Devi Perempuanku (TRUE STORY)

PART 1: IJINKAN AKU MENYAYANGIMU (iwan fals)


Aku berjalan menyusuri pintu masuk Hall sebuah hotel yang cukup mewah. Menggandeng tangan seorang wanita berwajah oriental yang sudah 6 tahun menjadi pelengkap tulang rusukku. Kami menyusuri bentangan karpet merah, dibawah naungan lampu-lampu berkelip menghiasi langit-langit ruangan, diiringi lagu romantis dari Shane Filan seorang pentolan band legendaris Westlife.

…So as long as I live I love you
Will have and hold you
You look so beautiful in white
And from now ’til my very last breath
This day I’ll cherish
You look so beautiful in white
Tonight…

Kami terus menyusuri bentangan karpet merah mendekati panggung pelaminan diikuti oleh beberapa tamu undangan lainnya di belakang kami. Terlihat di atas pelaminan, sepasang mempelai berdiri dengan wajah berseri. Mereka kemudian menatap kami, tamu undangan yang berada pada barisan terdepan dengan senyuman ceria sang mempelai wanita menatapku dengan ekspresi haru dan bahagia. Aku kemudian melambaikan tanganku pada mereka. Pada si mempelai wanita lebih tepatnya.

“Bahagia sekali dia” ucapku pada wanita berwajah oriental yang sedang menggandeng tanganku. Wanita ini adalah istriku.
“Tentu saja, mana ada pengantin yang enggak bahagia di hari sesakral ini” jawab istriku.
“Ada kok, Siti Nurbaya malah menangis meratapi nasib” aku membalas dengan sedikit tertawa.
“Yeee..itu kan karena terpaksa Pah” istriku menjawab sambil mencubit pinggangku.

Tak lama kami kemudian tiba diatas pelaminan dan menyalami kedua mempelai. Mempelai pria mengenaliku dan langsung antusias menyambut uluran tanganku.
“Selamat yah…semoga langgeng dan cepat dapat momongan” ucapku pada mempelai pria.
“Terima kasih ya Bang, terima kasih” jawabnya mantap.
Aku kemudian menyalami mempelai wanita. Sejuta perasaan tiba-tiba berkecamuk dalam pikiranku. Rasa bahagia, haru, sedih, ragu, sesal, ihlas, marah semuanya menyatu dalam satu dorongan nafas yang menyesakkan dadaku. Semua kenangan selama 3 tahun ini terlintas jelas dalam ingatanku membuat dadaku semakin sesak.
“Selamat ya Devi, akhirnya kamu menemukan dermaga pelabuhanmu. Baek-baek ya jadi istri” Ucapku di sela-sela rasa perih nan sesak di dalam dadaku.
“Makasih banyak ya kak, makasih ya mbak” jawab Devi mempelai wanita yang hari itu memakai gaun putih mutiara dengan kombinasi riasan berwarna merah maroon.

Aku dan istri kemudian menuruni pelaminan, menuju meja jamuan makan. Saat menuruni tangga pelaminan, aku melihat wajah seorang wanita yang tidak asing tak jauh dari tangga. Wanita itu mengelap matanya dengan tissue sambil tersenyum berusaha menutupi kesedihannya. Dia menyambut kami menuruni tangga pelaminan sambil mengarahkan kami ke meja jamuan.
“Makasih ya udah datang, mari lewat sebelah sini” sapanya ramah.
“Aku kira kamu gak akan datang” bisiknya pelan disebelahku. Tentu istriku tidak mendengar ucapan itu.
“Tak mungkin aku tidak datang. Aku sudah janji akan mengantarnya sampai ke pelaminan” jawabku pelan setengah berbisik agar tak didengar istriku yang sedang mengambil makanan.
“Kamu laki-laki baik. Istrimu beruntung memilikimu” jawabnya memujiku. Aku tau berusaha menghiburku yang saat ini sedang berusaha untuk baik-baik saja.
“Iya, dan lelaki itu beruntung mendapatkan Devi” jawabku sambil memilih-milih makanan.
“Sudahlah, kamu harus ihlas. Semua udah terjadi” jawabnya pelan “Devi juga sama terlukanya sepertimu. Suatu saat akan kuungkapkan semua padamu”.

Aku dan istri kemudian duduk dan menikmati jamuan yang disediakan oleh EO pernikahan. Mencoba menikmati suasana dan menyapa beberapa kenalan yang datang. Kami tak lama disana, sekitar setengah jam kemudian kami pamit dan pulang. Bukan aku tak menghargai tuan rumah, tetapi aku memilih pamit sebelum kenormalanku dikuasai rasa cemburu pada sepasang pengantin baru di atas pelaminan. Tak mungkin aku mengamuk dan merusak acara yang sudah diidam-idamkan oleh Devi selama ini. Tak mungkin aku merusak kebahagiaan dari wanita yang ingin aku bahagiakan, aku cintai. Lebih baik aku pulang sekarang, begitu pikirku.

Diperjalanan aku menarik nafas, mencoba bersikap normal dan berbincang dengan istriku. Kami berbicara tentang rumah tangga, tentang jodoh, tentang pernikahan, tentang cinta. Istriku berkali-kali membicarakan tentang Devi yang saat ini telah menjadi istri orang. Tentang keramahannya, tentang kesopanannya dan keceriaannya yang selama ini terlihat dimata istriku. Yah,,,Devi memang wanita yang sangat baik. Memiliki istri seperti Devi mungkin akan membuat lelaki manapun akan menutup impiannya untuk selingkuh. Jangankan selingkuh, sekedar tertarik dengan wanita lain saja mungkin tak akan pernah terlintas. Devi adalah sosok wanita idaman yang sangat pantas menyandang status sebagai Ibu Negara. Dia pintar, cerdas, ramah, soleha, dan penyayang. Dia bisa bergaul dengan semua orang, bahkan dia bisa akrab dengan orang yang baru dia kenal seakan-akan sudah mengenalnya sejak lama. Devi sungguh wanita mempesona, dia bagaikan seorang Dewi.

Hari ini, di pertengahan bulan Agustus, Devi resmi menjadi seorang istri. Di hari ini pula aku terbebas dari janjiku padanya. Janji yang pernah kuucapkan 2 tahun lalu saat Devi menangis dalam pelukanku setelah menyatakan rasa cintanya padaku. Saat itu aku berjanji padanya bahwa aku akan selalu menemaninya, akan menjadi laki-laki pelindungnya, akan selalu memegang tangannya, menuntunnya dalam kebimbangan, menemaninya di kala sepi, membawakannya canda tawa di kala gundahnya, sampai nanti dia menemukan laki-laki hebat yang pantas menjadi penopang sejuta beban hidupnya.

Saat itu, awal Maret 2017 aku dan Devi resmi menjadi kekasih. Sebuah pesan singkat berupa tautan lagu di Youtube kukirimkan padanya tepat tengah malam saat kami sedang chatting.

“Link apa ini kak?” Tanya Devi melalui WA.
“Buka aja” balasku.

…Andai kau izinkan
Walau sekejap memandang
Kubuktikan kepadamu
Aku memiliki rasa

Cinta yang kupendam
Tak sempat aku nyatakan
Karena kau t’lah memilih
Menutup pintu hatimu

Izinkan aku membuktikan
Inilah kesungguhan rasa
Izinkan aku menyayangimu…

sebuah lagu dari Iwan Fals berjudul Ijinkan Aku Menyayangimu kukirimkan kepada Devi. Sebagai jawabanku ketika Devi mengatakan bahwa sebenarnya dia menyukaiku namun dia tau aku memiliki istri. Dan dia minta maaf karena telah lancang memiliki rasa kepadaku. Dia berjanji bahwa rasa cintanya hanya sebatas menyukai dan mengagumi. Tak akan lebih dari itu. Karena dia tau bahwa mustahil baginya untuk mendapatkanku.

Beberapa hari lalu, Devi sempat bertanya padaku tentang temannya yang menyukai seorang pria beristri. Dan menurutnya itu sangat aneh, sehingga dia bertanya bagaimana pendapatku. Aku yang saat itu sedang menyeduh kopi di Pantry kantor, hanya tersenyum mendengar pertanyaannya. Oh iya, aku dan Devi kebetulan bekerja di kantor yang sama. Dan Devi adalah anak magang, baru 3 bulan bergabung dan aku dipercayakan oleh pimpinan menjadi seniornya untuk membimbingnya dalam pekerjaannya sehari-hari sebagai kasir.

“Emangnya kenapa? Tak ada yang salah dalam menyukai seseorang” ucapku seraya menghampiri Devi yang sedang menikmati makan siangnya di Pantry.
“Salah dong kak. Kan cowok yang disukai teman saya itu udah berkeluarga. Apa kata orang nanti kalau mereka tau” protesnya.
“Ngapain peduli dengan kata orang. Lagian itu juga kalau orang-orang sampai tau. Kalau enggak tau?”
“Ih, kakak ni. Tapi kan tetap salah kalau menyukai suami orang” Devi masih protes.
“Hahahaha enggak dong. Menyukai suami orang atau istri orang itu enggak salah. Yang salah adalah menyukai dan memaksa agar rasa suka kita dibalas oleh orang yang bersangkutan. Apalagi sampai merebut pasangan orang lain, itu lebih salah lagi. Selama kita hanya sebatas menyukai dan tidak lebih dari itu, aku rasa tidak ada yang salah dengan itu” ujarku sambil menyalakan rokok.
“Jadi menurut kakak, itu sah sah saja?”
“Iya. Apa bedanya kalian menyukai bintang film? Toh pada dasarnya hanya sebatas suka dan gak bisa apa-apa lagi karena mereka ada di Jakarta atau di luar negeri sedangkan kalian ada disini” aku mencoba memberikan analogi sederhana.
“Hmmm…mirip lagu project pop” ucap Devi.
“Yaaa kurang lebih begitulah. Nanti bilang sama temanmu, gak usah khawatir kalo suka sama suami orang asal jangan sampai merebut suami orang. Hahaha” jawabku sambil menikmati kopiku. Devi hanya senyum melihatku menjawab pertanyaannya dengan santai. Terlihat ada beban yang lepas dari senyumannya, seakan-akan dia menemukan pencerahan atas masalah yang sedang dihadapi oleh temannya. Devi membuka hpnya dan jarinya mulai mengetik beberapa kata di pesan singkat.
“Chat siapa?” Tanyaku
“Teman. Devi mau ajak dia ketemuan ntar sore. Sekalian ngebahas jawaban kakak tadi sama dia. Kasian dia beberapa hari ini galau” jawabnya dengan mata masih fokus ke layar hp.
“Ajak dong, kenalin sama saya. Siapa tau saya juga masuk kategorinya” ledekku.
“Ih,,,enggaklah. Dia gak boleh kenal sama kakak, ntar dia direbut dari Devi” jawabnya.
“Lha?? Bagus dong. Berarti saya masih laku dimata cewek-cewek” protesku.
“Eh enggak boleh. Ntar kakaknya Devi yang baik ini disakitin sama dia” jawabnya sambil menepuk pundakku.
“Udah ah, jam istirahat saya dah mau abis kak. Dev mau sholat zuhur dulu. Ingat, jadi suami gak boleh nakal” godanya sambil menjewer telingaku. Aku hanya tertawa kecil menanggapi tingkah Devi yang menurutku cukup manja.

Devi memang sosok gadis manja, bukan hanya kepadaku tetapi hampir kepada semua orang di kantor ini. Aku dianggapnya sebagai kakak karena dia adalah anak tunggal. Sejak kecil dia hanya tinggal bersama neneknya karena kedua orang tuanya bercerai. Devi bahkan hampir tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Ibunya merantau ke luar negeri dan menikah di sana. Sesekali dia pulang, menengok putri semata wayangnya. Bukan setahun, tetapi kadang 3 atau 5 tahun sekali dia pulang ke indonesia. Selama ini Devi hanya berkomunikasi dengan ibunya melalui telepon. Sedangkan neneknya telah uzur, tidak bekerja karena penglihatannya sudah tidak berfungsi. Jadilah Devi tumbuh menjadi sosok tangguh yang harus merawat dan menjaga neneknya dan dirinya sekaligus. Sejak SMA dia sudah terbiasa mencari uang untuk tambahan biaya hidupnya dan neneknya. Pagi sekolah, sore menjadi penjaga counter hp. Selama kuliah, dia kadang menerima job sebagai penulis artikel di sebuah koran lokal. Sekarang setelah lulus, dia mengikuti program pemagangan di kantorku, berharap mendapat kesempatan untuk bisa menjadi karyawan. Devi memanfaatkan kesempatan ini dengan baik. Dia tidak segan-segan bertanya padaku segala hal yang berkaitan dengan pekerjaan, bahkan dia meminta masukan dariku tentang dunia kerja dan bagaimana menjadi karyawan yang baik. Akupun membimbingnya dengan tulus, kegigihannya membuatku salut. Sejak itu hubunganku dengan Devi semakin dekat, aku yang merupakan anak bungsu sangat senang ketika Devi datang menjadi sosok adik yang selama ini aku rindukan. Begitu pula Devi yang selama ini sendirian, terlihat jelas bahwa dia sangat senang memilikiku sebagai kakaknya. Kami begitu akrab, bahkan Devi kukenalkan kepada istriku.

Hingga suatu ketika Devi mengomentari postingan story WA-ku larut malam saat aku sedang mengikuti pelatihan di Surabaya.
“Ngopi terooooosss..!!!” Ucapnya mengomentari postingan story WA-ku yang berisi foto secangkir kopi.
“Eeehh… anak gadis jam segini belum tidur. Tidur sana, ntar jadi perawan tua kamu” sindirku.
“Kakak macam apa doain adiknya jahat begitu” protesnya.
“Kamu sih, protes aja liat saya ngopi”
“Dah malam ini, besok pelatihan telat lho. Ngopi melulu kak” Devi masih protes. Jujur saja, sikap Devi benar-benar membuatku memiliki seorang adik bawel yang selalu perhatian kepada kakaknya.
“Iya, ntar abis kopinya langsung tidur kok. Kamu jam segini kenapa belum tidur? Awas lho besok telat ngantor, kena SP kapok. Biar gak dapat rekom ntar kalo ada rekruitment” ancamku
“Devi belum bisa tidur kak” jawabnya singkat.
“Kenapa?” Aku bertanya bukan karena ingin tau, tapi hanya karena tidak tau harus mengetik apa.
“Lagi galau nih kak” jawabnya dengan ditambah emoticon murung
“Tumben nih Wonder Woman bisa galau”
“Bisa lah kak. Lagi butuh saran, tapi kayaknya udah tau jawabannya bakalan dijawab kalau Dev salah”
“Emang kamu kenapa? Sini cerita”
“Dev lagi naksir sama cowok kak, tapi cowok tu ternyata dah ada yang punya” kali ini emoticonnya menangis.
“Wkwkwkkwkwk patah hati dong ceritanya nih” godaku mencoba menghiburnya
“Enggak sih kak, sebenarnya Dev dah siap kalo bakalan kayak gini. Dia baik, perhatian, dewasa, tenang kalo ada masalah, selalu punya solusi buat Dev, gak pernah bentak meskipun marah, lebih mengutamakan dengar dulu sebelum ambil keputusan, dan itu semua bikin Dev suka sama dia tapi kayaknya dia gak punya rasa sama Dev, makanya Dev berusaha mundur pelan-pelan. Masalahnya Dev masih tetap suka sama dia”
“Kamu dah ungkapin perasaan sama dia?” Tanyaku
“Belum kak, gak berani”
“Kenapa? Jawabannya palingan antara diterima atau ditolak” jawabku.
“Enggak mungkin diterima kak”
“Sok tau. Siapa tau dia juga suka kamu. Dev, sekarang udah gak jaman nungguin cowok buat nembak. Cewek juga berhak buat nyampaikan perasaan duluan” aku mencoba menumbuhkan keberanian pada dirinya.
“Enggak mungkin kak. Enggak mungkin dia nerima. Dev sekarang lagi berusaha buat move on malah disuruh maju. Ajarin caranya move on dong kak”
“Emang apa salahnya cuma bilang sama orang kalo kita suka sama dia. Perkara dia nolak itu hak dia. Yang penting kamu udah sampein isi hatimu. Kalaupun kamu mundur, setidaknya mundur setelah kamu ungkapin perasaan” aku masih mencoba memotivasinya.

Cukup lama tak ada balasan dari Devi, mungkin dia sudah tidur. Aku kemudian mencoba membuka youtube dan mencari konten-konten random. Tiba-tiba ada notif pesan muncul dibagian atas layar hpku.
“Dia udah punya istri kak. Gak mungkin Dev ngajak dia pacaran” Devi kemudian menghapus chatnya tapi aku sudah terlanjur melihat notifnya. Aku kembali membuka WA dan mengirim pesan padanya.
“Apaan itu barusan kok dihapus?” Tanyaku
“Enggak, salah ketik tadi”
“Emang ketik apaan tadi?” Balasku
“Itu tadi chat mau kirim ke Arlin sepupu Dev. Tapi kekirim ke kakak” Devi berbohong.
“Ohhh..kirain apaan” balasku.

Aku kemudian memikirkan chat yang dihapusnya. Kenapa dihapus? Kenapa Devi kemudian berbohong dan bilang itu chat ditujukan untuk Arlin sepupunya. Siapa cowok beristri yang ditaksirnya itu? Saat itu aku kemudian mengingat semua hal-hal yang kami lakukan di kantor. Cara kami bergaul dan bercanda, cara Devi berinteraksi denganku. Entah kenapa aku merasa bahwa cowok beristri yang ditaksirnya adalah aku. Masa iya? Pikirku. Tapi tak apalah aku mencoba memastikan sendiri. Kucari lagu Iwan Fals di youtube dan mengcopy linknya kemudian ku kirimkan kepada Devi. Sebelum kukirimkan, kucoba chat Devi terlebih dahulu.
“Dev,,,aku mau nanya”
“Iya kak, nanya apa?”
“Menurutmu, kalau seorang cowok udah punya istri lalu menyukai wanita lain bagaimana?” Aku memancingnya.
“Hah?? Maksud kakak gimana?” Devi kaget dengan pertanyaanku.
“Yaaa misalkan aku naksir cewek nih, menurutmu gimana? Pantes enggak?”
“Kakak ni pergi pelatihan malah disana jelalatan”
“Bukan disini, tapi dikantor..”
“Siapa?? Kakak naksir siapa di kantor? Wah bahaya ini, harus ada uang penutup mulut nih atau minimal oleh-oleh dari Surabaya” Ancam Devi.
“Ada lah pokoknya” aku masih mencoba menahan dan berharap akan pendapatnya.
“Siapaaaaa orangnya kakaaaakk” Devi masih mencoba menginterogasiku.
“Kamu” jawabku singkat. Sangat singkat dan membuatku deg-degan. Hasilnya antara Devi marah atau dia menerimaku.
“Ngawur. Kakak kebanyakan ngopi” balasnya. Aku kemudian mengatakan padanya bahwa aku sudah melihat chat yang dia hapus tadi. Dan aku juga mengatakan padanya bahwa aku tau kalau Devi menyukaiku, dia hanya berpura-pura mengatakan bahwa temannya menyukai seorang pria beristri tetapi pada kenyataannya, dialah yang menyukai pria beristri dan pria itu adalah aku. Jika tidak, buat apa dia menghapus chat tadi dan berbohong bahwa dia salah kirim.

Aku meyakinkan Devi bahwa aku benar-benar menyukainya tetapi aku tidak memaksakan perasaanku. Aku hanya memintanya menghargai perasaanku saat ini, dan mengerti kenapa aku peduli dengannya. Akhirnya Devi pun kemudian jujur dan meminta maaf atas perasaannya padaku. Dia bahkan berjanji tidak akan menyukaiku lebih dari saat ini. Dia meminta waktu padaku untuk menghapus perasaannya dan memintaku untuk tetap menganggapnya sebagai adikku.

“Kita gak boleh kayak gini ya kak, kita yang baik-baik aja yah” rengeknya melalui telefon. Keterbatasan pesan singkat adalah menyampaikan perasaan, sehingga malam itu aku menelfonnya agar ucapanku semakin terasa, intonasinya, tekanannya, nadanya, hingga perasaan yang tersampaikan melalui kata-kata.
“Iya, maafin aku kalo udah bikin kamu ngerasa gak nyaman. Jujur, aku menyukaimu. Itu saja dan tidak lebih” jawabku.
“Kak, boleh ngomong sesuatu?”
“Silahkan”
“I love you kak” ucapnya pelan.
“I love you too Dev” balasku lalu mematikan telefon. Kubuka Whtsapp dan mengirimkan link lagu yang tadi kusalin.
“Dengerin, mungkin lagu ini bisa mewakili isi hatiku padamu” kukirimkan pesan pada Devi yang segera bercentang biru tanda sudah dibacanya.

Andai kau izinkan
Walau sekejap memandang
Kubuktikan kepadamu
Aku memiliki rasa

Cinta yang kupendam
Tak sempat aku nyatakan
Karena kau t’lah memilih
Menutup pintu hatimu

Izinkan aku membuktikan
Inilah kesungguhan rasa
Izinkan aku menyayangimu

Sayangku, oh-oh
Dengarkanlah isi hatiku
Cintaku, oh-oh
Dengarkanlah isi hatiku

Cinta yang kupendam
Tak sempat aku nyatakan
Karena kau t’lah memilih
Menutup pintu hatimu

Izinkan aku membuktikan
Inilah kesungguhan rasa
Izinkan aku menyayangimu

Sayangku, oh-oh
Dengarkanlah isi hatiku
Cintaku, oh-oh
Dengarkanlah isi hatiku

Bila cinta tak menyatukan kita
Bila kita tak mungkin bersama
Izinkan aku tetap menyayangimu, oh-oh-oh

Sayangku (sayangku), oh-oh
Dengarkanlah isi hatiku
Cintaku (cintaku), oh-oh

Dengarkanlah isi hatiku
Sayangku (sayangku), oh-oh (dengarkanlah)
Dengarkanlah isi hatiku
Aku sayang padamu
Izinkan aku membuktikan

BERSAMBUNG

PART 2: GENIT (Type X)

Tidak terasa pelatihanku selama di Surabaya sudah berakhir. Kini aku sudah kembali ke kotaku, dan siap untuk masuk kantor lagi seperti biasa. Tapi aku bangun kepagian, atau lebib tepatnya tidak bisa tidur. Semalam aku uring-uringan, gelisah memikirkan bagaimana besok pagi aku bertemu Devi di kantor. Memang aku telah menyatakan perasaanku padanya, begitupun dengan dirinya. Kami telah sama-sama tahu perasaan masing-masing bahwa ada rasa nyaman saat bersama, ada cinta saat mata bertatap, ada gelora di dada saat berjumpa. Namun entah karena memang aku hanya sekedar iseng-iseng berhadiah, atau tidak terlalu berharap bisa menjadi pacarnya, hari-hariku di Surabaya setelah kejadian malam itu aku lalui tanpa mengabari Devi sekalipun. Konyol memang, namun demikianlah adanya. Devi pun begitu, dia tak pernah sekalipun menghubungiku. Devi yang dulunya sangat akrab dan tak bisa jauh dariku tiba-tiba hilang. Bagaimana nanti reaksiku ketika harus bertemu dengannya di kantor? Pertanyaan itulah yang bersemayam di kepalaku semalaman dan membuatku tidak bisa tidur.

Aku menikmati kopi pagi buatan istriku sambil menghisap rokok dengan pelan. Mataku memandang ke jalan raya yang biasa aku lalui ketika berangkat kerja, namun otakku memikirkan beberapa skenario yang akan aku lakukan nanti ketika bertemu Devi. Apakah aku akan mengajaknya menjalin hubungan serius sebagai sepasang kekasih, atau memintanya untuk sama-sama move on dan mengihlaskan perasaan kami memudar seiring waktu karena hadir di saat yang tidak tepat, atau mungkin menjalani hari-hari seperti sediakala? Seakan-akan kejadian malam itu tidak pernah terjadi? Yah,,,mungkin pilihan terakhir adalah yang terbaik. Toh selama aki di Surabaya, aku dan Devi tidak pernah berkomunikasi lagi. Mungkin saja Devi sudah sadar diri dan mencoba move on dariku. Akhirnya pagi itu kuputuskan nanti aku akan bersikap biasa saja seolah-olah tak terjadi apa-apa antara kami.

“Yank,,,aku berangkat dulu yah” aku mencari istriku di dalam rumah untuk pamitan. Kudapati istriku sedang di kamar, berbalut handuk sepinggang sedang memasangkan BHnya membelakangiku yang berdiri di pintu kamar. Aku tertegun menatap punggungnya yang masih basah, aku horny. Istriku menoleh sambil tersenyum dan meraih tanganku untuk salaman dan menciumnya, namun aku malah menarik tubuhnya kearahku sedangkan kakiku menutup pintu.
“Eh,,,papa. Ngantor sana, udah pakai baju juga” ucap istriku saat aku mencoba mencium lehernya. Aroma sabun mandi begitu wangi membuat nafsuku semakin naik seiring penisku yang semakin membesar.
“Masih cukup waktu” jawabku sambil mencium lehernya, kemudian pindah ke bibirnya.
“Pah,,aku udah mandi nih” rengek istriku tapi tetap saja tidak melakukan perlawanan. Tak kujawab ucapannya, aku malah meraih payudaranya yang terbuka dan belum sempat ditutupi oleh BHnya. Kuremas perlahan dan kumainkan putingnya yang membuat istriku merinding keenakan.
“Ishh..pah..aaihhh…ntar aku harus mandi lagi lho” ucap istriku. Tetap tak kuhiraukan, aku kemudian menarik tangannya dan mengarahkannya ke penisku. Tangan lembutnya kemudian meraih penisku di dalam celana kerja dan mencoba mengocoknya namun Ia kesulitan. Istriku kemudian jongkok di depanku, membuka kancing celanaku dan mengeluarkan penisku kemudian memasukkannya ke dalam mulutnya.
“Ugh…sayang…” aku meleguh keenakan meresapi hisapan dan jilatan lembut darinya. Tak lama, karena waktuku tak banyak, aku meraih tubuh istriku dan kuhadapkan tubuhnya ke dinding kamar. Dalam posisi berdiri, aku memasukkan penisku ke dalam vaginanya dari belakang.

“Jlebbb…” penisku masuk dan diam sejenak merasakan sensasi hangat di dalam vaginanya yang sudah basah. Perlahan kumaju-mundurkan bokongku sambil meremas payudaranya. Istriku yang dalam posisi berdiri menghadap tembok, salah satu tangannya bertumpu pada tembok kamar dan satu lagi menutup mulutnya menahan agar suaranya tak terdengar sampai luar.
“Hmppphh…aah..pah” desah istriku tertahan oleh tangannya.
“Hhh…hhmpphh…”
“Ah…sayang, vaginamu enak banget” bisikku pelan ditelinganya.
“Hhh…pahhh…” desahnya.
Aku semakin mempercepat genjotanku dan kurasakan bokong istriku juga ikut mengimbangi gerakanku, pertanda bahwa dia akan orgasme. Tak ingin kehilangan momen, aku semakin meningkatkan ritme genjotanku sampe akhirnya istriku mencapai klimaksnya.
“Aaghh…!! papah…aaahh…” desahnya tertahan yang diikuti oleh hentakan penisku menghujam vaginanya, menyemprotkan cairan sperma memenuhi rahimnya.
“Ughhh…!!” Aku ejakulasi mengikuti orgasme istriku pagi itu. Badannya yang lemas kemudian kubalik kearahku dan kupeluk sambil mencium bibirnya. Terasa segar dan manis, masih ada rasa pasta giginya.
“Aih…papa, aku jadi mandi lagi nih” ucapnya sambil tersenyum genit.
“Aku berangkat kantor dulu yah. Love you” balasku sambil merapikan celana dan mencium keningnya sambil tersenyum.

Aku kemudian menaiki mobil berangkat ke kantor. Kakiku masih terasa lemas setelah quicky barusan, menginjak kopling saja aku sampai kepayahan. Tapi sensasi quicky benar-benar luar biasa, penisku masih berkedut dibuatnya.

Tak lama aku kemudian tiba di kantor, terlambat 10 menit. Tak ingin mengganggu acara Morning Briefing, aku akhirnya duduk di warung kopi sebelah kantor. Kupesan lagi kopi sambil menunggu morning briefing selesai, yah lebih tepatnya mengumpulkan tenaga setelah bercinta dengan istriku pagi itu.
Beberapa teman-temanku mulai datang dan memesan sarapan pertanda acara morning briefing telah selesai. Kami kemudian berbincang-bincang sehingga membuatku lupa untuk masuk ke dalam kantor.
“Ayo mas, ikut kami aja” ajak temanku yang bertugas di divisi marketing.
“Lama gak?” Tanyaku. Aku khawatir kalau ikut mereka nanti baliknya sore hari dan pekerjaanku sendiri belum kelar.
“Paling sampe jam istirahat siang” jawab mereka
“Oke deh, gasss” aku kemudian melangkah naik mobil dan berangkat dengan mereka.

Siang hari aku kembali ke kantor. Ketika melewati lorong hendak memasuki ruanganku, aku berpapasan dengan Devi. Kaget bercampur senang karena akhirnya setelah sekian lama aku bisa bertemu lagi dengannya. Dari arah berlawanan, Devi tersenyum melihatku datang. Senyumannya manis sekali, bukan senyuman seorang adik kepada kakaknya tetapi senyuman seorang wanita pada kekasihnya. Senyuman itu penuh rasa rindu dan perasaan bahagia.

Aku berhenti, begitupula dengan Devi. Kami akhirnya berhadapan saling bertatap. Tak ada kata terucap hanya tatapan mata yang berbicara, menyatakan rasa rindu satu sama lain. Aku melangkah pelan menghampirinya membuat jarak kami semakin dekat, hanya berjarak sekitar 30 cm. Aku kemudian tersenyum menatapnya dan Devi akhirnya mulai menyapaku.
“Kok siang sih datangnya? Kiraen kakak gak masuk kerja” sapanya dengan nada manja seperti biasanya. Aku tak menjawab, hanya tetap tersenyum menatap wajah cantiknya. Tiba-tiba waktu terasa berjalan perlahan, seakan-akan sekelilingku berputar dalam keadaan slow motion. Dan…

Cuppp!!!

Dalam adegan slow motion itu, aku tiba-tiba mencium Devi tepat di bibirnya. Tidak lama, sumpah demi tuhan. Seingatku ciuman itu hanya sepersekian detik. Aku melakukannya secepat mungkin karena aku tidak ingin ada orang yang melihatku melakukannya. Jangankan orang lain, aku bahkan berharap Devi tidak mengetahui bahwa aku mencium bibirnya. Dan momen sekejap itu terasa sangat jelas dibenakku hingga saat ini. Saking jelasnya, aku bahkan bisa melihat pupil matanya membesar ketika bibirku bertemu dengan bibirnya. Devi hanya terdiam, terperangah, kaget tanpa mengucapkan kata. Sedangkan aku, dalam rasa malu, aku kemudian melangkah melewatinya yang masih terdiam. Aku berjalan dengan gagahnya menuju ruanganku padahal dalam hatiku aku berteriak “Tadi skenarionya bukan seperti itu!!! Kenapa aku malah menciumnya!?”.

Ingin rasanya aku berbalik dan melihat reaksi Devi setelah ciuman tadi. Tapi aku benar-benar takut. Jangan-jangan dia sudah move on karena beberapa hari belakangan ini dia tidak menghubungiku, namun aku justru dengan serampangan malah menciumnya.
“Aaaahhhhh..” tiba-tiba terdengar suara Devi menjerit diiringi suara hentakan kakinya. Dari suara teriakan dan hentakan kaki itu, aku bisa menyimpulkan bahwa dia gembira. Dia kegirangan dan berlari menuju toilet. Tak tahan dengan rasa penasaran, aku mengejarnya namun Devi sudah berada di dalam toilet. Aku mendengar suaranya bergumam sendirian.
“Astagah…astagahh..oh my god!!” Gumam Devi di dalam toilet. Dia bergumam tak seolah-olah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Aku kemudian kembali ke ruanganku dan mulai mencoba menyibukkan diri di depan komputer. Tak lama kemudian Devi datang hendak masuk ke ruangannya. Ruangan Devi berada disebelah ruanganku, dan meja kerjaku tepat berada di samping pintu masuk ke ruangannya. Jadi setiap kali Devi keluar masuk ruangannya, dia pasti akan melewati mejaku.

Aku masih pura-pura sibuk ketika Devi mendekati mejaku menuju pintu masuk. Dia kemudian menyapaku pelan.
“Kakak…” ucapnya. Aku mengangkat kepala dan menatapnya. Devi tersenyum, bahagia. Dia kemudian membuka pintu dengan tangan kanannya dan melangkah masuk ke ruangannya. Sembari berjalan, ujung telunjuk tangan kirinya diseret di atas mejaku dari ujung ke ujung, mencoba menggodaku. Sesaat sebelum menutup pintu, Devi menatapku dengan genit lalu mengedipkan matanya ke arahku.

BERSAMBUNG