan gamis, Suradi mendorong tubuh Bu Joni yang tampak seperti tak berdaya itu ke kursi meja makan, mendudukkannya. Secara otomatis Bu Joni duduk menyandar, dia menyingkapkan gamisnya dan membuka ke dua pahanya dengan sangat lebar. Sekarang barulah terlihat memek bu Joni berdenyut-denyut, tak sabar untuk dicoblos. Suradi melepaskan pantalon sekaligus celana dalamnya, dia menyorongkan kontol ke mulut Bu Joni untuk diemut. Tapi kelihatannya Bu Joni kurang pengalaman sehingga kulumannya kurang enak menurut Suradi. Dia segera melepaskam kontolnya dari kuluman mulut Bu Joni. “Boleh saya masukan sekarang, bu?” Mulut Bu Joni tersenyum seperti nyengir, matanya menatap Suradi dengan nanar. Lalu kepalanya mengangguk. Clep. Suradi memasukan kontolnya ke dalam memek Bu Joni, dengan lutut agak ditekuk, dia mengentot memek itu dengan penuh semangat. Menggenjot sekuatnya dan membiarkan Bu Joni menikmati hujaman demi hujaman batang kontolnya. Bu Joni merintih-rintih. “Adddduuuhhhh…. saya… mau ke luarhkh…” Rintihnya. “Sekarang?” Tanya Suradi, wajahnya agak kecewa. Bu Joni mengangguk. “Kalau begitu, yuk kita ke luar sama-sama. Boleh ngecrot di dalem?” Tanya Suradi. Bu Joni sekali lagi mengangguk. Suradi melakukan genjotannya yang terakhir dengan kekuatan penuh, sebelum akhinya mereka ke luar bersama-sama. Setelah ngecrot, Suradi membiarkan kontolnya terbenam di dalam memek Bu Joni selama beberapa saat, kemudian dia mencabutnya dan mengenakan kembali pantalonnya. Bu Joni menurunkan gamis dalam keadaan masih duduk bersandar. Kedua tangannya tampak jatuh di pinggiran kursi. Dia tersenyum kepada Suradi. “Makasih ya, Pak. Saya enak banget.” Katanya. “Sama-sama, Bu.” “Kapan-kapan boleh minta lagi gak Pa?” “Selagi saya di sini, tentu boleh.” Kata Suradi sambil tersenyum, walau pun dalam hati dia membatin masih kurang puas. Ketika mereka berbincang, terdengar Pak Joni terbatuk-batuk. “Bapak sudah bangun.” Bisik Bu Joni. “Baik.” Kata Suradi, pelan. “Saya akan ke ruang tengah memperbaiki dudukan panel LCD.” 5 Dudukan panel LCD TV itu sebenarnya sudah baik, Suradi hanya memperkuat baut-bautnya saja. Dia mendorong bufet rak CD agar lebih merapat ke dinding. Pada saat itu, tiba-tiba saja Pak Joni sudah berada di depan punggungnya. “Maafkan tadi saya tertidur.” Katanya. Suradi membalikkan badan, wajahnya yang ramah itu tersenyum. “Tidak apa-apa, Pak.” kata Suradi dengan nada yang tenang. Pada saat itu Ugi berteriak dari luar. “Bos, sudah selesai.” “Ya.” Jawab Suradi. Dia berdiri dan berkata kepada Pak Joni. “Beberapa perabotan di luar itu harus dibereskan, tapi tempatnya sudah tidak ada lagi di ruangan ini. Pak Joni punya rencana?” “Saya ingin menjualnya, tapi mungkin tidak akan laku dengan cepat. Sedangkan istri saya ingin semuanya rapih kembali secepatnya. Bagaimana ya?” Kata Pak Joni. “Dijual juga harganya mungkin tak seberapa.” Kata Suradi. “Bu, bu, sini sebentar.” Pak Joni memanggil istrinya. Bu Joni datang dari arah dapur dengan wajah berseri-seri. Pak Joni heran. “Gimana ini perabotan-perabotan yang gak kepakai di luar?” “Udah kasiin aja ke Pak Suradi, terserah dia mau dibuang atau mau diapain juga.” Kata Bu Joni. “Nah, bagaimana menurut Pak Suradi?” Tanya Pak Joni. “Saya mungkin akan membongkarnya dan membuangnya, Pak. Semua perabotan itu sudah tua.” Kata Suradi sambil memperhatikan koleksi kaset VCD yang menumpuk dan belum sempat disusun oleh Bu Joni. “Ngomong-ngomong, ini koleksi film bluenya banyak juga ya.” Kata Suradi. “Yaaa… begitulah, Pak. Saya menontonnya agar bisa bergairah.” Jawab Pak Joni. Suradi mengangguk-angguk. “Bos, di luar sudah bersih.” Kata Ugi yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan itu. “Semua sampah di depan sudah dibuang?” “Sudah, bos.” “Panggil si Maman dan Ujang. Angkut semua perabotan yang tak terpakai itu ke mobil pick up yang biru, terus bawa ke belakang kantor.” “Siap, bos.” 6 Memasuki minggu ke 4, fase finishing dimulai. Pada fase finishing inilah mereka sering bekerja lembur sampai larut malam. Namun bagi Suradi fase ini dia lebih banyak santainya, karena semua pekerjaan dia tidak perlu lagi turut campur. Dia hanya menunggu hasil. Oleh sebab itu dia sering datang sore hari karena sesiangnya sibuk mencari orderan. Itu pun kerjanya cuma duduk-duduk saja. “Pak Suradi ke mana saja?” Tanya Bu Joni tiba-tiba. “Koq siang enggak pernah muncul?” “Saya ikut tender di Bandung, Bu.” Kata Suradi datar. “Sudah 2 hari lo Pak. Boleh minta sekaliiii lagi aja.” kata Bu Joni dengan suara pelahan, namun dengan harapan keras di wajahnya. “Tentu, Bu. Sekarang?” Bu Joni mengangguk. “Di mana?” “Di kamar kost belakang yang sudah selesai, saya sudah siapkan kasur busa.” “Bapak gimana?” Tanya Suradi. “Saya udah kasih obat tidur, mungkin sekarang obat tidurnya sudah bekerja.” “Baiklah.” Kata Suradi. Bu Joni berbalik, dia melangkah dengan cepat menuju paviliun belakang dan melihat Pak Joni sudah tertidur pulas. Dia ke luar dan menutupkan pintu, dia memperhatikan semua anak buah Suradi tidak ada yang sedang bekerja di halaman belakang, lalu memasuki kamar kost itu dan menutupkan pintunya. Suradi tengah berbaring dengan kedua tangannya sebagai bantal ketika Bu Joni masuk memakai daster terusan. Tanpa banyak basa-basi Bu Joni langsung melepaskan ikat pinggang dan kancing celana pantalon Suradi, menariknya sekaligus dengan celana dalamnya dan melemparkannya ke pojokan. Dia langsung menerkam kontol Suradi dan mengemut serta mengulumnya. “Ahhkh… ” Suradi mendesah pelan. “Kali ini, tehniknya lebih baik.” Kata Suradi dalam hati. Setelah beberapa saat, batang kontol Suradi pun menegang. “Maaf ya Pak, kontolnya langsung saya tunggangi.” Kata Bu Joni. “Soalnya, memeknya udah gak kuat pengen langsung ngewe.” “Tidak apa-apa, Bu. Masukin aja ke dalam memek ibu.” Bu Joni menarik dasternya melalui kepalanya lalu melemparkannya. Dia mengangkangi kontol Suradi yang sudah ngaceng. Memasukkannya ke dalam liang memeknya, menekan pinggulnya ke bawah sampai seluruh batang kontol Suradi masuk ke dalam mulut memeknya. “Addduuuhhh…. enak sekali kontolnya, Pak.” Kata Bu Joni sambil menggoyang-goyangkan pantatnya. Suradi tersenyum. “Ayo, Bu. Goyangnya yang semangat.” Kata Suradi sambil mempermainkan ke dua nenen Bu Joni dengan tangannya. Bu Joni terus menggoyang-goyangkan pantatnya selama beberapa menit. Kadang Bu Joni mengangkat pinggulnya naik turun, kadang menekannya maju mundur, kadang dia juga meliuk-liukkannya dengan arah berputar. Sehingga keringat pun bercucuran di dahi dan punggungnya. Nafasnya tersengal-sengal. Akhirnya dia menghentikan gerakannya dan duduk diam di atasnya. Dia menarik nafas panjang. “Capek ya?” “I ya, Pak. Haduh, sampai keringatan nih. Tapi ini tanggung lagi enak, digoyang lagi gak pa-pa kan, Pak?” “Ga apa-apa. Lanjutkan saja.” Setelah beristirahat sejenak, Bu Joni melanjutkan pengentotannya selama beberapa menit sampai akhirnya dia mengejan dan orgasme. Setelah diam beberapa saat, dia berdiri dan melihat kontol Suradi yang masih berdiri dengan gagahnya. “Wah, lendirku banyak sekali.” Katanya dengan agak terkikik. “Ya, banyak.” Kata Suradi. “Enak kan?” “Enak dan nikmat. Pak, saya ingin diewe nungging. Mau kan?” “Boleh.” Kata Suradi. Bu Joni pun segera bersujud dan menunggingkan pantatnya dengan punggung melengkung. Suradi melihat lubang anusnya yang rapat berdenyut-denyut. Dia melebarkan kedua paha Bu Joni membenamkan kontolnya ke dalam liang memek STW itu. Dia kemudian menggenjotnya dengan kedua tangan berpegangan pada ke dua buah payudara Bu Joni yang panjang dan lembek. “Terus, Pak. Terus. Lebih cepat, Pak… aduh, enak sekali.” “Sssttt… jangan terlalu keras.” Kata Suradi. Bu Joni tertawa kecil dengan agak mengikik. “Maaf.” Katanya. Suradi terus menggenjot memek bu Joni dengan penuh semangat, walau pantat Bu Joni sudah agak lembek, tapi masih cukup semok dan masih lumayan nikmat ketika mengenai pubis dan pangkal pahanya. “Liang memek Bu Joni sudah kendor jadi kontolku kurang mendapat gigitan.” Pikir Suradi sambil terus menggenjot. “Aaahkhkh… enak Pak enak…” Kata Bu Joni melenguh. “Dia keluar lagi.” Pikir Suradi sambil mencabut kontolnya dari dalam memek Bu Joni. Suradi kemudian mendorong pantat Bu Joni agar turun sehingga posisi Bo Joni berbaring menelungkup. Dia merapatkan ke dua paha bu Joni lalu membeliakkan memeknya dengan kedua jempolnya, setelah itu dia langsung menancapkan kontolnya dengan cepat. Clep!!! Nah, sekarang buah pantatnya baru berrasa! Kata Suradi, lalu dia memeluk Bu Joni dan menyusupkan lengannya ke bawah dua payudara Bu Joni. Dia mengentot Bu Joni pelahan-lahan. “Koq posisi gini enak ya… adduuuhhh… pak… lebih cepet dong ngegenjotnya.” Suradi pun mempercepat genjotannya. Tak berapa lama Bu Joni mengejan kembali. Kedua buah belahan pantatnya seakan-akan ikut menjepit batang kontol Suradi. Dia lalu menekan kontolnya dengan kuat dan merasakan betapa nikmatnya saat pejuhnya menggelosor ke luar…. srrrr… srrrr… crot! Crot! “Aghhh… enak, Pak. Saya ke luar lagi.” “Saya juga, Bu.” “Kontol Pak Suradi emang mantap.” Kata Bu Joni. “Terimkasih ya, Pak, atas ngentotnya.” “Sama-sama, Bu.” “Besok ngentot lagi, mau kan Pak?” “Mmm, besok saya akan ke Subang, ikut tender, mungkin pulangnya malam.” kata Suradi. “Saya mohon, Pak. Izinkan saya menikmati kontol bapak untuk yang terakhir.” “Mudah-mudahan, bisa ya, Bu.” “Harus pokoknya.” “Kalau begitu, begini saja, Bu, besok jika saya pulang malam, saya tidak akan pulang ke rumah, tapi saya akan tidur di kamar ini. Saya biasa tidur dengan lampu dimatikan, nah, jika ibu melihat kamar ini lampunya mati, berarti saya tidur di sini. Bagaimana?” “Ok, Pak.” “Saya permisi, Bu.” Kata Suradi sambil mengenakan pantalonnya. “Sampai besok malam.” Kata Bu Joni. 7 Ke luar dari kamar kost di halaman belakang itu, Suradi melihat anak buahnya masih sibuk melakukan pengecatan di beberapa kamar. Dia memanggil Ugi yang sedang mengaduk campuran cat. “Gi, sini sebentar.” “I ya Bos.” “Anak-anak kalau sudah selesai kerja biasanya pada tidur di mana?” “Anak-anak biasanya tidur di kamar yang bekas garasi.” “Kalau kamu?” “Saya di sebelahnya, Bos.” “Hm, begitu ya. Begini, besok kamu tidur di kamar yang di halaman belakang itu ya. Tapi kamu harus mematikan lampunya.” “Siap, Bos.” “Ingat! Matikan lampunya!!!” “Siap,bos!” 8 Besoknya, ketika berada di Pemkab Subang, Suradi mendapat SMS dari Pak Joni bahwa sisa uang pembayaran sudah ditransfer. Suradi tersenyum sambil membayangkan apa yang akan terjadi pada si Ugi, anak buah kesayangannya. “Sekali-kali, bolehlah dia mendapat memek gratis.” Pikir Suradi sambil tersenyum nyengir. 9 Suradi gagal mendapat proyek di Subang, tapi itu soal biasa, dia kemudian langsung pulang ke rumahnya di Cimahi agak malam. “Pah, bagaimana tendernya?” Tanya istrinya. “Kalah, Mah.” “Sabar, Pah. Lain kali Papah bisa mendapat proyek besar lagi seperti waktu di Kabupaten Bandung itu.” “Papah sabar koq, Mah.” “Pah, sudah seminggu Papah ngejilmek Mamah. Jadi kangen deh.” “Ya, sama Papah juga kangen.” “Mandi dulu, ya Pah. Udah itu makan, Mamah sudah siapin sate kambing.” “Ok ok.” 10 Suradi terbangun oleh cahaya matahari yang menyorot dari jendela. Istrinya sudah berangkat kerja demikian juga anaknya, sudah pergi sekolah. Suradi bermaksud sarapan ketika HPnya berdering. Dari Tono. “Ada apa, Ton?” “Bos, maaf mengganggu. Si Ugi semalam ketahuan sama Pak Joni lagi ngentot istrinya.” “Terus?” Kata Suradi, tenang. “Suradi akan diadukan ke polisi, dia ingin si Ugi dipenjara.” Katanya. “Baik, saya akan telpon Pak Joni, mudah-mudahan kita bisa menyelesaikan permasalahan ini secara kekeluargaan.” “Baik, Bos.” Suradi kemudian menelpon Pak Joni dan dengan kata-kata yang lembut, berusaha meredam semua kemarahan Pak Joni. “Sudahlah, Pak. Nanti akan saya beri pelajaran anak itu. Tidak perlu lapor polisi, nanti bapak juga yang malu. Kan bukan si Ugi yang mendatangi Ibu, tapi Ibu yang mendatangi si Ugi di kamar belakang itu. Jangan-jangan malah nanti Ibu yang ditangkap Pak karena dianggap merayu anak di bawah umur untuk berhubungan badan.” Terdengar helaan nafas berat di sana. “Pokoknya Pak Suradi harus memberi hukuman berat pada anak itu.” “Baik, Pak. Akan saya hukum seberat-beratnya.” 11 Hari itu, Proyek renovasi rumah Pak Joni dianggap sudah rampung. Anak buah Suradi dengan menaiki pick up, pulang sambil bercanda di bak mobil sambil meledekki si Ugi yang mendadak jadi pendiam. “Bos pasti akan menghukum kamu dengan berat.” Kata Tono kepada Ugi yang diam memeluk lutut. “Bos, pasti marah besar.” Kata Mamat. Setibanya mereka di kantor Suradi dan mendapatkan gajinya masing-masing, Suradi mendekati Ugi yang diam tepekur. Anak buah Suradi yang lain ikut terdiam juga, mereka menunggu hukuman berat apa yang kira-kira akan dijatuhkan Ugi, anak buah kesayangan bosnya. “Ma… maafkan saya Bos… ini bukan salah saya… ” Kata Ugi gemetar. Anak buah Suradi yang lain serentak mengatakan HUUUU… “Sudah, kalian semua tunggu di luar. Saya akan berbicara secara pribadi dengan Ugi.” Setelah anak buahnya ke luar semua, Suradi melanjutkan, “Terus?” “Seperti yang bos perintahkan, saya tidur di kamar itu dengan lampu dimatikan. Karena saya tidak bisa tidur, terus saya melepaskan celana dan berniat ngeloco (onani)… baru aja ngelus-ngelus sebentar… tiba-tiba ada orang masuk dan langsung mengemuti kontol saya bos… terus dia berkata, eh sudah keras lagi kontolnya… suaranya saya kenal sebagai suara Bu Joni… terus dia bilang… langsung dimasukkin ke memek ya, soalnya memek saya sudah gatel pengen ditusuk-ditusuk… begitu katanya bos.” “Terus?” “Terus saya, saya mengentotnya bos, berkali-kali bos, sampai tiba-tiba Bu Joni menjerit-jerit sangat keras… suara jeritannya itu mungkin membangunkan Pak Joni… tahu-tahu Pak Joni sudah membuka pintu kamar dan menyalakan lampu… Bu Joni sangat terkejut bos, saya juga.” “Tapi kamu ngecrot di dalam memek bu Joni nggak?” “I ya bos, maafkan saya bos, saya tidak salah…” “Enak enggak ngentot bu Joni?” “Enak, bos. Walau sudah tua, tapi enak.” Suradi dengan wajah datar mengangguk-anggukan kepalanya. “Tadi saya sudah nelpon Bu Joni dan meminta maaf kepadanya atas kelalaian saya. Tapi kata Bu Joni tidak apa-apa.” “Jadi, bos tidak akan menghukum saya?” Kata Ugi dengan mimik wajah gembira. “Saya tetap akan menghukum kamu.” Kata Suradi dengan tegas. “Siap, Bos. Apa pun hukumannya akan saya terima.” “Hukumannya, malam ini kamu harus pergi ke alamat ini.” Suradi kemudian menuliskan sebuah alamat dan nama tempatnya. “Ini kan losmen, Bos.” “Ya, kamarnya no 9, paling ujung.” “Mak…maksudnya apa bos… ini… ini…” “Sudah, gak usah banyak cingcong. Sana pergi.” Malam itu, Suradi duduk di beranda depan sambil merokok. Dia tersenyum-senyum sendirian membayangkan apa yang sedang dilakukan Ugi di losmen itu. “Hm, jeritan kenikmatan Bu Joni pasti tidak akan terdengar oleh Pak Joni.” Kata Suradi dalam hatinya. ***
MANG, KONTOL MANG… PlISSSS.
Sore. Suradi pusing 7 keliling. Sudah seminggu koq si mamah belum beres-beres juga kode merahnya. Mana pulang badan remek, proyek gagal, kepala yang di atas dan yang di bawah berdenyut-denyut… hadeuh. Tiba-tiba datang lagi 2 kakak iparnya, bawa rombongan 3 ponakan dan 5 cucu yang tidak pernah berhenti teriak-teriak, berlari-lari ke sana kemari, meloncat-loncat. Pokoknya pusing. Suradi mengasingkan diri di ruang kantornya yang sederhana, berteman rokok dan kopi. Menikmati kesendiriannya yang tenang. Namun belum juga setengah jam, tiba-tiba Karina masuk nyelonong begitu saja ke ruangannya. “Mang Sura, lagi apa?” “Lagi istirahat. Memang ada perlu apa, Rin?” “Cuma mau nanya, Mang….” “Nanya apa? Enggak usah ragu-ragu sama mamang mah.” Kata Suradi, menyembunyikan rasa kesal. “Apa benar mang apa yang dibilang Bi Iis?” “Emang si Mamah ngomong apa sama kamu? Koq nanyanya ragu-ragu begitu sih?” “Itu Mang, mmm… kata Bi Iis mamang suka ngejilat itunya ya.” “Maksudnya?” “Ah, udahlah. Bi Iis pasti bohong.” Katanya sambil pergi meninggalkan ruangan. Suradi tak peduli. Dia menyesap kopinya dan menikmati kretek favoritnya. Dia memang tidak begitu dekat dengan anak-anak dari kakak-kakak iparnya. Apalagi dengan Karina, mentang-mentang suaminya bekerja di sebuah bank yang bonafid, sikapnya terkadang menyebalkan. Meskipun begitu, Suradi merasa kasihan juga kepada Karina, sudah 10 tahun menikah, masih juga belum punya anak. Karina menikah dengan Ivan ketika berusia 18 tahun. Begitu lulus SMA, Ivan yang berumur 28 tahun dan sudah memiliki pekerjaan tetap, langsung melamarnya. Setelah menikah, mereka tinggal di rumah sendiri di Padalarang. Tiba-tiba Karina balik lagi. “Bi Iis berani sumpah katanya mamang selalu melakukannya.” Katanya. “Melakukan apa, Rina? Yang jelas dong kalau ngomong.” “Ngejilatin memek Bi Iis.” katanya dengan berbisik. “Oh, itu. Ya i ya lah.” Suradi berkata datar. “Mamang enggak jiji?” “Waduhhh kamu itu gimana sih, itu kan salah satu tugas mamang sebagai suami menyenangkan istri. Masa mamang harus jiji?” Karina terdiam. “Mang… mamang, bisa pegang rahasia enggak?” “Rahasia apa?” “Pokoknya mamang harus bersumpah dulu.” “Sumpah apa?” “Bersumpah akan memegang rahasia yang akan Rina bilangin.” “Kamu selingkuh ya?” Goda Suradi. “Ih, bukan itu mang.” “Terus?” “Sumpah dulu.” “Ya, sudah, mamang bersumpah tidak akan membocorkan rahasia kamu.” “Bener, ya? Awas kalau mamang buka rahasia. Kata Bi Iis dijilatin memek itu rasanya geli-geli enak.” “Terus?” “Rina mau nyobain dijilatin sebentar aja. Satu menit.” “Loh? Kok mintanya sama mamang bukan sama suami?” Karina menarik nafas berat. Wajahnya murung. “Si Aa mah enggak pernah mau begituan. Nancep-nancep aja, keluar, sudah selesai.” “Waduh, koq sampai segitunya. Egois bener.” Kata Suradi. “Berarti dia belum pernah merasakan orgasme.” Suradi membatin. “Rina penasaran mang sama yang dibilangin Bi Iis.” “Penasaran?” “I ya, mang. Pengen nyobain dijilat. Sebentar aja.” “Boleh. Sekarang?” “Jangan atuh, mang. Kan banyak orang?” “Terus kapan?” “Gini mang, sebentar lagi semuanya mau pada ke rumah Wak Ipah, Bi Iis juga ikut. Rina akan menyimpan HP di deket TV, terus Rina tinggalin. Pas sampai di rumah Wak Ipah, Rina lalu bilang HPnya ketinggalan di rumah Bi Iis. Terus Rina balik lagi ke sini ngambil HP. Terus mamang jilatin memek Rina, sebentar aja. Rina cuma mau nyobain doang.” “Satu menit ya?” “Satu menit aja, Mang.” “Terus hadiah buat mamang apa?” “Besok Rina ke Bogor, nanti dibeliin asinan deh.” “Oke, mamang tunggu di sini.” Ketika Rina pergi, Suradi diam-diam tersenyum. Hm. Di antara semua keponakannya, Rina itu yang paling bohai. Tubuhnya langsing tapi toketnya gede. Kulitnya putih bersih agak berbulu. Wah. Dalam mimpi pun tidak pernah Suradi membayangkan akan menjilat memek keponakannya sendiri. Beberapa saat kemudian istrinya pamit pergi ke rumah kakaknya. “Sebentar koq, Pah. Paling satu atau dua jam.” “Ya, udah ga pa pa, mah.” Setelah semua rombongan itu pergi, Suradi cepat mengganti pantalonnya dengan celana bokser tanpa memakai celana dalam dan mengganti kemeja dengan kaos santai. Setengah jam kemudian Rina datang dengan tergesa. “Sebentar aja ya mang, cuma penasaran.” “Ya, sebentar.” “Tapi mamang tidak boleh macam-macam, cuma jilatin doang. Udah gitu, udah.” “Baik.” “Satu menit, mang.” “Baik, satu menit.” Karina kemudian duduk di sofa ruang tamu dan bersiap-siap. “Jangan di sini Rin, di sofa TV aja biar agak tinggian.” Kata Suradi datar. Rina pun duduk di sofa TV. Suradi kemudian berdiri dengan lututnya dan mengangkat kaki Rina ke atas sofa, merenggangkannya agar lebih lebar. Suradi lalu menyingkapkan roknya yang lebar dan menyisihkan bagian depan celana dalamnya agar memeknya tak terhalangi. Sekejap Suradi merasa takjub. Memeknya putih dan tembem. Di bibir luarnya ada bulu-bulu halus yang tumbuh. Mulai dari bagian bawah dekat lubang anus, Suradi kemudian menyisir bagian-bagian sensitif lainnya, terutama itilnya. Seketika Suradi merasakan denyaran-denyaran dan cairan asin yang menetes. “Ah, inilah memek gadis rasa perawan.” Bisik Suradi dalam hati. “Sshhhh…. ” Rina mendesis. “Sudah, Rin, sudah satu menit.” Kata Suradi sambil menjauhkan wajahnya dari aroma merangsang yang ditimbulkan oleh bibir-bibir memek yang mulai merekah. Karina memandang Suradi dengan nanar. “Satu menit lagi, mang. Pliss…” “Baiklah. Satu menit lagi. Tapi celana dalamnya harus dilepasin dulu biar leluasa.” Kata Suradi. Karina menurut. Suradi menyasar lagi bagian-bagian sensitif memek Karina, kali ini dengan pendekatan yang lebih cepat. Dia melahap itilnya dan mempermainkannya dengan lidahnya. “Ssshhhh… ssshhhh… ” Lalu Suradi menjulurkan lidahnya menusuk-nusuk liang memek Rina dengan ujung lidahnya. Srrrr… cairan kenikmatan itu menggelosor dari dalam liang memeknya. “Sudah satu menit.” Kata Suradi. “Ssshhattuu menit lagi, mang.” Suradi tersenyum. Dia langsung mengganyang memek itu dengan tehnik jilatan lidah terbaiknya dan tak memberikan pelajaran pada memek gadis itu agar jangan melawan ledakan-ledakan ngecrot di dalam liang memeknya. Srrrr… srrrr… srrr…. berkali-kali gadis itu mengeluarkan orgasme kecil yang membuat tubuhnya menggelinjang-gelinjang, mulut atasnya mengerang-erang, sementara mulut bawahnya empot-empotan “Mang….kontol Mang…Plisss… Rina ga tahan.” “Bener nih? Mamang sudah janji engga akan macam-macam.” “Mang… plisss… kontol… cepet ewe mang…plisss…” Suradi dengan senyum penuh kemenangan langsung saja memerosotkan celana boksernya, menancapkan kepala kontolnya yang memang sudah ngaceng sejak awal di mulut memek yang tembem itu, membenamkannya sampai masuk. Terussss…. sampai terbenam semuanya. Setelah itu barulah dia menggenjot sekuatnya. “Duh enaknya memek rasa perawan.” Kata Suradi dalam hatinya. “Legitnya sulit diucapkan dengan kata-kata.” Karina menjerit-jerit karena belum pernah merasakan orgasme sebelumnya. Tusukan-tusukan yang dilakukan oleh kontol Suradi tepat mengenai syaraf-syaraf kenikmatan yang terdapat di dalam liang memeknya. Sampai akhirnya tiba juga di moment terindah itu… Karina mengejang dan Suradi menahan genjotannya dan berusaha sekuat tenaga agar bisa ke luar bersama-sama. “Aaaakkkkkkhhhhh….. ” Teriaknya. Lalu, ceplok…ceplok…ceplok… lendir kenikmatanya menyemprot dengan sangat kuat. Suradi juga sudah tidak tahan menanggung lahar yang akan meledak… srrr..crot.. crot…crottt… Suradi menyemprotkan pejuhnya di dalam memek Karina. Hadeuuuhhh nikmat. *** “Awas ini rahasia kita ya Mang!” Kata Rina sambil memakai celana dalamnya, lalu dia buru-buru pergi. Dua hari kemudian Karina menelpon Bi Iis agar Mang Suradi ke rumahnya untuk mengambil asinan bogor sekaligus memperbaiki genteng rumahnya ada yang pecah satu. Suradi dengan semangat pergi ke Padalarang sendirian tanpa ditemani anak buahnya. Dia pergi pagi-pagi sekali dan pulangnya larut malam sekali. Ketika Suradi tidur, dia tidak sadar mengigau. “Mang…kontol..mang…plissss…” ***
Catatan Tambahan Tentang Karina: SUATU SAAT DI TERAS BELAKANG (Apa yang tidak kau ketahui, tidak akan melukaimu)
Ivan Hermansyah mendekati Suradi yang tengah duduk di teras belakang berteman kopi dan rokok. Walau Ivan lebih muda dari Suradi beberapa tahun, tapi wajahnya tampak lebih tua. Perutnya buncit dan beberapa kerutan terlihat di dahinya. “Kata Bi Iis, belakangan ini Mamang selalu murung.” Kata Ivan sambil mengeluarkan rokok putihnya. “Begitulah, Van.” Jawab Suradi pendek. “Beberapa tahun belakangan ini Ivan juga mengalami hal yang sama, mungkin stress karena pekerjaan.” “Mungkin.” “Kira-kira 2 bulan yang lalu Ivan ke dokter spesialis, dia mengatakan kelelahan fisik dan mental bisa berpengaruh pada kualitas sperma pria, sehingga sulit membuahi rahim istrinya.” “Dokter cuma menduga, Van, jangan terlalu yakin.” “I ya, Mang. Katanya ada kemungkinan Ivan impoten. Tapi buktinya sekarang Rina ternyata hamil.” “Berapa bulan?” Tanya Suradi. “3 bulan. Saya juga dapat promosi jabatan ke Bogor.” “Jadi kepala cabang, Van? Selamat ya. Hebat kamu.” “I ya, Mang. Di daerah Bogor Selatan.” Kata Ivan. “Bi Iis minta kepada saya agar memberi saran kepada Mamang jangan terlalu stress karena pekerjaan. Tekanan kerja di bank juga sangat keras mang, kita harus belajar menghadapinya.” “Ya, mamang juga sedang belajar menghadapi semuanya.” “Jangan terlalu murung, Mang. Bi Iis khawatir.” “Tidak, mamang biasa saja.” “Ivan ingat 3 bulan yang lalu mamang pernah memperbaiki genteng di rumah, tapi sekarang ada lagi genteng lain yang pecah.” “Harusnya ada sedikit renovasi kecil, Van. Rumah itu kan sudah hampir berumur 15 tahun.” Kata Suradi. “Ya, memang. Ivan berniat menjual rumah itu, Mang. Mungkin sama mamang perlu diperbaiki sedikit-sedikit di sana-sini, terus dicat biar kinclong. Mungkin akan lebih cepat laku.” “Itu rencana bagus, Van. Nanti saya suruh Pak Tono ke sana.” “Saya ke sini cuma mampir sebentar, Mang. Selain pamit mau ke Bogor, juga ini ada hadiah dari Rina. Dua stel pakaian yang kami beli waktu liburan ke Singapura kemarin.” “Koq jadi repot seperti itu sih, Van.” “Ini Rina yang maksa. Katanya mamang yang terbaik. Salam kangen untuk mamang dan keluarga.” “Berarti Rina sudah di Bogor ya?” “I ya Mang, lagi beres-beres rumah kami yang baru, ditemani Mamahnya.” “Oh, berarti Wak Ipah di Bogor juga ya?” “I ya, Mang. Saya mohon pamit mau ke kantor lagi.” “Ya, sukses buat kamu, Van.” “Terimakasih, Mang. Mamang juga, semoga sukses.” Kata Ivan sambil mematikan rokoknya di asbak. “Oh, ya, mang. Rina bilang, sampaikan terimakasih saya buat Mang Suradi yang sedalam-dalamnya…” Suradi mengangguk dan tersenyum kecil. Tentu saja, Van, yang sedalam-dalamnya. Katanya dalam hati.***
WINDA
Perasaan Suradi ringan dan tenang saat melewati jalan alternatif dari Kabupaten Cianjur ke Kota Cimahi. Walau jalannya tak semulus jalan raya provinsi dan agak melingkar, tapi lancar. Jalanan itu memang belum terkenal di kalangan para pengendara karena dianggap masih rawan. Dengan kepala setengah melamun, dia melajukan mobilnya dalam kecepatan sedang. Sebuah ledakan halilintar mengejutkan Suradi, lalu seperti tiba-tiba, awan yang memang sejak dari Cianjur setengah mendung pun menjadi gelap dan hujan pun turun deras. Dan terus bertambah semakin deras. Suradi tahu medan yang akan dilaluinya, di bawah hujan, jalan alternatif itu sangat berbahaya. Apalagi kendaraan berbahan bakar diesel yang dibawanya adalah kendaraan tua yang sudah berumur 20 tahun. Daripada celaka, lebih baik dia mencari tempat berteduh untuk dirinya dan mobilnya. Syukur-syukur jika menemukan warung di mana dia bisa menikmati kopi dan beristirahat sejenak. Pelahan Suradi melajukan mobilnya dan beberapa kali menemukan tempat yang cukup baik namun terus saja dilewatinya. Setelah lewat beberapa meter dia menyesalinya mengapa tidak berbelok dan berhenti di tempat itu. Sedikit merasa putus asa, Suradi terus melajukan kendaraan dengan sepasang mata lebih awas memperhatikan kalau-kalau ada tempat yang baik untuknya berhenti. Ketika hujan semakin lebat, dari balik wiper yang sudah letih bergoyang-goyang, Suradi melihat warung itu. Ada tempat yang luas di sebelah warung itu untuknya memarkir kendaraan dan ada 2 motor teparkir kedinginan di depan warung. “Nah, di sini.” Kata Suradi dalam hatinya. Dia berbelok dan memarkir kendaraannya. Mengambil payung di belakang jok, memasukkan HP ke dalam saku kemeja lengan pendeknya, mengantongi kunci mobil di saku celana, melipat ujung pantalonnya hingga kaos kakinya terlihat semua lalu membuka pintu. Dia mengembangkan payung dan ke luar dari mobil. Menutup pintu mobil dengan sekali banting. Suradi mengira warung itu adalah warung kelontong yang secara umum banyak terdapat di jalan-jalan pinggiran kabupaten. Dia melangkah menuju selasar warung dan mendekati etalase kaca yang memperlihatkan berbagai barang yang sangat umum dijual. Mie instan, sabun, kue-kue kemasan, koipi dan lain-lain. Suradi menutupkan payungnya sambil celingukan mencari penjaga warung. Tidak ada. Dia kemudian melangkah ke pinggir warung dan menemukan sebuah gang yang sudah diplester semen. Dari gang itu dia melihat ada beberapa orang terhalang tembok rumah, sedang duduk-duduk. Suradi melangkah melewati pinggiran warung dan dinding rumah yang merupakan bagian besar dari warung itu. Tiba di ujung, Suradi tersenyum. Di situ ada lebih dari selusin orang sedang duduk di bangku-bangku panjang yang terbuat dari papan serta meja-meja yang dilapisi karpet plastik bermotif lingkaran warna merah muda. “Silakan, Pak.” Sebuah suara merdu mengelus telinganya yang dingin karena hujan. Suradi melirik ke arah suara itu. Seorang perempuan STW dengan dandanan khas daerah pinggiran sedang menatapnya. Eh, ternyata di situ ada warung lain. Judulnya, sedia mie rebus dan bakso. Wah. Suradi membelokkan langkah mendekati STW tersebut. Tersenyum. Suradi tahu bahwa walau pun dia agak sulit dikatakan ganteng namun dia memiliki pembawaan kharismatis. Tingginya sedang, 165 cm, kulit coklat terang, rambut ikal pendek jarang disisir dan sorot mata yang lembut. STW itu seperti terperangah. Mungkin karena agitasi dari sisa-sisa minyak wangi yang masih menempel di tubuh Suradi telah menyerang hidung kewanitaannya. “Ada apa aja ya, teh?” Tanya Suradi dalam bahasa Sunda yang halus. “Biasa, Pak, mie dan kopi.” “Ya, udah. Kopi aja.” “Mau sama rotinya, Pak?” “Boleh, kalau ada roti tawar.” Suradi membalikkan badan, matanya mencari-cari meja kosong yang kira-kira tepat untuknya duduk. Di meja terdekat sebelah kiri, ada 3 orang lelaki desa seumurannya duduk bercengkrama. Agak di tengah, empat orang pemuda seumuran mahasiswa duduk saling berhadapan dan sibuk bermain HP, paling ujung kosong. Di meja terdekat sebelah kanan, ada empat orang cowok abg tertawa-tawa. Meja tengah dan paling ujung dipenuhi siswi-siswi berseragam putih abu. Semua cewek SMA itu memesan mie yang sudah mereka habiskan dan mangkok-mangkok kosong itu masih tergeletak di atas meja. Mau tidak mau Suradi melangkah di antara jajaran meja sebelah kiri dan kanan, menuju meja kosong itu. Sekilas dia melirik cewek-cewek itu. Semuanya manis-manis. “Memeknya juga pasti manis-manis.” Pikir Suradi. Duduk di pinggiran bangku, Suradi tidak bermaksud biar lebih dekat dengan cewek-cewk itu, tapi menghindari cipratan air hujan yang semakin deras. Dari tempat duduknya kini, dia bisa melihat bagian depan mobilnya yang digebuki air hujan. Suradi melihat jam di HPnya, pukul 02:10. Dan dia ingat dia belum makan siang. Ketika pesanan datang, HP berdering dari istrinya. “Pah, di sini hujan lebat, perabotan-perabotan bekas itu kehujanan.” “Biarin aja.” Kata Suradi. “Teh, kopinya satu lagi dan air putih panas segelas besar ya.” STW itu mengangguk. Kelihatannya dia mencoba menguping pembicaraan Suradi. “Papah lagi dimana?” “Di warung kopi mah, lagi berteduh. Di sini juga hujan lebat.” “Ya, udah. Hati-hati di jalan ya.” “Ya.” Suradi menyikat habis 2 buah roti kemasan dengan label harga Rp.2000 itu. Menyesap kopi dan menyalakan rokok. Ketika pesanan kopi yang kedua dan air putih panas itu datang, gelas kopi pertama sudah habis setengahnya. Sambil menikmati kopi dan kreteknya, diam-diam Suradi memperhatikan ke delapan cewek itu. Di antara mereka, hanya 2 orang yang tidak melepas kerudung sedangkan sisanya membiarkan rambutnya tergerai. Dua di antara 6 orang yang melepas kerudung itu menggunakan kerudungnya untuk mengeringkan rambut. Suradi memperhatikan satu-satu cewek itu. Ada yang manis, ada yang semok, ada yang toge, ada yang putih… semua menjanjikan kenikmatan kepada kelelakiannya yang kini tiba-tiba saja terbangun. “Edan, pikiranku ngelantur.” Katanya dalam hati. Tapi cewek yang hitam manis itu mencuri perhatiannya lebih dari yang lain. Matanya besar, hidung mancung, rambut ikal, nenennya sedikit toge dengan bodi cenderung kurus. Wow. Itu adalah type yang disukainya. Suradi ingat, dulu waktu ke Medan, dia pernah bercinta dengan STW keturunan India. WOTnya mantap, bikin ketagihan. Hujan mulai reda walau masih deras. Air putih dan kopi ke dua tinggal setengahnya. Jam di HP 02:35. Otaknya kehilangan akal untuk mencari cara agar bisa mengobrol dengan cewek-cewek itu. Dia tak berani nakal kalau tidak dimulai duluan. Akhirnya, hujan berubah menjadi gerimis. 3 orang lelaki desa meninggalkan tempat duduknya dan membayar ke perempuan STW itu. Suradi menenggak kopinya yang mulai dingin sampai habis. Lalu meneguk air putihnya, juga sampai habis. Dia membiarkan kunci mobilnya tergeletak di bangku tempat duduknya, dia sengaja mengeluarkannya dari saku celana, lalu berdiri dan melangkah menuju perempuan STW itu dan membayar harga yang diminta. 10 ribu perak. “Teh, boleh ikut buang air kecil.” Kata Suradi dalam bahasa Sunda. “Oh, i ya, silakan. Yang itu pak kamar mandinya.” Kata perempuan STW itu. Ketika kencing, Suradi berbisik kepada adik kecilnya yang setengah tegang. “Sabar, ya, tol. Jangan marah. Abg-abg itu sudah membikinmu tergoda untuk menyelonong ke situ kan?” Suradi tersenyum sendiri. “Aku sudah edan.” Katanya dalam hati. Ke luar dari kamar mandi, Suradi pura-pura meraba-raba saku celananya seperti orang bingung. “Om, pasti lagi cari ini.” suara khas abg itu terdengar demikian indah di telinga Suradi. Dia sudah menduga, cewek-cewek itu akan dengan mudah menemukan kunci mobilnya dan karena tidak ada satu pun di antara mereka yang bisa nyetir, tentu saja mereka tak akan punya niatan untuk mencuri mobilnya. Tapi bahwa si hitam manis itu yang mengacung-acungkan kuncinya, itulah yang membuat Suradi merasa terekstasi. “Ah, i ya. Makasih banyak ya cantik.” Kata Suradi dan menjemput kunci itu dengan sedikit nakal memegang tangannya. Eh, dia biasa saja tuh. “Winda, cepet bayar.” Seorang temannya berkata kepada cewek hitam manis itu. Oh, namanya Winda. Suradi segera mencegah tangan cewek itu untuk mengambil uang dari dalam tas sekolahnya. Kulitnya tangannya lembut. “Berapa, teh?” “Tadi pake baksonya dua ya? 10 ribu.” STW itu berkata sedikit ketus. Suradi membayarnya sambil menebarkan senyum. “Eh, Om, pulangnya mau ke arah mana?” Cewek montok berkulit putih itu bertanya. “Ke arah sana, ke Cimahi. Emang ada apa?” “Kita semua boleh numpang ga Om?” kata cewek yang lain. “Tentu saja boleh kalau mau di belakang.” Mereka berteriak: horeee… “Kamu mau ikut juga, Win?” Tanya Suradi. “I ya atuh Om, duduknya di depan.” Katanya. “Eh, kalian semuanya ya duduknya di belakang, cuma akyu yang di depan.” tambahnya. Huuuu… Cewek montok berkulit putih kelihatannya sedikit kecewa. “Dasar si Winda centil!” “Biarin, wew.” katanya. “Akyu sama Om di depan.” Sementara itu si perempuan STW terlihat kesal, dia menendang ember kosong hingga bergulingan di lantai. *** Sisa gerimis masih ada. Cewek-cewek yang berada di bak mobil sangat riuh. Suradi melajukan mobilnya pelahan dan tenang. “Rumah kamu di mana, Win?” “Masih, jauh Om. Di Tegalsari.” “Sudah punya pacar?” “Sudah.” “Ehem. Asik dong.” “Asik apanya Om?” “Pacarnya masih sekolah atau udah kerja?” “Udah kerja, Om di Bandung.” “Kamu sekarang kelas berapa?” “Kelas 12, Om.” “Kalau udah lulus mau kerja atau nerusin kuliah?” “Entahlah, Om. Mungkin langsung nikah sama si aa.” Tiba-tiba terdengar bunyi pukulan dari belakang jok. “Om, stop di sini.” “Kiri kiri.” Suradi menghentikan mobilnya. Beberapa cewek berloncatan dari bak mobil. “Makasih ya Om. Dah semua.” Beberapa puluh meter kemudian, suara pukulan itu berbunyi lagi. Semua penumpang di belakang turun. Tinggal mereka berdua. Jantung Suradi berdebar. Mungkinkah adik kecilnya menemukan kehangatan di dalam liang lembut itu? Kalau tidak memungkinkan, ya sudah. Jangan memaksa. Suradi melajukan kembali mobilnya. Dia menduga-duga apakah Winda pernah melakukan hubungan intim dengan pacarnya. Kalau sudah, tentu lebih baik. Sudah ada orang yang mendahuluinya memecahkan keperawanannya. Mereka berbicara santai. Winda tidak rese dan sok alim. Pembicaraan mengalir tenang. “Om, boleh ga Winda terus terang?” “Wah, terus terang apa? Boleh dong.” “Entar di depan ada tukang service HP, mm Winda mau ngambil HP Winda yang udah selesai diservis. Tapi, Om, uangnya kurang.” “Kurangnya berapa?” “190 ribu.” “Total biaya servisnya berapa?” “200 ribu.” “Itu mah bukan kurang atuh…” Suradi tertawa. Cewek itu juga. “Kesempatan nih.” Pikir Suradi. “Ya, udah. Nanti Om bayarin?” “Serius, Om?” “Ya, seriuslah. Paling nanti Om minta cipok dikit boleh kan?” Sepasang mata besar itu tampak berbinar-binar. Tiba-tiba dia menyorongkan mulutnya ke pipi Suradi dan menciumnya. Cup. Mmmuuaah. Aw!!! Suradi merasa kesetrum. “Nah, itu Om tempat servis HPnya.” Counter HP sekaligus tempat servis terlihat sepi. Mereka turun dan mengambil HP Winda, Suradi menarik uang 2 lembar pecahan 100 ribu dan memberikannya kepada Winda. Winda dengan gembira mencoba-coba HP dan meminta selfie bersama Suradi. “Koq hasilnya gelap?” “Habis mendung sih.” Kata Winda. Tiba-tiba hujan turun kembali dengan deras, mereka memepet ke etalase counter menghindari cipratan hujan. Winda yang berada di depan Suradi memepet hingga bokongnya mengenai adik kecil Suradi. Duh! Keluh Suradi. Suradi sekilat memperhatikan tukang service itu kembali sibuk dengan pekerjaannya. “Selfie lagi, Om.” “Okey.” Suradi menundukkan kepala, kedua tangannya memeluk perut Winda dan dengan kecepatan kilat mencium bibir cewek itu selama dua detik. Bibirnya begitu lembut dan hangat…. dan ada reaksi balasan. Kedua lengan Suradi merasakan degup jantung pada lembut kenyal kedua payudara cewek itu. Cepret. “Gambarnya masih jelek.” Kata Suradi. “I ya.” Terdengar suaranya gemetar. “Makasih ya Om.” “Sama-sama, cantik.” Bisik Suradi di telinga cewek itu. Mereka, entah bagaimana, tiba-tiba saja bergeser bersama ke arah lekukan tembok di samping paviliun itu, yang menyembunyikan mereka dari jalanan yang hujan dan gelap dan dari tukang servis itu. Kedua tangan Winda meraih kepala Suradi untuk menariknya ke bawah, sementara wajahnya sendiri sudah tengadah dengan bibir membuka. Pertemuan bibir antara dua insan itu tak terhindarkan lagi. Mereka saling memagut dengan lembut. Sementara itu, jari jemari Suradi meremas kedua bukit payudara Winda yang lembut kecal dan mengeras di ujungnya. Dari balik celana pantalonnya, kontol suradi sudah menegang dan mengeluarkan suhu panas yang bisa dirasakan oleh pantat Winda. “Sudah, Om. Nanti ketahuan orang.” Kata Winda, suaranya gemetar. Dia tahu, pada ujung memeknya ada sesuatu yang meleleh. Sejak awal ketika Winda melihat Suradi memesan kopi, dia sudah tergoda oleh cara bicaranya dan sikap tubuhnya. “Om, ke mobil yuk.” Suradi mengangguk. “Ayo jalan.” Kata Winda, saat mereka sudah duduk di jok. “Oke, Cantik. Sabar.” “Om, sudah punya istri ya?” “I ya. Kamu juga kan punya pacar.” “Menurut Om, Winda cantik atau jelek?” “Cantik. Sangat cantik.” “Tapi Winda item, Om.” “Justru kulitmu yang membuat kamu menjadi sangat cantik.” “Tadi kenapa Om mencium Winda?” “Karena suka. Tapi kenapa tadi kamu membalas ciuman Om?” “Sama, karena suka.” “Mau lagi?” Tanya Suradi. “Kalau,Om?” “Mau. Kamu?” Dia mengangguk. “Om, belok di situ.” “Kenapa belok?” “Pokoknya belok.” Suradi membelokkan mobillnya memasuki jalan aspal kecil yang tertutupi ilalang. Di situ ada tanah datar yang luas, ditumbuhi ilalang di san sini. Suradi merasa yakin, itu adalah proyek perumahan yang terbengkalai. Suradi menghentikan mobilnya di bawah pohon. Hujan bertambah deras. Dia kemudian menoleh dan menemukan Winda sedang menatapnya. Suradi mencium bibir Winda dan mendapatkan balasan yang lebih hangat. Jari-jemari Suradi membuka satu kancing baju seragam Winda, kemudian masuk dan mencari-cari buah dadanya yang lembut kenyal dan berdenyar. Putingnya yang mengeras dipilin lembut dengan jari tengah dan jempolnya. Remasan jari jemari Suradi berpindah dari satu bukit ke bukit lainnya. Dia melakukannya secara lembut dan sistematis secara ritmis berulang-ulang. Kemudian tangannya pergi dari situ untuk membuka kancing-kancing yang lain. Kemudian, ketika semuanya terlepas, Suradi menarik kaitan BH Wulan yang terletak di tengah-tengah agar penutup bukit lembut itu terbuka. Suradi melepaskan kuluman bibirnya pada bibir Winda dan berpindah mengulum pentil susu cewek itu. Sementara itu, tangannya berpindah operasinya ke betis Winda, naik pelahan mengusap-usap pahanya. Dan menemukan ujung celana dalam Winda sudah basah kuyup oleh lendir kenikmatan. Ketika jarinya menyentuh-nyentuh celana dalam basahnya, sebuah desahan lembut terdengar indah di telinga Suradi. “Akhh…” Melalui pinggiran celana dalamnya, jari jemari Suradi menyelusup untuk melakukan kontak langsung dengan memek Winda. Mengoles-olesnya, mengobelnya dan mempermainkan klitorisnya. Tiba-tiba Winda mendorong kepala Suradi dan melepaskan diri dari kuluman di puting susunya. Dia memandang Suradi dengan mata sayup. “Om, Winda sudah ga tahan.” bisiknya. “Kamu mau?” Winda mengangguk. Kedua tangannya kemudian melepaskan sepatu dan celana dalamnya. Sedangkan Suradi buru-buru melepaskan ikat pinggang dan kancing celana panjangnya, lalu menurunkan pantalon dan celana dalamnya melewati dengkul. “Tak secepat ini.” Bisik Suradi dalam hatinya ketika melihat Winda naik ke atas jok dan berdiri dengan badan membungkuk, kakinya melangkah ke pinggir melewati persneling dan berdiri memantati wajah Suradi. Suradi mengangkat Rok Winda yang lebar dan menciumi buah pantatnya yang halus, menjilati anus dan bagian bawah memeknya yang basah. Lendir itu terasa manis bagi Suradi. Bibir-bibir memek Winda yang tebal dan tembem membuat Suradi merasa masih penasaran untuk bermain-main dengannya lebih lama lagi. Tapi sudah tidak memiliki kesempatan lagi. Winda menurunkan pantatnya dan menjongkoki kontol Suradi yang sudah menegang keras. “Tak mungkin secepat ini.” Kata Suradi dalam hatinya saat tangan yang lembut itu meraih batang kontolnya yang panas, menggenggamnya dan mengarahkannya agar tepat berada di mulut liang memek Winda yang juga terasa panas. Suradi mengeluh ketika Winda menggerakkan pantatnya sehingga kepala kontolnya itu masuk ke dalam liang memeknya. Blessshhh… “Aghkhkhhh…. ” Sebuah sensasi kenikmatan kini mengguncang Suradi. Di dalam liang itu, batang kontol Suradi sedang dicambuk-cambuk oleh pecut kenikmatan yang tak terperi. Dia nyaris tak sanggup menanggung goncangan syaraf kenikmatan yang ditimbulkan karenanya. Winda menurunkan ke dua kakinya hingga mencapai bagian bawah mobil, menduduki paha Suradi dengan kedua buah pantatnya yang lembut dan kenyal itu menempel pada pangkal paha lelaki matang berpengalaman yang berumur 40 tahun itu. “Oughh… tidaak…” keluh Suradi. Kedua tangan Winda sekarang memegang stir dan memanfaatkannya untuk mendapatkan tenaga, agar dia bisa memantul-mantulkan pantatnya naik turun dengan baik. Selain memantul-mantulkan pantatnya, Winda juga melakukan goyangan ke kiri dan ke kanan, ke depan dan ke belakang dan goyangan memutar yang membuat Suradi hanya bisa memeluk perut cewek itu dan menempelkan pipinya pada punggung Winda. Suradi merasa mustahil bahwa liang memek yang mengulum batang kontolnya sekarang ini, sama dengan liang-liang memek lainnya yang pernah dia masuki. Tidak. Daya jepit dan kedutan-kedutan yang ditimbulkannya berdampak lebih dahsyat dari yang pernah dirasakan sebelumnya. “Om sshh… sekarang ya Om.” Katanya. “Winda sudah ga kuat pengen ke luar.” “Ya, cantik. Sama-sama ya. Om ke luar di dalam ga pa pa?” “Di dalam aja Om, ga pa pa.” “Yuk.” Mereka mengejan bersama. Sebuah semprotan yang memuncrat keras meledak di mulut kontol Suradi. Dia memeluk Winda dengan erat, seakan-akan ingin bertahan dari terjangan badai kenikmatan yang mengamuk dahsyat di seluruh bagian-bagian syarafnya. Selama beberapa saat Suradi terus memeluk Winda. Dengkulnya berkeriat-keriut seperti ngilu ketika kontolnya berkerut dan Winda melepaskan kuluman memeknya. Dia berpindah ke kursi sebelah dan mengambil tissue di dasbord, mengelap bagian-bagian tertentu di selangkangannya. Suradi melakukan hal yang sama. Dia melap batang kontolnya yang setengah tegang dan mulai mendingin dari lendir yang mulai mengering. Winda memakai kembali celana dalamnya dan mengenakan sepatunya lagi. Dia menoleh ke arah Suradi dan menjangkau pipinya untuk dicium. “Om, makasih.” Bisiknya. “Kontol Om enak.” “Winda cantik… yang barusan adalah yang terbaik selama hidup Om.” Kata Suradi. Winda tersenyum. Hujan masih mengucur deras ketika mereka memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Winda sudah mengenakan kerudungnya kembali dan memeluk tas sekolah di pangkuannya. Tapi dia merasa ragu ketika Suradi bersikeras mengantarnya sampai rumah. “Emang kenapa? Takut apa?” Tanya Suradi datar. Dia melirik cewek itu dengan ujung matanya. Bahkan jika dibandingkan dengan memek neneng, memek Winda sangat jauh sensasinya, dia telah memberikan suatu surprise berefek sangat “wow” pada kontolnya. “Mustahil dilupakan.” Desis Suradi dalam hatinya. “Soalnya di rumah engga ada apa-apa Om, lagian rumah Winda jelek.” “Terus, masalahnya apa?” Kata Suradi. “Om takkan membiarkan Winda kehujanan. Nanti sakit.” “Tapi..” “Sudah, kita mampir ke warung itu sebentar. Belilah semua yang kamu perlukan dan inginkan.” “Maksudnya Om?” “Ayolah Winda yang cantik… jangan bilang engga ada apa-apa di rumah. Warung itu kelihatannya cukup lengkap…” Winda terdiam sebentar. Matanya mengerjap-ngerjap. “Kalau begitu, jangan di warung itu Om. Nanti setelah warung itu ada warung lain yang lebih lengkap. Apakah Winda boleh belanja apa aja?” “Boleh. Kalau perlu, borong saja semua isinya.” “Om becanda.” “Tidak. Om serius.” “Sungguh?” Suradi mengangguk sambil tersenyum. Tiba di warung yang cukup besar itu, Winda masih merasa ragu. Tapi Suradi meyakinkannya dengan tegas, jangan ragu! Beli apa yang bisa dibeli. Hanya dalam hitungan waktu 30 menit, Winda telah menyelesaikan semua pembelian barang-barang yang dibutuhkannya. Dari beras 1 karung, mie instan, segala jenis tetek bengek bumbu dapur, sabun mandi dan cuci, shampo, odol, sikat gigi dan entah apa lagi. Suradi tak peduli. Dia merasa bahagia melihat abg itu senang. “Jadi semuanya berapa, Pak?” Tanya Suradi pada penjaga warung yang melayani pembelian itu. Setelah memencet-mencet kalkulator, penjaga warung yang kemungkinan besar juga adalah pemilik warung tersebut berkata, “Satu juta dua ratus ribu 51 ribu rupiah. Dibulatkan aja jadi satu juta 250 ribu, Pak.” “Baik.” Kata Suradi. Dia mengeluarkan dompetnya dan membayar harga yang diminta. Karena hujan masih deras, semua belanjaan disimpan di depan di bawah dashboard. Mereka melanjutkan perjalanan. Berkali-kali Winda menciumi pipi Suradi dan mengucapkan terimakasih. Diciumi seperti itu, kontol Suradi yang belum lama muntah pejuh, bangun lagi. Edan elu, tol!!! Suradi memaki dalam hatinya. Setelah memasuki sebuah jalan aspal rusak yang sempit dan agak menanjak, Winda menunjukkan sebuah rumah tua khas bangunan pinggiran tahun 80-an. Rumah seperti memencilkan diri karena halamannya yang luas dan ditumbuhi berbagai jenis pepohonan. Suradi tidak merasa kesulitan memarkir mobil baknya di pinggir rumah itu. Dia membantu Winda membawa semua barang-barang belanjaan ke dalam rumahnya. Setelah selesai, Suradi menikmati interior rumah tua itu yang sangat sederhana. Dia ingat masa kecilnya dihabiskan di rumah yang lebih jelek dari rumah ini. Suradi melihat Winda masuk ke dapur yang luas berlantai tanah, menyalakan kayu bakar dan menanak nasi liwet. “Winda… “Sebuah suara tua tiba-tiba terdengar dari kamar paling ujung yang bergorden paling lusuh. “I ya, nek.” “Kamu lagi masak nasi?” “I ya.” “Wanti sudah pulang?” “Belum, Nek. Mamah belum pulang.” Suradi duduk di kursi tua yang sudah sangat tua, tapi ternyata masih kuat. Winda dua kali menghampirinya dan mencium pipi dan bibirnya ketika duduk. “Sabar, ya Om. Tunggu sebentar.” katanya. Dia pergi ke kamar mandi untuk mencuci celana dalamnya sekaligus mandi. Berganti pakaian mengenakan kaos dan celana pendek. Jam di HPnya menunjukkan waktu 03:55. Dan hujan mulai reda. Winda datang dan duduk di sisinya. Dia memeluk tangan Suradi. “Winda enggak tahu nama Om tapi Winda sudah berkenalan lebih dulu dengan kontol Om.” Katanya. Suradi melepaskan tangannya dari pelukan Winda untuk merangkul pundaknya. Menciumnya pipi, kening, hidung dan matanya. “Boleh lihat KTPnya, Om?” Suradi merogoh dompetnya dan memberikan KTPnya. Winda menelitinya dengan cermat. “Om tinggal di Cimahi ya?” Katanya. “Eh, no HP Om berapa? ga pa pa kan Om minta nopenya?” “Ga pa pa.” “Ga takut kalau ketahuan istri?” Suradi mengangkat bahu. “Kalau ketahuan berarti sial!” Katanya dalam hati. “Winda sendiri ga takut ketahuan sama pacar?” Sepasang mata besar bonekanya itu mengerling-ngerling. “Ssstt. Ini rahasia ya, Om adalah selingkuhan Winda. Setuju?” Suradi tertawa kecil. Dia memeluk gadis kecil itu dan menciumi bibirnya. Tiba-tiba, gairah itu bangkit kembali. Kontolnya yang belum satu jam lalu mengentot memek gadis itu, kini bangun kembali. Sebuah ledakan halilintar mengejut mereka. Hujan yang semula mereda, berubah menjadi deras kembali. Bahkan lebih deras dari sebelumnya. “Mamah pasti akan terlambat pulang.” Kata Winda dalam hati. Memeknya yang masih remaja itu berdenyar-denyar lagi menahan rangsangan jemari Suradi yang mengoles-olesnya. Winda dengan lembut menarik tangan Suradi dan membimbingnya untuk memasuki kamarnya. Kamar yang sederhana dengan berbagai perabotan yang sederhana. Di kasur busa yang sudah lepek itu, Suradi membaringkan Winda dan melucuti seluruh pakaiannya. Suradi adalah lelaki yang sudah matang. Dia tahu, ketika menikmati sesuatu, maka dia akan menikmatinya secara sempurna. Jika dia menikmati gulai kambing kesukaannya, misalnya, dia akan menghabiskan semuanya bahkan dengan kuahnya tanpa sisa. Dia akan menyisir makanan itu dari yang paling kurang enak secara bertahap sedikit demi sedikit menuju yang paling disukainya, sehingga menyisakan yang terbaik di akhir untuk disantapnya. Dia akan merasa kenyang dengan cara yang baik. Demikian juga ketika dia menikmati sex. Dia tidak akan terburu-buru untuk menyemprotkan pejuhnya secara membabi buta. Tidak. Dia akan menikmatinya dengan pelahan dan bertahap. Apalagi abg yang kini berbaring telanjang bulat di hadapannya adalah idaman terbaik lelaki mana saja yang memiliki selera normal. Sejenak Suradi menikmati ketelanjangan cewek itu dengan minat seorang penjelajah untuk menemukan daerah-daerah baru yang bisa diekplorasi. Kedua buah susu cewek itu yang besar, bulat dan mancung, menjanjikan ekplorasi gairah yang berliku. Tapi memek mungil yang tembem itulah puncak segala eksplorasinya. Suradi melepaskan semua kemeja dan celananya sampai telanjang. Kontolnya sudah mengacung. Dia tidak akan meminta kontol itu diisap, jika Winda tak menginginkannya. Walau Suradi berharap Winda mau mengulum kontolnya sebentar saja, tapi dia tak ingin merusak hidangan istimewa ini. Suradi membungkuk dan mulai menciumi wajah Winda. Lalu menemukan bibirnya untuk mendapat pagutan yang lama dan saling berbalas dengan gairah. Tangannya merabai dan merambahi seluruh tubuh abg itu sampai sejauh apa yang bisa diraba dan dirambah dengan lembut. Tangan itu akan menemukan rambu-rambu rangsangan yang berdenyar lembut, yang hanya bisa dirasakan dan ditemukan oleh tangan yang memiliki jam terbang pengalaman menikmati wanita yang tinggi. Suradi melepaskan diri dari kuluman bibir Winda. Mulutnya kini menyusuri leher yang berdenyut-denyut oleh aliran darah yang bergerak cepat. Mengisapnya pelahan, kemudian naik ke telinga lalu turun kembali ke leher untuk menuju pundak. Menyesap pinggiran payudara dan keteknya. Turun ke perut. Mencecapnya dan menyusur naik ke atas di sepanjang pinggiran perut hingga ke pinggiran bukit susu yang berbeda. Kedua bukit nenen yang kenyal itu akan mengeras demikian juga dengan putingnya. Bergantian mulut Suradi memamah sekitaran bukit-bukit itu dengan bibir-bibir mulut bagian dalam. Barulah kemudian dia melahap puting-putingnya yang mengeras itu dan mempermainkan denyarannya dengan lidahnya. “Aghkhkh….” suara desahan itu memberi tahu Suradi bahwa eksplorasi kenikmatan di daerah itu harus segera di akhiri. Sekarang fokusnya beralih ke daerah paha. Dia mengendus belahan memek tembem itu dan menikmati aromanya yang memikat. Tapi Suradi tak menyantapnya. Dia melahap pinggiran pangkal paha dan seluruh paha sampai dengkul. Kemudian menggulingkan tubuh Winda agar menelungkup. Menciumi punggungnya yang halus dan menemukan kedua buah pantatnya yang bulat dan indah. Memamah-mamahnya dan kemudian menyusuri belahan pantat itu dengan lidahnya hingga mencapai lubang anus. Membalikkan kembali tubuh abg itu dan merenggangkan ke dua pahanya. Bibir-bibir memek yang tembem itu merekah. Belahannya membuka dengan kelentit yang berdnyut-denyut. Pada pucuk bagian bawah, telah menetes lendir yang merambat menuju anus. Inilah bagian akhir dari awal perjalanan menuju ke angkasa kenikmatan. Dia mengecup pubis yang berrambut halus. Mencaplok bibir-bibir luar si memek tembem yang mulai gelisah. Lalu dengan cerdik menyesap bibir-bibir bagian dalamnya yang lembut dan basah. Menjulurkan lidahnya untuk menyapu semua lendir yang meleleh, mengentot liang memek itu dengan lidahnya, membiarkannya berdenyut-denyut lalu mengulum itilnya yang bergerak-gerak centil. “Omhkhkhk…omhkhkhk…” Winda menggelinjang. Pinggulnya mengangkat beberapa centimeter dari permukaan kasur. Itulah isyarat bahwa tugas mulut sudah selesai. Kini kontolnya yang sejak tadi sudah tak sabar ingin bertugas, dibawanya ke mulut liang memek itu. Membenamkannya hingga masuk semuanya… maka pengentotan itu pun dimulai. Memek berusia remaja memang beda. Suradi meresapi perbedaan itu. Saat menggenjotnya, dia tak ingin terburu-buru. Dia ingin kontolnya benar-benar menikmati memek itu secara sempurna. Dia tidak akan berganti posisi sampai dia yakin bahwa perubahan posisi akan menambah kesempurnaan kenikmatan. Clep clep clep… terdengar suara ritmis hujaman kontol Suradi yang berkecepatan sedang. Liang memek itu terasa hangat ketika menyemburkan orgasme puncaknya yang pertama. Winda menggelinjang lemah. Suradi terus menggenjotnya secara ritmis. Pelahan tapi pasti, puncak ke dua dan ke tiga dilalui oleh abg itu dengan mata terpejam. Akhirnya, moment itu datang juga. Sebuah denyaran dan lenguhan Winda menyadarkan Suradi bahwa puncak terakhir akan mereka naiki. Suradi memeluk Winda dengan erat dan melakukan genjotan dengan kecepatan yang semakin lama semakin tinggi. Winda menjerit lirih saat mendaki puncaknya yang tertinggi. Kedua tangan dan kakinya memeluk Suradi dengan erat. Perjalanan sudah sampai di ujung. Suradi melawan pelukan itu dengan lebih erat dengan membenamkan seluruh batang kontolnya ke dalam memek Winda. Dia mengejan sangat keras dan menyemprotkan lahar pejuh itu dengan ledakan yang sangat gila. PROTTTT!!!! “Eughkhkh…” Suradi melenguh menimati letupan susulan yang mengecrot-ngecrot pelahan dan melemah. Suradi memeluk Winda dan merasakan kehangatan dan kelembutan seluruh tubuh abg itu. Mereka terdiam. Bertahan dengan pelukannya masing-masing dan menikmati keheningan yang sempurna efek kelezatan persetubuhan yang menyatu. Mereka terdiam meresapi dunia lain yang melayang-layang jauh entah di mana. Sampai gemuruh itu membangunkan mereka dari efek ekstasi percintaan yang sempurna. Hujan deras masih terdengar riuh di luar. Winda yang pertama bangkit. Dia mengecup bibir Suradi dengan cepat. “Indah sekali, Om. Sangat indah.” Bisiknya. Suradi tersenyum. “Ya, memang sangat indah.” *** Suradi membiarkan gadis itu mengenakan pakaiannya, lalu membiarkannya sendirian di kamar itu. “Nasinya mungkin sudah matang.” Kata Winda sambil menebah gorden kumal dan pergi ke dapur. Suradi menikmati kesendirannya di kamar yang asing itu. Lututnya terasa berdenyut-denyut seperti disedot sesuatu. Dia berbaring di kasur busa yang sudah lepet itu dengan nafas teratur. Matanya menatap langit-langit yang terbuat dari anyaman bambu dengan nanar. Meresapi keindahan yang baru saja direguknya, yang belum tentu akan dia dapatkan kembali di masa yang akan datang. Dia bangkit dari tidurannya, cairan lendir itu mulai mengering di sekujur batang kontolnya dan beberapa menyangkut di bulu-bulu pubisnya. Dia melapnya dengan saputangan. Mengenakan kembali kemeja dan pantalonnya lalu pergi ke dapur dan menyaksikan Winda sedang menjerang air menggunakan tungku. “Nasi liwetnya udah mateng.” Katanya. Suradi menemukan kamar mandi yang sangat sederhana itu di ujung dapur, kencing di sana dengan lancar dan banyak. Kembali ke dapur, Winda sedang menyeduh kopi hitam untuknya. Jam di HPnya menunjukkan waktu 04:05. Suradi kembali duduk di ruang tamu. Mengenakan sepatunya. “Kopi datang.” Kata Winda. “Dinikmati ya Om.” sebuah ciuman mendarat di pipi Suradi. “Hadeuh…” Suradi mengeluh. Dia mengeluarkan kreteknya dan menyalakannya. Pintu rumah itu dibukanya agar asap rokok berlari ke arah situ. “Dia akan membuat aku kedanan karena kangen.” keluh Suradi. Hujan deras berhenti dan cuaca tiba-tiba saja terang. Dari pintu yang terbuka, dia melihat seorang wanita muda, mungkin seumuran dengannya, berjalan terburu-buru diikuti oleh dua orang lelaki yang sikapnya terlihat kurang bersahabat. “Pokoknya harus sekarang, Ceu. Kalau tidak TVnya akan kami ambil.” Kata salah seorang lelaki itu di teras. Wanita itu tidak menjawab. Dia malah sedikit terkejut melihat seorang lelaki yang tak dikenal duduk di ruang tamunya. Apakah dia gurunya Winda? Ah, ya. SPP sudah dua bulan belum dilunasi. Suradi berdiri begitu wanita itu berada di ambang pintu, dia mengangguk hormat dan membiarkan wanita muda itu masuk ke dalam ruang tengah sambil memanggil Winda. Wanita muda itu tak membalas anggukan hormatnya. “Ceu, gimana ceu!” Kata salah seorang lelaki itu dalam bahasa Sunda. “Tunggu sebentar, saya kan baru pulang.” Jawab wanita muda itu, juga dalam bahasa Sunda. “Pokoknya harus bayar sekarang!” Sampai dengan kalimat terakhir yang diucapkan oleh lelaki itu, Suradi langsung paham duduk persoalannya. “Om, sini sebentar. Kenalan dulu sama mamah.” Kata Winda dari ruang tengah. “Selamat sore, Bu.” Kata Suradi. “Saya Suradi, saya ke sini hanya mengantarkan Winda pulang. Tadi hujan besar.” Wanita muda itu menatapnya dengan curiga. “Bapak baik benar sama anak saya.” Katanya, nadanya setengah sinis. “Ya, tentu saja, Bu. Dia telah menemukan kunci mobil saya yang jatuh entah di mana.” kata Suradi dengan simpatik. “Sebagai balas budi atas kebaikannya dan rasa gembira saya mendapatkan kunci mobil itu, saya memaksanya agar mau diantar biar tidak kehujanan.” Kata Suradi. “Tapi bapak juga kan yang membelikan semua barang belanjaan ini.” “Ya. Tentu saja. Tapi itu nilainya tak seberapa jika saya harus berjalan kaki dan mencari tukang kunci yang entah ada di mana. Mohon ibu jangan curiga.” Tatapan wanita muda itu nampak mencair. “Tapi….” Katanya. “Sudah, Bu. Jangan dipikirkan terlalu panjang, barang-barang belanjaan itu sudah terlanjur ada di sini, tidak perlu kan kita kembalikan ke warung.” Suradi berkata sambil tersenyum. Wanita muda itu menarik nafas lega. “Ceu, cepat ceu.” Kata salah seorang lelaki itu di ruang tamu. Wanita muda itu bergegas kembali ke ruang tamu. “Kang, beri tempo seminggu lagi, uangnya kepakai buat bayar SPP.” “Tidak bisa. Ceu Wanti sudah telat 3 bulan angsuran dan tempo seminggu yang kemarin kita kasih juga sudah lewat. Bayar sekarang atau TVnya kita ambil.” Wanita muda yang dipanggil Ceu Wanti itu menggigit bibir. Dia sangat mirip dengan Winda tapi rambutnya lurus dan kulitnya lebih terang. Suradi mendengar semua percakapan itu dan bergegas memasuki ruang tamu. Dia berdiri di samping wanita muda itu dan tersenyum kepada dua orang debt collector itu. “Sabar, akang-akang.” Kata Suradi. “Jadi semua yang harus dibayar Ceu Wanti ini berapa?” Tanya Suradi, suaranya tenang dan datar. “Tiga kali 175 ribu plus bunga.” “Baik. Sisa cicilannya berapa kali lagi?” “Kalau yang 3 bulan itu dibayar, jadi tinggal 3 kali cicilan lagi.” Jawab salah seorang debt collector itu. “Kalau dibayar semuanya jadi berapa?” Tanya Suradi. “Sebentar, Pak.” Kata si debt collector itu tadi. Dia mengeluarkan kalkulator dan memencet-mencetnya. “Jadi, semuanya 1 juta 50 ribu.” “Baik. Sekarang tulis lunas di buku catatanmu.” Kata Suradi sambil menarik dompetnya. Mengeluarkan uang sejumlah yang diminta dan membayarnya. “Tulis lunas ya.” Wanita muda bernama Ceu Wanti itu terpana. Dia tak bisa mengatakan satu patah kata pun ketika para debt collector itu. “Persoalannya beres kan, Ceu.” Kata Suradi. “Ttterimakasih… Pak.” “Sama-sama. Nah, kalau tidak keberatan saya ijin, permisi pulang.” “Tunggu, Om.” Kata Winda. “Winda sudah bikin nasi liwet, sambel dan lalap, sama kerupuk udang yang tadi dibeli. Makan dulu ya?” “Saya…” “Ayo Mah, ajak dia makan.” Katanya. “Tapi mamah belum kenal dia.” Katanya kepada Winda. “Tadi Om sudah memperkenalkan diri. Sekarang giliran Mamah.” Kata Winda riang. “Saya Wanti…. bagusnya saya pangil bapak atau…” “Akang aja. Kalau saya panggilnya Ceuceu atau apa?” “Wanti aja.” Kata wanita itu dengan senyum malu-malu. Suradi tak kuasa menolak ajakan makan itu. Lagi pula perutnya memang sudah lapar. Mereka duduk lesehan di atas tikar yang sudah tua. Nenek juga ikut makan. “Tadi waktu hujan, nenek samar mendengar ada orang yang mengaduh-aduh.” Katanya, entah ditujukan kepada siapa. Hanya saja Winda tiba-tiba tersedak dan Suradi tersenyum simpul. “Makanya, Mak, diminum obatnya biar bisa tidur dengan nyenyak.” Kata Wanti. Selesai makan, Suradi pamitan hendak pulang diikuti tatapan kecewa Winda yang mencari waktu satu detik saja untuk memeluk lelaki itu… tanpa diketahui ibunya. Suradi juga merasakan hal yang sama. Dia merasa sangat khawatir terhadap dirinya sendiri. Pertemuan kilat yang bersahabat, membuat hatinya selalu terpikat. “Win, apa kamu pikir aku akan mudah melupakanmu?” Katanya dalam hati. *** Sepanjang minggu itu Suradi disibukkan oleh dua proyek kecil di suatu instansi pemerintah provinsi di Bandung. Walaupun nilai proyek pengecatan gedung kantor itu kecil, namun benefit relasinya tinggi. Dia bisa berkenalan dengan sejumlah pejabat dan ikut kongkow dengan mereka di suatu kafe. Selama seminggu itu pula istrinya mengeluh karena tak semalam pun dia disentuh. Suradi juga sama mengeluh. Walau pun dia sudah menghabiskan sate kambing 20 tusuk, tetap saja adik kecilnya tak mau bangun. Iis menyangka suaminya sedang banyak pikiran karena hanya mendapat proyek-proyek kecil. Ia juga beberapa kali memergoki suaminya sedang melamun. Ya, akhir-akhir ini Suradi memang sering melamun. Dia sangat kangen dengan abg itu. “Perlu berapa lama aku bisa melupakan dia? Seminggu? Dua minggu? Sebulan?” Pikir Suradi. Kekhawatirannya dulu pada dirinya sendiri, kini benar-benar terjadi. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan Winda? Kecil, Mungil, lucu, legit… *** Dua minggu pun berlalu. Pagi itu Suradi mendapat telpon dari salah seorang relasinya dari Pemprov Jabar, bahwa ada suatu proyek bantuan rehabilitasi gedung SMA swasta di Cianjur yang nilainya cukup lumayan. “Terus terang saja, Pak Radi, saya sudah menyodorkan proyek ini ke beberapa kontraktor tapi mereka kurang berminat.” “Kenapa ya Pak?” Tanya Suradi. “Karena ini dananya dari APBN, jadi pencairannya sering molor. Bagaimana, Pak Radi berminat tidak?” “Tentu saya berminat, Pak. Tapi, apa bapak sudah tawarkan ke kontraktor lokal?” “Sudah. Tapi enggak ada yang deal. Jatah saya biasanya 10%, tapi mereka enggak ada yang berani, paling tinggi cuma 7%. Tanggung. Lagi pula yang 10% itu saya bagi dua dengan orang pusat, jadi memang tanggung kalau 7%.” Katanya. “Boleh nanya nama SMA Swastanya pak?” “SMA Sukaharja (bukan nama sebenarnya).” Suradi tiba-tiba tersentak. Itu sekolahnya Winda. “Baik, Pak. Saya sekarang langsung meluncur ke kantor bapak.” “Siap.” *** Hari itu adalah hari pertama pengerjaan proyek. Suradi mengenakan stelan terbaiknya untuk menemui sejumlah pejabat penting di sekolah itu agar bisa bekerja sama demi kelancaran rehabilitasi. Namun jauh dari dalam hatinya, dia berharap-harap dapat menemukan Winda pada hari itu. Tapi tidak ketemu. Pada hari kedua matanya memperhatikan satu demi satu siswi-siswi sekolah itu, tapi juga tidak ketemu. Ada ratusan siswi di sekolah itu. matanya sampai lelah menelisik tapi gagal mengidentifikasi abg pujaan hatinya itu. Pada hari ke tiga Suradi berpikir, apakah pantas jika dia pergi ke ruang guru dan menanyakan kelas di mana Winda berada? Ah, entahlah. Ataukah dia harus pergi ke rumahnya dan menjemputnya untuk pergi ke sekolah? Tidak. Itu ide buruk. Hari ke tiga Suradi galau. “Sudahlah, cepat atau lambat juga pasti akan ketemu. Toh aku punya waktu dua bulan di sini.” Kata Suradi menghibur diri. *** Hari itu entah hari ke berapa Suradi berada di sekolah itu. Mungkin hari ke 11. Dia menyusuri koridor sekolah untuk menuju ruang Tata Usaha yang plafonnya sudah diperbaiki. Tujuannya hanya untuk mengechek sebentar apakah pekerjaan yang dilakukan anak buahnya itu sudah sesuai dengan spesifikasi ataukah belum. Kalau sudah, ya bagus. Kalau belum, ya diperbaiki. Dia melongok dari ambang pintu ruang TU dan sekilas saja dia tahu anak buahnya sudah bekerja dengan baik. “Masuk saja, Pak.” Kata salah seorang staf TU, mereka tahu kalau Suradi adalah pemborong pekerjaan rehabilitasi itu. “Trimakasih, saya cuma ngechek saja sebentar. Maaf menggangu.” “Tidak, Pak. Silakan.” Suradi hanya masuk beberapa langkah saja ke dalam ruangan itu dan merasa yakin pekerjaan anak buahnya dilakukan dengan baik sesuai spek. Ada yang tidak disangkanya ketika sekilas dia melihat seorang siswi sedang tertunduk di depan sebuah meja yang terletak di pojok. Itu meja Kepala TU, tampaknya dia sudah kesal karena siswi itu sudah menunggak SPP selama 3 bulan. “Pokoknya, kalau minggu ini belum dilunasi, terpaksa kami akan memanggil orangtuamu ke sini.” Katanya. Suradi cepat-cepat ke luar dari ruangan itu dan berdiri tidak jauh dari ambang pintu. Pura-pura memperhatikan plafon koridor. “Akhirnya, aku menemukannya juga.” Kata Suradi, wajahnya tampak sumringah. Setelah menunggu cukup lama (padahal cuma 5 menit) Winda ke luar dari ruangan itu dengan wajah menunduk. Suradi sengaja menghalangi jalannya sehingga gadis itu menubruknya. “Aduh, maaf.” Kata Suradi sambil tersenyum, menatap mata besar mirip boneka itu yang sedang terperangah. Ekspresi wajahnya yang terkejut sekaligus gembira itu membuat hati Suradi berbunga-bunga. Apalagi ketika gadis itu memeluknya. Suradi merasa bahagia tapi dia cepat melepaskan pelukan itu. “Om, Winda kangen.” “Sama Om juga.” “Pulang sekolah mau ketemuan?” “Jangan Om, tiap hari Winda dijemput Aa.” “Pacar kamu?” Winda mengangguk. “Om enggak cemburu kan?” “Om enggak punya hak untuk cemburu, cantik.” “Tapi aa orangnya pencemburu, Om.” “Itu tandanya dia sayang sama kamu.” “Berarti Om enggak sayang dong sama Winda.” Suradi terdiam sebentar. “Coba kamu bilang, apa yang perlu Om lakukan sebagai bukti bahwa Om sangat sayang sama kamu.” “Cium pipi Winda sekarang! Berani enggak?” “Enggak, enggak berani.” “Huh, katanya minta bukti.” “Soalnya, kalau sudah nyium Winda, Om akan sulit dihentikan.” Kata Suradi, kalem. Winda terkikik. “Koq ketawa?” “Kayaknya kita sama deh Om.” “Kamu harus cepat pergi ke kelas.” Kata Suradi. “SPP kamu nanti sama Om diberesin.” Winda menatap Suradi dengan tatapan aneh. “Jangan, Om. Biarin mamah dipanggil ke sini.” “Koq begitu?” “Pokoknya biarin aja.” Kata gadis itu. “Om jalannya ke sini, kelas Winda ada di pojok… Om di sini sebenarnya lagi ngapain?” “Lagi kerja.” “Kerja? Jadi guru?” Suradi tertawa kecil. “Bukan, masa jadi guru? Om yang ngerjain perbaikan sekolah ini.” “Tapi kenapa Om enggak ikut kerja? Om yang jadi bosnya ya?” Suradi mengangkat bahu. “Begitulah kira-kira.” “Om… kapan bisa kangen-kangenan?” “Kamu atur deh, Om ikut aja.” “Entar Winda pikirin dulu… Om sayang, dadah, Winda masuk kelas dulu.” Suradi merasa berbunga-bunga. *** Pagi itu, hari ke-17, pada jam istirahat pertama, Winda menjajari langkah Suradi yang melangkah pelahan di koridor sekolah dekat toilet siswa. “Om, Winda mau cerita. Penting. Di tunggu ya di tukang soto di depan sekolah. Jam 12.” “Ashiyap cantik. Tapi kenapa di situ tempatnya?” “Pokoknya jam 12.” *** Setengah jam Suradi duduk di tukang soto itu. Tapi Winda tidak muncul juga. Ketika Suradi menduga Winda tidak bisa datang, dia melihat Winda dan ibunya ke luar dari pintu gerbang sekolah. Mereka kelihatannya bertengkar. Ibunya memaksa Winda naik angkot tapi kelihatannya Winda menolak. Ibunya kemudian naik angkot sendirian. Winda celingukan sebentar, setelah menyebrang jalan dan memasuki warung soto ini, barulah Suradi tahu kalau Winda baru saja menangis. Suradi mencermati wajah itu. Ehm. Ada yang melukai hatinya. Tapi apa? Siapa? Mengapa? “Laper?” Tanya Suradi. Winda menggelengkan kepala sambil memeluk tas sekolahnya. “Kamu bawa tas emang mau pulang? kan masih jam istirahat?” Winda tidak menjawab, malah meneteskan air mata. “Pergi yuk Om.” “Kemana?” “Ke mana aja, Winda pengin nangis.” Suradi menarik nafas berat. Dia lalu menelpon Pak Tono dan memintanya membawakan mobil yang lagi nganggur ke tukang soto di depan sekolah. “Yang lagi nganggur cuma espas, Bos. Si dukun sama pick up biru dipake. Bos mau ngambil besi ya?” “Enggak, besi nanti dianter. Saya ada perlu.” “Siap, bos.” *** Suradi bingung. Sepanjang jalan Winda menangis, tak bisa dihentikan. Dia juga bingung tak punya tujuan mau ke mana. Akhirnya Suradi berhenti di sebuah kafe. Dan memaksa abg itu untuk mau makan. Setelah makan, wajahnya tampak lebih cerah. Mungkin benar apa kata pepatah, makanan yang enak bisa menghilangkan kesedihan. Meski pun begitu, Winda masih lebih senang bungkam daripada cerita. “Tadi katanya bilang mau cerita. Penting. Koq sekarang diam saja?” “Om, bercinta yuk?” Suradi menatap abg itu dengan teliti. Tidak. Winda tak sedang ingin bercinta. “Kamu kenapa cantik? Cerita dong biar perasaannya jadi lega.” “Om sayang enggak sama Winda?” “Itu pasti.” “Mau bercinta sama Winda tiap hari?” “Mau.” “Terus kenapa sekarang diajak gak mau?” “Kamu lagi sedih, sayang. Kamu lebih butuh dipeluk daripada ML.” Kata Suradi. “Nah, sekarang kita pulang. Om anter sampai rumah.” “Winda enggak mau pulang.” “Loh?” “Pokoknya enggak mau.” “Kamu bertengkar sama mamah ya? Kenapa?” Winda menatap Suradi dengan tajam. Matanya nanar. Tiba-tiba dia menangis lagi. Suradi memeluknya. “Om.” Katanya sambil terisak. “Ya, sayang.” “Ngentot yuk?” “Kamu serius?” Winda mengangguk. “Tidak. Kamu harus pulang.” Kata Suradi. “Winda ga mau pulang!!!” Tiba-tiba saja Winda berteriak keras. Nadanya sangat marah. Dia berdiri dari duduknya dan pergi meninggalkan meja itu. “Winda, tunggu sebentar!” Panggil Suradi. Tapi gadis itu seperti tidak mendengarkan. Dia terus melangkah meninggalkan kafe itu. Suradi bingung. Dia cepat-cepat membayar tagihan dan menyusul gadis itu yang tengah berjalan di trotoar, menjauh dari kafe. “Kamu mau pergi ke mana?” “Ke mana saja asal enggak pulang.” “Sabar, cantik, sayang. Kita cari tempat lain yang lebih tenang… ke mobil yuk.” “Tapi Om harus janji enggak akan nganter Winda pulang.” “Om janji.” “Sumpah?” “Om sumpah.” *** Di dalam mobil, Winda menciumi Suradi berkali-kali. Tapi entah bagaimana, lelaki itu tidak merasakan apa-apa di balik ciuman itu. “Kalau engga mau pulang, terus entar malem Winda mau tidur di mana?” “Di mana aja, asal sama Om.” “Baik.” Kata Suradi. “Sekarang kita cari pakaian dulu buat kamu…” “Eh, i ya. Lupa. Masa kemana-mana pake seragam?” “Kita ke supermarket ya…” “Jangan Om, cari yang murah aja.” “Cari yang murah?” “Ya, biar uangnya bisa dihemat.” “Belinya di mana?” “Di kaki lima banyak.” “Terus tidurnya?” “Di losmen murah aja, Om. Kita bisa bercinta semalaman sampai puas.” “Baik. Om ikut aja.” “Om, baik banget.” Dia mencium pipi Suradi. *** Malam telah jatuh ketika mereka check in di losmen itu. Suradi mengenakan kaos “I Love Cianjur” dan celana bokser yang dibelikan Winda di pedagang kaki lima. Dia duduk di teras yang menghadap taman dalam keadaan tidak bisa berpikir, berteman kopi dan rokok. Dia bingung. Apa sih yang sebenarnya terjadi pada Winda? Winda sedang sibuk di kamar. Menggantung baju-baju di lemari, lalu mencuci kaos kaki, celana dalam dan BH, sambil mandi. Setelah selesai baru dia menemani Suradi duduk di teras itu. Dia memakai kaos dan celana bokser yang sama dengan Suradi. Rambutnya diikat ke belakang dengan karet gelang. Dia cantik. Suradi sebenarnya tercengang oleh kebeliaan abg itu. Kontolnya sudah bangun berkali-kali tapi hatinya, entah mengapa, merasa resah. Winda memandanginya dengan tatapan menyelidik, tapi Suradi pura-pura tidak tahu. “Aduh sakit, aduh sakit.” Tiba-tiba saja Winda mengaduh. Dia kemudian masuk ke dalam kamar dan berbaring di kasur yang empuk. Suradi merasa cemas. Dia mengikuti Winda. “Apanya yang sakit, sayang?” Kata Suradi. “Ini, nenennya pengen diemut.” Jawab Winda dengan senyum yang nakal. Dia membukakan kaosnya hingga kedua bukit kembarnya yang tanpa BH menyembul. Menantang. Suradi jadi merasa gemas campur lega. “Kamu ini ya… bikin kuatir orang aja.” Winda terkikik. “Om emut Om.” “Ga mau.” “Emut!” “Ga mau.” “Kalau ga mau, Winda yang akan ngemut.” Katanya sambil merangkul Suradi dan memeluknya dengan kedua tangan di leher dan kedua kaki di pinggang. Mulutnya mengemut telinga Suradi sehingga lelaki itu kegelian. “Ampun… ampun…” Kata Suradi sambil menjatuhkan diri di kasur. Winda menduduki perut Suradi yang rata dan kedua tangannya menekan pergelangan tangan Suradi ke kasur. Lalu menggoyang-goyangkan kedua buah susunya di mulut Suradi. “Emut.” Katanya. Suradi pun mengemutnya. “Enak kan?” “Enyak…enyak.” “Satu lagi. Enak kan?” “Enyak… enyaakkk…” “Nah, udah.” Winda melepaskan cekalan tangannya pada lengan Suradi, tangannya bergerak untuk menarik kaosnya ke atas, melepaskannya melalui kepalanya. Kedua tangannya kemudian memegang kedua pelipis Suradi, seakan-akan memaksa lelaki 40 tahun itu untuk memelototi kedua payudaranya yang bulat dan mancung. Suradi pasrah. Membiarkan gadis itu melakukan apa yang diinginkannya. Winda menciumi wajah Suradi, mulai dari keningnya, matanya, hidungnya, pipinya… lalu mengemut bibirnya. Suradi membalasnya. Mereka saling berpagut lama sekali sampai akhirnya Winda melepaskan bibirnya dari bibir Suradi. Dia kemudian menarik kaos yang dipakai Suradi, dari arah pinggang ke atas melalui kepala dan ke dua tangannya, sehingga ketika lepas, kaos itu dalam keadaan terbalik. Winda menciumi dada Suradi yang tak berbulu. Mengemuti puting lelaki itu hingga kegelian. Dia menciumi perutnya dan menemukan celana bokser lelaki itu sudah menggembung. “Kontol Om udah ngaceng.” Kata Winda dengan terkikik. Dia kemudian menarik celana bokser lelaki itu beserta celana dalamnya hingga melewati dengkul dan akhirnya lepas dari kedua kakinya. “Winda… kamu… ough…” Suradi mengeluh ketika mulut mungil itu mengulum kontolnya dengan lembut. Mengocoknya pelahan dengan mulutnya, lalu menjilati batang kontol dan pelirnya dengan lidahnya. Winda berdiri sejenak di atas kasur, melepaskan celana boksernya dan melemparkannya. Suradi hanya bisa diam dan memandanginya saja. Winda kembali menduduki Suradi, kali ini tepat di atas pangkal pahanya. Menempelkan batang kontol itu pada belahan memeknya. Menggesek-geseknya hingga memeknya basah. Suradi mengerang ketika Winda memasukkan batang kontolnya ke dalam liang memeknya. Membenamkannya hingga amblas semuanya. “Winda sayang…ough…” Suradi mengeluh dan mengerang ketika Winda menggerak-gerakkan pinggulnya ke berbagai arah. Tangan Suradi menggapai-gapai tanpa arah dicekam sensasi kenikmatan yang belum pernah dirasakannya selama ini. Selama hampir 10 menit Winda “mengulek” kontol Suradi dengan memeknya sampai akhirnya Winda menemukan tanda-tanda bahwa dia akan kedatangan tamu kenikmatannya. Winda lalu menurunkan badannya dan memeluk lelaki itu dan menciumi bibirnya. Dia mengentot lelaki itu dengan pelukan erat, dengan perut dan susunya menempel erat pada tubuh lelaki itu. “Winhhh…ddhhaaa… Om… sudah gah hkhkhuuaaattt….” Kedua tangan Suradi hinggap di kedua buah pantat Winda, meremasnya dan menekannya hingga genjotan Winda tertahan. “Ayo Om, kita ke luar sama-sama.” Aaahkhkhkhhh….. crot…crot…crot… srrr… srrr…crot…crot… Winda merasakan cairan hangat itu menyembur di dalam memeknya. Dia tak melepaskan pelukannya dan menjatuhkan dagunya di atas pundak lelaki itu. Winda merasa nikmat. Nyaman. Dan letih. Zzzzzzz…. Winda pun terlelap dalam mimpi. *** Suradi terbangun oleh mimpi aneh yang tak bisa diingatnya. Dia menatap langit-langit kamar losmen selama beberapa detik sampai merasa benar-benar terjaga. Hembusan lembut angin pada pundaknya, berasal dari nafas Winda yang teratur di dalam lelap. Gadis kecil itu terlelap dalam peluknya. Kontol Suradi yang mengecil, terjepit di dalam lubang memek yang merapat oleh dua jenis lendir kenikmatan yang mengering. Suradi tersenyum nyengir. Pelahan dan hati-hati, Suradi menggulingkan gadis kecil itu ke sisinya. Menatap sejenak ketelanjangan belianya yang indah dan mempesonakan seluruh kelelakiannya. Lalu menyelimutinya. Dia mengenakan kembali pakaiannya dan duduk di kursi. Menopang dagu pada dua tangannya dan memandangi wajah gadis itu yang sedang terlelap. “Mamah jahat… mamah jahat…” Gadis itu mengigau. Beberapa kali dia menggelinjang-gelinjang gelisah. Lehernya tampak berkeringat. Kemudian diam. Nafasnya tampak teratur kembali. Suradi diam dan memandanginya. “Dia tidak mendengkur.” Bisik Suradi. Ingin sekali Suradi bangkit dan mencium kening serta hidung gadis kecil itu, tapi takut membangunkannya. Tiba-tiba, dalam lelap tidurnya gadis itu menangis sesenggukan. “Huk… huk… aa… kamu jahat… huk… huk… jahat…” Airmata menetes pada ujung-ujung matanya, mengalir dan merambati kedua pipinya. Dia gelisah sejenak. Lalu diam dan nafasnya teratur kembali. Suradi merasa sangat trenyuh. Dia bangkit dari duduknya. Berjalan hilir mudik di dalam kamar sambil berpikir keras, menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi pada Winda. Tapi tak menemukan jawaban pasti. Dia melangkah ke lemari pakaian, memeriksa kemeja dan pantalonnya yang digantung di situ. Memeriksa dompetnya dengan cermat tapi tidak tertarik memeriksa HPnya. Matanya menangkap tas sekolah yang tergolek di bagian paling bawah lemari, Suradi mengambilnya dan memeriksa isinya: buku-buku, cepuk wadah ballpoint dan dompet plastik murahan warna pink. Dia mengambil dompet itu dan membukanya. Ada sebuah foto selfie yang sudah dirobek setengahnya. Hm, bagian yang dirobek itu mungkin foto pacarnya. Sisa yang tidak dirobek adalah foto wajahnya yang lagi unyu-unyu. Yang pertama dilihat secara teliti tentu saja KTPnya. Nama lengkapnya Windari Setyanugraha. Ulang tahunnya sudah lewat. Usianya 18 tahun lebih. Di dalam dompetnya dia memiliki sejumlah uang yang sangat sedikit. Tetapi yang aneh, cara menyimpan uangnya di dompet dengan cara Suradi, sama. Dia memisahkan pecahan uang yang berbeda dalam lapisan dompet yang berbeda. Uang logam recehan disimpan di tempat yang lain. “Dia orang yang teliti.” Pikir Suradi. Setelah termenung sejenak, Suradi kemudian mengisi lapisan dompet yang kosong dengan 20 lembar uang pecahan 100 ribu. Memasukkan kembali dompet itu ke dalam tas. Melihat-lihat sekilas buku catatannya dan Suradi mengagumi tulisan tangannya yang bagus. Suradi meninggalkan lemari itu dan duduk di bibir ranjang. Memandang sejenak wajah yang damai itu. Air matanya sudah kering. Pelahan Suradi masuk ke dalam selimut dan membaringkan diri dengan membantalkan kedua lengan. Memejamkan mata. Tiba-tiba gadis itu bergerak, kepalanya masuk ke bawah ketiak dan tangannya memeluk dada Suradi. Nafasnya harum, tenang dan teratur. Payudaranya lembut menekan dadanya. Suradi menarik nafas panjang. Zzzzzzzz….. *** Suradi terbangun oleh harum sabun dan rasa geli di telinganya. Bibir yang hangat dan harum pasta gigi itu telah menciuminya pada mata, pipi, hidung dan bibirnya. “Bangun sayang, udah pagi.” Kata gadis itu sambil terus menciuminya. Suradi menggeliat dan merasa seperti bermimpi. Suradi mendengar Winda berkata entah kepada siapa, “Eh.. kamu juga ikut bangun.” Katanya. Untuk sesaat Suradi tidak mengerti, dia baru sadar ketika celana boksernya ditarik dan dilepaskan oleh gadis itu. “Uuuu, chayang…. pagi-pagi udah pengen diemut ya?” Katanya. Suradi mengerang pelahan saat mulut Winda menggelomoh dan mengemuti batang kontolnya. Dia menjilati kepala kontol Suradi dengan lembut. “Akhkhhhh… Winda… sayang…” Tapi Winda kelihatannya tidak mendengarkan erangan Suradi. Dia membuka handuk yang melilit tubuhnya dan melemparkannya ke kursi. Dia menduduki paha Suradi dan memegang batang kontolnya untuk dipukul-pukulkan bagian kepalanya ke belahan memek Winda. “I ya pengen machuk… chekalang? ayo machuk..machuk… nahh… udah machuk… aduh batang kamu anget banget chayang… akhhh..” “Adddduuuuhhhhkhkh….akhkhkhhhh… oguhkhkh….” Suradi meringis-ringis keenakan. Awalnya Winda mengentot Suradi dengan goyangan pelahan yang berirama, lalu sedang dan kemudian cepat. Suradi mengerang-erang dan akhirnya mengejan kuat. Crot…crot…crot… Winda menahan gelinjangan tubuh Suradi dengan tekanan pinggulnya. Dia merasakan batang kontol itu berdenyut-denyut di dalam kuluman memeknya, lalu cairan hangat itu muncrat. “Akhhkhkh… Winda sayang, kamu, kamu nakal.” “Biarin.” Katanya dengan senyum lebar. “Tapi enak kan Om.” “Heu euh, enak.” “Om suka?” “Suka banget.” “Ih, Om ngecrotnya banyak banget.” Kata Winda sambil melepaskan batang kontol itu dengan pelahan. “I ya, sayang. Banyak ya? Om enak ngecrot di dalem, kamu ga pa pa?” “Gak pa pa sayang.” “Gak takut hamil?” “Hamil? Biarin aja.” Katanya sambil mengambil handuk di kursi dan kembali lagi ke kamar mandi. Suradi terkapar di ranjang, tak berdaya. “Hadeuhh… Parah bener enaknya.” Keluhnya. Raut wajah Suradi tampak berbinar-binar karena bahagia. *** Mereka sarapan di resto losmen dan mendapat meja dekat kolam ikan yang menggemericikkan air. Wajah Winda tanpak riang. Walau dia memakai baju dan kaos murahan, tapi mata besar dan hidung mancungnya menutupi semua kesederhanaan itu dalam sebuah pameran kecantikan alami yang menawan. Bahkan Suradi kini memperhatikan gadis manis itu sama sekali tidak memakai riasan apa pun. Winda memesan seporsi besar nasi goreng udang, dua telor ceplok dan empat lembar roti bakar. “Om pengen tahu kan kenapa Winda ga mau pulang?” Katanya. “Kamu berantem sama mamah ya?” “Mmmm… enggak sih sebenarnya, bukan berantem.” Katanya. “Terus?” “Om, sebulan lagi Winda kan UN (Ujian Nasional) berarti sebentar lagi Winda akan lulus sekolah.” “Ya. Dan kamu bermasalah dengan uang SPP kan dan mamah kamu ga punya uang buat bayarnya, jadi kalian berantem kan?” “Bukan begitu, Om sayang. Dengerin dulu sebentarrrr aja. Ini penting ceritanya.” “Baik, baik. Om siap denger.” “Begini, Winda emang nunggak SPP 3 bulan dan belum bayar uang ujian, tapi itu sebenarnya bisa dibicarain sama kepala sekolah kalau belum ada uangnya. Nah, mamah sebenarnya ada uangnya, tapi kata Mamah uang itu mau dipakai untuk keperluan yang lain, yaitu untuk syukuran kecil-kecilan karena mamah udah dilamar orang dan mau menikah lagi.” “Wah, kabar baik. Bagus itu. Terus?” “Winda seneng dengernya, hati mamah udah terbuka jadi nanti kalau punya suami dia enggak akan kesepian lagi. Tapi…” “Tapi?” Tiba-tiba raut wajah Winda berriak. Kelopak matanya mengembang, lalu menitiklah dua butir air mata itu jatuh menetes di pipinya. “Tapi yang ngelamar mamah ternyata Aa, Om.” Katanya. “Winda udah pacaran sama aa dua tahun, aa setia dan baik. Aa yang pertama Om, yang pertama kali menyentuh Winda… ternyata aa selingkuh sama mamah udah lama. Waktu kemarin-kemarin dia selalu antar jemput Winda, sebenarnya dia mau bilang sama Winda kalau dia mau nikah sama mamah.” Suradi tercenung. Dia menatap gadis itu dengan tajam. “Om, maafin Winda ya, sebenarnya waktu kejadian di mobil itu waktu hujan… sebenarnya Winda ngebayanginnya sama Aa… tapi.. tapi ternyata beda. Maafin Winda tidak bermaksud membandingkan… karena Om tak bisa dibandingkan dengan Aa. Tapi yang kedua di rumah… indah sekali Om. Winda tidak akan pernah lupa seumur hidup.” Suradi terdiam. Dia nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Gadis kecil yang lucu ini telah mengalami hal yang tragis. Tapi dia tegar. Dia gadis kecil yang hebat. “Om diam saja. Om marah sama Winda?” Suradi tak menjawab. Dia mengecup kening gadis itu lama sekali. “Nah, sekarang Om sudah paham seluruh persoalannya. Udah mengerti. Tapi pertanyaannya, kamu punya rencana apa ke depan?” Kata Suradi, nadanya datar dan tenang. “Pertama, Winda ingin mamah sama aa hidup bahagia, jadi Winda ga mau pulang. Terus, Winda mau cari rumah kontrakan deket sekolah, sampai lulus, terus Winda akan cari kerja.” “Kamu ga pengen kuliah?” “Ya pengen, tapi…” “Kuliah itu penting buat masa depan kamu. Nanti Om bisa bantu.” “Makasih, Om. Kenapa Om sangat baik sama Winda?” “Karena kamu cantik.” “Om, boleh Winda cerita satu hal lagi, ini penting.” “Apa?” “Aa enggak pernah ngecrot di dalem kayak Om.” Suradi diam tak menjawab. Dia hanya tersenyum. “Ya, aku tahu.” Kata Suradi dalam hatinya. Soalnya, waktu Suradi melap adik kecilnya dengan tissue di mobil, ketika hujan deras itu, ada darah yang menempel seperti selaput pada ujung kepala kontolnya. Itu adalah darah perawan. “Hm. Si aa ternyata tak menembus sejauh itu.” Kata Suradi dalam hatinya. Itulah yang membuat Suradi tersenyum riang dan merasa bahagia. *** Dua bulan setelah lulus, Winda menolak usul Suradi untuk kuliah. Dia malah memilih mengelola toko kelontong yang terletak tidak jauh dari Pasar Muka Cianjur. Suradi akhirnya mengalah. Apalagi ketika dia tahu ternyata Winda hamil 3 bulan. Suradi kemudian menikahinya secara siri dan mempersiapkan 2 nama untuk anaknya, satu nama perempuan satu lagi nama laki-laki. Tapi Suradi merahasiakannya kepada Winda. Suradi merasa bahagia. Dia mencintai dan mengagumi gadis kecil yang tidak saja memiliki sikap tegar, tapi baik dan lembut hatinya. Walau tidak bisa serumah dan hanya bisa dijenguk 3 kali seminggu, tapi Winda tidak pernah banyak menuntut. Dia orangnya sederhana, logis dan nerima apa adanya. Di mata Suradi Winda adalah gadis yang sempurna. Wajarlah jika kepergian Winda yang tak disangka-sangka itu membuat murung dirinya selama berbulan-bulan. Suradi tenggelam dengan dirinya sendiri dan pekerjaannya; dia sering terbangun tengah malam dan menemukan dirinya sendiri menangis dalam kesedihan. Seluruh anak buahnya tahu apa yang terjadi antara Bosnya dan gadis kecil yang jelita itu. Mereka tak ada yang berhianat dan menutup rahasia itu dengan sangat rapat dari Bu Iis dan Reyhan, istri dan anak Bosnya. Seluruh anak buahnya tahu, Bosnya memang baik dan murah senyum, tapi di balik senyum itu menyimpan luka yang mendalam.*** Catatan Tambahan dari Cianjur Pos :
SOPIR TRUK TELER, HAJAR WARUNG 3 TEWAS
Cianjur (CP). Kapolres Cianjur AKBP Sumandono menyatakan bahwa sopir truk yang menewaskan 3 orang itu telah diamankan di Mapolres Cianjur dan akan segera diproses secara hukum secepatnya. Dalam siaran persnya, Sumandono menjelaskan, DD diduga mengendarai truk dalam keadaan mabuk, sehingga dia tidak bisa mengendalikan truknya dan menabrak sebuah warung kelontong yang terletak tidak jauh dari Pasar Muka. Pada saat kejadian, pemilik warung Winda (19) sedang melayani pembeli, yaitu Udung (35) dan Ocid (27) yang sedang membeli rokok. Ketiganya tewas seketika akibat benturan dengan bagian depan truk yang melaju dengan kecepatan tinggi. Menurut keterangan sejumlah warga, Ibu Winda pemilik warung sedang berbadan dua dengan usia kandungan 4 bulan.
Sementara itu, menurut sejumlah saksi mata, DD pengemudi truk itu berusaha melarikan diri tapi berhasil ditangkap warga. Badan dan wajahnya babak belur dihajar masa.
Dalam akhir siaran persnya, Sumandono menghimbau kepada para sopir untuk tidak mengkonsumsi minuman keras.
“Kalau ingin kuat dan tidak ngantuk, sebaiknya minum jamu saja.” Begitu pungkasnya (Oding)***
UGI
1 Suradi menemukan anak itu ketika mengerjakan proyek di Kabupaten Bandung. Dia konangan menjambret tas tangan seorang perempuan dan lari dikejar warga. Dia masuk ke area proyek dan bersembunyi di sana. Pak Tono menemukannya dan menangkapnya. Jika Suradi tidak turun tangan, bisa jadi anak itu habis dihajar massa. Polisi kemudian datang dan menangkap Ugi. Dia dijebloskan ke dalam bui selama 3 hari. Keluar dari bui, Ugi mendatangi Suradi dan meminta pekerjaan sebagai kuli bangunan. Suradi menerimanya tanpa syarat. Waktu itu umur Ugi masih 16 tahun, belum lama tamat SMP. Kedua orangtuanya bercerai. Ayahnya menghilang entah ke mana dan ibunya jarang di rumah karena harus bekerja. Karir Ugi sebagai kuli dimulai sebagai orang yang bisa disuruh-suruh oleh kuli-kuli lainnya. Dia sangat giat, kooperatif dan tidak banyak membantah. Dia juga banyak belajar. Satu hal yang membuat Suradi terkesan pada anak itu adalah tekadnya yang kuat untuk menjadi yang terbaik. Setelah satu bulan bekerja pesuruh para kuli, dia menjadi laden Pak Amat, tukang yang berpengalaman yang telah malang melintang selama puluhan tahun di dunia bangunan. Empat bulan kemudian dia menjadi laden Pak Ujang, tukang yang ahli di bidang perkayuan bangunan. Sampai proyek di Kabupaten Bandung itu selesai. Sebagai kuli laden, Ugi memiliki keistimewaan. Dia bisa memahami dengan cepat karakter dan sifat atasannya. Karena itu banyak tukang yang menginginkan Ugi menjadi ladennya. Bahkan Pak Amat dan Pak Ujang sering memperebutkan Ugi sebagai laden. Selain pernah konangan menjambret, Ugi juga pernah 2 kali terciduk sedang ngeloco (onani) di toilet darurat proyek oleh kuli lainnya. Tentu saja berita terciduknya Ugi sedang mengocok di toilet menjadi gosip terpanas di kalangan para kuli lainnya. Mereka menjadikan Ugi sebagai objek candaan dan tertawaan. Ada juga yang mengajak Ugi ke penjaja sex komersial untuk jajan pejuh tapi Ugi selalu menolaknya. Alasan Ugi adalah merasa sayang menghambur-hamburkan uang untuk menghambur-hamburkan pejuh. Kalau ada cara termurah, kenapa ingin melakukan dengan cara yang mahal. Begitulah kira-kira prinsipnya. Setelah proyek di Kabupaten Bandung selesai, Ugi ikut Suradi ke Cimahi. Dia tidur di sofa ruang tamu kantor selama beberapa bulan sebelum akhirnya mengontrak sebuah kamar di daerah Cihanjuang, Cimahi. Selama tinggal dengan bosnya, Ugi benar-benar belajar banyak. Suradi mengajari anak itu mengendarai motor dan kemudian mengemudikan mobil sampai mahir. Hidup Ugi pun berubah. Dari kuli dia berubah menjadi sopir. Suradi mengenalkan Ugi dengan dunia komputer dan internet walau cuma dasar-dasarnya saja, membuat catatan administrasi sederhana dan membat rekening di Bank. Suradi di mata Ugi bukan hanya sebagai bos tapi juga sebagai guru. Apa yang diperintahkan Suradi selalu dilaksanakan Ugi secara saklek. Tanpa bertanya apalagi membantah. 2 Keperjakaan yang pertama Ugi direnggut oleh sabun setelah menonton film bokep di HP Udung, teman satu bedeng di proyek di Kabupaten Bandung. Keperjakaannya yang kedua direnggut oleh Bu Joni, STW semok pemilik kontrakan di daerah Pasar Anyar. Walau sial terciduk sudah mengentot Bu Joni oleh suaminya, tapi Bosnya Pak Suradi berhasil menyelesaikan permasalahan itu secara kekeluargaan. Anehnya, setelah terciduk, Bu Joni malah meminta Ugi datang ke sebuah losmen dan menjelaskan keinginannya untuk disodok lagi. Ugi tentu saja tak bisa menolaknya. Lagi pula, itu adalah perintah dari bosnya. Jadi, malam itu, Ugi mengentot Bu Joni sebanyak tiga kali. Bu Joni lalu membuat kesepakatan dengan Ugi untuk mendatangi losmen itu minimal 3 kali dalam seminggu. Semula Ugi keberatan karena biaya transportnya cukup mahal untuk kantong seorang kuli. Ugi mengusulkan satu minggu satu kali. “Kamu jangan begitu sama Mami, Gi. Kalau cuma seminggu sekali mana bisa Mami kuat menahan gatel. Udah gini aja, asal kamu setuju, tiap kali ke sini Mami kasih bantuan deh buat transport 250 ribu. Bagaiamana?” “Okelah kalo begitu.” Ugi pun setuju. Hal itu berlangsung selama 3 bulan, sampai Pak Joni terkena stroke dan lumpuh sebelah. Ugi kemudian tiap hari datang ke rumah Bu Joni dengan bebas. 3 Setelah 2 tahun bekerja sebagai kuli, Ugi berhasil membeli motor seken yang kondisinya masih mulus, sebuah HP android dengan spek lumayan dan beberapa baju yang menurutnya bagus dan selalu dipakai bila pergi ke rumah Bu Joni. Dan Ugi merasa bangga dengan semua itu karena didapatkannya dengan kerja keras. Atas perintah bosnya, Pak Suradi, Ugi harus mengurus surat-surat yang sangat penting yang berkaitan dengan hajat hidup pribadinya. Seperti ijazah SD dan SMP, Surat kelakuan baik dan yang paling penting, Ugi belum punya KTP. Itu artinya, Ugi harus kembali ke rumah ibunya di Cileunyi dan memulai segala sesuatunya dari sana. Pesan bosnya: “Kamu harus mengurus surat-surat itu secepatnya, Gi. Terutama KTP. Lakukan apa saja yang sekiranya bisa dilakukan. Jangan dikasih lama. Yang rugi nanti kamu sendiri.” “Siap, bos.” “Ingat Gi, lakukan apa saja. Kalau perlu kamu siapkan uang lebih untuk memuluskan pengurusanmu, baik di kelurahan mau pun di kecamatan. Tapi kamu harus memulainya dari RT dan RW dulu, paham?” “Siap, Bos. Paham.” “Nih saya kasih 200 ribu buat bensin. Eh, Gi, kalau kamu dikasih duit sama Bu Joni jangan dipakai foya-foya. Tabung di bank. Gunakan dengan bijak.” “Siap, bos. Tidak dipakai foya-foya. Tapi ditabung di bank sesuai perintah, bos.” “Nah, ambil sebagian sebagai bekal mengurus surat-surat.” “Siap, Bos!” 4 Berangkat Sabtu pagi dari rumah Mami alias Bu Joni, Ugi sampai di kampung Cigendir sekitar jam sepuluh. Sempat bertemu dengan beberapa teman masa kecilnya, Ugi menyisir sepanjang gang yang penuh kenangan. Beberapa bangunan rumah yang dulu dia anggap milik orang kaya di pinggir jalan besar, kini menjadi pudar dalam benaknya. Bangunan-bangunan rumah terbaik di kampungnya ini, bukanlah gambaran bahwa sebagian orang-orang kampung ini ada yang kaya, tetapi pernah kaya. Sementara bangunan-bangunan lainnya, yang tersebar di sejumlah gang utama, adalah potret gambaran perjuangan hidup yang sulit. Sedangkan di jantung-jantung pelosok gang, di mana rumah Ugi tinggal, adalah gambaran kemiskinan yang sebenarnya. Tiba di kampungnya, Ugi merasa dirinya menjadi orang paling kaya. Kampung itu tidak berbeda dengan apa yang terakhir kali diingatnya. Rumah-rumah dan gangnya masih sama. Sampah di mana-mana masih sama. Hanya warung Ceu Nining saja yang berbeda, itu pun karena catnya masih baru. Tapi bentuknya masih sama seperti yang dulu. Memakai jaket kulit yang dibelinya di pasar loak dan kacamata hitam, Ugi memarkir motornya di depan rumahnya yang masih sama seperti dulu. Kehadiran Ugi membuat heran 4 orang STW yang sedang bermain kartu sambil lesehan di ruang tamu rumahnya yang pintunya terbuka lebar. Pura-pura kesulitan menstandarduakan motornya, Ugi sengaja memancing perhatian mereka. Salah seorang STW itu melebarkan matanya secara kurang ramah. “Mak, ini Ugi.” Katanya dalam bahasa sunda sambil membuka helm dan melepas kacamata hitamnya. “Aeh, kirain siapa. Kamu tambah tinggi.” Kata Ibunya dalam bahasa sunda, dia sejenak memperhatikan Ugi kemudian melempar kartu sebagai tanda ke luar dari permainan. “Kalian terusin aja. Jangan khawatir, aku mau ngobrol dulu sama anakku.” Katanya sambil bangkit dari duduknya. Ugi memasuki rumahnya dengan perasaan yang agak aneh. Dia mengikuti ibunya ke ruang tengah dan duduk di atas karpet plastik, melepaskan sepatu. “Terakhir emak lihat kamu di kantor polisi, terus kamu kemana? Emak sudah nanya ke sana ke mari tapi tidak ada yang tahu.” “Ugi kerja, Mak di bangunan.” “Kamu punya semua ini hasil kerja atau yang lain, Gi. Jujur. Emak tidak mau ada polisi lagi datang ke rumah ini.” “Sumpah, Mak. Ugi kerja di perusahaan di Cimahi.” Kata Ugi. “Di perusahaan itu, walau Ugi cuma jadi pesuruh, tapi Ugi banyak belajar, Mak. Sekarang Ugi bisa nyetir mobil dan komputer.” “Ah, yang bener? Kamu jangan suka ngibulin orangtua.” “Enggak, Mak. Sumpah.” Kata Ugi. “Ugi ke sini mau ngurus-ngurus surat, Mak. Terutama KTP, Ugi kan belum punya KTP. Ugi mau ke rumah Pak RT.” “Pak RTnya juga belum pulang atuh jam segini mah.” Kata Emak. “Lis, suami kamu kira-kira pulangnya jam berapa?” “Enggak tentu, Ceu. Biasanya sore-sore sudah pulang.” Kata salah seorang pemain kartu dari ruang tamu. “Tapi kalau lagi ada penumpang, pulangnya bisa malam.” “Tuh, denger, Gi? Udah sekarang mah kamu istirahat dulu. Emak mau nerusin main.” “I ya, Mak.” 5 Ugi melepaskan Jaket kulitnya dan menggantungnya pada gantungan paku yang ada di dinding. Menyapu sekilas dapur, kamar mandi dan kamar tidur ibunya dengan pandangan matanya. Dia memeriksa barang-barang lamanya dan merasa semuanya tidak berguna lagi. Dia kemudian duduk di ambang pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang tengah, memperhatikan para pemain kartu yang semuanya dia kenal. Mereka adalah Bi Popong, adik ibunya, Ceu Lilis tetangga depan gang dan Ceu Enah, yang tinggal di sebelah rumah Bi Popong. Bi Popong tinggal persis di sebelah kanan rumahnya. Wajah dan bentuk tubuhnya mirip emaknya, bahkan cara berdandannya pun hampir sama, lipstik menyala dan bedak tebal bagai topeng. Terlalu berlebihan. Bila Ugi membandingkan emaknya atau bibinya dengan Mami, wah, jauh. Padahal usia mami sudah 50 lebih sedangkan emaknya atau bi Popong paling tua juga mungkin 40. Suami Bi Popong, Mang Otong, adalah pedagang asongan di terminal Cileunyi. Mereka punya dua orang anak perempuan, Cucu dan Cici, yang sangat mungkin salah satu atau keduanya sudah lulus SMP. Sedangkan Ceu Enah adalah istri Mang Asep, Pamannya Ugi, adiknya Bi Popong atau adik bungsu Emaknya. Ugi seharusnya memanggil dia Bi Enah, bukan Ceu Enah. Tapi karena sudah kebiasaan, sulit untuk merubahnya. Ceu Enah kerja paruh waktu di pabrik konveksi sedangkan mang Asep kerja sebagai tukang parkir di sebuah supermarket. Ceu Enah ini orangnya kurus, ceking. Wajahnya tirus dan pipinya kempot dengan mata belo. Kalau sedang menyedot rokok, terkadang ceu Enah mirip seperti pecandu gele (ganja). Usianya mungkin 24 atau 25. Mereka sudah menikah 7 tahun tapi belum juga punya anak. Ceu Enah, sejak menikah dengan mang Asep, sering numpang mandi ke rumahnya dan Ugi suka mengintipnya. Di situlah pertamakalinya Ugi melihat kelamin perempuan. Di antara ke 4 pemain kartu itu, Ceu Lilis yang Ugi kurang tahu ceritanya. Mereka pindah ke rumah di depannya beberapa bulan sebelum dia tertangkap polisi karena percobaan penjambretan. Kulitnya putih, wajahnya cantik, bodinya seksi dan rambutnya ikal keriting sepanjang bahu. Ugi sejak awal masuk ke rumah, sudah melirik ke arah paha dan betisnya yang mulus. Apalagi dia memakai daster singlet pendek, hadeuh, bikin Ugi berharap-harap tersingkap setiap kali tangannya bergerak melempar kartu. Suami Ceu Lilis, Kang Dadang, konon berasal dari RT 1 (Rumah Ugi RT 6) sebelum pindah ke rumah itu. Dia sejak dulu adalah tukang ojeg pangkalan yang mangkal di pangkalan Cigendir. “Diisi, yuk.” Kata Ceu Lilis di antara obrolan ngalor ngidul yang tak keruan di antara mereka. (Diisi ini maksudnya, mereka akan memasukan sejumlah nominal uang untuk menggantikan nominal angka, pemenang permainan akan memenangkan uang). “Yuk, ah. Biar semangat.” Jawab Ceu Enah “Okey, siapa takut?” Kata Emaknya Ugi. “Berapaan masuknya? Seceng (seribu) apa goceng (limaribu)?” Tanya Bi Popong. “Seceng aja, biar awet.” Kata Ceu Lilis. Sejujurya, Ugi tak begitu senang dengan permainan kartu. Hal tersebut karena pertama dia tak pernah bisa paham cara mainnya dan yang kedua, dia mudah bosan. Permainan kartu yang sedang berlangsung itu pun sebenarnya membosankan. Ugi berlam-lama duduk di situ cuma berharap rok itu sekali saja tersingkap, biar tidak penasaran. 6 Permainan sudah memasuki putaran ke lima dan Ceu Lilis kelihatannya kalah melulu, wajahnya yang manis itu berubah masam. Tiba-tiba di depan gang, ada seseorang yang berlari kencang, selang beberapa menit kemudian terdengar riuh suara teriakan warga dan beberapa orang berlari di gang itu. Ceu Lilis, Ceu Enah, Emak dan Bi Popong saling berpandangan. Lalu cepat-cepat mereka meraup uang masing-masing dan langsung membereskan kartu dan menyembunyikannya di bawah tikar. Semuanya bangkit dan pergi ke luar rumah. Pada saat Ceu Lilis bangkit itulah roknya baru tersingkap. Ugi yang sejak awal mempersiapkan diri untuk sekedar melihat celana dalamnya, terkesiap. Mulutnya melongo. Dia tidak bersiaga sama sekali akan melihat belahan memek Ceu Lilis yang agak kemerahan. Edan. Ternyata Ceu Lilis tidak memakai celana dalam. “Jangan-jangan, dia juga tidak memakai BH?” Pikir Ugi, dia menyesal mengapa tidak dari tadi memperhatikan belahan dadanya. Sial. Sayang Ceu Lilis sudah keburu kabur ke rumahnya. Emaknya kini sedang memegang sapu lidi, pura-pura menyapu. Bi Popong dan Ceu Enah masuk ke rumahnya masing-masing. Beberapa menit kemudian puluhan warga menyesaki gang kecil itu, di belakangnya 3 orang polisi berseragam lengkap dan mungkin ada 4 atau 5 orang yang berpakaian preman. “Di mana rumahnya? Cepat tunjukkan?” Kata Petugas itu sambil mendorong seorang lelaki yang bertelanjang dada dan hanya bercelana pendek, dengan tangan terborgol ke belakang, agar berjalan lebih cepat. “Pasti mereka mencari si Umang.” Kata Emaknya. “Yang tadi lari itu si Ojon, temannya, dia pasti bermaksud memberi tahu si Umang agar lari.” “Memang kenapa, Mak?” Tanya Ugi. “Katanya sih, emak denger-denger, mereka diduga membongkar rumah Haji Komar, minggu kemarin.” “Yang ditangkap itu siapa, Mak?” “Enggak tahu, Gi. Emak enggak kenal.” “Mak, itu kang Dadang bukan?” “I ya, Gi. Cepat deketin.” Ugi berjalan melewati halaman rumahnya dan menyapa Kang Dadang. “Kang, Kang Dadang…” Orang yang disapa melihat Ugi dengan menyelidik. Raut wajahnya mengatakan bahwa dia tidak mengenal Ugi. “Saya Ugi, Kang. Anaknya Mak Pupung.” “Ugi? Halah… kamu sudah besar, ke mana saja?” “Kerja, Kang. Di Cimahi.” “Itu… itu motor kamu?” “I ya, Kang.” “Wah, hebat euy. Ada apa perlu ya Gi?” “Itu kang, saya mau membuat KTP, jadi saya ….” “Yuk, yuk ke rumah saja.” Katanya. Dia memasuki terasnya dan mengetuk pintu. “Lis, buka pintu.” Ceu Lilis membuka pintu. “Kang, kenapa sudah pulang?” “Motornya mogok, sekarang ada di bengkel.” “Atuh engga narik?” “Habis gimana lagi, mogok… Gi, masuk Gi.” Ugi mengikuti Kang Dadang dan duduk di sofa yang sudah robek-robek lapisan luarnya. “Sebagai ketua RT saya berkewajiban untuk melayani warga dengan baik, walaupun ya… motor mogokk, uang belanja habis, tapi itu bukan halangan.” Kata Kang Dadang sambil mencari-cari sesuatu. Dia kemudian berteriak, “Lis, di mana buku register sama blanko surat keterangan?” “Di situ, kang. Di mana lagi atuh?” terdengar suara dari balik dinding. “Sini dulu, di sebelah mana?” Ceu Lilis datang dengan tangan dan baju basah, kelihatannya dia tadi sedang mencuci. Ugi menelan ludah melihat bayangan tubuh seksinya dari balik daster singlet yang mulai tipis. “Nenennya amboi…” Desis Ugi dalam hatinya. “Nih, yang nyimpen di sini siapa?” Kata Ceu Lilis sambil mengambil tumpukan kertas di bawah meja sofa. “Ini buku register, ini blanko…” Katanya dengan kesal, lalu dia pergi lagi ke dalam. Mungkin meneruskan pekerjaannya yang tadi. Kang Dadang kemudian menuliskan sesuatu di buku regster dan di blanko surat keterangan serba guna. “Ini nanti di bawa ke Pak RW, dicap dan ditanda tangan. Senin, bawa ke kelurahan. Jangan lupa sertakan fotocopi kartu keluarga.” “Siap.” Kata Ugi. “Kang, bagaimana kalau yang ke Pak RWnya kang Dadang saja. Ini buat rokoknya.” Ugi memberikan selembar uang sepuluh ribuan. “Oh, siap. Pak RW mungkin lagi ada di Kolam Pemancingan, saya langsung ke sana saja ya sekarang.” “Kang, mau ke mana lagi? Mana resikonya?” Kata suara di balik dinding itu. “Mau ke Pak RW sebentar.” Katanya sambil terus melangkah pergi. Pura-pura bermaksud sopan, Ugi melongokkan kepalanya melewati ambang pintu partisi ruang tamu dan ruang tengah, melihat Ceu Lilis sedang berjongkok membelakanginya. Ugi melihat jelas belahan pinggul dan pantatnya meski terbungkus oleh selembar kain daster yang sudah tipis. “Ceu, permisi.” Kata Ugi. Sambil tetap memelototi punggung itu. “I ya, Gi. Mangga.” “Kang Dadang sungguh beruntung.” Kata Ugi dalam hatinya sambil pergi ke luar. Dia melihat Cucu, sepupunya, sedang duduk di atas motor bebeknya. “Eh, kang Ugi…” Katanya. “Kata Wak Pupung, ini motor akang ya?” “I ya, atuh.” Kata Ugi sambil mengeluarkan HPnya dan berpura-pura membukanya, seakan-akan ada pesan yang penting. “HPnya juga bagus… kang lihat.” Kata Cucu. Kemudian dia dengan setengah memaksa mengambil HP itu dari tangan Ugi. Tapi setelah dipegang, dia tidak bisa membukanya karena sudah terkunci. “Bukain…” “Bukain… emangnya celana.” Kata Ugi. Dia lalu membuat huruf Z pada touchscreennya, maka kunci pun terbuka. Tiba-tiba Cici datang dan ikut mengerubuti HP tersebut. “Awas kalau rusak ganti.” Kata Ugi. Dua bersaudari itu kemudian bertengkar mulut dan saling menyalahkan. Ugi masuk kembali ke rumah dan menyalakan rokok. Emaknya sudah berdandan, entah mau pergi ke mana. Bi Popong juga. “Ke mana, Mah?” Tanya Cucu. “Jangan banyak tanya.” Kata Bi Popong. “Hayu,Ceu.” Mereka pun berangkat. “Kalian udah pada lulus semua?” Tanya Ugi. “Sudah, kang.” Jawab Cucu. “Kerja?” “Nganggurrrr…” jawab mereka bersamaan. “Bokek atuh…. kasian deh lo.” “I ya kang, nih, enggak punya duit.” Kata Cici. “Minta traktir dong sama pacarnya.” “Ah, percumah. Punya pacar juga bokek… maunya cuma pegang-pegang doang.” Kata Cucu. “Eh, jangan gegabah ya… dipegang-pegang juga cewek ikut enak.” Kata Ugi “Siapa bilang enak?” Kata Cici sambil nyengir. “Tapi srrr…srrr…ah… ah…ah…” Kata Cici sambil tertawa. “Eh, kamu sama si Usep sudah digutiun yah…awas nanti hamil.” Kata Cucu. “Alah kamu juga sama si Gugun udah pernah kan.” Kata Cici. “Kalian ngomong apa sih?” Ugi pura-pura bego. “Mau tahu apa mau tahu banget?” Kata Cucu. “Ah, kalian bikin pusing. Siniin HPnya.” “Entar dulu… Ci, hayu selfie.” Kata Cucu, mereka lalu saling menjulurkan lidah ke kamera. Lalu cepret! Cepret! “Eh, kita teh cantik ternyata.” Kata Cucu. “I ya, Cu. Kita teh cantik.” Tiba-tiba Kang Dadang datang. “Gi, ni suratnya sudah selesai.” Katanya sambil memberikan secarik kertas itu. “Makasih, Pak RT.” “I ya sama-sama.” Katanya sambill masuk ke dalam rumahnya. “Kang, di sana sudah punya pacar belum?” Tanya Cici. “Belum. Soalnya akang sibuk sibuk kerja.” “Akang kerja apa sih?” Tanya Cucu. “Jadi kuli, jadi pesuruh, jadi sopir… terserah bos aja.” “Bosnya kaya ya?” “Ya, i yalah. Namanya juga, Bos. Mobilnya aja ada 4, motor 3, rumahnya mewah.” “Berarti akang belum pernah ciuman.” Kata Cici. “Eh.” “Ya, belum. Cariin pacar dong buat akang, yang cantiknya minimal kaya kalian.” Ugi sekejap melihat wajah kedua sepupunya memerah. “Eh, akang lapar nih. Kalian ada nasi enggak?” “Emang di dapur Uwak enggak ada nasi?” Tanya Cici. “Enggak. Kalian ada enggak?” “Sama.” “Beli beras atuh ke Ceu Nining. Kalian nanti yang masak.” “Kata mamah tadi bilang sudah habis.” Jawab Cici. “Kalau gitu beli ke warung bawah.” “Mana duitnya?” Tanya Cucu. Ugi mengeluarkan dompetnya dan menarik satu lembar uang 20 ribuan. “Wow, si akang banyak uangnya.” Kata Cucu. “Nih.” Kata Ugi. “Eh, Cu. Mendingan belinya di warung Cucun, sekalian beli kerupuk sama cabe, garam dan bumbu-bumbu kalau bisa sama lalap terong.” Kata Cici “Setuju.” Kata Ugi. “Tapi jauh.” “Pengorbanan atuh sedikit.” Kata Cici. “Ya, udah. Tapi aku nanti jatah kerupuknya yang paling banyak ya.” Katanya sambil pergi ke luar halaman menuju gang. Cucu pun menghilang di balik rumah-rumah. “Ci, akang belum pernah dicium cewek. Nyobain dong nyium kamu.” “Ih, akang ini gimana. Kita kan saudara.” Kata Cici sambil masuk ke dalam rumahnya. “Aku mau nyalain hawu (tungku) dulu.” Ugi mengintil di belakang Cici. “Sebentar aja. Kamu kan udah pengalaman sama si Usep, coba ajarin akang.” Kata Ugi. Cici diam saja sambil mencoba menyalakan kayubakar. “Itu ambil kayu itu ke sini.” Kata Cici, suaranya agak gemetar. Setelah api menyala dengan stabil, dia kemudian mengambil panci yang pantatnya sudah sangat hitam, mengisi air dan meletakkannya di atas tungku. “Nah, sudah.” “Ih, belum juga.” Kata Ugi “Maksud Cici pancinya.” Ugi mendekatkan wajahnya ke wajah Cici. “Maksud akang ciumnya.” kata Ugi. Cici menatap Ugi, seakan ingin menguji kesungguhan lelaki yang mulai berangkat dewasa itu. Tiba-tiba Cici mendekatkan bibirnya ke bibir Ugi, mula-mula cuma nempel kemudian rapat, tahu-tahu mereka sudah saling pagut. “Udah, kang.” Cici melepaskan diri. Wajahnya memerah dan dadanya turun naik. “Enak ya.” Kata Ugi. “Apa semua bibir perempuan sama kayak kamu enaknya.” “Mana kutahu.” Kata Cici, dia membungkuk untuk memasukkan kayu-kayu bakar lainnya. “Ci, satu kali lagi aja. Udah ini, udah.” “Terakhir ya?” “Ya, tapi sambil duduk di bawah.” “Tapi terakhir ya?” “Ya.” Cici duduk di lantai, di atas tikar yang sudah usang. Ugi mendekatinya dan berdiri di atas lututnya. Dia menunduk dan mencium bibir Cici dengan mesra dan lembut. Mengulumnya dan mengemutnya. Satu tangan Ugi melingkar di punggung Cici dan satunya lagi bergerilya ke balik roknya dan meraba pahanya. “Addduuhhh… kang.” Keluh Cici melepaskan bibirnya dari mulut Ugi. Cici mengeluh karena satu jari Ugi sudah menyentuh ujung celana dalamnya yang ternyata sudah basah. Ujung jari itu bergerak pelahan turun naik mengikuti mengikuti belahan itu. “Kang… udah, nanti Cucu keburu pulang.” “Kamu suka ya? Memek kamu sudah basah.” Bisik Suradi. “Ih, si akang!” Kata Cici. “Bibir kamu enaaaaakkk sekali. Mau lagi.” “Jangan.” “Lagi.” “Jangan. Tuh, Cucu udah dateng.” Mereka saling menjauhkan diri dan mencoba bersikap biasa-biasa. “Eh, barusan Ceu Lilis ke sini ada apa?” Tanya Cucu. Cici dan Ugi saling berpandangan. “Enggak tahu.” Jawab Cici. “Aku juga.” Kata Ugi. “Kalian kelihatan aneh?” Kata Cucu. “Yuk, kita masak.” Katanya. Ugi dan Cici tidak tahu, ketika mereka berciuman, Ceu lilis melihat mereka dengan tubuh gemetar. 7 Ugi sedang bermain dengan HPnya ketika Ceu Enah masuk dan ikut berkecimpung di dapur dan Cucu jadi bersungut-sungut karenanya. “Pasti deh dia ikutan makan.” Kata Cucu dengan tidak ikhlas. “Padahal dia kan udah kerja. Harusnya nyumbang urunan apa kek.” “Biarin atuh kan duitnya juga dari akang.” Kata Ugi. Cucu balik lagi ke dapur dan mengambil 4 piring dan empat gelas dengan wajah masam. Beberapa saat kemudian Cici datang membawa bakul bambu berisi nasi di susul Ceu Enah membawa cobek. Sementara kerupuk putih berdiameter sekitar 15 cm yang masih terbungkus plastik sudah tergeletak sejak tadi di atas tikar. “Ayo makan.” Kata Ceu Enah seraya mengambil piring dan menyendok nasi dengan sinduk kayu, setelah itu dia membuka ikatan tali rapia pada ujung bungkus plastik kerupuk. Bungkusan kerupuk itu isinya sepuluh, Ceu Enah langsung mengambil 2 potong. Wajah Cucu benar-benar masam. Dia merasa ditikung oleh Ceu Enah. Saat berwajah masam itu, Cucu mirip sekali dengan Bi Popong. Ugi melihat Ceu Enah duduk menyender dinding. Dia duduk bersila dan makan dengan lahap. Sementara Cici yang duduk di sisi Ugi bersikap lebih santai, menyendokkan nasi buat Ugi dan mengambilkan sambal dan lalapnya. “Tadi Ceu Lilis ke sini ada apa ya?” Tanya Ceu Enah. “Enggak, enggak ke sini.” Jawab Cici. “Tadi Ceuceu lihat berdiri di depan pintu.” Kata Ceu Enah. “Ya, tapi dia enggak ke sini.” Jawab Cici lagi. “Kalo Ceu Lilis sama Kang Dadang itu punya anak enggak? Saya tadi ke rumahnya kok sepi, cuma ada mereka berdua.” “Ceu Lilis kayak Ceuceu, Gi. Belum punya anak.” “Mungkin karena kang dadangnya ketuaan.” Kata Cici. “Ah, siapa bilang? Mang Asep geuning masih muda belum punya anak.” Kata Cucu dengan getas. Ceu Enah terdiam. Dia menghentikan makannya sejenak dan kemudian meneruskannya dengan lahap. “Sudah, jangan ngomongin itu.” Kata Ceu Enah. “Kalian belum ngerti.” Ketika mereka makan, rombongan warga dan Polisi melewati gang itu dengan arah sebaliknya. “Kayaknya si Umang berhasil kabur.” Kata Ceu Enah. “Tapi si Ojon berhasil diringkus. Tuh orangnya, yang paling belakang.” Ceu Enah berniat menyendok nasi lagi dari bakul tapi dicegah oleh Cucu. “Buat Mamah, Ceu sama Wak Pupung. Jangan dihabisin.” “Sambal dan lalapnya juga sisain, Cu.” Kata Cici. Selesai makan, Ceu Enah meminta rokok kepada Ugi. Sementara Cucu dan Cici membawa piring, gelas kotor dan sisa makanan ke dapur. Ceu Enah menikmati rokok itu sambil duduk bersandar dengan kedua dengkulnya terlipat. Pahanya yang tipis panjang itu terbuka. Dia seperti tak acuh melihat Ugi memandangi bagian tengah di antara dua pangkal pahanya. Ceu Enah memakai celana pendek katun yang lebar dan kaos lekbong. Ugi melihat pinggiran celana dalamnya. “Kamu udah punya pacar, Gi?” “Belum, Ceu. Memang kenapa?” “Enggak, cuma nanya. Gi, pinjam HPnya sini.” Katanya. Ugi memberikan HPnya. “Hape kamu bagus. Ceuceu juga pengen punya.” Dia kemudian mengarahkan HP itu ke arah selangkangannya dan cepret cepret, dia memotretnya. “Nih, buat kamu.” Katanya sambil memberikan HP itu kepada Ugi. “Ceuceu tahu, dulu kamu suka ngintip ceuceu mandi.” Ugi nyengir. “Kamu udah pernah gini belum?” Tanya Ceu Enah sambil menunjukkan kepalan tangannya. Dia mengepalkan tangan dengan posisi jempol berada di antara jari telunjuk dan jari tengah. Ugi diam pura-pura bego. “Pasti belum ya? Kamu kerja apa sih di Cimahi?” “Kuli ceu.” “Masa jadi kuli sebentar, sudah punya motor dan HP bagus.” “Saya juga nyupir, Ceu.” Kata Ugi. “Kadang-kadang bos memberi saya lebih dari kuli yang lain.” “Kayaknya bos kamu, baik ya.” “Dia memang baik.” “Mang Asep ikut kamu atuh, Gi. Jangan jadi tukang parkir. Duitnya sedikit.” “Ceuceu masih kerja di konveksi?” “Masih, Gi. Tapi sekarang lagi kosong. Udah sebulan ceuceu nganggur. Sekarang malam minggu ya? Biasanya mang Asep pulang malem jam 11.” Katanya. “Sssstttt… Gi, kamu mau nyobain ini enggak?” Bisik Ceu Enah. Ujung jarinya menunjuk ke arah kemaluannya. Ugi diam. Dulu dia memang sering ngintip Ceu Enah mandi, tapi itu bukan berarti dia pengen ngentot dengan Ceu Enah. Tidak. Ugi merasa tidak tertarik dengan perempuan itu. 8 Ugi duduk di teras Bi Popong sambil menghabiskan rokok filternya. Terlihat olehnya Ceu Lilis ke luar dari pintu rumahnya sambil menjinjing ember kecil. Dia masih memakai daster singlet pendeknya dan Ugi berkeyakinan Ceu Lilis tidak memakai apa-apa lagi di dalamnya. Ceu Lilis menjemur pakaian yang baru dicucinya pada bentangan tali rapia yang diikat pada paku di dinding tembok rumahnya dengan dinding tembok Mak Ijah di sebelahnya. Dia sempat melirik Ugi sebentar, tapi kelihatannya Ceu Lilis tidak acuh. Dia membungkuk memperlihatkan sebagian bukit kembarnya yang putih untuk mengambil cucian, lalu mengibaskan rambut ikal keritingnya ketika badannya tegak. Selesai menjemur pakaian, dia masuk lagi ke rumahnya. Seperti Mami, Ceu Lilis punya kulit putih yang bersih. Mungkin kulitnya lebih kenyal dan lebih lembut dari Mami yang sudah berkeriput. Mungkin. Berapa ya kira-kira usia Ceu Lilis? Ugi membatin. Tiba-tiba seorang lelaki seumuran Ugi berjalan di Gang dan melangkah masuk ke halaman. “Gi, lagi apa?” Tanyanya dalam bahasa Sunda. “Eh, Sep. Lagi nongkrong. Gabut.” Jawab Ugi. “Nyari Cici, ya?” “Tahu aja.” “Ciiiii…. Cici!” teriak Ugi. “Apa kang teriak-teriak… eh, Usep. Mau apa ke sini?” “Jalan yuk ke kelurahan, ada dangdut.” Kata Usep. “Males, ah.” Jawab Cici. “Biasanya kamu semangat kalau nonton dangdut.” “Lagi pusing.” “Masak sikap kamu begitu, sih, Ci? Sopan dikit sama pacar kenapa?!” Kata Ugi. “Akang enggak usah turut campur. Udah ah Cici mau ngelipat baju.” Wajah Usep tampak berubah. “Ci…” Kata Usep. “Kamu ajak si Ida saja ke sana. Aku udah males lihat tampang kamu.” Kata Cici dari dalam rumah. Dia berkata dengan menggunakan bahasa sunda yang kasar. “Ya, ajak si Ida aja.” Kata Cucu. “Kang sabun cuci habis. Beli dong ke Ceu Nining, aku lagi nyuci baju Uwak.” Katanya. “Kamu jangan berdiri saja di situ, pergi sana.” Cucu mengusir Usep. Dia masuk lagi ke dalam. “Itu artinya aku diputusin ya?!” Kata Usep, entah kepada siapa. Tapi dia menatap Ugi. Ugi mengangkat bahu. “Sejak kapan kamu pulang, gi?” “Baru tadi.” “Aku cabut dulu ya.” Kata Usep sambil pergi dengan langkah bergegas. Ugi tak menjawab. Dia mencari sandal dan tak bisa menemukan nya. “Cu, sandalnya mana?” “Kang Ugi enggak pake sandal ke sini?” “Enggak. Pake sepatu.” “Ci, beli sabun dulu.” “Duitnya?” “Tanya sama si akang.” Cici nongol di pintu. “Dia udah pergi?” “Udah. Kamu mutusin dia?” “Biarin. Enggak butuh.” Katanya. “Mana?” Cici memandang Usep. “Apanya?” “Uangnya!” “Dia selingkuh ya?” Tanya Ugi sambil merogoh dompet. “Berapa?” “Seratus ribu!” “Gila, mana ada harga sabun cuci seratus ribu? Nih, 2 ribu.” Cici menjebikan mulutnya. “He, Gi, kapan datang?” Tiba-tiba seorang lelaki datang dari arah punggung Ugi. “Eh, Gun. Belum lama.” “Udah kerja?” “Sudah.” “Di mana?” “Cimahi. Biasa jadi kuli. Kamu?” “Aku juga, di Bandung.” “Di bangunan?” “Bukan. Jadi tukang cupir dan bersih-bersih di Rumah Makan “unyu”.” “Sudah lama?” “Paling 5 bulananlah. Yaaaa, lumayan. Daripada nganggur. Cucu ada?” “Lagi nyuci. Cuuuuu… ada Gugun.” “Entar dulu atuh.” “Tunggu, Gun. Rokok?” “Makasih, Gi. Sebatang ya?” Katanya. “Itu motor kamu?” Gugun menyalakan rokoknya. Ugi mengangguk. Dia melihat Cici datang membawa sabun cuci. “Adududuh…. yang siap-siap nonton.” Kata Cici sambil masuk ke dalam rumah. “Di kelurahan ada dangdut ya?”Tanya Ugi. “I ya. Udah berapa lama kamu kerja, Gi?” “Dua tahun mah ada.” “Kamu teh es em pe nya lulus?” “Lulus.” “Kirain putus.” “Kang Gugun, sebentar ya.” Cucu nongol di pintu, pundak dan wajahnya terlihat basah. Kelihatannya baru saja mandi. “Jam berapa sekarang, Gi?” Ugi melihat HPnya. “Jam setengah dua. Mulainya jam berapa?” Tanya Ugi. “Setengah empat.” Jawab Gugun “Kamu mau nyusul nanti?” “Mungkin. Nunggu emak pulang dulu.” Cucu muncul di pintu, memakai baju terbaiknya dan celana jean. Bedak dan lipstiknya tampak tebal. “Koq cara meriasnya mirip Bi Popong dan emak ya?” Pikir Ugi. Dia ingin mengkritik tapi takut menyinggung. Dia jadi ingat sama mami. Riasannya tak pernah mencolok. “Hayu, kang.” Kata Cucu, antusias. Tangannya memegang lengan Gugun. “Ciciiii, jaga rumah baik-baik ya.” “Tahu ah gelap.” Jawab Cici dari dalam rumah. “Gi, cabut dulu.” “Hati-hati di jalan.” Kata Ugi. Mereka berjalan sambil berpegangan tangan dengan mesra. 9 Ugi masuk ke halaman rumahnya dan mendekati motornya. Dia mengambil kantong kresek besar berwarna kuning yang digantung di kaitan tebeng motor. Masuk ke dalam rumah dan duduk bersila di ruang tengah untuk membuka kantong kresek itu. Dia mengambil handuk dan peralatan mandi dan meletakakkannya di pinggir kiri. Lalu menjatuhkan semua isi kantong kresek itu ke pangkuannya. Satu demi satu kaos dan celana pendeknya buat persediaan ganti itu, dia lipat lagi dengan rapi. Menumpuknya dan menyimpannya di pojok ruang tengah itu, di atas meja belajar berkaki pendek yang dibuatkan bapaknya dulu. “Harusnya aku membawa tas.” Kata Ugi dalam hatinya. Dia menarik kasur busa yang sudah sangat lepet itu, yang menjadi tempat tidurnya sejak kecil. Kasur itu kotor dan berdebu. Ugi berniat membersihkannya di luar ketika tiba-tiba Cici datang. “Uwak belum pulang?” “Belum.” “Akang lagi ngapain?” “Beres-beres sedikit.” “Cici bantuin ya?” “Enggak usah.” Kata Ugi. Dia lalu mencari-cari sapu tapi tidak ditemukannya. “Emak nyimpen sapunya di mana ya?” Katanya kepada dirinya sendiri. “Kang, enggak nonton?” “Enggak ah, males.” “Yang lain pada pergi, tuh lihat orang-orang pada lewat.” “Biarin aja.” Ugi berkata sambil memunggungi Cici. “Kang… sini atuh lihat ke Cici.” “Apaan sih? Enggak mau ah.” “Lihat ke sini sebentar aja.” “Gak ma…” Tiba-tiba Cici bergerak ke pinggir dan mencium pipi Ugi. Chup! Srrrr… darah Ugi berdesir. “Kamu ngapain sih cium-cium pipi, entar kalau dibales lari.” “Kang, sini duduk dulu di sini.” Kata Cici. Dia menarik tangan Ugi untuk duduk berdepan-depan. Cici memegang kedua Pipi Ugi lalu mencium bibirnya dengan lembut. Ugi merasa nikmat dan nyaman. Tapi belum sempat membalasnya Cici sudah melepaskan bibirnya. “Sekarang, akang dengerin Cici. Dengerin dulu.” Katanya. “Akang inget enggak pernah ngejemput Cici di sekolah waktu hujan besar?” “Ya, waktu itu kamu masih SD.” “Akang membawa payung besar dan berdiri di pintu gerbang sekolah… lalu kita pulang bersama sambil berpelukan dan sambil berjalan kita bermain air dengan kaki… ingat?” “Lalu tiba-tiba ada bunyi geledek yang sangat keras dan kamu ketakutan… dasar penakut.” “Iiihhhh… akang, mah. Bukan itu maksudnya.” Kata Cici, dia meraih tangan Ugi. “Cici memang sangat ketakutan. Lalu memeluk akang dengan erat. Aneh sekali Cici merasa nyaman.” Katanya. “Terus, satu lagi. Akang inget enggak waktu Cici ditinggal sendirian malem-malem di rumah …” “Ya, waktu itu hujan besar dan banyak suara geledek… akang denger kamu nangis.” “Malam itu akang datang dan nemenin sampai Cici tertidur.” “Ya, dan kamu mengigau.” “Bukan itu maksudnya… sejak waktu itu Cici sering bertanya-tanya dalam hati, mengapa kalau dekat akang hati Cici merasa sangat nyaman dan gembira; semua rasa sedih dan takut seakan-akan hilang… akang bisa mengerti maksud Cici enggak?” Ugi menatap gadis itu dengan tatapan berbinar yang aneh. “Akang tahu enggak sejak saat itu perasaan Cici sama akang tidak pernah bisa sama lagi? Akang bisa mengerti enggak ketika akang main-main memeluk Cici dari belakang dan Cici panas dingin merasa nyaman dan enggak mau dilepaskan? Akang bisa mengerti enggak Cici membanting gelas waktu akang pulang berjalan bareng sama Teh Imas? Akang bisa paham enggak?” Sepasang bola mata Ugi berpendar. “Akang bisa mengerti enggak perasaan Cici waktu akang ditangkap polisi dan tak pernah kembali ke rumah?” Sepasang mata Cici berkilau oleh airmata yang mengembang di kelopak. “Cici… ingin bunuh diri.” Kali ini Cici tak sanggup lagi menahan linangan airmatanya. Dia terisak. Ugi memeluknya dengan erat. Membiarkan gadis itu melepaskan semua airmatanya. Kemudian Ugi mengecup kening, mata dan pipinya yang basah. Lalu bibirnya. Mereka berciuman lamaaaaa sekali. Cici melepaskan diri dari ciuman Ugi. “Akang bisa mengerti enggak perasaan Cici, setelah sekian lama mengikhlaskan akang pergi… tiba-tiba Akang datang pake motor, bawa HP, rambut rapi, baju bagus… akang bisa enggak mengerti perasaan Cici yang meledak minta dipeluk? Akang tahu enggak Cici merasa bahagia akang enggak punya pacar dan minta cium…” Kata Cici, nada suaranya terdengar bergetar. Ugi terdiam lama. Sepasang matanya terbuka namun sorot matanya jauh mengembara entah ke mana. “Kang… ” Ugi masih terdiam. Tiba-tiba dia mengangkat dagu Cici pelahan dan mengecup lembut bibir gadis itu dengan sekali kecupan. “Ci, ingat waktu akang duduk memeluk lutut di belakang rumah sendirian? Waktu Emak dan Bapak enggak berhenti bertengkar dan saling mencaci maki?” Cici mengangguk. “Kamu datang dan memeluk Akang dari belakang. Kamu bilang, Kang jangan sedih, ada Cici di sini.” Ugi menatap mata Cici. “Sadarkah kamu Ci, sejak saat itu perasaan akang berubah?” Cici membalas tatapan Ugi dengan mata berlinang. “Akang merasa bahagia kamu peluk. Ingin sekali akang mencium Cici saat itu, tapi Akang juga tahu, kita ini saudara sepupu. Apakah boleh akang melakukan hal itu? Akang tidak tahu. Tapi waktu tadi kamu sama Cucu kelepasan ngomong dengan si Usep… akang, akang cemburu.” Cici tersenyum manis. “Si Usep belum pernah ngapa-ngapain Cici, Kang. Akang yang pertama menyentuhkan jari itu… dan Cici merasa… merasa…” “Kamu merasa takut?” Cici tidak menjawab. Dia tiba-tiba memagut bibir Ugi dan mengemutnya tanpa memberi kesempatan Ugi untuk membalas. Lalu secara tiba-tiba pula melepaskannya. “Sekarang akang paham kan apakah Cici takut atau tidak.” Ugi tersenyum. “Ya, kamu cuma takut sama geledek.” “Kalau ada akang mah enggak… mmm, tadi akang bilang punya… punya… Cici basah.” “Maafin kalau tadi akang ngomong jorok.” “Asal ngomongnya hanya buat Cici aja ga pa pa, Kang. Cici malah senang. Tapi kalau sama perempuan lain enggak boleh. Harus buat Cici doang.” “Eh, Ci. Itu emak sama Bi Popong sudah pulang. Cepet kita beres-beres.” 10 “Kalian enggak nonton dangdut?” Tanya Mak Pupung. “Enggak, Wak.” Jawab Cici sambil menyapu ruang tengah. Cici menemukan sapu ijuk itu di sudut di ruang tamu. “Mak, palu sama paku-paku bekas di mana nyimpennya?” “Kamu mau ngapain?” Kata Mak Pupung. “Mau ngebenerin plafon yang di atas.” “Besok lagi aja, Emak cape. Mana laper lagi.” “Ceu!!!” Terdengar teriakan Bi Popong dari luar. “Ada apa sih, Pong.” “Ada nasi, sambel, lalap dan kerupuk… cepet sini.” Kata Bi Popong. “Ciii, ini kamu yang masak?” “I ya, mah.” Cici memukul pantat Ugi dengan sapu, sebelum dia terkikik-kikik dan berlari kabur ke rumahnya. “Awas kamu ya!” Kata Ugi, suara kesalnya tampak sekali dibuat-buat. Dia lalu mengambil handuk dan sabun, sambil bersiul pergi ke kamar mandi. 11 “Ci, ini kamu yang masak?” Tanya Mak Pupung “I ya, Wak.” “Kamu pinter sekali. Nasinya masih pulen walau sudah dingin, sambelnya madep.” Kata Mak Pupung. “Ah, Uwak bisa aja.” “Si Cucu ke mana?” Tanya Bi Popong. “Nonton dangdut, Mah.” “Kenapa kamu enggak ikut?” “Tadi tanggung lagi ngelipatin baju, si Kang Gugun udah keburu datang.” “Oh, sama Gugun.” Kata Bi Popong. “Ngomong-ngomong kamu beli beras duitnya dari mana?” “Dari Kang Ugi.” “Eh, baru aja jadi kuli udah belagu tuh anak.” Kata Mak Pupung dengan wajah berseri. Tiba-tiba terdengar suara dari luar. “Ciiii, kamu mau nonton dangdut enggak?” “Boleh, Mah?” Tanya Cici. “Ya, udah sana pergi.” “Mau!!!” Teriak Cici. 12 . Bi Popong dan Mak Pupung makan dengan lahap sambil ngobrol santai. “Kapan kamu ngomong yang sebenarnya sama anak itu, Pong.” Kata Mak Pupung. “Entahlah, Ceu. Bingung. Soalnya si Cici mah perasaannya sensitif.” “Tapi si Ating enggak jadi kan dihukum matinya?” “Kata Kang Otong mah, jadi hukuman seumur hidup.” Kata Bi Popong. “Kapan dia mau ngejenguk adiknya lagi?” Tanya Mak Pupung. “Kalau si Ating teh adik langsung Otong atau adik tirinya?” “Adik tirinya. Waktu Bah Otang (Bapaknya Otong) kawin, Mak Romlah udah punya anak dari almarhum suaminya dulu yaitu si Ating itu.” “Oh, gitu. Sekarang bapaknya si Cici di mana, apa masih hidup?” “Sudah mati,Ceu. Di dor polisi.” 13 Malam Minggu. Langit biru. Hati biru berbunga-bunga. Cici memeluk Ugi dan merapatkan pipinya pada punggung pemuda itu. Matanya terpejam dan bibirnya tersenyum. Hatinya seperti lukisan langit yang biru tanpa awan, tanpa bintang, tanpa bulan… tapi dipenuhi ribuan kuntum bunga yang mekar dan mewangi. Walau dia sedang berada di atas jok motor, tapi perasaannya mengatakan dia sedang terbang melayang di angkasa. “Ci…” Gadis itu tak mendengarnya. Padahal dia tidak memakai helm. Motor melaju pelahan. “Ciii…” “I yaa, Kang.” “Mau nonton dangdut atau apa?” “Terserah akang aja, Cici ikut.” “Lihat tuh di kelurahan penuh banget. Males akang cari parkirnya.” “Ke Ujung Berung aja yuk, Kang. Cuci mata.” “Mau sih. Tapi kita kan gak pake helm, entar ditangkap polisi.” “Kang, daripada pusing-pusing mau ke mana. Gimana kalau kita ke warung aja, belanja beras buat besok.” “Eh, i ya ya. Akang baru kepikiran sekarang… di rumah kan enggak ada apa-apa.” Kata Ugi merasa setuju. Akhirnya, di sebuah warung yang masih buka, mereka membeli beras dan berbagai keperluan dapur lainnya. Ketika mereka pulang dengan bawaan belanjaan yang cukup banyak, mereka melewati kelurahan yang ternyata semakin ramai dan penuh. Konon, acara dangdutan itu akan berlangsung sampai tengah malam. 14 Tiba kembali di rumah sekitar jam delapan. Ugi merasa terkejut karena ternyata bukan di kelurahan saja kemeriahan itu terjadi, tetapi di rumahnya juga. Suara musik cempreng dari HP berbunyi keras, asap rokok mengepul memenuhi seluruh ruangan, aroma kopi yang menyengat dan suara tawa para STW yang sibuk membanting kartu. Waw. Para penjudi kelas di bawah teri itu sedang dan akan menikmati malam minggunya yang panjang. “Tiap malam minggu, rumah wak Pupung memang ramai, Kang.” Kata Cici. ” Sejak akang enggak pulang, Uwak sering ngadain acara untuk semua emak-emak di RT ini yang hobby main kartu. Biasanya sampai pagi.” “Terus?” “Udah kita masukin dulu motor sama belanjaannya ke rumah.” Kata Cici. Ugi menurut. “Ini motornya yang kegedean apa ruang tamunya yang kekecilan.” Keluh Ugi saat memasukkan motor itu dengan susah payah. “Ini enggak apa-apa ngehalangin pintu?” “Asal pintu bisa dibuka dan orang bisa masuk, ga pa pa.” Jawab Cici, dia sibuk membereskan belanjaan. Setelah selesai, dia memandangi hasil kerjanya dengan tersenyum. Dia merasa senang. Seumur hidupnya, baru kali ini dapur penuh sesak dengan persediaan makanan. “Cici, bukankah kamu hari ini ulang tahun?” Katanya kepada diri sendiri. “Ya. Dan malam ini harus menjadi malam istimewa yang tak terlupakan.” Katanya lagi di dalam hati. Malam ini harus spesial. 15 Ugi melepaskan sepatu dan jaket kulitnya, kemudian duduk di lantai dapur yang sudah dihampari tikar yang berasal dari ruang tamu. Cici tak berkedip memandanginya. “Kamu ngapain ngeliatin terus?” “Eggak boleh?” “Enggak.” “Iiiih…” “Ciiii…” Bisik Ugi. “Kang…” Jawab Cici, berbisik juga. “Mang Otong udah pulang?” “Bapak udah pulang.” “Koq enggak kelihatan. Lagi tidur di kamar?” “Enggak, lagi jualan di sebelah.” “Di rumah akang?” “I ya. Setiap malam minggu bapak jualan rokok dan kopi seduh di rumah Uwak.” “Sampai pagi?” “Sampai pagi.” “Bi Popong ke mana?” “Lagi main kartu di sebelah.” “Sampai pagi?” “Sampai pagi.” “Cucu ke mana?” “Lagi nonton dangdut.” “Sampai pagi?” “Enggak, paling sampai jam 12-an.” “Berarti di rumah ini cuma kita berdua dong.” “I ya.” … “Ciii…” “Apa kang?” “Akang ngantuk. Pengen bobo.” “Cici juga ngantuk. Pengen diboboin.” “Manja ih.” “Biarin.” “Udah besar minta diboboin.” “Biarin.” “Sukanya dipelukin dan diciumin.” “Biarin.” “Entar memeknya basah.” “Biarin.” … “Ci…” Bisik Ugi. “I ya kang?” Jawab Cici, berbisik juga. “Kenapa hidung kamu mancung? Beda sama hidung Cucu, Mang Otong dan bi Popong?” “Enggak tahu.” “Kulit kamu kuning langsat. Mereka coklat terang.” “Enggak tahu.” “Kamu tinggi, mereka pendek.” “Enggak tahu.” … “Ci.” Bisik Ugi. “Apa?” “Kamu cantik.” “Mmm.” “Kamu baik.” “Mmm.” Mereka saling diam. “Kang…” “Ya, Ci?” “Kenapa diem?” “Lagi merenung.” “Kenapa merenung?” “Inget masa kecil.” “Hm.” “Walau serba kurang tapi akang bahagia.” “Hm.” “Kenapa bapak pergi meninggalkan emak ya?” “Hm.” “Kenapa mereka sering bertengkar?” “Hm.” “Kalau inget bapak akang sering merasa sedih.” “Akang jangan sedih. Kalau akang sedih Cici ikut sedih.” “Kalau akang sedih kamu jangan ikut sedih. Kamu peluk akang aja, biar sedihnya hilang.” “Sekarang akang sedih enggak?” “Sedikit.” “Mau dipeluk?” “Mau.” … Mereka duduk berrendengan, bersandar pada dinding dapur yang dingin. Tangan kanan Ugi memeluk di pundak, jemarinya digenggam jemari tangan kanan CIci. Tangan kiri Cici melingkar di Pinggang Ugi, jemarinya digenggam tangan kiri Ugi. Kepala Cici terkulai di dada Ugi. Rambutnya menyentuh pipi Ugi. Mereka saling diam. … “Kang…” “Ya…” “Cici takut sama geledek tapi lebih takut lagi kehilangan akang.” “Enggak akan, Ci.” “Cici takut akang melupakan Cici.” “Enggak akan.” “Cici sayang sama akang.” “Akang juga sayang.” “Cici seneng meluk akang.” “Akang juga seneng.” “Kang… ” Cici menggapai bibir Ugi dengan bibirnya. Memagutnya lamaaa sekali bersama perasaannya yang terindah. Menikmati setiap kelembutan yang didapatkan dari kuluman bibir pemuda itu. Dan kehangatan yang menyeluruh yang meresapi seluruh simpul-simpul syarafnya. Jantungnya berdebar. Dadanya mengeras. Remasan jari jemari pemuda itu pada buah dadanya adalah sensasi aneh yang tak pernah diketahui sebelumnya. Sensasi yang mendenyarkan jantungnya berdegup lebih kencang. Putingnya mengeras. Mengeras. Dan jari-jari itu memilin-milinnya. Lembut dan tepat seperti yang diinginkannya. Memecahkan kebuntuan aliran darahnya yang membeku. Aku meleleh, bisiknya. Bibir pemuda itu pergi meninggalkan bibirnya… jangan pergi, desisnya. Oh, bibir itu tidak pergi. Tidak jauh. Dia menyusuri lehernya, mengecupnya… jangan… jangan… jangan kecup di puting… Lidahnya hangat, lembut. Mmhhh… “Akhhkh… jangan, kang.” “Kamu enggak suka?” “Janganhnhn di sini… di kamarhr.” Cici memeluk Ugi dan tak ingin melepaskannya. “Bawa Cici ke kamar, Kang.” Bisiknya. Mereka tak melepaskan pelukan dan ciuman ketika beringsut menuju kamar. Sebuah kamar yang sangat sederhana. Tak berpintu, hanya bergorden yang kainnya sudah robek di sana-sana sini. Kasurnya pun bukan springbed atau kasur busa merk terbaik, tapi kasur tipis yang sudah sangat tua. Dindingnya tidak dilapisi wallpaper mewah, hanya balok kayu kaso-kaso albasiah dan lapisan triplek yang sudah termakan cuaca lembab. Dan lantainya, bukan terbuat dari marmer atau keramik mahal, hanya peluran semen biasa. Tapi kamar itu adalah kamar terindah bagi dua insan yang sedang dibadai asmara. Hatinya berkata: Cici, malam ini adalah malam yang istimewa. Malam spesial. Kamu jangan takut. Dia yang telah menentramkan hatimu, yang telah membuatmu nyaman dan bahagia, mustahil menyakitimu. Biarkan dirimu meleleh di tangannya… Lelaki yang sangat disayanginya itu membaringkannya di atas kasur. Menarik kaos dan BHnya hingga lepas dari tubuhnya. Dia menatap lelaki itu pada matanya… apakah akang kecewa dengan tubuhku? Dia berbisik. Tetapi lelaki itu tidak menjawab. Dia hanya tersenyum tulus yang menentramkan. Lalu menciumi lehernya. Menyusuri buah dadanya dengan bibir. Menjilatinya. Mengemut dan mempermainkan putingnya dengan mulut dan lidah. Memanja-manja desiran-desiran halus pelelehan di dalam dirinya. “Akhkhkhhh…. ” Dia mendesah. “Kang, aku meleleh.” Katanya dalam hati kepada lelaki itu. “Jangan hentikan.” Kedua tangannya meraih kepala lelaki itu dan menjambakremas rambutnya. “Apakah dia menerima tubuhku apa adanya?” Dia bertanya dalam hati, ketika lelaki itu menarik celana panjang kulotnya sekaligus beserta celana dalamnya. “Akhh, ya. Dia menerimaku apa adanya… akhkhkh… akang…” Dia mendesis. Seluruh tubuhnya seperti terkena aliran setrum ribuan volt ketika pemuda tanggung itu menciumi perut dan pangkal pahanya. “Oughhghhh… akang… tak perlu akang membuktikan bahwa akang menerima seluruh tubuh ini dengan cara seperti itu… akhkhkhh… akang… akhkh… jangan… janganhh.ciumi kang… akang sudah cukup membuktikan… aaahhhh… akang… aaaddddduuuuhhh…. kaaaaannnggghhhh…. lelehan itu mengalir deras… akhkhhh…. akanghhh…. aku engga tahan…. janganhhh dijilat itunya kaaanngnghhh… aaahhhhhh… kaaaaaannngghhh… ada yang meletup-letup…. adduuhhh kaangnghhh… enaakkhh… shshshshsh…sssshhhh… lelehannya menggelosor kaangnghh… srrrrrr… srrrr… srrrrr…. ada yang ngecrot kaaanngnghhhh… enggaaaa taaahhhaaannnnn….” Pemuda tanggung itu melepaskan semua baju dan celananya. Dia melihat benda milik pemuda itu, sedang mengacung-acung. “Apakah itu yang dinamakan kontol?” Tanyanya dalam hati. Dia ingin melihatnya dari dekat, ingin meraba dan mengelusnya. Apakah benda itu akan dimasukkan ke dalam pusat letupan di antara selangkangannya? Ya, itu pasti. Liangnya sudah berdenyut-denyut, ingin disesuatukan oleh benda itu. Benda itulah malam istimewanya. Malam spesialnya. Hadiah ulangtahunnya. Ya, dia berhak mendapatkan hadiahnya malam ini. “Ci…” Pemuda itu berbisik pelahan sekali. Dia mendengar bisikan lemah itu. Bisikan keraguan. “Jangan ragu, Kang. Lakukanlah yang terbaik yang bisa akang lakukan.” Dia berkata dengan hatinya, bukan dengan mulutnya. “Lakukanlah, Kang. Cinta kita akan abadi jika dua tubuh kita bersatu.” Tapi dia tak sanggup mengatakannya. Dia hanya bisa mengangguk setuju. Benda itu panas tapi hangat, hangat tapi panas; ketika menelusup masuk ke dalam dirinya, puluhan halilintar tanpa suara menyetrum seluruh syaraf-syaraf tubuhnya. “Hhhhhh…” Dia merasakan kehangatan dan kelembutan itu terus menyusup, sampai tiba di suatu titik di mana rasa sakit itu datang. Ya, rasa sakit itu tiba-tiba datang. Rasa sakit seperti tertusuk jarum suntik. Tapi dia tidak ingin penelusupan yang hangat dan lembut itu dihentikan. “Adduuuhhh, Kaangng…pelan-pelan…” “Sakit ya?” Dia mengangguk. “Jangan berhenti, Kang. Teruskan pelan-pelan. Ini adalah hadiah ulang tahunku.” Dia berkata dengan hatinya. Ah, akang ternyata mengerti. Terus masukkan pelan-pelan, Kang. Dia menggigit bibirnya. Dia menahan rasa sakitnya. Terus kang, sedikit lagi. Sedikit lagi. Sedikit la…gi… akhkhkhkh… dia merasa ada sesuatu yang meletup pecah… PYARRRRR! Mmmhhhh… Dia menarik nafas, lega. Rasa sakit itu hilang digantikan oleh sensasi aneh yang sangat jelita. Ya, sangat jelita. Penelusupan itu berhenti ketika dia merasakan pertemuan itu. Pertemuan yang menyatukan dia dengan lelaki itu. Dia ingin memeluk tapi tangannya tak sampai. Dia ingin pertemuan yang menyatukan itu dia nikmati lebih lama. “Tunggu! Jangan ditarik dulu. Biarkan beberapa saat lagi..” Dia berkata dengan hatinya. Penarikan itu membuat suatu efek ngilu yang memerindingkan seluruh pori-pori kulitnya. “Jangan pergi! Jangan pergi! Jangan tinggalkan aku!” Jeritnya dalam hati. Ada semacam perasaan hampa ketika benda itu meninggalkannya. Perasaan hampa seakan-akan dia ditinggalkan sendirian di pantai sepi tiada berpenghuni. Dia pun meneteskan air mata. “Kamu menyesal, Ci.” Dia tak memahami kalimat itu, yang dia inginkan adalah kebersamaan abadi dengan lelaki itu. “Jangan tinggalkan Cici, kang.” “Tidak akan sayang, akang janji.” Kata lelaki itu. Lelaki itu kemudian mengambil sapu tangan warna biru muda di saku celana panjangnya yang tergolek di lantai. Sapu tangan itu digunakan untuk melap darah yang menempel pada benda kejantanannya yang berdarah. “Apakah dia juga mengalami sakit seperti yang aku rasakan?” Dia bertanya kepada hatinya. “Aku berjanji dengan ini.” Kata lelaki itu sambil melipat kembali saputangannya. Lalu menyimpannya di saku celana panjangnya dengan hati-hati. “Peluklah Cici, Kang.” Pintanya dengan sangat. Tetapi lelaki itu malah mengusap pipinya. “Jangan nangis sayang, akang tidak akan meninggalkanmu sampai kapanpun.” “Cici sayang sama akang dengan seluruh jiwa raga Cici.” “Ya, akang tahu. Akang juga sayang sama Cici dengan seluruh jiwa raga akang.” “Peluklah, Kang.” Lelaki itu memeluk erat dan berbisik. “Masukin lagi ya?” Dia mengangguk. Dia merasa khawatir rasa sakit itu akan datang lagi. Tetapi kekhawatirannya tidak terbukti. Sama sekali tidak terbukti!!! Penelusupan yang pelahan kini telah berganti menjadi penembusan yang tenang. Dia merasakan sensasi baru yang mendenyar-denyarkan pusat kewanitannya. Sensasi wow yang membawanya naik melayang. Ketika penembsan itu berubah lagi menjadi hujaman demi hujaman, dia merasa seperti dipantul-pantulkan dari puncak gunung satu ke puncak gunung lain yang lebih tinggi. Srrrr… puncak satu, dia mengeluh. Srrrr… Srrrr… puncak dua, dia mengerang. Srrrr… Srrrr… Srrrr… puncak tiga, dia merintih. Perasaan indah apakah ini yang telah membuat dirinya merasakan sebuah sensasi kenikmatan yang lebih jelita dari segala jelita? Sehingga nafasnya tersengal dan jantungnya berdegup kencang? Dia tak sanggup lagi menahan semuanya. Tak sanggup. Seluruh simpul-simpul syarafnya telah berfokus menggembungkan sesuatu di dalam pusat kewanitaannya. “Akaaangngng!!!!” Dia menjerit dan memeluk lelaki itu sekuatnya untuk meledakkan sesuatu yang menggembung di pusat kewanitaannya. Crot! Crot! Crot! Kemudian dia terlempar di suatu dunia yang aneh. Sebuah daratan yang sangat luas tak bertepi. Di daratan itu dia melayang dan berputar. Tak ada orang lain di sana, kecuali dia dan akang. Ya, hanya dia dan akang. 16 Pada 5 putaran pertama Lilis merasa beruntung. Dia narik 4 kali. Pada putaran ke 6, dia merasa kartunya sangat baik. Tapi jantungnya berdegup ketika melihat pemuda tanggung itu melongok di ambang pintu dengan wajah kecewa. Terdengar olehnya suara Cici menghibur pemuda tanggung itu. “Mungkin mereka sudah lama pacaran secara diam-diam .” Duganya dalam hati. Lilis gemetar dan sedikit cemburu ketika tadi siang melihat pemuda itu mencium Cici. Padahal Lilis merasa pemuda tanggung itu menykai dirinya. Pemuda itu memiliki bentuk tubuh yang bagus. Lilis kesengsem dibuatnya. Setelah ke luar dari permainan dengan alasan sakit perut, Lilis minta izin ke kamar mandi. Dia melihat Mang Otong sedang tiduran di ruang tengah dan Bi Popong sedang konsentrasi dengan kartu-kartunya. Dia masuk ke dalam kamar mandi hanya satu menit saja untuk kencing. Lalu mengendap-endap menuju pintu belakang itu dan ke luar. Halaman belakang itu samar dan agak gelap. Dia berharap pintu belakang rumah Bi Popong tidak dikunci. Ternyata memang tidak dikunci. Dengan sangat hati-hati dia memasuki dapur itu, berdiri tenang di keremangan, mengintip pemuda tanggung itu sedang memberikan kenikmatan kepada gadis itu. Seluruh tubuh Lilis merinding. Pemuda tanggung itu tengah menciumi paha gadis itu dengan cara yang lembut. “Ternyata kamu sudah berpengalaman, Gi.” Kata Lilis. Matanya terbelalak ketika pemuda tanggung itu melepaskan seluruh bajunya. Terlihat batang kontolnya yang besar walau tidak begitu panjang. Bentuknya melengkung seperti pisang. Lilis meraba payudaranya sendiri dan mengelus-elus belahan memeknya dari luar celana dasternya. “Dia begitu lembut memerawani Cici.” Desisnya. Teringat dulu bagaimana dia merasa kesakitan dan rasa ketidaknyamanan di malam pertama dengan kang Dadang. “Bahkan dia melap darah keperawanan itu dengan saputangannya dan menyimpannya. Ugiii… kamu harus masuk ke dalam memekku.” Saat pemuda tanggung itu menggenjot Cici, jari jemari Lilis sudah masuk ke dalam celana dalamnya dan mengobel-obel memeknya sendiri. “Si Cici pasti sudah ke luar berkali-kali… dia sangat beruntung diewe oleh kontol yang besar dan berpengalaman itu ahkh… Ugi…” Lilis kembali ke permainan kartunya dengan bayangan kontol itu meggenjot memeknya di otaknya. Dia kalah beberapa kali karena tidak konsentrasi dan mundur dari permainan. Ketika pulang, dia melihat suaminya sedang ngorok. “Kau tak pernah memberi aku kepuasan!” Katanya dalam hati. Lilis berbaring di sisi suaminya dan melakukan onani lagi. “Ugi… ugi… ” Desisnya. Malam itu akhirnya Lilis bisa tidur dengan nyenyak. 17 Mereka cepat-cepat berpakaian ketika mereka merasa ada seseorang di dapur. “Kang gordennya lupa ditutup.” Kata Cici. “Tadi seperti ada suara apa di dapur.” “Mungkin tikus.” Kata Ugi. “Kang, terimakasih.” Cici mengecup bibir Ugi. Lalu memeluknya. “Jangan tinggalkan Cici.” “Tidak akan sayang.” Jawab Ugi sambil membelai rambutnya. “Sebentar lagi Cucu pulang, akang harus segera pergi.” “Ya, sekarang juga akang mau pergi, enggak perlu diusir.” “Aaah, akang. Cicic enggak ngusir…” “Akang cuma becanda, koq.” Kata Ugi tersenyum. “Peluk dulu.” Kata Cici. Mereka berpelukan dan berciuman selama beberapa saat. “Nenen kamu mengeras lagi.” Kata Ugi. “Pengen lagi yaa…?” Cici memukul pemuda tanggung itu dengan mesra. Dan mengusirnya pergi. 18 Ugi tak tabisa tidur bukan karena berisik. Tapi dia ingat Mami. Sejak Pak Joni kena stroke dan badannya lumpuh sebelah, beberapa kali Mami memintanya untuk pindah dan tinggal di salah satu kamar kost yang kosong. Mami juga memintanya untuk berhenti bekerja. “Kamu terusin sekolah, setelah SMA tamat lanjutkan kuliah.” Katanya. Ugi selalu ragu dengan apa yang dikatakan Mami. Soalnya, bosnya berkata bahwa cepat atau lambat, dia akan bosan dengan Mami. “Kamu masih muda, perjalananmu masih jauh. Betul kamu harus melanjutkan sekolah, tapi berhenti bekerja? Tidak. Kamu tidak bisa mengandalkan belas kasihan orang agar kamu bisa sukses. Kamu harus bekerja.” Kata Bosnya. Ugi tak pernah meragukan apa yang dikatakan bosnya. Bos selalu benar. Lagi pula apa yang telah dilaluinya bersama Cici membuatnya sadar akan keindahan sex yang sebenarnya. Banyak sekali hal yang dipikirkannya malam itu. “Tapi yang jelas, aku harus melakukan apa yang diperintahkan bos secepatnya. Demi kepentingan diriku sendiri.” Katanya dalam hati, sebelum akhirnya dia terlelap. 19 Minggu Pagi. Ugi membereskan sampah-sampah yang ada di halaman belakang, ketika seseorang tiba-tiba saja muncul di gang kecil di belakang rumahnya. “Gi. Ssstttt…” Kata orang tersebut. Badannya sangat kotor dan bau. “Kamu siapa?” Tanya Ugi dalam bahasa sunda yang kasar. “Umang.” Katanya. “Aku lagi dikejar-kejar polisi, dari kemarin belum makan.” Katanya dalam bahasa sunda. “Tapi jangan beritahu siapa-siapa aku ada di sini.” “Kamu Umang? Eta beungeut siga naon (Itu muka kayak apa)?” “Cepet. Aku gemetaran.” “Tunggu sebentar.” Ugi melangkah memasuki halaman belakang rumah Bi Popong. Masuk ke dapur dan melihat Cici hendak mencuci baju. “Ci, minta nasi sama kecap dan kerupuk.” “Akang kan baru saja makan, masa mau makan lagi?” Cici keheranan. “Cepet, yang. Entar dikasih cium.” Cici mengambil piring plastik dan menyendok nasi dari bakul kayu. Mengucurinya dengan kecap manis dan menumpukinya dengan 2 lembar kerupuk. “Sekalian sama minumnya.” Umang usianya lebih tua 2 atau 3 tahun dari Ugi. Dia tinggal bersama neneknya di RT 06. Mereka berteman akrab sejak kecil. “Ni, Mang.” “Nuhun (Trims) Gi.” “Bener kamu ngebongkar (merampok) rumah haji Komar?” “Bohong. Jangan percaya.” Katanya sambil menyantap nasi yang masih hangat itu dengan lahap. “Tapi kenapa polisi-polisi itu ngejar kamu terus-terusan? Semalem aku lihat beberapa intel ada yang lewat. Kamu pasti melakukan kejahatan berat.” “Sumpah, Gi. Aku cuma ngambil 2 koper warna merah di bagasi mobilnya.” Katanya. “Terus kenapa si Ojon dan Si Kinong ditangkap juga?” “Kalau mereka mah bener masuk ke dalam rumah dan mencuri HP dan Laptop. Ketahuan dari CCTV. Aku mah di luar. Ketika si haji lagi ngangkutin bubuk putih dari dalam bagasi ke dalam rumahnya, pas bongoh (tepat lengah) aku mengambil dua koper merah itu dan langsung kabur.” Katanya. “Kamu tahu apa isi koper merah itu?” Tanya Ugi. “Teuing (Enggak tahu).” Katanya. “Kenapa kamu ambil kalau tidak tahu isinya?” Kata Ugi. “Memangnya waktu kamu ngejambret tas perempuan itu, kamu tahu apa isinya?” “Enggak.” Jawab Ugi. “Aku juga sama. Cuma untung-untungan. Tapi mungkin isinya cuma baju-baju doang.” “Terus sekarang kamu sudah buka isinya?” “Belum. Soalnya ada beberapa warga yang tahu. Aku dikejar mereka. Aku lemparin aja 2 koper itu ke sumur kering yang suka dipake buang sampah dekat rumah Pak Mamay.” “Oh, yang di kebon singkong itu?” “I ya. Terus aku kabur ke rumah mang Aming, sembunyi di atas pohon rambutan semalaman.” Katanya sambil bersendawa, dia menghabiskan nasi itu sampai bersih tanpa sisa. “Gi, punya duit engga? Pinjam dululah Gocap (50 ribu) mah.” “Ah, kayak ke siapa aja. Nih aku kasih aja.” Kata Ugi. “Emang kamu mau ke mana?” “Aku mau ngumpet ke rumah Mang Kohar di Garut.” “Ya, sudah. Sana pergi. Nanti keburu ketahuan orang.” “Terimakasih ya sobat!” Kata Umang sambil terus ngeloyor pergi. Setelah Umang pergi, Cici datang membawa jemuran. “Aduuh, akang, halaman jadi bersih begini.” Katanya sambil sekonyong-konyong mencium pipi Ugi. “Sekalian atuh sama halaman belakang Cici.” “Siap, Bos.” Jawab Ugi. “Ci, cariin karung besar 2 ya buat tempat sampahnya.” “Siap, Bos.” Jawab Cici menirukan Ugi. 20 Minggu Siang. Ugi meletakkan 2 karung sampah itu di halaman depan rumahnya dan berniat membuangnya ke tempat pembuangan sampah khusus RW 08 di RT 02. “Nah, gitu dong Gi.” Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari arah gang. “Eh, Siap, Pak RW.” Kata Ugi. “Kemarin Surat Keterangannya sudah saya teken. Kapan mau ke kelurahan?” “Besok, Pak. Ngomong-ngomong, Pak RW sama bapak-bapak yang lain ini mau kemana? Koq kelihatannya resmi.” Kata Ugi. “Mau ke rumahnya Nenek Ijah, neneknya si Umang.” “ADa urusan apa, Pak? Koq rombongan?” “Si Umang tadi pagi ketabrak mobil waktu kabur dari kejaran warga… kamu tahu kan si Umang? Dia ketakutan karena ketahuan sudah mencuri di rumah Haji Komar.” “Terus sekarang gimana, Pak?” “Dia mengalami kecelakaan parah. Sama pemilik mobil dibawa ke rumah sakit, tapi nyawanya tidak tertolong.” “Innalillahi.” Kata Ugi terkejut. “Udah, ya, Gi. Terusin bersih-bersihnya. Bapak dan teman-teman mau ke sana.” “Siap, Pak.” Ugi tercenung. “Aku akan mengambil barang curiannya dan mengembalikannya ke Pak Haji Komar.” Kata Ugi dalam hatinya. Dia merasa sangat sedih atas kehilangan sahabatnya itu. 21 Minggu Sore. Ugi tidak jadi membuang sampah ke RT 02, tapi dia pergi ke sumur kering itu dan menemukan 2 koper merah itu sudah tertumpuk sampah. Dia memasukkan koper merah ke dalam karung yang isinya sudah dia kosongkan. Kemudian Ugi menyimpannya di bawah kandang ayam yang sudah tidak terpakai lagi. Tapi sore itu dia mendapat kabar yang sangat mengejutkan, sehingga dia lupa pada kedua koper itu dan niatnya ke rumah Haji Komar yang memang letaknya cukup jauh. Ugi melihat Mang Otong, Bi Popong, Cucu, Cici dan Emak sedang duduk serius di ruang tamu. Ugi masuk ke situ dan merasa mereka semua menatapnya. “Wah, ada apa ini?” Tanya Ugi. Tapi semua diam tak menjawab. “Ehem.” Mang Otong berdehem. “Duduk Gi kalau mau ikut mendengarkan. Begini, karena Cici sudah besar, sudah 16 tahun sekarang, dan sudah bisa berpikir secara dewasa. Maka, hari ini bapak akan menceritakan rahasia yang sudah tersimpan selama 16 tahun ini.” Kata Mang Otong dengan nada bergetar. “Selama ini Cici selalu bertanya-tanya, mengapa kulitnya lebih putih, hidungnya lebih mancung dan badannya lebih tinggi dari kami, mengapa dia berbeda dengan Cucu, mamah dan saya itu karena… karena Cici sebenarnya bukan anak kandung Bapak dan mamah.” Mata Cici membelalak. “Cici bukan anak kandung bapak?” “Ya. Tapi kamu adalah anak Ating, adik tiri bapak. Ibumu melakukan suatu kesalahan dengan menjadi seorang kurir narkoba dengan jumlah yang sangat besar. Dia tertangkap dalam keadaan hamil besar dan akhirnya melahirkan di penjara. Bapak sebagai satu-satunya keluarga terdekat, akhirnya mendapat kewajiban untuk mengurus anak yang baru lahir tersebut. Anak itu adalah kamu. Bapak kandungmu bernama Doni, orang Jakarta. Dia sudah meninggal.” Ugi berteriak-teriak gembira dalam hatinya. 22 Minggu Malam. Mereka janjian di halaman belakang rumah jam 10. Berdiri di pojokan yang paling gelap, mereka tak henti-hentinya berciuman sambil berpelukan. Mereka bahagia mengetahui bahwa mereka sebenarnya bukan saudara sepupu. Cici mengenakan daster rok pendek dan Ugi celana pendek yang terbuat dari bahan parasut. “Ci…” “I ya, Kang.” “Kamu gak pake BH ya?” “Biarin, biar enak.” “Kamu juga ga pake celana dalam.” “Emang.” “Ci… memek kamu basah.” “Kontol akang juga udah ngaceng. Masukin, ya kang.” “Kamu suka ya?” “I ya.” “Biarin sambil berdiri?” “Biarin, Kang. Duuh… enaak.” Pasangan yang sedang dimabuk asmara itu tidak tahu, secara diam-diam di gang belakang rumah itu ada yang mengintip, sambil mengobel-obel memeknya sendiri. 23 Senin Pagi. “Kang, ikut.” Cici merajuk. “Akang mau ke kelurahan, masa mau ikut?” Kata Ugi. “Biarin atuh, Kang.” “Di sana ngantri, entar bosen.” “Cici belum pernah ke kelurahan. Ikuuutttt.” “Ya, udah sana ganti baju.” Senin Siang. Ke Polsek membuat Surat Keterangan Kelakuan Baik, makan siang di Warung Padang. Senin Sore. Rumah sepi karena emaknya belum pulang. “Emak sama Bi Popong sebenarnya kerja di mana sih, Ci.” Tanya Ugi. “Di gudang KUD, Kang. Kerja paruh waktu, masuk sore. Pulangnya agak malem.” “Oh.” “Kang lagi ngapain?” “Beres-beres dapur. Mau bantuin?” “Mau.” “Nih, sapu.” “Mau ini.” Cici mengusap kemaluan Ugi dari luar celana pendek. “Kamu ini gimana, akang kan lagi sibuk. Bantuin kenapa kek.” Kata Ugi. Cici memeluk Ugi dari belakang, tangannya masuk ke dalam celana pendek Ugi. “Akang ngaceng… ha ha ha.” “Nakal kamu.” Dari luar terdengar suara Cucu. “Ada apa ceu Lilis?” “Eh, enggak. Ini, eu…, mak Pupung belum pulang ya?” “Baru aja tadi berangkat.” Kata Cucu. “Oh i ya. Lupa.” Mendengar percakapan itu Cici melepaskan pegangannya pada penis Ugi. “Mana, Kang sapunya? Sini, biar Cici bantu beres-beres.” Kata Cici dengan suara keras. “Dasar kamu!” Kata Ugi dengan suara setengah berbisik sambil mencubit mesra hidung Cici. Senin Malam. “Cepet atuh Kang keburu uwak pulang.” “Kenapa sih enggak sabaran?” “Udah gatel dari tadi… cepet, nenen dulu…” “Entar dulu, kayak ada orang di dapur.” Ugi ke luar kamar dan pergi ke dapur. Pintunya terbuka. “Tadi lupa enggak dikunci ya, Ci.” “Enggak, biasanya juga enggak dikunci.” “Eh, emak sudah pulang.” “Tuuhh, kan.” Cici menggerutu 24 Selasa bikin SIM C sekaligus SIM A ke Polres Bandung. Cici mens. Dia tidak mau ikut. Rabu ke Cimahi, kerja. Malamnya Mami minta jatah, agak males. Kamis menghadap bos. Laporan. Jum’at ngambil KTP di kelurahan. Cici uring-uringan. Sabtu dan Minggu kerja, membantu Pak Amat. Seminggu berikutnya full kerja. Dikejar target untuk menyelesaikan pengecatan dan perbaikan plafon gedung kantor dinas provinsi Jawa Barat, yang terletak di sekitar Jl. Surapati, Bandung. Mami nelpon. “Gi, sibuk ya?” “I ya, Mi. Dikejar target sama bos.” “Gimana kabarnya Pak Suradi? Sehat-sehatkah beliau?” “Beliau sehat wal afiat.” “Katanya bapak mau ke Singkawang?” “Oh, kemarin sudah pulang, Mi. Cuma dua hari di sana.” “Gi, Mami kangen loh.” “Gimana ya, Mi. Ugi kan lagi kerja.” “Heu euh, deh. Kamu jaga kesehatan ya, jangan lupa makan yang banyak. Entar kalo ke sini, Mami beliin sate kambing.” “I ya, Mi. Makasih.” 25 Sore Sabtu gajian sekaligus pengarahan dari bos. “Saya ucapkan terimakasih atas dedikasi dan loyalitas kalian terhadap target pekerjaan yang sudah kalian kerjakan dengan sangat baik.” Katanya. “Terakhir, Ugi, malam ini temanin saya ke Horison. Ada meeting kecil di sana.” “Siap, Bos.” “SIM Anya sudah selesai belum?” “Sudah, Bos.” “Bagus, kamu yang nyetir. Bawa avansa yang dipake Reyhan.” “Siap, Bos.” 26 Ugi mengikuti langkah bosnya yang tenang dan pasti sambil membawakan tas tangannya yang terbuat dari kulit domba garut. Bosnya, Pak Suradi, mengenakan kemeja pendek warna kuning pias, celana panjang abu-abu muda dan dasi garis-garis dengan warna dominan merah marun. Ugi memakai pakaian safari warna biru tua yang dibelikan bosnya tadi siang dan sepatu pantofel bekas bosnya yang sudah lama tidak terpakai. Ugi merasa keren dirinya bisa mendampingi bosnya ke hotel itu. Mereka melewati Lobby utama, berbelok ke koridor sebelah kiri lalu ke luar dan menemukan kolam renang yang air jernih kehijauan. Melintasi pedestrian di samping kolam renang dan tiba di sebuah lobby kecil Ruang Meeting Utama. Seorang resepsionis meminta Pak Suradi untuk menulis di buku tamu. Pak Suradi menolak. “Saya bukan tamu meeting.” Katanya. “Tapi saya ada janji dengan Melinda.” “Kalau boleh kami tahu dengan bapak siapa, kami akan segera sampaikan ke Ibu Linda.” “Saya Suradi.” “Barangkali ada kartu nama, Pak.” “Sampaikan saja Suradi sudah sampai.” “Baik.” Ugi melihat bosnya tampak sangat berwibawa. Seorang wanita berkulit putih khas keturunan tampak berjalan dengan tergopoh-gopoh. Rambutnya pendek lurus setengkuk dengan belahan rambut di pinggir. Hidungnya mancung kecil dengan bibir tipis sewarna jambu air yang masih muda. Dia memakai blazer abu-abu tua dengan daleman putih dan celana panjang katun warna hitam berpotongan pensil, oleh sebab itu Ugi bisa melihat wanita mengenakan sepatu pantofel yang menutup sampai mata kaki. “Pak Suradi, mohon maaf jika sambutannya kurang berkenan. Saya Melinda Liem, yang tadi siang menelpon bapak. Silahkan, Pak.” “Sopir saya boleh ikut, bu… saya pangil Ibu Mel atau Bu Linda?” “Jangan pake Bu, Pak. Koq rasanya saya jadi lebih tua 10 tahun. Panggil saja, Linda. Boleh. Nanti di belakang ada ruang khusus untuk sopir.” “Kalau begitu, Linda juga jangan memanggil saya Pak, Suradi saja. Kalau dipanggil bapak rasanya saya lebih tua 12 tahun.” “Ha ha ha, Suradi bisa saja.” Mereka berjalan berrendengan sambil berbincang. Dari belakang Ugi mengikuti sambil menikmati lenggak-lenggok pinggul padat berisi Melinda Liem. “Mantul bener.” Kata Ugi dalam hatinya. 27 Ugi mengikuti bosnya sampai ruang VIP. Mereka kemudian duduk berdepan-depan dan setelah bosnya meminta Ugi untuk pergi, barulah pemuda tanggung yang mengenakan pakaian safari itu pergi. Ugi memasuki ruang tunggu khusus sopir yang sangat nyaman. Ada televisi LCD 37 inch menempel di dinding, kopi dan teh serta berbagai makanan ringan aneka jenis. Dan ruangan itu juga free smoking (bebas merokok). Saat itu tidak ada sopir lain yang berada di situ. Ugi duduk santai menumpangkan kaki, berteman rokok, kopi, kue-kue dan televisi. Dia membolak-balikkan chanel sesukanya. Sampai dia berhenti di suatu chanel berita dan terpana. Breaking News, Reporter disorot kamera secara close up dengan latar belakang sebuah rumah yang tampak sibuk oleh kegiatan petugas kepolisian melakukan penggeladahan. “Seorang bandar narkoba kelas kakap berhasil diringkus oleh Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Barat di kediamannya di Wilayah Cileunyi. Bandar K dalam menjalankan operasinya berkedok sebagai haji yang alim dan sering berderma kepada warga sekitar, sehingga tidak ada satu pun warga yang mencurigainya sebagai bandar kelas kakap. Di samping saya sekarang ada Kepala BNNP Provinsi Jawa Barat, Bapak Brigadir Jendral Polisi Sumandono… kalau boleh tahu, apa yang sebenarnya terjadi di sini, tadi sejumlah warga menyatakan ada suara tembakan…” Kamera mula-mula menyorot Reporter dan Brigjen itu setengah badan, kemudian mengambil Close Up wajah sang jendral. “Jadi begini, saudara K ini adalah TO yang kami buru sejak 2 tahun lalu, dia adalah bandar narkoba kelas kakap yang memiliki jaringan internasional, di sini kami berhasil menemukan sabu hampir sekitar 200 kilo dan ratusan ribu pil ekstasi… betul memang tadi terjadi baku tembak antara anggota dengan K dan anak buahnya. Tak ada korban di pihak kami, namun dengan sangat menyesal di pihak K terjadi korban 3 orang terluka tembak termasuk K sendiri terkena di bagian pahanya, sementara 5 orang lainnya berhasil kami lumpuhkan dan saat ini sedang dalam proses pengamanan. Untuk sementara sekian dulu informasi yang bisa kita sampaikan. Terimakasih.” Kamera menyorot wajah reporter secara close up. “Sekian dulu breaking news, saya Rita Sugiarto melaporkan untuk Semprot TV… kembali ke studio.” Jadi Haji Komar ternyata seorang Bandar Narkoba? Bangsat benar dia. Ugi yang semula merasa terbebani untuk mengembalikan dua koper merah itu menjadi merasa lega. 28 Pertemuan itu berlangsung selama 1 jam. Pak Suradi tak berminat ke Pub seperti yang ditawarkan oleh Bu Linda. “Terimakasih, Lin. Saya akan pulang dan langsung kerja.” “Oh, begitu? Kenapa tidak nyantey dulu, Sur. Nikmati malam minggunya biar rileks…” “Lin, kalau targetnya satu bulan, itu artinya pekerjaan saya sudah telat 1 minggu. Soal nyantey gampang, kalau semua kerja sudah selesai.” “Okelah, terserah dirimu saja. Goodluck ya semoga sukses.” “Sama-sama juga atas jobnya Lin.” Di mobil, Bosnya berkata, “Gi, telpon semua orang. Suruh kumpul besok, kita akan ke Majalengka, ke Kertajati, ada pekerjaan sebulan penuh.” “Siap, bos.” “Kalau bisa, Pak Tono suruh datang malam ini juga. Biar dia menyiapkan peralatan dan kamu mempersiapkan kendaraan.” “Siap, bos.” 29 Ugi dan kawan-kawan melewati hari-hari yang panjang dan meletihkan di lokasi proyek tanpa jeda selama hampir 30 hari. Setelah target selesai, semua bersorak dan mendapatkan haknya dengan senyum gembira. Mereka semua pulang ke keluarga masing-masing dengan membawa hasil kerja keras mereka. Kecuali Ugi. Ugi merasa heran kenapa Mami tidak menelponnya. Ternyata Mami terkena kaker payudara dan sudah dirawat, dia dibawa ke rumah sakit oleh saudara terdekatnya. Anak-anaknya juga sudah ada yang datang. Akhirnya Ugi pulang ke rumahnya di Cileunyi. Cici langsung memeluknya dan menciuminya tanpa malu-malu. Sekarang semua orang tahu bahwa Cici dan Ugi saling mencintai. Mang Otong dan Bi Popong serta emaknya tidak keberatan, bahkan mereka berniat menikahkan mereka. Namun, niat itu harus ditunda, menunggu Cucu dilamar dulu oleh Gugun. Cici tidak boleh ngerunghal (melewati) kakaknya, takut nanti kualat. Walau mereka tahu siapa Cici dan Cucu yang sebenarnya, tapi warga sekitar tidak. Untuk menghindari omongan jelek tetangga, Cici harus bersabar. Semuanya akan indah pada waktunya. 30 Kampung Cigendir merupakan salah satu kampung termiskin di Kabupaten Bandung. Di kampung yang terdiri dari 2 RW tersebut, 7 dari 10 Rumah tangga, masih menggunakan kayu bakar sebagai alat untuk memasak. Menurut mereka, memasak dengan menggunakan kayubakar jauh lebih murah dari pada menggunakan gas LPG. Soalnya kayu bakar tidak perlu dibeli. Mereka bisa mendapatkannya secara gratis dengan memungutinya di berbagai kebon, atau pinggiran gunung manglayang atau juga dari sisa-sisa sampah bangunan. Di Kampung ini adalah lumrah jika orang menyimpan atau menumpuk kayu bakar di dalam rumah (biasanya di dapur yang lantainya masih berupa tanah) atau di halaman. Baik halaman depan, samping atau belakang. Demikian juga dengan rumah Mak Pupung, Bi Popong dan Ceu Enah, mereka menumpuk persediaan kayubakar mereka di halaman belakang. Ketika Ugi pulang, halaman belakang itu penuh dengan tumpukan kayu bakar. Bekas kandang ayam itu juga sudah di bongkar oleh emaknya dan Cici. Ugi lupa bahwa dia pernah menyimpan koper yang dia bungkus dengan karung, di bawah kandang ayam itu. Lagi pula dia berpikir bahwa koper itu hanya berisi pakaian yang kurang berharga. Konon, menurut kabar selentingan dari mulut ke mulut warga RW 04 dan 05, sebulan yang lalu, selama satu minggu; ada sejumlah orang tak dikenal melakukan sweeping dari rumah ke rumah, untuk mencari sesuatu. Warga menduga bahwa orang-orang tersebut sedang mencari barang bukti hasil transaksi narkoba, yang telah dicuri oleh salah seorang warga mereka yaitu Umang. Namun hal tersebut dibantah oleh Ketua RW 04 dan Ketua RW 05 yang mendampingi orang-orang tak dikenal tersebut. Keduanya secara tegas dan senada, mengatakan bahwa orang-orang tersebut adalah petugas kementrian desa yang ingin melihat langsung kondisi kemiskinan di kampung tersebut. “Mereka ingin melihat langsung dari satu rumah ke rumah secara teliti, tanpa terkecuali, agar mereka dapat menyimpulkan dan mencari solusi pemecahannya dengan tepat.” Begitulah kata ke dua ketua RW tersebut. 31 Ugi tiba di rumahnya pada Sabtu malam sekitar Jam 9. Sepanjang perjalanan, dia mengeluh dan merasa khawatir, jika nanti dia pulang dan rumahnya penuh dengan para pemain kartu, dia kemungkinan akan sulit beristirahat karena berisik. Namun kekhawatiran Ugi tidak terbukti. Tiba di depan halaman rumahnya, suasana sepi. Lampu boglam 5 watt berpendar suram di langit-langit teras. Cici langsung membuka pintu dan ke luar rumah begitu mendengar suara motor. Dia memeluk Ugi dengan erat, tapi tangannya bau minyak kelapa. Rupanya Cici sedang mengerok punggung emak yang mengeluh masuk angin. “Kang, motornya langsung di masukin ke dalam.” Kata Cici. “Entar dulu, mesinnya masih panas. Emak kenapa?” Tanya Ugi kepada emaknya. “Emak masuk angin, Gi. Udah dua hari badan ini bawaannya terasa enggak enak.” Kata Emaknya. Ugi melihat punggung emaknya merah-merah bekas kerokan. “Mak, Ugi beliin beras 10 kilo sama saos sambal kesukaan emak.” “Kamu enggak usah repot kayak gitu, nyiar-nyiar piatoheun wae (nyari-nyari kegembiraan aja).” kata emak dengan wajah berseri. “Bi Popong dibeliin juga tidak? Dia juga adik emak, kamu harus kasih dia kalau punya rejeki.” “I ya mak, bi Popong dibeliin 5 kg sama saos sambal dan kecap.” Kata Ugi. “Ngomong-ngomong koq sepi, Mak? Pada ke mana tuh para pemain kartu?” Emaknya tertawa kering. “Salah seorang suami yang main di sini ada yang ngelaporin ke polisi, jadi kita ditegur tidak boleh lagi mengadakan permainan kartu.” Kata Emak. “Padahal mah, selama ini tidak pernah ada keributan dan percekcokan. Ini cuma hiburan murah meriah.” Katanya sambil mengenakan kaos belelnya yang biasa digunakan untuk tidur. “Ya, udah, Mak. Enggak apa-apa.” Kata Ugi. “Ci, kresek yang warna hitam itu tolong bawa buat Bi Popong.” kata Ugi lagi kepada Cici yang baru saja mencuci tangan di kamar mandi. “I ya, Kang.” “Gi, apa bener kamu sama Cici saling menyukai?” “Emak tahu dari mana?” “Cici yang bilang sendiri.” “Oh. I ya mak, bener mak.” “Kamu jangan permainkan perasaan perempuan ya. Jangan plin plan kayak bapak kamu.” Kata Emak. “Emak sih setuju-setuju saja kamu sama Cici. Dia itu cantik, Gi. Beda dengan orang kampung sini. Dia juga baik sama emak.” “I ya, Mak.” “Udah, emak mau istirahat dulu. Tadi sudah minum obat, sekarang terasa ngantuk.” “I ya, Mak. Istirahat dulu aja.” Cici datang lewat pintu belakang, dalam keadaan sudah berdandan. Dia tersenyum menatap Ugi. “Kata Mamah, makasih.” “Sama-sama.” “Sekarang masukin motornya, Kang.” “I ya. Ini juga mau.” Ketika Ugi ke halaman dan mendorong motornya masuk ke dalam, Ceu Lilis terlihat olehnya sedang menyapu teras. Sekilas tampak Ceu Lilis melirik Ugi. Saat itu, Ugi sudah melepaskan jaketnya. Dia mengenakan safari biru tua yang rapi. Diam-diam Ceu Lilis terkesima. 32 “Ini kresek apa aja, Kang?” Tanya Cici seraya mengambil kantong-kantong kresek itu dari kaitan tebeng motor. “Yang besar, beras. Yang kecil, saus, kecap dan garam .” “Kalau yang ini?” “Buka aja sendiri.” Kata Ugi. “Ini kaos yang bagus, akang beli di mana?” “Di kaki lima.” “Buat emak?” “Bukan. Buat kamu.” “Sungguh?” Ugi mengangguk. Cici memeluk kaos itu dan menatap Ugi dengan lembut. “Tapi, kang, Cucu enggak dibeliin?” “Buat Cucu sama Bi Popong di kresek satu lagi.” “Wak Pupung enggak dibeliin?” “Emak nanti dikasih uangnya aja.” Ugi duduk di kursi tua rumahnya. Dia melepas sepatu dan kaos kaki. Cici duduk di sebrang meja. Di luar terdengar suara Cucu. “Ceu Lilis mau kemana?” Dalam bahasa Sunda yang halus. “Mau ke warung.” Cici bangkit dari duduknya, pergi ke pintu dan melihat Cucu jalan bergandengan tangan dengan Gugun. “Cu, sini dulu sebentar.” Kata Cici. Cucu mendekat dan masuk ke rumah. “Eh, ada Kang Ugi.” “Baru sampai nih Cu.” “Ini ada oleh-oleh dari Kang Ugi, buat Cucu sama mamah.” Kata Cici “Wah, makasih kang.” Katanya. “Eh, Ceu Lilis itu aneh ya. Masa mau ke warung aja pake dandan segala.” “Ah, Cucu mah kerjaannya ngegosip melulu.” Kata Cici. “Udah cepet bawa, kasiin ke mamah.” “Kamu sendiri?” “Cici di sini dulu mau melepas kangen.” “Huu, dasar.” 33 Cici menatap Ugi dengan tatapan menyelidik. Ugi diam termenung sambil merokok. “Akang kenapa?” Tanyanya. Dia duduk di sebrang meja. “Enggak kangen ya.” “Akang sangat kangen, Ci.” Kata Ugi. “Selama ini, sambil kerja, akang selalu inget sama Cici.” “Bohong.” “Udah, jangan becanda. Akang mau ngomong serius. Menurut akang, sebaiknya Cici nerusin sekolah.” Cici diam. Dia mengigit bibir. “Tapi biayanya dari mana, kang? Sekolah kan mahal. Dari mana uangnya? Buat bayar SPPnya, seragamnya, buku-buku, belum ongkos tiap hari? Berapa itu kang?” “Ya, akang ngerti. Memang mahal. Biarin akang yang bayarin.” Cici bangkit dari duduknya lalu bersimpuh di depan Ugi dan memeluk kedua kaki Ugi. “Cici juga pengen nerusin, Kang. Makasih atas kebaikan akang. Tapi akang harus ingat sama Uwak. Uwak sudah sering sakit-sakitan. Kemarin aja uwak enggak masuk kerja 4 hari. Capek, katanya. Uangnya kasiin buat Uwak aja, Kang. Cici mah enggak usah dikasih juga enggak apa-apa. Akang sayang sama Cici aja itu udah cukup.” Ugi mematikan rokoknya. “Kamu itu aneh, Ci.” Kata Ugi sambil membelai rambutnya. “Kenapa kamu yang mikirin emak, bukan akang. Kamu bener. Emak sudah tua. Emak jangan mikirin kerja lagi.” “Makanya akang harus nurut sama Cici.” Katanya, lalu dia meneruskan dengan setengah berbisik. “Kalau diminta cium harus nyium, kalau diminta nenen harus nyedot yang lembut, kalau diminta peluk… harus sekalian dimasukkan biar berasa.” “Apanya yang dimasukkan?” Bisik Ugi. Cici tidak menjawab. Matanya memandang Ugi dan mengedip-ngedip. “Ci, akang merasa aneh, sepertinya ada orang yang mengawasi kita.” Berkata begitu Ugi pergi melangkah ke dapur dan melihat sekilas ada bayangan bergerak. Ugi kemudian mengecek pintu dapur dan ke luar ke halaman belakang. Cici mengikuti. “Wah, kayu-kayu bakarnya ditumpuk rapi. Kandang ayamnya ke mana?” “Diberesin sama Uwak dan Cici. Udah dibongkar.” Kata Cici. Sekejap Ugi mengingat-ingat sesuatu, tapi gagal. “Aku pernah menyimpan apa di sini.” Kata Ugi dalam hati. Cici memeluknya dari belakang. “Besok kita perbaiki pagar belakang ini, biar enggak ada ayam orang masuk.” Kata Ugi. “Kang, ganti dulu bajunya.” Mereka masuk ke dapur. Ugi menutup pintu dapur dan mengganjalnya dengan kayu kaso-kaso. Ketika melongok ke kamar, dilihat Emaknya sudah tidur lelap. Ugi menutupkan gordennya. Sementara itu, Cici pergi ke depan dan mengunci pintu. Ketika kembali, dia melihat di ruang tengah Ugi sudah melepas baju safarinya. Hanya tinggal memakai kaos singlet dan celana dalam. Ugi diterkamnya dari belakang. Menggosok-gosokan nenennya pada punggung Ugi. Tangan Cici masuk ke dalam celana dalam Ugi, memegang batang kontol yang hangat. “Hi hi hi… langsung bangun.” Katanya. Ugi berbalik dan memeluk gadis itu dengan erat. Kedua tangannya berada di buah pinggul gadis itu dan meremas-remasnya. Mereka berciuman lamaaa sekali sambil melepaskan pakaiannya masing-masing. “Nenen…” Bisik Cici sambil merebahkan diri. Ugi menciumi dan mengulum puting susu Cici selama beberapa menit, kemudian menciumi perut dan pahanya. Cici mengerang pelahan. Dia membuka pahanya dengan lebar dan membiarkan Ugi menjilati bibir-bibir memeknya. Cici menahan erangan dan menjambak rambut Ugi ketika pemuda itu menjilati klitorisnya. “Kaangnghhh…” “Sekarang sayang?” Cici mengangguk. Ugi mengerahkan batang kontolnya yang melengkung dan memasukkannya ke dalam liang memek Cici. “Akhkhh…” Cici mendesah. Dia memeluk punggung Ugi. “Pelan dulu.” Bisiknya. Ugi mengangguk. Dia menggenjot pelahan-lahan sampai gadis itu melenguh dan memintanya untuk cepat. Ugi merasakan gadis itu mengejan dan menahan gerakan pantatnya. “Oughkhkhhh…” rintihnya. Ugi mendiamkan beberapa saat batang kontolnya didenyut-denyut oleh mulut memek Cici. “Tambah lagi sayang?” Tanya Ugi. Cici mengangguk. Ugi menggenjot lagi kontolnya untuk menghujam-hujam memek Cici selama beberapa menit. “Akaangnghhh… oughkhk…” Cici menjerit kecil. “Udah sayang… udah…” Katanya. Ugi melakukan beberapa genjotan lagi sebelum dia sendiri mengeluarkan pejuhnya, di luar. 34 Cici sepertinya terlelap sejenak ketika dia mendengar suara Cucu memanggilnya di luar. “Lagi di air.” Jawab Ugi sambil cepat-cepat mengenakan kaos dan celana pendeknya. Cici tersenyum nyengir dan berpakaian. Dia merapikan rambutnya agar terlihat tidak berantakan. “Makasih akang sayang, udah sekarang mah ini udah diobatin kangennya. Cici pulang dulu, mau bobo.” “Ci…”Teriak Cucu di luar. “I ya, tunggu sebentar.” “Cici, jangan lupa ini kaosnya.” Kata Ugi. “Eh, i ya.” Kata Gadis itu meraih kaos itu sambil mencuri satu ciuman di bibir Ugi. Dia lalu pergi ke luar. “Ada apa sih, Cu?” “Ini, gimana cara buka tutup saosnya? Mamah pengen nyobain.” “Huu, segitu aja susah. Ganggu orang lagi kangen-kangenan aja.” “Maaf atuh.” Ugi tersenyum nyengir. Celana dalam Cici ketinggalan. Dia cepat menyimpannya di bawah bantal dan tertidur pulas. Beberapa saat kemudian, di dapur, ada orang mengendap-endap pelan dan membuka penahan kayu kaso-kaso itu. Kemudian pergi ke luar. “Hampir aja ketahuan, coba kalau tidak sembunyi di belakang gentong air… bisa berabe.” Kata Ceu Lilis dalam hati. Dia melap tangannya yang penuh lendir dengan ujung kain bajunya sambil berjalan pulang. 35 Ugi sedang memperbaiki pagar bambu di halaman belakang rumah ketika Emaknya datang dan memberitahu ada Pak RW. Ugi segera menghentikan pekerjaannya dan menemui Pak RW di ruang tamu. Selain Pak RW ada 2 orang lain yang tidak Ugi kenal. Mereka duduk lesehan di atas tikar yang digelar secara mendadak oleh emaknya. “Wah, Pak RW. Ada apa ya tumben.” Kata Ugi. “Ah, engga ada apa-apa, Gi. Cuma ini, nganter petugas dari kementrian pusat.” “Oh, siap.” Kata Ugi. Diam-diam Ugi memperhatikan kedua orang tak dikenal itu dan sedikit merasa aneh. Mereka rapih memakai kemeja dan celana jeans, wajahnya pun terlihat seperti orang baik-baik. Setelah ngobrol sana-sini dan menanyakan berbagai hal yang Ugi tidak paham apa maksud tujuannya serta menanyakan secara ditail pekerjaannya, akhirnya kedua orang itu menanyakan kapan Ugi membeli motor. “Sekitar empat atau lima bulan yang lalu.” Kedua orang itu mengangguk-angguk, lalu mereka menanyakan berapa pendapatan bersih Ugi per bulan. “Tidak tentu sih. Kadang 2 juta kadang lebih. Tetapi rata-rata saya bisa menabung sekitar satu juta setengah setiap bulannya.” “O, begitu.” Kata seorang yang bertubuh tinggi. “Bisa lihat tabungannya?” “Boleh.” Kata Ugi sambil bangkit dari duduknya dan mengambil buku tabungannya di saku dalam Jaket. “Ini.” Mereka berdua secara teliti melihat buku tabungan tersebut dan mengangguk-angguk. “Untuk seorang kuli seperti saya, itu adalah jumlah maksimal yang bisa saya lakukan.” Kata Ugi. “Bagus. Ini bagus. Anda adalah seorang yang hebat bisa menabung sebanyak ini.” Kata orang yang bertubuh agak gemuk. “Anda kenal dengan orang yang bernama Umang?” “Ya, tentu saja. Saya kenal baik. Dia teman masa kecil saya yang selalu berbuat konyol.” Jawab Ugi. “Kapan anda terakhir bertemu Umang?” Ugi tiba-tiba teringat kepada Umang yang gemetar kelaparan dan meminta makan pagi itu. Tapi Ugi tidak mau mengungkit-ungkit keburukan Umang, bagaimana pun dia sudah mati dan sudah tenang di alam sana. Secara diam-diam bahkan Ugi merasa menyesal tidak dapat berbuat yang lebih baik lagi kepada sahabatnya itu. “Saya kurang ingat, mungkin sekitar satu atau dua minggu sebelum saya kerja di proyek.” “Baiklah. Terimakasih atas kerjasama ya, Gi.” “Sama-sama, Pak.” Ketika mereka pergi, Ugi baru ingat tentang 2 koper merah itu. “Ah, tapi itu tidak penting. Isinya juga paling baju bandar sialan itu.” Kata Ugi dalam hatinya. 36 Kedua orang tidak dikenal itu diantar oleh Pak RW sampai ke pinggir jalan, di mana sebuah mobil double kabin warna hitam terparkir. Di belakang stir, orang yang agak gemuk itu berkata pada temannya. “Bagaimana menurutmu?” “Tidak, dia tidak tahu apa-apa.” “Ya, memang. Anak itu berkata jujur apa adanya.” “Dua koper merah itu pasti sudah diambil oleh seseorang. Si Umang mungkin menjual kopernya ke tukang loak.” “Mustahil. Dia tidak akan punya waktu, apalagi kalau kita mendasarkan pada runtutan kejadiannya.” “Ya, aku rasa juga begitu.” “Si haji mungkin berbohong tidak?” “Tidak mungkin. Komandan kita jauh lebih cerdik. Dia punya hitungannya sendiri.” “Menurutmu, apa mungkin koper itu isinya masing-masing lima milyar?” “Sangat mungkin. Bahkan kalau jenis dan type koper itu sama seperti yang disebutkan si haji, dan isinya penuh, kemungkinan 10 milyar per koper ada.” “Waw, gila. 20 milyar bos. Kita cari ke mana lagi ya? Rasanya semua jalan sudah kita tempuh tapi semua buntu.” “Sudahlah, kita lapor saja ke komandan sekarang.” “Oke siap.” 37 Setelah mereka pergi, Cucu dan Cici datang. “Kang, ajarin naik motor.” Kata Cici. “I ya, Kang. Ajarin kita.” “Kalian ini apa sih? Akang lagi sibuk ngebenerin pagar.” Ugi berkata sambil pergi ke dapur. “Kang atuh kang.” Kata Cici mengikuti langkah Ugi. “Nanti akang ajarin. Sekarang akang mau ngebenerin ini dulu.” “Janji ya?” “I ya.” Kata Ugi. “Eh, Ci, sini sebentar. Akang mau bisikin sesuatu.” “Apa, kang?” Kata Cici sambil mendekatkan telinganya ke mulut Ugi. “Celana dalam kamu ketinggalan, ada di bawah bantal.” Wajah Cici langsung merah. Tapi bibirnya tersenyum genit. 38 “Cu, kamu pernah enggak sama kang Gugun?” Tanya Cici, berbisik. “Pernah apa?” “Masa sih enggak tahu maksudnya?” “Kamu sendiri sama Kang Ugi gimana? Pernah enggak?” Tanya Cucu berbalik nanya. Cici mengangguk. “Sumpah?” Tanya Cucu. “Sumpah.” “Aku juga, pengen cepet-cepet Kang Gugun ngelamar biar enggak was-was.” Kata Cucu. “Kamu jangan gangguin aku kalau lagi berduaan sama kang Ugi, kayak semalam.” Kata Cici ketus. “Semalam kepaksa, soalnya mamah dan aku engga bisa buka tutup botol saos.” “Ah, alasan.” “Lagi enak ya? Aaaaa ha ha ha…” Kata Cucu tertawa. “Nakal nakal nakal…” 39 Pada sore harinya, Ugi mengajari Cucu dan Cici naik motor, bahkan Gugun juga ikut. Mereka belajar di lapang serbaguna kelurahan yang sepi, sampai setengah bisa. Sejak itu, setiap kali Ugi pulang, pada sore hari, ketiga orang itu belajar naik motor sehingga akhirnya benar-benar mahir. Sore itu, di pinggir lapangan serbaguna, mereka bertiga mengajak Ugi duduk lesehan di rumput. “Ada apa?” Tanya Ugi, heran. “Kang Ugi sudah lama enggak melihat ceu Enah kan?” Kata Cucu. “Ah, i ya, bener. Ke mana ya ceu Enah.” “Mang Asep sudah menceraikannya.” Kata Cici. “Apa?” “Ceu Enah keciduk sama Mang Asep lagi gituan sama temannya di konveksi.” Kata Cucu. Ugi diam. Teringat dulu Ceu Enah pernah juga menggodanya dan mengajaknya gituan. “Sekarang mang Asep sudah jarang pulang ke rumah. Dia tidur di mushola supermarket dan suka minum-minum.” Kata Cucu dengan nada sedih. Ada yang membuat heran Ugi saat itu, ketika secara diam-diam dia melihat Gugun seperti memalingkan muka. 40 Minggu pertama di bulan baru, biasanya memang agak santai. Ugi lebih banyak jadi sopir bosnya daripada jadi kuli. Beberapa kali Pak Suradi menyuruhnya mengenakan Safari dan mengantarnya ke sejumlah tempat. Pernah suatu kali, Bu Iis, istri bos, menanyakan ke mana saja Ugi mengantar bapak. Ugi menceritakan secara ditail tempat-tempat mana saja yang dikunjungi bosnya. “Bapak melakukan lobby dan negosiasi, Bu. Saya tidak pernah jauh membawa tasnya.” Kata Ugi. “Kamu enggak bohong, Gi?” “Enggak, Bu. Bapak emang sangat pendiam ya bu, bulan-bulan belakangan ini.” Kata Ugi. “Menurut kamu kenapa kira-kira, gi?” Ugi menarik nafas dalam-dalam. “Menurut saya bu, maaf, bapak melakukan banyak sekali lobby dan negosiasi, tapi hanya sedikit yang berhasil. Tapi bapak enggak pernah kelihatan patah semangat, bu.” Kata Ugi. “Ya, bos kamu itu memang bandel dan pantang mundur. Ibu cuma khawatir sedikit, dia ada main sama perempuan lain.” “Mana… mana mungkin begitu, bu? Ibu terlalu berlebihan.” Kata Ugi. “Soalnya… ” Bu Iis menghentikan kalimatnya. “Ah, sudahlah. Dibilangin juga belum tentu kamu ngerti. Eh, Gi, Ibu ada HP bekas kamu mau?” “Mau sekali, Bu.” “Masih bagus, Gi. Androidnya juga enggak jadul banget. Mau?” “Mau, Bu. Mau.” “Tapi kamu harus jelaskan yang sejelas-jelasnya siapa perempuan yang bernama Linda. Jika menurut ibu penjelasanmu jujur dan masuk akal, Ibu kasih HP ini buat kamu. Setuju?” “Siap, Bu. Namanya Ibu Anastasia Melinda Liem, pengusaha dari Jakarta. Bapak ditelpon sama Bu Linda dan janjian di hotel Horison, di ruang VIP. Ugi ada di luar kaca bu, bisa melihat mereka. Terus mereka berjabatan tangan, esoknya kita kerja sebulan full di Majalengka.” “Ya. Terus?” “Terus, minggu lalu Bapak nemuin Bu Linda lagi di Kafe Dono, tapi bapak geleng-geleng kepala terus kalau Ugi lihat. Enggak ada jabat tangan, Bu.” “Hm. Terus?” “Kemarin malam, ketemu lagi di Kafe Progo. Dari jam 7 sampai jam 10.” “Enggak ke hotel?” “Enggak, Bu.” “Kamu ikut makan di sana?” “Ya, ikut atuh bu.” “Coba sebutkan nama menu makanannya?” Ugi diam sebentar. Mikir. “Kalau nama menunya Ugi enggak tahu, tapi yang jelas itu makanan Jepang.” Kata Ugi “Ya, sudah HP ini buat kamu.” Kata Bu Iis sambil tersenyum. “Sekalian sama casannya, Bu, kalau boleh.” Kata Ugi sambil nyengir. “Beli sendiri gimana sih!” 41 Usai mencuci mobil pada Jum’at sore, Pak Suradi memberi uang mingguan dan Ugi diperbolehkan pulang. Sore itu juga Ugi berangkat. Ketika melewati ujungberung, dia berhenti di sebuah counter Hp dan membeli charger. Tiba di rumah ternyata sepi. Tidak ada Cici, emak, Cucu, bi Popong atau mang Otong. Ugi sejenak termangu di halaman depan. “Semuanya pergi ke rumah sakit Ujungberung.” Tiba-tiba Ceu Lilis ke luar dari pintu rumahnya. Ugi menoleh ke arah Ceu Lilis dan tersenyum. “Katanya mang Asep pesta minum oplosan, terus mulutnya berbusa dan dibawa ke rumah sakit.” Tambahnya. “O, begitu ya ceu?” “Mereka berangkat tadi sore… mmm, Ugi baru datang ya? Istirahat dulu di sini yuk, ceuceu bikinin kopi.” “Makasih, Ceu, enggak usah repot-repot.” “Ga pa pa, daripada duduk di luar. Yuk, sini yuk.” “Trimakasih ceu, saya akan nyusul ke rumah sakit.” Ceu Lilis tampak sangat kecewa. Ketika Ugi membelokkan motor dan pergi, Ceu Lilis membanting meja tamu hingga hancur berantakan. Malam itu akan menjadi malam yang menyakitkan bagi Ugi. Rumah sakit Ujungberung bukan rumah sakit besar, dengan mudah Ugi menemukan ruangan UGD. Terlihat olehnya Cici sedang menangis di bangku panjang ruang tunggu. Ugi segera mendekatinya. “Uwak Kang.” Katanya sambil terisak. Ugi tidak mengerti. Bukannya mang Asep yang sakit karena minum oplosan? “Emak, kenapa?” Cici tidak menjawab. Dia memeluk Ugi sambil terus menangis. Setelah menenangkan Cici, Ugi pergi ke UGD dan mendapatkan penjelasan bahwa tadi pagi, Mang Asep meninggal dan satu jam yang lalu ibunya meninggal juga. Menurut penjelasan dokter, Ibunya meninggal karena tumor di otaknya. “Bu Pupung sebenarnya mengidap glioblastoma ini sudah agak lama. Ketika dibawa ke sini dalam keadaan pingsan dan ternyata tumor itu sudah stadium 4. Kami tak bisa berbuat banyak.” Kata Dokter itu. Ugi terdiam. Hatinya menangis. “Semuanya sudah terjadi, aku harus menghadapinya dengan berani.” Kata Ugi dalam hatinya. Dia kemudian menelpon bosnya dan minta cuti satu minggu. “Cuti? Satu minggu? Ada apa Gi?” Tanya Pak Suradi. “Paman dan Ibu saya meninggal, bos. Mohon diijinkan.” Di sana diam sejenak. “Alamat rumah kamu kalau tidak bisa di WAkan, di SMS kan ya Gi.” Kata Bosnya. “Siap, bos!” Ugi segera menyelesaikan urusan administrasi sampai tuntas, memberikan alamat rumah ke petugas untuk mengantarkan ke dua jenazah itu ke rumahnya. Kemudian dia bersama Cici pulang dan melapor kepada RT dan RW. Penyelenggaraan pengurusan jenazah pun segera di siapkan malam itu di Mushola RW 05. Karena kesibukannya malam itu, dia tak sempat memperhatikan Cucu, Bi Popong dan Mang Otong. Cici juga sedari tadi hanya menangis dan menangis. Malam itu, sekitar jam setengah 12, semua urusan selesai. Jenazah sudah dimandikan dan disholatkan, siap dimakamkan besok pagi di pemakaman umum Cigoledag. Cici tertidur di kamar ibunya karena letih. Ugi merokok di ruang tamu sendirian sambil merenung. Sekitar jam satu pagi, 2 orang Polisi didampingi ketua RW 09 dan ketua RW 05 yang sudah dikenalnya dengan baik, mendatanginya. Ugi heran sekali. “Wah, ini, ini ada apa lagi?” Tanya Ugi. Polisi itu, Ipda Sukardi, tersenyum kepada Ugi dengan bijak. “Begini, Gi, saya diberitahu bahwa malam ini Ugi baru saja memandikan dua orang yang Ugi sayangi, kami mengerti Ugi masih berduka.” Katanya dengan tenang. “Namun, kami juga berkewajiban untuk menyampaikan kejadian tadi siang. Begini, tadi siang Ibu Popong dan Bapak Otong serta anaknya yang bernama Cucu, mendatangi rumah Pak Oding, di RT 02 RW 09. Tujuan mereka ke rumah Pak Oding adalah untuk bertemu dengan Gugun yang pada waktu itu tidak ada di tempat. Mereka bermaksud meminta pertanggungjawaban Gugun karena, Cucu yang mengaku pacarnya Gugun, sudah hamil 3 bulan.” Ipda Sukardi menghentikan kalimatnya sejenak. “Pak Oding pada saat itu menjawab, bahwa Gugun tidak ada di tempat. Namun Pak Oding merasa heran akan pengakuan Cucu yang minta pertanggungjawaban. Menurut Pak Oding, Gugun tidak pernah bercerita bahwa dia punya pacar bernama Cucu. Bahkan menurut Pak Oding, anaknya Gugun sudah menikah dengan Enah sejak satu bulan yang lalu.” Ugi diam. Mencoba mencerna penjelasan Ipda Sukardi. “Mendengar penjelasan itu, Pak Otong tiba-tiba naik pitam. Lalu terjadilan percekcokan mulut di antara Pak Otong dan Pak Oding. Pada saat berlangsungnya percekcokan, tiba-tiba datang Gugun bersama istrinya Enah, ternyata hal tersebut memicu Cucu menjadi histeris. Akhirnya, percekcokan antara Cucu dan Gugun tidak terhindarkan. Sementara itu, Bu Popong yang sejak tadi diam tak banyak ngomong, secara diam-diam mengambil golok yang tergeletak di dapur. Lalu dia tiba-tiba menyerang dan berusaha membacok Gugun, tapi justru yang terkena malah anaknya sendiri sehingga lehernya setengah putus, sehingga memancurkan darah segar dan meninggal saat itu juga.” Ugi mengisap rokoknya dalam-dalam. Matanya meneteskan airmata. “Melihat ternyata justru anaknya yang terkena bacokan, tiba-tiba saja Bu Popong menjadi kalap dan mengejar Enah untuk dibacok. Beberapa warga yang kebetulan pada saat itu berkerumun, mencoba menahan kemarahan Bu Popong. Akhirnya, salah seorang warga berhasil mengamankan Bu Popong dari belakang dibantu suaminya Pak Otong. Warga kemudian mengurus jenazah Cucu dan membawa Pak Otong dan Bu Popong ke rumah sebelah untuk diredakan emosinya.” Ipda Sukardi menarik nafas panjang. “Pak Otong dan Bu Popong kemudian minta ijin ke belakang rumah itu untuk berbicara berdua. Mereka minta agar warga jangan mendekati mereka sebelum mereka mengijinkan. Warga pun setuju. Tapi setelah lama ditunggu-tunggu mereka tidak muncul juga, akhirnya warga penasaran dan segera melihat ke halaman belakang rumah itu. Warga ternyata menemukan mereka berdua telah gantung diri secara bersama-sama di pohon mangga yang banyak cabangnya yang tumbuh di belakang rumah itu.” Ipda Sukardi menyalakan rokok kreteknya. “Warga pemilik rumah itu adalah pedagang tali tambang plastik, jadi wajar jika di belakang rumahnya banyak tambang plastik yang disimpan.” Katanya. Ugi mengangguk-angguk. Lalu pingsan.
Reactions:
roy_takahasi, Tebu Wulung, edoarkana, dan 48 lainnya
Sumandono
Tukang Semprot
Daftar:
7 Nov 2019
Post:
1.148
Like diterima:
19.842
Lokasi:
Bandung
30 Nov 2019
#12
42
PENUTUP (Suradi The Lucky Man)
Sabtu Siang. Suradi kesulitan mencari tempat parkir di jalan desa itu. Dia akhirnya memutuskan masuk ke halaman sebuah rumah dan minta ijin parkir sekaligus menanyakan alamat yang dikirim Ugi melalui SMS. Setelah melewati gang yang berliku, akhirnya Suradi berhasil menemukan rumah itu. Motor bebek warna hitam yang diparkir di depan rumah itu, meyakinkannya bahwa itu adalah rumah anak buah yang disayanginya, Ugi. Pintu rumah itu dalam keadaan terbuka. Suradi berdiri di ambang pintu dan melihat Ugi sedang berbaring di lantai beralas tikar berbantalkan paha seorang gadis yang imut. “Itu pasti pacarnya.” Kata Suradi dalam hatinya. Gadis itu menoleh ke arah Suradi dan tersenyum. “Kang Ugi baru saja tidur. Dia kecapean.” Kata Gadis itu. “Mohon tanya, bapak ini siapa ya?” “Saya Suradi.” “Oh, bapak bosnya Kang Ugi ya? Maaf, Pak, keadaan lagi darurat jadi… ” “Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.” Kata Suradi tersenyum lembut. Suradi kemudian melihat gadis itu menciumi kening dan mata Ugi untuk membangunkannya. “Kang, bangun sayang.” Katanya. Sekali melihat saja, Suradi yang berpengalaman itu, tahu persis betapa besar cinta dan kasih sayang gadis itu kepada Ugi. Pelahan Ugi membuka matanya. “Ci, akang letih sekali. Biarkan akang tidur sejenak.” Kata Ugi. Gadis imut yang bernama Cici itu tersenyum dan membelai rambut Ugi. Dia mencium mata Ugi sekali lagi dan membisikkan sesuatu di telinga anak buahnya itu. Seketika Ugi terperanjat duduk. “Bos, eh, maaf.” “Tenang, tenang… Ugi, tenang dulu. Kita tidak sedang bekerja di sini.” Kata Suradi dengan nada lembut. Suradi menatap tajam anak buahnya itu dengan tatapan menyelidik. Hm, dia sedang terluka. Bisik Suradi. “Saya ke sini hanya sebentar.” Kata Suradi. “Saya tidak datang untuk menengok dan memberimu semangat, kau tidak memerlukannya selagi gadis cantik itu ada di sisimu. Saya datang ke sini untuk memerintahkan kamu cuti selama diperlukan, seminggu boleh dua minggu boleh. Setelah perasaanmu nyaman dan tenang, baru kerja lagi seperti biasa. Bagaimana?” “Siap, Bos.” Wajah Ugi gembira. “Saat ini mungkin kau sedang sedih; sedih dan gembira itu soal biasa. Pergilah kalian berdua ke mana saja tempat yang menurut kalian indah. Bercintalah sepuasnya dan hamililah gadismu itu jika dia mau. Habiskan tabunganmu dan uang ini…” Suradi mengeluarkan amplop dari saku bajunya. “Setelah badai berlalu, semua badai pasti berlalu, datanglah ke Cimahi dan bekerjalah kembali dengan gembira seperti biasa.” Suradi berkata dengan kata-kata yang lembut namun tegas. “Ugi, Ini perintah. Ingat.” Kata Suradi dengan senyum. “Nikahi dan hamili dia.” “Siap, Bos!” Cici terbengong-bengong melihat sikap bosnya Suradi. Dia semakin bengong ketika membuka amplop itu: Uang 10 juta. *** Dua minggu kemudian, Suradi melihat Ugi masuk kerja dengan wajah cerah. “Ugi, sini.” Kata Suradi. “Siap, bos.” “Bagaimana? Sudah kamu nikahi dia?” “Sudah, bos.” “Masih perawan?” “Masih, bos.” “Bagus. Sekarang kamu sudah tahu perbedaan antara Perawan dan bukan. Tidak semua orang bisa seberuntung kamu.” “Siap, Bos.” “Nah, sekarang pakai baju safarimu, kita akan pergi mengunjungi seorang teman di Lapas Sukamiskin.” “Siap,Bos.” “Gi, kalau saya tidak memintamu tunggu di mobil, berarti kau ikuti saya ke mana pun. Paham?” “Siap, Bos.” *** Ugi mengikuti bosnya melewati jeruji demi jeruji besi yang dibukakan oleh petugas Lapas. Sampai mereka tiba disebuah ruangan yang dijaga sangat ketat. “Sur, terimakasih mau datang.” Katanya. Ugi seperti merasa kenal dengan wajah napi itu. “Apa kabar, Mar? Sehat?” “Begini Sur, aku terus terang mau minta maaf kepadamu, aku bukan temanmu yang baik, aku telah menghianatimu beberapa kali… ” Napi itu tiba-tiba menangis. “Aku terancam hukuman mati.” Katanya. Suradi menatap orang itu dengan tenang. “Cukup sandiwaramu, Komar. Cukup. Langsung saja ngomong, kau perlu bantuan apa?” “Sewakan aku pengacara yang handal, kalau aku selamat dari hukuman nati, nanti semuanya akan kuganti.” Katanya. “Aku bersumpah, Sur, aku akan menggantinya.” “Kau telah beberapa kali bersumpah dan tak ada satu pun yang kau tepati.” “Kali ini, Sur, aku mohon. Tolonglah.” “Aku telah cukup berkorban dan kau tak pernah berubah.” Kata Suradi, suaranya terdengar geram. “Kau tahu, 5 tahun yang aku telah melakukan kesalahan membebaskanmu, aku takkan mengulangi kesalahan yang sama.” “Sur, tolonglah, kaulah satu-satunya harapan terakhir.” “Tidak. Mintalah yang lain.” “Sur tolonglah…” “Permisi.” “Sur!!!!!!!!!!” *** Suradi pergi dengan tergesa. Ugi mengikutinya sampai pintu luar, kemudian Ugi mendahului Suradi menuju mobil. “Ayo, Jalan, Gi.” “Siap, bos.” Kata Ugi. “Bos, napi itu teman bos?” “Ya, dia adalah sahabat saya waktu pertama kali saya kerja di proyek.” “Namanya Komar ya Bos?” “Ya.” “Dia pengedar narkoba kelas kakap, kan?” “Ya. Betul, Gi. Tahu dari mana? Dari berita ya?” “Bukan, Bos. Rumah Pak Komar itu di Cileunyi, Bos.” Suradi tertawa. “Dari mana kamu tahu rumahnya di Cileunyi? Dia itu bandar kelas kakap, rumahnya mungkin lebih dari satu.” “Mungkin, Bos. Sebetulnya, begini bos, sahabat saya, Umang, pernah mencuri tas Pak Komar yang berisi pakaian di bagasi mobilnya. Sudah sejak lama saya berniat mengembalikan tas itu, tapi enggak pernah kesampaian.” “Kenapa bukan sahabatmu Umang aja yang mengembalikannya?” “Tidak bisa, Bos. Soalnya dia sudah mati.” “Sekarang tasnya ada di rumahmu, gi?” “I ya bos, disimpan di halaman belakang.” “Hm.” Kata Suradi mendengus pelan. “Orang seperti komar, dia tak perlu menyimpan pakaian di dalam koper. Dia bisa membeli pakaian seperti membeli sate. Beli, makan, buang. Selesai. Koper itu isinya bukan pakaian.” “Tapi bener bos, kata si Umang itu koper pakaian.” “Tidak, itu pasti koper uang.” “Masa bos?” “Potong kuping saya Gi, kalau dugaan saya salah.” Kata Suradi. “Nah, nanti sore kamu pulang ke Cileunyi, buktikan kebenaran kata-kata saya.” Kata Suradi “Siap, bos.” *** Sore itu juga Ugi pulang dengan rasa penasaran untuk membuktikan kata-kata Bosnya. Namun ketika tiba di depan rumah, Cici sedang mengelus-elus perutnya yang sudah berisi kandungan satu bulan setengah. “Mules, Kang.” Katanya. “Sakit sekali.” “Periksa ke dokter ya Ci?” “I ya, Kang. Ayo cepet.” Ugi bergegas membawa Cici melaju menuju dokter kandungan yang terletak di sekitar Jatinangor, dia melajukan motornya dengan tenang walau pun hatinya sedikit was-was atas kesehatan istrinya. Dia berharap Cici tak mengalami apa-apa. Malam membentangkan angin dari gunung geulis. Lampu-lampu menyala menandai kemeriahan senja yang pergi entah ke mana. Jalanan ramai lancar. Setelah melewati STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negri) Ugi melihat ada sinar lampu mobil dari jarak sekitar 100 meter di depannya. “Mobil itu salah jalur.” Pikir Ugi. Dia mengendarai motornya memepet ke pinggir paling kiri untuk menghindari mobil itu. Tetapi mobil itu melaju dengan sangat cepat dan seakan-akan sengaja mengarah ke arah dirinya. “Aku harus menghindar.” Bisiknya. Ugi berusaha membanting motornya ke arah trotoar namun moncong sedan sudah terlanjur menghajar ban depan motornya. Ugi dan Cici pun terpental. *** Suradi dan Iis tengah berbincang di kamar. Ada sedikit ketegangan di antara mereka. Telpon dari nomor tak dikenal berkali-kali memanggil. “Angkatlah, siapa tahu dari Linda.” Kata Iis sinis. Suradi terdiam. Lalu dengan malas dia mengangkat telpon. “Ya, Hallo? …. Betul…. baik…. ya… baik… saya berangkat sekarang juga.” Kata Suradi. Sementara dia menerima telpon, Iis menatapnya dengan tatapan curiga. “Saya akan pergi, Mah. Ke Jatinangor.” “Pergilah, Pah. Di sana banyak hotel murah… ” “Saya tak ingin berdebat.” Kata Suradi. “Ya, tentu saja. Lain kali kalau kau tidur di rumah ini jangan mengigau nama Linda, ya, Pah.” Suradi menarik nafas panjang. Sekilas Iis melihat kelopak mata Suradi tampak berkilau. Guru yang sudah promosi menjadi Kepala Sekolah itu sedikit terperangah dan merasa menyesal. “Saya mungkin tidak akan pulang… yang harus di urus cukup banyak.” Katanya. “Linda memang merepotkan.” Kata Iis. “Saya tidak tahu soal itu, Mah. Sudahlah.” “Syukurlah jika dia akan mengucapkan selamat tinggal malam ini. Tapi tentu dia akan memintamu bercinta semalaman.” Suradi menatap mata istrinya. Dua tetes air mata jatuh di pipi Suradi. “Mereka tak sempat mengucapkan selamat tinggal.” Katanya dengan suara gemetar. *** Suradi mendatangi Polsek Cileunyi yang terletak tidak jauh dari lokasi kejadian. Setelah berdiskusi semalaman dengan sejumlah petugas kepolisian dan Ketua RW 05 serta sejumlah warga RT 01, Suradi menandatangani berbagai surat-surat yang dianggap penting dan secara administratif menutup semua kejadian itu. Setelah itu, pada pagi harinya, Suradi ditemani Wakapolsek Cileunyi beserta sejumlah anak buahnya serta warga RW 05 RT 01, menuju Tempat Pemakaman Umum Cigoledag untuk menguburkan ke dua jenazah. Mereka dikuburkan sejajar dengan lima kuburan lain yang terlihat masih baru. Suradi meminta kepada pengelola makam untuk memindahkan kuburan lain yang berada di radius 5 meter dari 7 kuburan yang berjajar itu. Walau pada awalnya pengelola makam itu menolak, tapi dia tak bisa menolak lembaran uang yang ditawarkan Suradi. (Seminggu kemudian, 7 kuburan itu sudah dipagar sekelilingnya dengan pagar yang tampak sangat artistik.) Usai penyelesaian kuburan, Suradi mendatangi rumah Ugi dan menemukan 2 koper merah itu berada di bawah tumpukkan kayu bakar. Isinya bukan baju seperti yang diduganya. Tapi uang. Dia memanggil Pak Amat dan Pak Tono untuk membawa peti kemasan besar terbuat dari kayu, memasukkan kedua koper yang masih terbungkus karung itu ke dalamnya. Lalu meminta kepada ke dua Mandor Seniornya itu untuk membawa peti kemasan itu ke kantornya. “Simpan di dalam kantor ya Pak Tono. Kalau sofa menghalangi, keluarkan saja sofanya.” “Baik, Pak.” Kata Pak Tono. Seminggu kemudian, ketiga rumah itu sudah rata dengan tanah dan berubah menjadi taman kecil yang indah. Warga RW 05 menamai taman itu sebagai “Taman Persahabatan” sesuai dengan permintaan Suradi. Tapi lama kelamaan mereka menyebut taman itu sebagai “Taman Ugi”. *** Selama satu minggu, Suradi tidak pernah ke luar dari kantornya yang sederhana itu. Pak Amat dengan setia menungguinya di luar, untuk mengantarkan makanan dan mengambil piring kotor. Serta mengantarkan baju bersih. Suradi menolak dilayani Ijah, PRT di rumah itu. Sekarang Iis tahu, suaminya mungkin saja telah berselingkuh mungkin juga tidak, tetapi itu tidak begitu penting. Seorang lelaki pendiam seperti suaminya, ternyata bisa sangat terpukul telak karena kehilangan satu orang anak buahnya. Sementara di dalam kantornya, Suradi dengan tenang memilah-milah dan mensortir uang yang terdapat di dalam koper itu, yang isinya terdiri dari 5 mata uang yang berbeda: Rupiah, Dolar Singapura, Yuan China, Dolar Amerika dan Euro. Jumlah totalnya diperkirakan bernilai sekitar 50 Milyar lebih. Filling kabinetnya perlahan-lahan mulai disesaki oleh uang itu. Setelah seminggu berlalu, akhirnya selesai juga pemilahan dan pensortiran semua uang itu. Suradi ke luar dari kantornya dengan wajah pucat. “Pak Amat, panggil Jajang dan Maman ke sini, bawa semua baju bekas saya dan peti kemasan itu serta karung dan dua koper merah itu, siram dengan bensin dan bakar di situ, dekat pohon nangka.” “Baik, Pak.” Ketika mereka sedang membakar semua barang itu, istrinya Iis, mendekati Suradi dan mengatakan ada tamu. “Namanya Melinda, Pah.” “Suruh pulang saja.” Kata Suradi tidak acuh. “Orangnya sangat cantik, Pah. Wajar kalau Papah kesengsem.” kata Iis. Iis mengikuti Suradi saat melangkah ke ruang tamu. “Sur, malam ini meeting ya? Kenapa kamu enggak pernah mengangkat telponku?” Melinda berkata dengan nada yang kuat dan berwibawa, tanpa mempedulikan ada Iis di situ. “Tidak. Aku akan beristirahat lagi satu minggu. Kasih saja proyeknya ke yang lain.” “Yang lain tak ada yang sebaik kamu.” “Sudahlah. Aku mau tidur. Aku capek.” Kata Suradi. “Sorri ya Lin, aku benar-benar capek.” Suradi dengan sikap kurang sopan meninggalkan Linda, masuk ke kamar diikuti Iis. Tidak lama Suradi pun terlelap. Iis terdiam melihat wajah suaminya yang sedang mengigau. “Ugi! Ugi!” Iis kemudian tertawa sendirian di kamar itu. “Mustahil si Papah berselingkuh dengan ugi.” Katanya dalam hati.***
HATI SEORANG TEMAN LAMA
1 Ada yang tak disangka. Acara sosialisasi mengenai peraturan perundangan tentang jasa konsultasi dan proyek-proyek pemerintah itu berlangsung dengan sangat membosankan. Suradi nyaris mati bosan karenanya. Namun seorang perempuan setengah baya yang mengenakan blazer dan rok pendek warna abu, menjawil sikutnya dan memanggil namanya. “Apa kabar, Sur?” Tanyanya ketika coffee break yang pertama hampir berakhir. “Baik.” Jawab Suradi. Matanya menatap perempuan itu dan kepalanya mencari-cari identitas perempuan itu di otaknya. “Kau sudah lupa sama aku.” Katanya. “Tidak…” Suradi sedikit gelagapan. “Kau tidak perlu terlalu bersikap sopan, aku… ” Katanya. “Tunggu… mBak Dewi kan?” Dia tertawa pelan. “Apakah aku sudah tampak segitu tuanya sehingga kamu nyaris tidak ingat.” Kata Dewi. “Bukan, bukan.” Kata Suradi. “Justru mbak Dewi yang terlihat 15 tahun lebih muda yang membuat saya pangling.” “Ah, kamu bisa saja.” “Masih bekerja di PT Semprot, mbak?” “Sudah lama ke luar, aku bikin perusahaan sendiri.” “Waw, bagus itu.” “Kamu sendiri gimana? Masih di PT Ngecrot?” “Aku juga sudah lama ke luar, bikin perusahaan sendiri juga. Kecil-kecilan.” “Sama dong.” Katanya. “Entar sore ada acara enggak? Main dong ke Kafe aku.” “Hm, entahlah, mbak. Aku sedang agak malas nih.” “Eh, sama juga.” Katanya. “Kamu mau masuk ke dalam enggak? nerusin acara?” “Males juga. Acaranya membosankan yah?” “Kita ke resto yuk?” “Ada yang freesmoking enggak?” “Kayaknya sih enggak ada. Udah, kita ke kafe aja sekarang. Bagaimana?” “Boleh, juga.” “Kamu bawa mobil kan?” “Ya.” “Kasiin kuncinya ke Mira, biar dia yang bawa. Kamu ikut aku.” Kata Dewi. “Boleh.” Dewi menelpon Mira agar datang ke Lobby. Seorang gadis manis berusia sekitar 25 turun dari sedan putih di depan lobby, mendekati Dewi dan Suradi. “Mobilnya apa Sur?” “Saya bawa pick up.” “Mir, bisa bawa pick up enggak?” “Bisa, Bu.” Jawab Mira, sudut matanya mencuri pandang Suradi. “Baik, nih kuncinya. Kamu nyusul ke kafe ya? Aku duluan sama Pak Suradi.” “Baik, Bu.” 2 “Aku selalu ingat kejadian itu, Sur.” Katanya dengan nada riang di belakang stir. “Yang kita lakukan dulu sepertinya sebuah kesalahan… ternyata hari ini kita punya perusahaan sendiri.” “Mbak langsung dipecat?” “Ya, dan diceraikan.” “O ow.” “Itu ada mungkin 15 tahun yang lalu ya?” Katanya. “Waktu itu aku masih sangat berapi-api, wuih, enak bener kontolmu Sur.” Suradi tertawa. “Aku hanya menjalankan tugas untuk sekretaris direktur.” Kata Suradi. Dewi tertawa terkekeh-kekeh. “Satu jam memekku kamu hajar sampai ambyar.” Katanya. “Aku tidak tahu kekuatanmu sekarang, apa masih sanggup satu jam?” “Jadi kita ke kafe sekarang mau ngentot?” Tanya Suradi. “Aku lagi males, nih.” “Kalau kau mau, ayo. Kalau tidak ya ngobrol aja. Kadang aku kangen sama kamu.” “Ngobrol aja deh.” “Kita lihat saja nanti.” Katanya dengan genit. Mobil memasuki daerah Arcamanik, setelah berkelak-kelok, ada sebuah kafe yang sekilas kelihatannya sederhana dan kecil. Tapi setelah masuk ke dalamnya, ternyata luas, mewah dan terasa eksklusif. “Min, VIP lantai 2 ada yang kosong enggak?” Tanya Dewi kepada resepsionis laki-laki. “Isi, Bu. Paling lantai 3 ruang 4.” “Oke. Ga pa pa lantai 3 saja. Suruh Sinta ke atas kirim makan siang barbekyu daging kambing muda, ya.” “Siap, Bu.” “Ayo, Sur. Jangan malu-malu.” “Ayo. Siapa takut?” 3 Ruang 4 VIP lantai 3 luasnya sekitar 7 X 7 meter. Dinding kanan dan depan terbuat dari kaca tempered dengan ornamen garis yang jarang, sehingga pemandangan jalan dan rumah-rumah di luar tampak jelas. Di dinding belakang ada layar ukuran 2 X 4 meter, bisa digunakan untuk nonton bareng siaran langsung atau film yang dibawa customer, atau film yang sudah disediakan oleh kafe, baik film yang terdapat di galeri stok atau yang dipesan beberapa jam sebelumnya. Meskipu sistem akustiknya baik, tapi ruangan ini tidak bisa digunakan untuk karaoke kecuali dipesan 1 minggu sebelumnya dengan minimal penggunaan 6 jam, maksimal 3 hari. Dengan konsep duduk lesehan ala Jepang, ruangan ini bisa menampung 10 orang kongkow-kongkow sampai lupa waktu. Sambil menikmati makanan pembuka, Dewi menjelaskan konsep kafenya yang eksklusif di lantai dua dan tiga. Sementara di lantai satu, konsepnya seperti warung padang yang pelanggannya bisa datang rombongan, pasangan atau perseorangan. “Keren.” Kata Suradi. “Terus, usaha cateringmu gimana?” “Justru itu yang menjadi tulang punggung kafe ini, Sur.” Kata Dewi. “Catering ada di belakang. Selain memenuhi pesanan kafe, katering aku juga memenuhi pesanan perseorangan, swasta dan pemerintah.” “Mantap, mBak.” “Kamu sendiri gimana?” “Aku? Yah, begitulah. Jadi pemborong kecil-kecilan. Lumayan, enggak jelek-jelek amat.” Telpon berdering. “Sori Sur sebentar.” Kata Dewi, dia menempelkan telpon di telinganya. “Iya, Sis. Aku lagi di kafe… bisa… sore ini? Waduh kamu itu… i ya.. nanti aku usahain… ya udah ke sini aja… aku lagi sama temen, kongkow biasa… enggak…” Dewi menoleh ke arah Suradi. “Ga pa pa kan Sur ada temenku yang mau ikut gabung?” Suradi tersenyum. Mengangkat bahu. “Ya, udah aku tunggu. Tapi maksi kamu bayar sendiri ya… sama siapa? Boleh… enggak masalah… oke babay…” “Itu Siska sama Lani, temen sekaligus relasi, kamu enggak akan terganggu kan?” “Mbak yang ngundang, aku ke sini buat makan siang gratisan.” Kata Suradi dengan tawa kecil di ujungnya. “Siapa tahu juga bisa jadi relasi aku.” Karena mengharapkan ada tambahan orang yang akan bergabung, Dewi menelpon Parmin untuk menghidangkan makanan utama diperlambat 15 menit. Tidak terlalu lama Siska dan Lani datang. Seorang petugas kafe mengetuk pintu terlebih dahulu dan mempersilakan Siska dan Lani masuk. Mereka melepas sepatu dan meletakkannya di rak yang telah disediakan di pinggir pintu. Siska dan Lani, keduanya berkulit putih khas keturunan. Rambut mereka lurus panjang jatuh di bahu. Siska lebih pendek dari Lani, wajahnya bulat telur dengan hidung yang mancung. Sedangkan Lani yang lebih tinggi memiliki wajah oval dan mata lebih sipit. Di rambutnya terselip jepit warna merah. Setelah cipika cipiki, Dewi memperkenal Suradi kepada mereka. “Emangnya elo mau bikin kafe baru ngundang bos kontraktor.” Kata Siska. Suradi menyengirkan mulutnya ketika Siska menyebutnya bos kontraktor. “Gila kamu, yang ini juga utangnya belum beres.” Kata Dewi. “Elo yang gila bikin kafe pake ngutang.” “Bodo. Yang penting tiap bulan ada setoran.” Dewi tertawa. Sementara itu Lani memeriksa tasnya dan mengambil sejumlah dokumen dan memeriksanya. Dia kelihatannya lebih pendiam. Atau mungkin lebih sibuk. “Pesananku gimana kira-kira?” Tanya Siska. “Aku masih coba nelpon Joko. Dia masih sibuk… nah ini…Ko, kambing guling utuh masih ada enggak? mmm, ya… ya… kalau sekarang dibikin sore bisa siap… ya… baik… baik… sebentar Ko tahan dulu… Sis, kalau telat sejam ga pa pa? Stoknya kosong sih, baru saja habis, gimana?” “Entar aku telpon dulu… Hans, paling bisa jam 7-an, ga pa pa tuh? Gua udah nyari kemana-mana, cuma ini yang bisa… eh, apaan? itu tugas elo… ga pa pa ya bener? gua mau bookmark sekarang… ya, udah thanks ya… Ga pa pa Wi.” Siska menutup telpon. “Ko, lanjut.” Dewi menutup telpon. “Wi, ga pa pa aku ngerokok?” Kata Suradi. “Ga pa pa.” “Yang lain?” “Gua sih oke.” Kata Lani tiba-tiba, dia mengeluarkan rokoknya sendiri. Dia langsung menyalakannya,. “Tadi pesen kopi enggak sih… Sis?” “Pesen. Tapi buat penutup.” Kata Siska. “Nyesel gua, mustinya buat pembuka juga.” Kata Lani. “Lani penggemar kopi ya?” Suradi mencoba ramah. “Bukan, Mas… gua pecandu.” Lani tersenyum. “Panggil Suradi aja.” Kata Suradi. “Suka kopi juga?” Tanya Lani. “Engga, saya penggemar.” Kata Suradi, mengikuti diksi kalimat Lani. “Ha ha ha… Radi, elo lucu juga.” Kata Lani. Ketika makanan utama tiba, pembicaraan di antara ke-4 orang itu sudah mencair. 4 Dewi mengambil remote, dia menyalakan TV LCD kecil dan proyektor yang ditempel di langit-langit. Kemudian terdengar sebuah lagu lembut pop tahun 90, beberapa detik kemudian layar menayangkan ilustrasi lagu tersebut. Dewi, Siska dan Lani memesan makanan yang bersifat sayuran dan dimasak tanpa minyak. Sedangkan Suradi tak bisa menolak daging kambing muda yang sudah terlanjur dipesankan Dewi. Ketiga STW yang masih jelita itu secara pelahan mengubek-ubek, kalau tak boleh dikatakan menginterograsi, kedalaman pribadi Suradi. Tentang pekerjaannya, istri dan anaknya, minatnya dan lain-lain. Suradi secara diam-diam paham maksud mereka. Lani terkejut ketika Suradi menceritakan proyeknya di Kertajati, yang dia dapat dari Melinda Liem. “Beneran Sur, elo kenal kak Linda, kenalan dimana?” Tanya Lani. “Enggak sengaja sih, waktu di Singkawang. Aku diajak teman untuk ikut keroyokan proyek membangun sebuah hotel… keok sih, tapi ga pa pa lah, namanya usaha… Ketemu di resto, kami menempati single table yang letaknya ga berjauhan… dia menyangka aku orang lokal, atau setidak-tidaknya orang jawa yang sudah tinggal lama di situ… dia menanyakan suatu alamat… aku bilang aku dari Cimahi baru dua hari di Singkawang… dia tertawa.” “Terus?” Tanya Lani. Siska dan Dewi menunggu jawaban Suradi. “Dia mendekat dan mengajak pindah ke Couple Table, katanya, aku belum pernah ngobrol sama orang Cimahi… aku sengaja godain dia… Jangan menyesal nanti ya… orang Cimahi bisa sangat ngangenin.” Huuuu. Suradi tersenyum. “Kami bertukar kartu nama, ngobrol sana-sini, terus dia bayarin bill.” “Terus?” “Sudah. Aku pergi ke Pontianak, terus pulang ke Bandung.” “Hm. Kamu menyembunyikan sesuatu Sur.” Kata Dewi. “Dia itu killer…” “Maksudnya?” Tanya Suradi, sedikit heran. “Sejak awal berarti dia sudah suka sama elo.” Kata Lani. “Elo enggak akan dibiarin lepas… eh, beneran elo langsung ke Ponti?” “I ya lah, soalnya si Kardi udah datang terus maksa-maksa ngajak pergi…” Lani tiba-tiba tertawa. “Kenapa emang?” Tanya Suradi. “Kalau elo sempet liat roman mukanya, pasti dah dia kelihatan kecewa.” Katanya. “Si killer itu engga boleh liat cowok mateng, apalagi yang berpengalaman, matanya tajam banget.” Kata Siska. “Wah… wah… sanjungan macam apa ini!?” Kata Suradi. “Kali-kali elo ceritain Wi waktu ditendang dari perusahaan si Hendrik… eh, sorri, dia kan bekas laki lo.” Kata Siska. “Males aku cerita ke kelean, entar ngiler lagi. Wew ah.” Dikeroroyok tiga STW bukan perkara mudah. Suradi hanya bisa mesam-mesem. “Nah, Sur, elo harus jujur ya… jujur… siapa yang pesenin lo makanan ini?” Tanya Siska dengan tudingan kemenangan. “Mbak Dewi? Emang kenapa?” “Nah, lo. Wi ngaku aja!” Kata Lani. “Apaan sih kelean ini, kita cuma temen… bener kan Sur?” Kata Dewi. “Ya i ya lah temen.” Kata Suradi. “Masa temen ngipas-ngipasin asap biar berapi… hayo Wi, ngaku.” Kata Siska. “Kelean ini emang udah pada gila ya… gangguin kesenangan orang aja… kita cuman bernostalgik aja, bener kan Sur?” “Bener.” “Tuh, kelean denger…” Siska dan Lani tertawa penuh arti dan wajah Dewi terlihat masam. “Nyesel aku ngundang kelean ke sini… pada ngiri.” Telpon berdering, dari Pak Amat. “Maaf.” Kata Suradi. “Pak, besinya molor nih… minta dipercepat pengirimannya.” “Kemarin emang janjinya sore, Pak.” Kata Suradi. “Tadi kita telpon katanya besok.” “Ah, masa sih? Ya udah saya telpon Sam aja sekarang.” Suradi memijit tombol. “Sam, apa bener pengiriman besinya besok?” “I ya bos, soalnya ini stok sudah habis. Maaf bos.” Suradi menarik nafas berat. “Batalin aja, gue punya.” Kata Lani dengan setengah berbisik. “Stok gue banyak.” Suradi menatap Lani. Tajam. “Soalnya malam ini besinya harus dipasang, Sam. Aku kan pesennya kemarin?” “Maaf lah bos, seribu maaf.” “Batalin, pesen ke gue.” Bisik Lani. “Ya, udah Sam. Kalau begitu stop dulu. Anak-anak aku liburkan.” “Oke bos.” “Elo udah batalin?” Tanya Lani. “Udah.” “Nah, sekarang elo telpon Kokoh gue dah. Nih pake HP gue.” Suradi terlibat pembicaraan di telpon dengan Kokohnya Lani. Ben. Adu tawar harga dan lain sebagainya. “Pembayarannya cash apa transfer?” Tanya Suradi. “Transfer aja, kalau sekarang masuk uang 25%, barang langsung dikirim.” Kata Ben. “Oke. Aku kirim sekarang ya, sisanya nunggu 2 atau 3 hari, paling lambat seminggu.” “Oke, makasih Pak.” Kata Ben. 5 “Mungkin aku terlalu berharap banyak, ya, Sur?” Tanya Dewi ketika Siska dan Lani sudah pergi. “Tidak, mBak. Aku juga kepengin sih sebetulnya, entahlah, mungkin aku lagi enggak mood.” “Aku enggak seneng kamu panggil aku, mbak. Dari dulu kamu menganggap aku lebih tua.” “Tidak, mbak… eh, Wi, kamu tidak lebih tua dari yang dulu pernah aku ingat.” Kata Suradi. “15 tahun Sur, wah, lama sekali itu. Tapi rasanya baru kemarin.” Tiba-tiba Dewi mendekati Suradi dan menyenderkan kepalanya. “Kadang aku merasa cape menunggu seseorang.” “Emang kamu belum pernah dapat pengganti Hendrik?” “Pernah. Tapi kadang mereka sering menuntut terlalu banyak, aku jadi males.” “Anakmu berapa sekarang, Wi?” “Dua. Dua-duanya ikut papanya. Kamu?” “Satu.” “Istrimu kerja juga?” “Ya.” “Kehidupan keluargamu, gimana?” “Akhir-akhir ini agak kurang sih… dia jadi sering curiga.” “Padahal?” Suradi tertawa lembut. “Yah. begitulah. Aku sering tergoda.” Dewi menatap Suradi. “Menurutmu, apakah aku cukup seksi untuk menggodamu?” “mBak, eh, Wi, kalau aku sekarang lagi oke, kamu sudah dari tadi aku naikin.” “Cobain yuk sekarang… aku pengen nih.” “Entahlah Wi…” “Kamu diem aja, aku yang aktif.” Mereka saling berpandangan. Kenangan masa lalu ketika mereka masih muda pun berloncatan… mereka selalu melakukannya di setiap ada kesempatan. Waktu itu, Dewi masih sebagai sekretaris eksekutif sekaligus istri direktur utama dan Suradi masih sebagai mandor. Mereka bercinta pertama kali di gudang belakang. Dewi yang masih belum puas bercinta dengan Hendrik di ruang Dirut, masuk ke Gudang untuk onani tapi justru menemukan mandor itu sedang duduk menyandar dinding sambil mengocok-ngocok kontolnya dengan tangan sambil memejamkan mata. “Aduh mbak dewi…” Dewi tersenyum senang melihatnya. Dia mengejutkan Suradi muda dengan menjawab panggilannya. “Kamu manggil aku, Sur?” Tentu saja Suradi muda terperanjat setengah mati. Dia hanya bisa melotot. Antara malu dan takut bercampur jadi satu. “MBak bantuin ya ngocoknya.” Kata Dewi sambil langsung mengemut kontol Suradi. Waktu itu Suradi sama sekali tidak menduganya. Dia menganggap saat itu sedang bermimpi. Bahkan ketika kontolnya sudah masuk ke dalam liang memek Dewi dan menggenjotnya hingga munratkan pejuh, dia masih merasa bermimpi. Mereka bercinta di Gudang itu sampai merasa benar-benar saling dipuaskan satu sama lain. Sejak itu Dewi jadi ketagihan dan selalu mencari kesempatan dalam kesempitan. Sampai akhirnya affair itu ketahuan oleh Hendrik. Ketika mereka sedang melakukannya di belakang meja Dirut, Hendrik datang dan menjadi gila. Suradi dipecat. Dewi juga sama dipecat bahkan diceraikan. 6 Dewi mendorong Suradi agar rebah. Melepas kancing-kancing kemejanya dan mengeluarkan ujung kemejanya dari himpitan pantalonnya. Suradi memejamkan matanya mencoba menikmati sentuhan yang dilakukan Dewi. Tapi ternyata tidak bisa dipaksa. “Nah, lo. Busyet dah!” Tiba-tiba Siska masuk ke ruang itu disusul Lani. “Sorri yaa… tas gua ketinggalan.” Kata Siska. “Tas gua juga.” Kata Lani. “Yaelaaa… kelean itu kerjaannya ganggu orang seneng aja kenapa sih!” Kata Dewi. “Rusak deh konsentrasi.” Suradi merasa agak kaget juga melihat kedatangan Siska dan Lani. Badannya sedikit tegang sejenak. Lalu dia menelonjorkan kakinya agar lebih rileks. Sejujurnya saja, meskipun sudah sangat lama berselang dan ingin melakukannya lagi, tapi Dewi secara keseluruhan tidak membangkitkan gairahnya. Bukan karena Dewi tidak seksi atau tidak menarik. Bukan. Sekilas tadi ketika di mobil, terbersit juga keinginan itu, namun kurang menggebu. “Wi, sstt, liatin dong, dikit aja.” Kata Siska. “Penasaran ih.” “I ya dikit aja.” Kata Lani. “Sur, ga pa pa kan ya diliatin sama tante-tante yang kepo ini.” Kata Dewi sambil membuka ikat pinggang dan ritsluiting celana Suradi dengan agak paksa. Menariknya ke bawah dengan celana dalamnya sehingga batang kemaluan Suradi yang sedang terkulai terlihat semuanya. “Ouo… masih bobok.” Kata Siska “Nyam nyam.” Kata Lani. “Dia lagi males katanya.” Dewi berkata sambil menaikan celana dalam Suradi untuk menutupkan batang kontol itu dari penglihatan kedua STW itu. Suradi duduk dan menarik risluiting pantalonnya, tapi dia tidak mengikatkan kembali ikat pinggangnya. Terdengar alert dari HPnya yang memberitahu transaksi internet bankingnya gagal. “Lan, sori, kasih tahu Ben, transfernya keganggu.” Kata Suradi. “Masa sih?” Lani melepas sepatu dan mendekati Suradi. “Biasanya enggak ada masalah. Saldo elo kali habis?” “Masih ada, lebih dari cukup.” Lani berdiri dengan lututnya di belakang Suradi. Dia berdiri sangat dekat sekali sehingga kedua pahanya yang dibalut kulot katun itu menyentuh punggung Suradi. Satu tangannya melewati bahu sehingga buah dadanya menyentuh pundak Suradi. Ketika jari jemari Lani menggerak-gerakkan touchscreen HP Suradi, otomatis buahdadanya yang menyentuh pundak itu pun ikut juga bergerak-gerak. Pundak Suradi seperti sedang dielus-elus oleh buahdada yang masih kenyal. Suradi menengadah dan melihat leher putih dan dagu Lani bergerak ketika berbicara. “I ya nih, saldonya masih ada. Kayaknya ada gangguan di server bank.” Kata Lani. “Aduh.” Kata Lani. Dia menjatuhkan badannya ke punggung Suradi seperti gerakan memeluk dari belakang. Pipinya yang mulus menyentuh pipi Suradi. “Sorri ya Sur, ini jepit gua jatuh keinjek sama lutut.” Katanya.”Enggak sakit kok. Sorri ya.” “Eh, ga pa pa.” Dewi melihat dada Suradi yang terbuka tampak bergerak-gerak. Itu menandakan jantungnya sedang berdegup kencang. Lani mengeluarkan HPnya sendiri dan menelpon Ben. “Koh, kata Pak Suradi ada gangguan transfer. Gua udah liat, dia solid koq. Anterin aja barangnya sekarang… kalau elu gak percaya entar sore gua talangin… i ya, dia gak bisa ke ATM sekarang. Gua ada di kafe Unyu sama Siska.. Sis dia mau ngomong sama elu.” Kata Lani sambil memberikan HPnya kepada Siska. “I ya, Ben. Gua ikut jaminlah kalau ada apa-apa… oke.” Telpon ditutup. “Eh, sorri Wi, cowok elu gua pelukin.” Kata Lani dengan nada riang. “Cipok aja sekalian kalau dia suka.” Kata Dewi, getas tapi nadanya tidak marah. Tiba-tiba saja Lani mendekatkan wajahnya ke wajah Suradi dan menemukan bibir lelaki itu melawannya ketika dikecup bibir atasnya. Lelaki itu mengulum bibir bawahnya dan Lani menyukainya. Dalam hitungan detik, mereka saling pagut dengan posisi Lani di depan punggung Suradi. Lani melepaskan diri dari Suradi dan melihatnya terengah. “Dia suka, Wi.” Kata Lani. “Tadi katanya males.” “Aku… Wi, maaf… dia…” Suradi tergagap. “Kamu suka ya?” Lani menyimpan tas tangannya ke dekat dinding kaca dan duduk di samping Suradi. “Gue juga suka.” Katanya. “Sur, elo mau lagi enggak?” Suradi menatap mata Lani. Kini lelaki itu merasakan, batang kemaluannya sedang menggeliat bangun. “Biarin dia mah bodo amat.” Kata Lani sambil mencium bibir Suradi sekali lagi. Kali ini perlawanan Suradi lebih sengit. Mereka saling pagut dengan asyik. Namun Suradi tidak yakin, siapakah yang berusaha melepaskan kemejanya dari depan punggungnya, Siska ataukah Dewi, sehingga akhirnya dia bertelanjang dada. Dia hanya yakin satu hal, Dewilah yang melepaskan pantalonnya sekaligus celana dalamnya. Selama mengemut bibir Lani, kedua tangan Suradi meraup kedua bukit kembar Lani dari luar baju hemnya. Kemudian mengelus punggung dan meremas buah pinggul Lani. Lani melepaskan kuluman bibir Suradi untuk melepas kancing-kancing hemnya dan membuka baju serta BHnya. Dua bukit yang putih gempal itu mumbul-mumbul mencari perhatian mulut Suradi. Ketika diisap, Lani memeluk kepala Suradi dan Suradi melingkarkan kedua tangannya di pinggang Lani. Jari jemari Suradi menyusup ke dalam pinggiran kulot dan sekaligus menyusup ke pinggiran celana dalam Lani. Menemukan pantat yang halus yang minta diremas. Lani melepas kancing celana kulotnya dan membiarkan kedua tangan Suradi menariknya ke bawah beserta celana dalamnya, dan menurunkannya hingga lutut. Jari jemari tangannya kini sangat bebas untuk merabai dan membelai-belai pahanya. “Remas lagi.” Kata Lani. Suradi mengikuti perintah itu dan meremas-remas buah pantat Lani dengan lembut. Mulutnya mulai menuruni perut Lani dan menemukan udelnya untuk dijilat. Lani mengeluh. Tetapi Suradi juga mengerang ketika bibir-bibir basah itu menggelomoh kepala kontolnya yang mulai terjaga. Dia tidak akan lupa dengan rasa bibir itu, walaupun sudah lewat 15 tahun. Jilatan-jilatannya pada batang kontol dan buah pelirnya masih sama rasanya seperti 15 tahun yang lalu. Suradi tahu siapa yang sedang mengemuti batang kontolnya. Tetapi Suradi tidak tahu kalau Dewi dan Siska sudah sama-sama telanjang. Yang dia tahu saat itu hanya bibir-bibir memek yang mungil dan tipis yang berada di depan matanya yang ingin dia jangkau dengan lidahnya. Lani berdiri untuk menjatuhkan kulot dan celana dalam di pergelangan kakinya. Kaki kanannya melepaskan diri dari kungkungan kulot dan celana dalam, dan kaki kirinya menendang ke belakang sehingga kulot dan celana dalamnya tersingkir ke pinggiran ruangan. Lani kemudian mengangkangi badan Suradi. Menganjurkan pinggulnya agar Suradi mudah melahap bibir-bibir memeknya yang mungil dan tipis. “Hhhkhh… ya… di situ… yang tadi… remas pantat gue… remas…” Lani mendesah. Suradi menjulur-julurkan lidahnya untuk menyusupkannya ke belahan memek itu tapi dia tak mendapatkan respon seperti yang dikehendakinya, mungkin karena ada gangguan di punggungnya oleh sepasang bukit kembar lain yang bukan milik Dewi. Kemudian ada ciuman bibir ke telinga, leher dan pundaknya. Siska memeluknya dari belakang, membelai-belai dada dan perutnya. Kedua lengannya sangat lembut. Siska melepaskan pelukannya dan Dewi melepaskan kuluman pada kontol Suradi, sementara Lani juga menjauhkan diri dari hadapannya. Sekarang Dewilah yang berdiri dengan kedua lututnya. Dewi mencium bibir Suradi sejenak dan mengasongkan kedua susunya untuk dihisap. Ternyata tak mendapatkan sensasi. Dewi kemudian mendorong dada Suradi agar rebah, menjongkoki wajah Suradi dengan kedua paha membentang lebar. Bibir-bibir memek tembem itu pernah mempesonanya 15 tahun lalu. Menjilatinya tanpa bosan sampai merengek-rengek minta digenjot. Kini sensasi itu hilang lebih dari setengahnya ketika mengemut itilnya dan melumat bibir-bibir bagian dalam memeknya. Meskipun rasa lendirnya masih sama asin namun gelora sensasinya tidak lagi membumbung tinggi seperti dulu. Apakah itu karena gangguan dari bibir-bibir lain yang mendadak mengecup mulut pada kepala kontolnya? Suradi tidak tahu. Dia hanya mengerang karena lidah dan bibir yang tak pernah dikenalnya itu mencoba memperkenalkan diri dengan cara yang sangat lembut namun agresif!!! Dewi melepaskan kuluman bibir Suradi dari itilnya. Dia merangkak mundur dan pantatnya menemukan kepala Siska sedang bergerak-gerak. Sekarang Dewi merasa yakin bahwa Suradi tak lagi memiliki antusiasme pada memeknya seperti dulu. Siska merasakan belakang kepalanya membentur pantat Dewi. Siska melepaskan kuluman pada kontol Suradi dan membantu memegangi batang kontol itu agar tepat berada di bawah liang memek Dewi dan menyelipkannya hingga masuk. “Mmhhh… ” Dewi mengeluh pendek. Dewi menjejalkan batang kontol itu agar terus masuk ke dalam memeknya secara sempurna. Dia menggenjotnya naik turun untuk menikmati sensasi hujaman yang dulu pernah membuatnya setengah tidak waras. Siska dan Lani tampaknya setengah terperangah melihat bagaimana lendir Dewi mengucur di sepanjang batang kontol Suradi. Mereka saling berpandangan. Batang kontol Suradi masih memiliki magis yang sama dengan 15 tahun lalu ketika Dewi mengewenya untuk pertama kalinya. Sensasi yang ditimbulkannya juga masih sama. Dewi merasa ngecrot berkali-kali dan dia menikmatinya. Tapi satu hal yang Dewi rasakan dengan pasti, antusiasme Suradi kepadanya sudah sangat jauh berkurang. “Dia mungkin telah menemukan banyak wanita serta memek-memeknya yang aneka ragam rasanya… dia mungkin merasa memekku sudah tak lagi memberinya sensasi… Surrraaadiiiii…. kamuuu…. tegaaaaa….” Dewi berkata dengan kesal di dalam hatinya. Dan dia melampiaskannya dengan mengentot Suradi seperti orang keedanan. Tapi kelihatannya Suradi tidak terpengaruh. Apalagi ketika Siska mendatangi dari arah belakang kepala dan menjongkoki Suradi di wajahnya. Suradi menahan pinggul Siska beberapa sentimeter di atas hidungnya untuk membaui aroma baru yang belum dikenalnya. Menatap setitik lubang pantat yang mirip pangkal buah apel hijau dan menjilati dengan lidah. Dia menemukan sensasi kedutan dan mencucup liang memek Siska dengan memonyongkan mulutnya. Lidahnya menjulur untuk terselip di dalam lubang memek itu. “Lendirnya manis.” Bisik Suradi dalam hatinya. Suradi mendengar desahan itu bersamaan antara Dewi dan Siska. Tetapi Dewilah yang kemudian memekik dengan lolongan kepuasan. Dia menekan pinggulnya sekuatnya ke pangkal kontol Suradi yang bulu-bulunya sudah basah oleh lendir. “AungNgngngkhkhkh…. ” Lolong Dewi. Dia menahan pantatnya selama beberapa menit dan menikmati sensasinya tanpa mempedulikan Lani yang sudah tak sabar menunggu giliran, sambil meremas-remas susunya sendiri. “Hhhh…. brrrrr….” Dewi merinding dan melepaskan jepitan bibir-bibir memeknya pada batang kontol Suradi. Dia berguling ke pinggiran ruangan dan terkapar. Badannya bermandikan keringat dan memeknya bermandikan lendir sendiri. “Hadeuhhh…. enak sekali.” Bisiknya sambil memejamkan mata. 7 Siska sebenarnya masih merasakan sensasi lidah Suradi ketika melihat batang kontol itu mengacung-acung seperti bandul bergoyang-goyang. Tak tega melihat kontol nganggur, Siska melepaskan diri dari serbuan mulut Suradi. Dia melangkah mengangkang melewati badan Suradi rebah kaku. Menancapkan kontol ke dalam memeknya dan mengentotnya dengan penuh perasaan. Dia tak begitu peduli ada sisa-sisa lendir Dewi di batang kontol Suradi, yang dia peduli adalah sensasi kenikmatannya sendiri. Lani melihat Siska tengah mengentot dengan tekun sambil memejamkan mata. Dia tersenyum. Sekarang Lani melangkahi dan mengangkangi wajah Suradi. Punggungnya berhadapan dengan punggung Siska. Lani membeliakkan bibir-bibir memeknya dengan jari jemarinya dan menyorongkannya pada mulut Suradi. Suradi mengenal bau memek Lani yang belum lama dikenalnya. Dia memonyongkan mulutnya dengan posisi lidah menjulur persis di liang memek Lani. Lani melenguh pelan. Kedua tangannya meraih kepala Suradi dan menahannya. Dia menggenjot pinggulnya agar mulut monyong Suradi bisa mengentotnya dengan baik. “Agkh.. agkh..agkh… ” Desah Siska. “Ougkh… ougkh… oughk…” Desah Lani. Dua desahan itu saling bersahutan silih berganti. Tetapi Siskalah yang menjerit duluan. “Akkkhhhh…. aku ke luarrrrr…. ” Katanya. Siska mencabut memeknya dan menggulingkan diri di sisi Dewi. “Hadeeuuuhhh…. cape.” Katanya. Pada pucuk memeknya masih mengalir lendir kenikmatan itu ketika dia terkapar kelelahan. 8 “The best for last.” Bisik Lani pada dirinya sendiri. Dia menjauhkan pinggulnya dari mulut Suradi dan merangkak mundur untuk memasukkan batang kontol itu ke dalam memeknya. Suradi meremas dan mengisap susunya dengan rakus sementara pinggul Lani secara ritmis menggenjot. Lani mengerang ketika mendapatkan orgasmenya yang pertama. Lendirnya meletup dan dia sudah merasa puas. Baginya kenikmatan yang diperolehnya barusan sudah lebih dari cukup. Lani menyangka Suradi akan memintanya untuk melakukan sesuatu agar bisa ngecrot. Tapi Lani keliru. Suradi mengambil bantal dan menyuruh Lani berbaring. Pantatnya diganjal oleh dua bantal dengan kedua paha membuka lebar. Ini menyebabkan Lani berbaring miring dengan kepala lebih bawah dari pangkal pahanya. Dia merasa memeknya dingin oleh cairan lendir yang tertiup angin. Namun itu hanya sebentar. Kontol itu kemudian menutupinya dengan sempurna. Memberikannya kehangatan yang panas. Apalagi setelah digenjot secara jentel dan ritmis. Sensasi yang memabukan itu membuat dia melayang-layang. Lani mengecrot lagi, lagi dan lagi. Akhirnya Lani tak kuasa menahan puncak kenikmatannya yang tertinggi. Dia menjerit keras sekali berbarengan dengan menyemprotnya lendir dari liang memeknya yang tersumbat kontol Suradi. PROTTTT!!!! “Aduh Sur, gile benerrr enaknya.” Kata Lani dengan tersengal saat Suradi mencabut kontolnya dari jepitan liang memeknya. Suradi tersenyum. Dia melangkah mendekati Siska yang melotot melihat kontol yang masih mengacung-acung itu. Siska tanpa diminta membuka pahanya dengan lebar. Memeknya sudah menguncup. Tapi kontol yang masih basah oleh lendir Lani itu kemudian menerobosnya. Membuat bibir-bibir memek Siska bagian dalam terbeliak-liak. “Surrrrr….crot…” Siska mengecrot lagi. Tapi itu bukan yang terakhir. Suatu hujaman yang beruntun tanpa ampun membuat Siska melengking menguik-nguik. Dia mendapatkan puncaknya yang ternikmat yang belum pernah dia rasakan selama hidupnya. PROTTTT. PROTTT. Kontol Suradi masih basah dengan cairan lendir Siska dan masih mengacung-acung ketika dia melangkah mendekati Dewi. “Kamu masih kuat, Sur?” “Untuk memekmu, aku masih kuat.” “Ewelah memekku, Sur. Muncratkanlah pejuhmu di dalam.” Kata Dewi Suradi mengangguk. Suradi kemudian mengarahkan batang kontolnya ke liang memek Dewi yang menganga karena sengaja dibeliakkan. Mencelupkannya dan menghujamkannya sampai dalam lalu menggenjotnya dengan tekun. Tapi aneh sekali, kenikmatan ngewe seperti 15 tahun yang lalu itu tak kunjung datang. Ngentot Dewi memang enak, tapi tak seenak 15 tahun yang lalu. Akhirnya Suradi menyerah. Dia memeluk Dewi dengan erat dan memuncratkan pejuhnya di dalam memek STW itu sampai muncrat seluruhnya. 9 Mereka telah merapikan pakaiannya masing-masing. Siska dan Lani menjingjing tas tangan mereka dan mendekati Suradi untuk mencium pipi kiri dan kanannya. “Makasih ya atas kontolnya.” Kata Siska. “Kapan-kapan kita ngentot lagi.” “Aku juga, Sur. Makasih atas eweannya ya, memekku jadi plong sekarang.” Dadah bye bye. Sekarang hanya tinggal mereka berdua. Suradi menyalakan rokoknya dan mengisapnya dalam-dalam. “Kamu ingin aku pesankan kopi?” Tanya Dewi. “Tidak usah, Wi.” “Kamu tak seantusias dulu.” Kata Dewi, getir. “Ya, Wi. Aku sudah berusaha… tapi hatiku tak bisa berbohong.” “Mungkin jika suatu saat kau kangen, kau bisa datang ke sini kapan saja.” “Ya, mungkin.” “Aku akan tetap merindukanmu.” Katanya. Dia memeluk Suradi dan membiarkan lelaki itu minta permisi untuk pulang. “Datang kapan saja kamu mau, Sur. Aku akan setia menunggumu.” “Ya, Wi, terimakasih.” Kata Suradi sambil terus melangkah meninggalkan ruang VIP itu. “Aku juga akan setia dengan petualanganku.” Bisik Suradi dalam hatinya.***
CATATAN TAMBAHAN TENTANG SISKA DAN LANI
Lani melajukan sedan putihnya ke luar dari cafe itu, dia masih merinding dengan percintaan yang baru saja dialaminya. “Edyan… gile bener, gue pasti kangen sama dia.” Katanya. Namun bibirnya tersenyum karena Suradi akan mudah dia temukan. “Gue juga punya alesan untuk nemuin dia… hi hi hi… untung si koko punya banyak persediaan besi… hm, gua harus cari jalan supaya bisa berbisnis sama dia.” *** Sementara itu Siska agak sedikit melamun di belakang stir. “Gue udah keduluan sama si Lani… kalau dia dapet tuh cowok pasti ga kan bagi-bagi… eeuuuhhh, enak gila… kontolnya benar-benar edan… coba kalo gue makan sendiri tuh kontol dijamin deh memek gua bakalan kenyang… ha ha ha… gua harus nyari proyek yang bisa dia kerjain… hm, mudah-mudahan om gue punya.” ***