Ekspresi
“Eh, ril..kamu pernah ngebayangin enggak, kalau kita nih…maksudnya para pekerja seni, memiliki suatu tempat khusus yang luas dan tentunya lengkap dengan prasarana yang kita butuhkan dalam berkarya, dan yang paling penting kita dapat bebas sebebas-bebasnya dalam berkreasi, tanpa terikat oleh batasan-batasan yang dibuat oleh birokrat…” kali ini lamunannya telah terpecah, berganti dengan paparan dari khayalannya itu. Ah, tidak…terlalu sinis kalau aku sebut itu sebagai khayalan, mmm..baiklah “harapan” aku rasa lebih tepat.
“Seperti Hollywood maksudmu..?” ujarku, sambil pandanganku tetap kearah jalan raya didepanku. Jalan disini memiliki banyak tikungan tajam, sehingga aku tetap harus berkonsentrasi dalam memegang kemudi.
“Yah, semacam itulah… Mmm..tapi tidak, menurutku Hollywood tidak bisa dikatakan bebas..mereka terlalu banyak disusupi berbagai macam kepentingan, terutama kepentingan bisnis dan komersil..jadi menurutku mereka belum merdeka secara utuh” paparnya, sambil sesekali mengamati smartphone ditangannya.
“Namanya juga industri hiburan, tentu mereka harus komersil. Kalau tidak begitu, bagaimana bisa mempertahankan eksistensi mereka, sedangan untuk menghasilkan sebuah karya saja perlu dana, belum lagi…..”
“Iya…iya…aku tau itu, yang sedang aku bicarakan ini adalah sebatas berandai-andai belaka, sebagai insan seni yang butuh penyaluran secara utuh, tanpa harus ada intervensi dari pihak produser” potongnya.
“Insan seni ni yeee…” godaku.
“Jangan ngeledek kamu, walaupun aku cuma tergolong sebagai artis kelas ecek-ecek yang belum pernah mendapatkan penghargaan apapun, tapi aku memiliki segudang ide dikepalaku ini yang butuh penyaluran”
“Iya deh, iya.. Tapi aku enggak pernah menganggap kamu sebagai artis kelas ecek-ecek koq..”
Kali ini dia terdiam, pandangannya menatap malas kearah jendela disamping kirinya, sementara kedua tangannya dilipat didadanya, dan itu berlangsung untuk beberapa saat.
Apa dia tersinggung dengan sindiranku tadi. Aku akui memang, bahwa sebagai artis peran, dia masih belum bisa berbuat banyak. Dalam artian di bebeberapa sinetron dan layar lebarnya belum satupun yang berhasil mendongkrak namanya sebagai artis peran yang diperhitungkan. Apalagi mendapatkan penghargaan resmi.
Tapi aku akui bahwa dia memiliki semangat yang tinggi, didalam kepalanya seperti ada sesuatu yang ingin sekali dia wujudkan dalam sebuah karya. Namun ya itu tadi, tidak adanya sarana dan prasarana yang mendukungnya. Mengharapkan produser sepertinya sulit. Kapasitas kekasihku ini belum dapat “merangsang” kepercayaan produser.
Kalau untuk dunia model, aku akui itu adalah lahannya. Namun sepertinya usia yang telah menginjak kepala empat, dunia model sudah tak lagi bisa diharapkan terlalu banyak.
Didalam industri hiburan memang selera pasarlah yang memegang peranan. Dan suka atau tidak, sebagai pekerja seni kita harus menyesuaikannya, jika tidak maka kita akan habis. Lain ceritanya kalau berkarya hanya sekedar hobby belaka, sedangkan orang seperti aku, dan juga pacarku ini, berseni adalah sebagai profesi, tempat mencari nafkah.
Seperti halnya aku yang adalah seorang musisi. Kalau ingin menuruti ego, aku juga ingin membuat musik yang aku sukai, yaitu jenis musik bergenre progresive rock dengan arasement yang njlimet, seperti musiknya Yes, Pink floyd, Emerson Lake Palmer, atau Genesis. Tapi kalau aku nekat buat yang seperti itu, siapa yang mau dengar. Produser mana yang mau bunuh diri dengan menggelontorkan modal tanpa hasil. Ujung-ujungnya, terpaksalah aku harus menyingkirkan dulu rasa idialisku
Didalam dunia entertainment, pacarku ini memang jauh lebih dulu memulai ketimbang aku. Mungkin disaat usiaku masih anak-anak dia telah terjun didunia model. Bahkan ditahun 1987 dia telah bermain didalam film layar lebar. Tapi bukan berarti aku lebih minim pengalaman dari pada dia. Sebagai publik figur aku telah banyak makan asam garam didunia hiburan, mulai dari yang manis sampai yang paling getir sekalipun, bahkan hingga aku jatuh terpuruk kedalam lembah yang paling hina, yaitu jeruji penjara.
Mungkin di negeri ini baru akulah orangnya yang dihukum penjara hanya karena merekam adegan bercintaku dengan pacarku sebelumnya. Kalau dipikir-pikir apalah salahku itu. Yang aku lakukan tidak merugikan orang lain, bahkan aku juga tidak mempublikasikannya, justru pihak lainlah yang melakukan itu. Tapi hukum berkata lain, aku harus rela menjadi penghuni hotel prodeo selama dua tahun, dan itu aku jalani dengan tegar, dan tanpa sekalipun menyogok pihak lapas agar aku bisa berada diluar tahanan seperti yang kerap dilakukan oleh Gayus tambunan, teman senasibku di lapas Suka Miskin. Dan saat selesai masa tahananku, aku keluar dengan langkah tegap, dan kembali berkarya. Sukurlah, dalam waktu singkat kejayaan yang telah terpuruk dapat kuraih kembali.
“Kira-kira dinegeri ini bisa enggak ya, hal seperti itu terwujud?” setelah beberapa menit dia terdiam, kembali dia membuka suara.
“Apanya?” jawabku
“Ah, kamu ini..yang aku bahas tadi, wadah untuk kita berkreasi dengan bebas..”
“Owwhh…tentang holiwut-holiwutan itu… Gak tau juga ya? Kayaknya sulit.. Kalau menurutmu, kapan ya kira-kira bisa terwujud ?” justru aku yang malah balik bertanya, sepertinya dia kurang puas dengan reaksiku yang hanya seperti itu.
“Sampai mati kali..” jawabnya malas, dengan nada yang sedikit sinis. Lalu kembali seperti tadi, melipatkan tangan didada sambil menatap malas kearah jendela samping.
“Sampai mati? Mungkin juga sih…” balasku, seraya kubuka jendela disampingku. Kuambil sebatang rokok dan kuselipkan dibibir. Tapi dimana tadi pematik kuletakan? Ah,sial..ternyata ada dibawah kursi, terpaksalah aku harus menunduk untuk meraihnya.
BRRAAAAAAKKKK….! kurasakan benturan yang sangat keras, yang membuatku membatalkan niat untuk meraih pematik.
“Apa itu.. Apa itu barusan….” panikku, seraya kuhentikan kenderaan.
“Apaan sih?” heran pacarku.
“Suara benturan keras tadi…kayaknya kita menghantam sesuatu…” sambungku.
“Ngaco kamu…. Dari tadi tenang-tenang aja koq…” ujarnya, sekarang malah aku yang merasa heran, namun aku mencoba untuk tetap santai.
“Owwhhh…ya sudah kalau begitu…” apa iya dia tidak merasakannya, suara benturan itu begitu keras, bahkan getarannya seperti membuat remuk badanku.
“Kamu enggak apa-apa ril..?” dia sepertinya heran melihat sikapku.
“Kamu gak ngedrag kan?” tanyanya lagi, sambil memandang curiga kewajahku.
“Ngaco’ kamu…sejak kapan aku suka barang begituan” akhirnya kuputuskan menepi sebentar, sekedar untuk menghisap sebatang rokok
Sekitar sepuluh menit setelah itu, mobil kami melintasi daerah pedesaan yang cukup indah. Tapi entah didesa mana tepatnya, aku tak terlalu paham. Rumah-rumahnya tertata rapi, serta lingkungannya tampak bersih dan hijau oleh rumput dan pepohonan. Dan yang paling menakjubkan adalah bunga-bunga beraneka warna tampak tumbuh hampir disemua lahan. Hmmm..baru kali ini aku melihat alam pedesaan begitu indah seperti ini.
Dan, eh…apa itu, sepertinya sebuah kafe, aku rasa tak ada salahnya untuk mampir sekedar ngopi disana.
“Shop…kita ngopi dulu ya…?” tawarku kepada pacarku
“Boleh, keliatannya enak nih tempatnya…” setujunya, yang sepertinya juga kagum dengan keindahan alam didesa ini.
“Ini namanya daerah apa sih, apa daerah wisata?”
“Aku juga gak begitu tau…perasaan baru kali ini aku lihat. Bisa jadi ini memang kawasan wisata yang baru dibuka”
“Ah, kamu ini…besar di Bandung tapi gak tau daerah sini, perasaan jaraknya gak terlalu jauh dari rumahmu” yang dikatakan pacarku memang masuk akal. Tapi sungguh mati, aku memang belum pernah melihat tempat ini sebelumnya.
Jalan rayanya yang sepi memudahkan aku berbalik arah untuk kembali menemukan kafe yang kami lihat barusan.
“Expresso Kafe” itulah yang tertulis pada plang didepan kafe, seraya kuparkirkan mobilku dihalamannya.
Seperti biasa, saat ditempat umum seperti ini, aku dan juga pacarku selalu mengenakan topi dan kaca mata hitam untuk sekedar mengurangi perhatian khalayak agar tak terpusat pada kami. Karena sebagai manusia biasa, tentu kami juga butuh privasi.
Kafe yang cukup bersih, dengan penataan ruang yang apik dan artistic. Pada dindingnya dipenuhi photo-photo artis tanah air dari masa ke masa, yang aku kenal disitu ada photo Bing slamet, Gesang, kelompok musik The Rollies, The Mercies, serta beberapa artis film seperti Soekarno M noor, Benjamin S, Citra Dewi, Didi Petet, Dicky Zulkarnaen, Bagyo dan masih banyak lagi.
Walaupun tanpa pendingin ruangan, tempat ini cukup nyaman dan tidak panas. Sepertinya penataan sirkulasi udaranya dirancang dengan cermat, sehingga bisa menghasilkan kenyamanan alami seperti ini tanpa harus mengandalkan AC.
Aku dan pacarku duduk dikursi agak pojok, tentunya dengan maksud agar tidak terlalu menarik perhatian pengunjung.
“Selamat datang, ada yang bisa dibantu …?” seorang wanita pelayan kafe menghampiri kami. Seragam yang dikenakannya cukup modis untuk ukuran kafe diwilayah sekelas kota kabupaten seperti ini. Dengan pakaian ala France-Maid, seperti pelayan-pelayan dirumah bangsawan Eropa dalam film-film barat.
Aku mengamati sejenak kartu menu diatas meja. Akhirnya kuputuskan untuk memesan kopi dan kue donat.
“Kamu pesan apa shop…?” tanyaku pada pacarku.
“Sama’in aja lah..” jawabnya dengan tak acuh. Perhatiannya lebih ditujukan pada orang-orang disekitar kafe.
“Kopi dua, sama donatnya empat…” Setelah mencatat pada buku notes yang dipegangnya, pelayan itu melangkah pergi. Masih sempat kulihat gerakan bokongnya yang terbalut rok hitam dengan tinggi diatas lutut, sehingga paha mulusnya juga terekspose. Sepatu hak tinggi menambah menarik penampilannya. Hmmm bodi yang indah, tak kalah dengan model-model ibu kota.
“Udaaaahh…jangan dipelototin terus, emangnya aku gak tau, apa yang ada dibalik kaca mata hitammu itu..” Ah, sial..***panya pacarku memperhatikan juga.
“Ah, bisa aja kamu…” seraya kualihkan pandanganku kearah lain.
“Eh..ril, coba deh kamu perhatikan sekumpulan pengunjung dimeja seberang itu, sepertinya gak asing deh. Coba kamu amati baik-baik, barangkali kamu lebih familier… Yang aku tau pasti cuma yang satu itu, mirip sekali dengan Olga saputra..” ujar pacarku setengah berbisik.
Hmmm….sepertinya memang betul, mereka mirip sekali dengan selebritis tanah air, ada yang mirip Olga, presenter yang baru saja meninggal ditengah masa jayanya. Sedang yang itu mirip Benjamin S, tapi yang satu itu mirip siapa ya? Ah, sepertinya Gito Rollies, rocker gaek yang juga telah almarhum itu. sepertinya sipeniru ini mengambil sempel Gito versi mudanya, dengan rambut kribo lebat. Dan yang satu lagi, seorang pria berambut gimbal dengan topi ala Bob Marley. Ah, sepertinya adalah duplikatnya Mbah Surip, musisi nyentrik yang meninggal dunia disaat karirnya tengah meroket, tapi duplikatnya ini terlalu muda, sehingga tampak kurang mirip.
Ah, aku rasa mereka hanyalah sekumpulan anak muda komunitas mirip selebritis yang tengah berkumpul mencari perhatian.
“Ah, biasa…paling anak-anak komunitas mirip artis lagi cari perhatian…” jawabku
“Tapi yang mirip Olga itu kenapa pas banget sih, dari suaranya sampai gayanya juga pas…hebat banget tuh anak, bisa niru sampai sebegitunya..” komentar pacarku. Ia juga sih, kenapa si Olga palsu ini demikian mirip, begitu pula dengan si Benjamin palsu itu, yang sangat mirip dengan Benjamin versi tahun 70an, dengan celana cutbray, rambut agak gondrong dan berjambul, dan saat dia berbicara jambulnya itu seperti ikut bergerak-gerak. Tapi mengapa selama ini mereka belum pernah terekspose dimedia, terutama televisi. Selama ini cukup banyak aku saksikan di TV tentang orang-orang yang mirip Benjamin, tapi tak ada yang sesempurna ini.
Ah, siapa lagi itu pelayan kafe dimeja sebelah, yang tengah sibuk mengelap meja. Sepertinya aku tak asing dengan sosok ini. Ah, tak salah lagi dia sangat mirip dengan Nike ardila. Artis cantik serba bisa yang tewas ditengah masa keemasannya akibat kecelakaan lalu lintas pada pertengahan tahun 90an. Aku sangat familier sekali dengan sosok itu, sosok yang diam-diam aku idolakan disaat aku masih abg.
Untuk beberapa saat aku terpana dengan penampilannya yang begitu mirip dengan idolaku itu, sebelum akhirnya pacarku mencubit pahaku.
“Makan tuh, Nike Ardilla palsumu…” ujarnya pelan.
“Aaahh, enggak.. Aku cuma kaget aja, ada orang yang mirip Nike sesempurna itu, bahkan dia hanyalah seorang pelayan kafe…” ujarku, membela diri.
“Sekarang, apa kamu juga masih berpikir kalau dia juga bagian dari komunitas yang kamu sebutkan tadi..” Ah, benar juga ya, kalau dia bagian dari kumpulan pemuda itu, kenapa juga dia justru adalah seorang pelayan disini.
Ah, sekarang aku baru ingat, bisa jadi kafe ini memang memiliki konsep seperti itu. Yaitu menyuguhkan sosok-sosok artis legendaris tanah air yang telah almarhum, sekedar untuk bernostalgia.
Jadi sekumpulan pemuda itu memang sengaja ditempatkan disitu oleh pengelola. Toh jaman sekarang, berbagai kiat dilakukan untuk menjaring pengunjung, ada kafe berkonsep horror, ada yang berkonsep detektif, sepak bola, tentara dan masih banyak lagi. Dan kali ini berkonsep “menghidupkan” kembali artis-artis legenda yang telah wafat. hmmm…konsep yang cukup menarik.
Pelayan yang tadi padanya kupesan kopi dan makanan telah kembali, kali ini dengan baki berisikan dua cangkir kopi dan sepiring kue. Ah, aku baru nyadar, ternyata dia mirip dengan biduan Alda, ya Alda risma, penyanyi yang menurut rumor tewas akibat overdosis.
“Selamat menikmati…” ujarnya, setelah meletakan pesanan kami.
“Makasih mbak…anda mirip sekali dengan Alda…” sapaku, sekedar beramah tamah, yang hanya dijawab dengan senyum dingin, seraya ngeloyor pergi. Keberadaan “satpam” disampingku membuatku tak berani lagi menatap bokong yang dibalut rok yang tingginya sebatas paha itu.
“Tempatnya asik juga buat nongkrong…” gumamku, sambil mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya, lalu kuselipkan dibibir.
Pematik? Ah, sial…seingatku masih dimobil. Untuk balik kemobil terlalu jauh, Ah, lebih baik kupinjam saja dari artis-artis palsu itu, toh mereka juga tengah merokok, kecuali si banci itu.
“Bisa pinjam koreknya mas…” pintaku, kepada empat orang yang berkumpul dalam satu kursi itu.
“Aahh, ma’de rodok lu…Tampang aje keren, korek kagak punye…Nih lu pake, awas jangan lu telen..” ujar orang yang mirip Benjamin. Ah, bener-bener gila, gaya dan cara ngomongnya sangat mirip dengan Benjamin S yang beberapa filmnya sering aku tonton.
“Ketinggalan dimobil..” jawabku, sambil menyalakan rokok.
“Terima kasih….Oh ya, anda sangat mirip Bang Ben…” ujarku, sambil menyerahkan pematik jenis Zippo kepadanya.
“Ah, muke gile lu…terserah ape katelu aje lah…. Ngomong-ngomong, itu gaco’anlu boto juga ye… kaya’ noni-noni Belande…pinter juga lu cari cewek….” sial, sebuah ucapan yang kurang sopan bagi orang yang belum saling kenal. Namun aku tetap menanggapinya dengan senyum. Bisa jadi dia hanya sekedar menunjukan kebolehannya dalam menirukan gaya Benjamin S.
“Oke semuanya, terimakasih…” ucapku, seraya kembali kemeja kami.
“Selamat datang ya bro…” kali ini suara serak-serak basah dari Gito rollies palsu, yang menyapaku sambil mengangkat telapak tangannya. Yang tentunya aku balas dengan cara yang sama pula.
Baru saja aku duduk, tiba-tiba nyelonong masuk sesosok tubuh kurus dari pintu utama. Sosok yang tidak asing lagi bagiku. Seniman nyentrik asal kota pahlawan, dengan topi serta kumis panjang menjuntai hingga tersambung dengan janggutnya. Sedang rambutnya yang panjang dikepang kebelakang, tentu dengan kaca mata hitam selalu lekat dimatanya. Ah, rupanya ada duplikat Gombloh juga dikafe ini, seniman pencipta lagu kebyar-kebyar yang wafat sekitar akhir tahun 80an. Walaupun disaat dirinya masih hidup aku masih seorang bocah, tapi sampai saat ini aku tetap senang mendengarkan lagu-lagunya. Yang beberapa liriknya bagiku cukup berbobot.
Wooww..***panya dia juga bernyanyi secara live disini, dengan hanya diiringi oleh gitar yang dimainkannya sendiri, serta harmonika yang digantung dileher dengan bantuan holder khusus.
Ah, aku masih ingat judul lagu itu “Kugadaikan Cintaku”. Sungguh luar biasa orang ini , bukan cuma penampilannya yang mirip, tapi juga suaranya. Plek…seperti Gombloh.
Semakin betah saja aku berada disini. Hiburannya keren, suasananya nyaman. Dan yang paling penting, tak ada orang usil, apalagi paparazi yang memperhatikan aku. Yang berpura-pura sibuk dengan ponselnya, tapi sebenarnya sedang mengambil gambarku dan pacarku. Bahkan diantara pengunjung yang ada disini, tak ada seorangpun yang aku lihat sedang memegang handphone. Berbeda sekali dengan pengunjung kafe-kafe dikota besar, yang walaupun mereka duduk satu meja dengan kawan-kawan mereka, tapi perhatian tetap terpusat pada benda yang bernama handphone itu, sehingga kehangatan diantara mereka terlihat hambar.
Tanpa terasa hampir setengah jam kami berada disini, sebelum akhirnya kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan.
Namun yang membuatku benar-benar heran adalah disaat tadi aku hendak membayar. Si pelayan yang mirip Alda itu justru menolaknya, dan dengan ramah dia bilang “Owwhh…disini semuanya gratis mas..” Ah, benar-benar aneh, apa maksudnya itu. Apa karena Kafe ini baru, sehingga mereka tengah berpromosi dengan cara seperti itu.
Saat kami berada diluar kafe, kulihat beberapa orang tengah saling bercakap-cakap. Ah, wajah-wajah itu rasanya tak asing lagi bagiku. Ya, ketiga orang yang tengah berbincang-bincang dikursi taman itu, kesemuanya itu adalah komedian ternama tanah air. Tentu saja mereka adalah duplikatnya, alias palsu, karena setahuku ketiga orang itu sudah almarhum, mereka adalah Jojon, Ateng, dan yang satu lagi Dono.
“Aku mulai merasakan adanya keanehan dengan tempat ini…” ujar pacarku saat kami berada didalam mobil.
“Maksudmu? ”
“Semua orang-orang yang ada disini, termasuk semua pengunjung kafe, sepertinya aku tak asing dengan wajah-wajah mereka itu. Walau bukanlah sosok yang sangat populer, tapi sepertinya aku pernah melihat mereka. Entah mereka itu hanya sebagai kameramen, sutradara atau penata lampu. Sayangnya memang aku tidak mengenal mereka dengan akrab. Dan beberapa dari mereka aku yakin adalah orang-orang yang pernah eksis dalam dunia hiburan tanah air..” paparnya , sepertinya apa yang dikatakannya itu benar, selain empat orang yang merupakan artis populer tanah air tadi, dimeja lain sepertinya juga ada beberapa sosok yang tak asing. Namun sayangnya aku juga tak begitu mengenal mereka, selain hanya wajah-wajah mereka saja yang pernah aku lihat dilayar tv.
“Jadi menurutmu, anehnya itu dimana?” tanyaku, sebenarnya aku juga mulai merasakan ada yang ganjil ditempat ini, mulai dari tempat ini yang menurutku terlalu cepat pembangunannya. Bagaimana tidak, belum sebulan aku juga melintasi jalur ini saat dari Bandung menuju Jakarta, tak pernah aku melihat lokasi seperti ini, dimana bunga-bunga yang indah terhampar diseluruh desa, serta penuh dengan taman-taman yang penataannya begitu indah, seperti tempat-tempat dinegeri dongeng, yang tentu saja menarik minat pengendara yang melintas untuk menyinggahinya, termasuk aku.
Pengendara yang melintas? Ah, aku baru menyadari, bahwa selama tadi aku melintasi jalan raya dilokasi ini, tak satupun ada kendaraan lain yang melintas kecuali kendaraanku, dan sampai sekarangpun dijalan raya itu tetap sepi.
“Ya, aneh aja…suasana disini itu lho, indah sih, bahkan dimusim kemarau seperti ini, yang hampir dalam tiga bulan terakhir tak turun hujan, tapi bunga-bunga dan rerumputan disini tumbuh demikian subur…air yang mengalir disungai itu demikian jernihnya. Sesuatu yang langka dinegeri ini..” paparnya.
“Ah, dijaman teknologi canggih seperti sekarang ini, hal seperti itu bisa saja dibuat, dengan ilmu pengetahuan tentunya, jadi enggak ada yang anehlah…” sanggahku, sekedar untuk menenangkan hatinya untuk tidak berpikir yang macam-macam, walaupun sebenarnya aku juga merasa heran.
“Okelah, sekarang kita sudah ngopi dan makan donat yang enak…Saatnya kita melanjutkan perjalanan” ujarku, seraya menghidupkan mesin mobil.
“Ah,sial…mesinnya gak bisa distarter….brengsek…!” berkali-kali kuputar kunci kontak, hasilnya sama saja, hanya suara jkekkkekk…tanpa mesinnya hidup.
Kucoba keluar, dan membuka cover penutup mesin. Tapi apa yang dapat aku lakukan, toh aku buta soal mesin, entahlah apakah itu masalah pada akinya yang mulai soak atau sistim bahan bakarnya yang tersumbat, aku tak tau pasti.
Kucoba menghampiri pelawak-pelawak palsu yang masih mengobrol dikursi taman, sekedar untuk menanyakan lokasi bengkel terdekat.
“Permisi mas…kalau bengkel mobil terdekat dimana ya?” tanyaku
“Wah, disini gak ada bengkel mas, wong disini juga nggak ada yang punya mobil…” jawab pria yang mirip Dono. Wah, suara dan cara berbicaranyapun sama persis dengan anggota warkop DKI itu.
Waduh, memang sungguh aneh, didaerah pulau jawa, yang letaknyapun tak jauh dari kota Bandung, tapi tak seorangpun yang memiliki mobil, sungguh tak masuk akal, bahkan didaerah miskin dan tertinggal yang berada dipelosokpun masih ada mobil disana..
Ah, aku baru ingat, bengkel mobil langgananku di Bandung pasti bisa mengirimkan montirnya kesini, toh hanya sekitar setengah jam saja jarak Bandung kesini, seraya kuambil handphoneku dari saku celana.
Ah, brengsek…tak terhubung, dan Ah, ternyata memang tak ada sinyal, benar-benar apes aku kali ini.
“Disini koq nggak ada sinyal ya mas?” tanyaku lagi.
“Ya enggak ada, wong disini juga gak ada yang punya handphone..” jawab Si Dono palsu lagi.
“Apa telpon dikafe bisa dipinjam ya?” tanyaku, penuh harap.
“Disana juga gak ada telpon, diwilayah ini semuanya gak ada telpon…” Astaga, benar-benar tempat yang aneh. Kafe dengan penataan apik dan modern seperti tadi bahkan telponpun tak ada, sungguh aneh.
Tapi memang kalau aku lihat disini tak terlihat adanya tiang ataupun kabel telpon, bahkan kabel listrik PLNpun tak ada, kecuali hanya pohon-pohon rindang yang diatasnya burung-burung berwarna indah saling berterbangan.
“Sekarang, daripada keliatan bingung kayak gitu, mendingan duduk dulu disini mas, ajak juga tuh temennya sekalian..” tawar lelaki pendek yang mirip dengan pelawak Ateng.
Akhirnya kami duduk dibangku taman bersama ketiga pelawak palsu itu. Tak terasa hampir setengah jam kami ngerumpi. Sepertinya pacarku cukup terhibur dengan banyolan mereka yang segar dan kocak. Dan dia juga mulai akrab dengan ketiganya, bahkan sepertinya juga mulai lupa dengan masalah yang tengah kami hadapi ini.
Berbeda denganku, masalah mobil mogok dengan tanpa adanya kepastian pihak yang memperbaiki masih menjadi ganjalan bagiku, yang berefek kurang antusiasnya aku dengan banyolannya. Aku menanggapinya hanya sekedar tersenyum, itupun dengan sedikit dipaksakan agar tak terkesan angkuh. Ah, entah akan tidur dimana kami malam ini.
Ditengah galaunya pikiranku, masih sempat aku berpikir tentang orang-orang yang ada disini, termasuk dengan ketiga orang ini. Apa iya, mereka tidak mengenal kami? dengan kami telah membuka kaca mata dan topi seperti ini, aku rasa hampir semua orang dinegeri ini mengenali. Bukannya aku GR atau takabur, tapi itu kenyataan. Ini bahkan mereka tak sedikitpun menyinggung tentang siapa kami. Padahal ditempat lain, ditempat umum seperti ini, entah sudah berapa puluh orang yang mengajak berpoto, dan sebagai publik figur terpaksa itu harus kulayani, walaupun sebenarnya aku merasa sedikit kurang nyaman karenanya.
Tiba-tiba dari arah jalan raya datang seorang pria yang penampilannya mirip Adi bing slamet, namun dengan kening sedikit lebih lebar. Ah, tidak…dia bukan mirip Adi bing slamet, tapi mirip Bing slamet, ayah dari Adi bing Slamet, sepertinya dia ingin memasuki Kafe.
“Hey, Mas Bing… Ayo dong mampir sini, kenalan dulu sama temen baru nih.. Gimana sih Pak lurah kita ini, main nyelonong aja…” sapa pria yang mirip Jojon dengan agak berteriak. Si pria yang disapa Mas Bing akhirnya menghampiri kami.
“Haii, halo semuanya…. oh, ini toh teman baru kita, wah hebat….selamat datang…selamat datang…dan selamat berkarya disini…” sapa pria itu. Ah, apa maksudnya dengan ucapan “selamat berkarya disini”. Aku sama sekali tak pernah melakukan perjanjian kontrak dalam bentuk apapun dengan pihak disini, mengapa pula dia mengucapkan seperti itu.
“Mmm…maaf, apa maksud perkataan anda dengan “selamat berkarya disini” , terus terang saya masih belum paham..” tanyaku.
“Ah, iya..iya..iya…anda masih baru kan? Saya paham kalau anda masih belum mengerti…” ucap pria itu, seraya duduk dibangku taman bersama kami. Kursi taman berbahan beton berbentuk leter U dengan ditengahnya terdapat meja kecil yang juga berbahan beton, kini dihuni oleh enam orang termasuk aku dan pacarku.
“Saya selaku lurah disini memang berkewajiban menerangkan secara ditail kepada warga kami, terutama terhadap warga baru seperti kalian…” Warga baru? Aku semakin bingung mendengarnya, sedang aku sendiri tak memiliki niat untuk menetap disini.
“Maaf pak, anda salah kalau mengira saya akan menjadi warga diwilayah ini. Saya hanya kebetulan singgah disini, sekedar untuk ngopi. Dan yang terjadi adalah mobil saya mogok, sehingga kami tak dapat melanjutkan perjalanan, itu saja…”
“Baiklah bung…sebaiknya anda mendengarkan penjelasan saya dulu… Pertama-tama akan saya ceritakan terlebih dulu mengenai kampung ini, yang bisa dikatakan sebagai kampung seniman. Dimana para penghuninya adalah para insan seni yang dulunya pernah berkiprah didunia hiburan tanah air..” sampai disitu dia menatap tajam kearahku dan pacarku, lalu melanjutkan penjelasannya kembali.
“Yang saya maksudkan dulunya pernah berkiprah didunia hiburan tanah air adalah dimasa hidupnya dialam fana…” terangnya, dengan nada yang ditekan, seolah ingin menggaris bawahi keterangannya itu.
“Tapi kami masih hidup, kami….” sanggahku, yang langsung dipotong olehnya.
“Untuk dialam fana kalian sudah mati, kita semua yang berada disini sudah mati… Tapi dialam yang sekarang ini justru kita bisa hidup kekal selamanya. Dan selama itu pula kita bisa bebas berkreasi disini, bebas sebebas-bebasnya untuk mencurahkan segala ide yang ada dikepala kita kedalam sebuah karya seni ” Aku dan pacarku saling bertatapan mendengarkan penjelasan itu, berbagai pikiran berkecamuk didalam benakku. Mau tidak mau, sepertinya aku mulai mempercayai apa yang dikatakannya itu. Segala keganjilan yang sebelumnya sempat kuherankan mengenai tempat ini terjawab sudah. Rasanya sulit bagiku untuk membantah kenyataan ini. Jadi kesimpulannya, orang-orang berwajah selebritis yang sebelumnya kukira imitasi, ternyata mereka adalah yang sebenarnya, seniman-seniman yang telah meningal dan berkumpul kembali disini.
“Saya paham, sebagai orang yang tengah mengalami masa keemasan dalam karirnya, kenyataan ini sungguh membuat anda merasa kehilangan. Tak ada lagi penggemar yang memuji dan mengelu-elukan anda. Tak ada lagi kemewahan duniawi yang selama ini kalian rasakan, itu wajar. Semua orang yang ada disini pada mulanya seperti itu. Tapi itu tak sampai memakan waktu lama, setelah itu mereka justru bersukur telah berada disini. Disini anda tak perlu mencari nafkah, karna makanan selalu tersedia. Nah, dikafe inilah kita bisa makan berbagai macam makanan yang kita inginkan, semuanya gratis, dan buka 24 jam. Dan anda juga tidak perlu tahu dari mana pasokan makanan itu kita dapat. Kita hanya perlu bergiliran bertugas sebagai pelayan disana. Ah, itu untuk setiap orang paling-paling hanya kebagian satu kali dalam dua bulannya, itupun hanya enam jam, dan selanjutnya akan digantikan oleh sukarelawan lain. Penghuni kampung ini banyak, mencapai ratusan. Tentu semuanya adalah pekerja seni. Baik seni musik, seni peran, seni tari,seni lukis dan masih banyak lagi…” pemaparan yang diberikan oleh Bing ini, sepertinya mendapat perhatian yang cukup besar dari pacarku ini. Itu dapat kulihat dari ekspresi wajahnya yang begitu serius menyimak.
“Mmm..tadi anda katakan bahwa disini kita bebas menuangkan ide yang ada dikepala kita kedalam sebuah karya seni, misalkan saya memiliki ide, katakanlah untuk membuat sebuah film sesuai dengan yang saya inginkan. Apakah saya juga akan difasilitasi untuk merealisasikan ide saya itu…” pacarku mulai mengeluarkan unek-unek dihatinya yang selama ini hanya menjadi impian.
“Owwhh, tentu bisa..anda tinggal menuliskan sedikit gambarannya kepada saya. Nanti akan saya agendakan, dan dalam waktu hanya beberapa hari, anda sudah bisa merealisasikan ide anda itu. Dan semua kru tentunya akan siap bekerja sama..” paparnya, sambil menyalakan sebatang rokok.
“Lalu, seandainya film itu sudah jadi, dimana akan didistribusikannya? Mmm…maksud saya dipasarkannya…” Ah, sepertinya pacarku benar-benar berharap banyak dengan dunia barunya ini. Sedangkan aku masih berharap semua ini hanyalah mimpi belaka. Mana ada kehidupan seperti ini setelah kita mati. Kecuali itu hanya mimpi, dan aku berharap akan segera terbangun dalam mimpi ini. Lalu kembali akan kuraih duniaku sesungguhnya. Dunia yang pernah terpuruk, dan baru-baru ini telah berhasil kuraih kembali. Tentunya dengan segala kemilau kejayaannya.
“Oowwhh.. Kita berkarya disini bukan untuk tujuan komersil, tapi untuk kepuasan batin…itu lebih dari segalanya, apalagi hanya uang… Yah, film yang telah selesai kita buat akan kita saksikan bersama digedung bioskop kita, yang dalam setiap minggunya ada saja film-film baru yang kita tonton. Dan semuanya itu menurut saya adalah film yang berkualitas. Bukan film kelas kacang goreng yang hanya mengeksploitasi adegan kekerasan dengan harapan laris manis dipasaran….” Wajah pacarku tampak berbinar mendengarkan penjelasan pria itu. Sepertinya dia mulai mendapatkan tempat yang cocok dihatinya. Seperti yang sebelumnya sempat diutarakannya padaku. Tentang holiwut-holiwutan, tempat dimana dia dapat mengeksploitasi idenya secara bebas dengan adanya sarana dan prasarana yang mendukung. Ah, klop sudah dengan yang dipaparkan si Bing ini. Mungkin bagi pacarku, dunia barunya ini adalah sebagai mimpi yang menjadi kenyataan. Sedang aku, justru berharap semua ini cuma mimpi.
“Oh, iya..yang perlu anda ketahui, bahwa hidup anda disini adalah abadi, Anda tak akan menjadi tua seberapapun umur anda. Penampilan anda akan tetap seusia layaknya 25 sampai 28 tahun. Usia dimana sesorang berada dipuncak keemasannya dalam segi penampilan…” Benar juga apa yang dikatakannya, kulihat wajah pacarku ini lebih segar dari sebelumnya. Sebagai wanita dengan usia empat puluhan dia memang mulai terlihat tua, garis dipinggiran mata dan keningnya juga mulai terlihat seandainya dia tak pandai-pandai menutupinya dengan make-up. Tetapi sekarang ini, aku melihatnya itu semua tak ada. Kini kulit wajahnya terlihat lebih kencang dan licin.
“Dan yang tak kalah penting yang perlu anda ketahui, mmm…Maaf, kalian berdua adalah sepasang kekasih kan?” yang aku jawab dengan hanya menganggukan kepala.
“Didalam kehidupan kita selama ini, kita menjunjung tinggi kebebasan dan kebersamaan. Dan atas dasar itu pula, kami disini tidak terikat oleh apapun, termasuk ikatan suami istri atau pacar. Dan itu bukan berarti kami tidak memiliki rasa cinta. Justru disini kita semua saling mencintai, dan dengan kadar yang sama. Untuk itu merupakan suatu hal yang wajar apabila dalam soal hubungan seks kita bebas melakukannya dengan siapa saja disini. Tergantung siapa yang kita suka, sesuai selera lah…kapan saja dan dimana saja… Sekali lagi, itu sudah menjadi kebiasaan disini…” uufff..sampai terjatuh rokok yang baru saja kuhisap mendengar penuturannya itu.
“Maksudnya, pacar saya ini, bebas disetubuhi oleh siapa saja disini?” tanyaku, dengan nada yang agak tinggi. Tangan pacarku mengelus-elus pahaku sebagai isyarat agar aku tetap tenang.
“Ya begitulah, dan anda juga bebas berhubungan badan dengan siapapun wanita-wanita yang anda anggap menarik disini. Mereka pasti akan dengan senang hati melayani anda. Mau sekaligus dengan dua wanita boleh, tiga bisa, empat juga monggo kalau kuat..” Ah, brengsek, dan tambah kesal lagi saat kulihat reaksi pacarku sepertinya justru tertarik dengan kebijakan gila itu.
“Kedengarannya lucu juga tuh…” bisiknya padaku. Ah, kampret…dianggapnya apa aku ini.
“Oke kalau begitu, saya sarapan dulu… Oh iya, nanti kalian antar kawan-kawan baru kita ini kerumahnya masing-masing” Kerumahnya masing-masing? Maksudnya?
“Mari kalian ikut kami, biar kita antar kerumah baru kalian..” ajak Dono, yang diikuti oleh dua lainnya.
“Udah, ikutin aja…” ajak pacarku, sambil menarik tanganku.
Akhirnya kami mengikuti mereka, berjalan menyusuri taman yang dipenuhi bunga-bunga. Sepertinya wilayah ini memang didominasi oleh taman dengan pohon-pohonya yang tertata rapi. Serta diselingi oleh kolam dengan airnya yang jernih dengan ikan-ikan koi yang berwarna menarik. Bunga teratai juga tak ketinggalan mengambil perannya dalam menambah indahnya kolam.
“Nah yang ini tempat tinggal untuk mbaknya…” ujar komedian bergigi merongos itu kepada kami, setelah tiba disebuah rumah mungil tapi terlihat rapi dan bersih. Yang tentunya dihalamannya juga dihiasi oleh taman bunga. Bahkan pada kusen jendelanya dirambati oleh bunga morning glory yang cukup lebat. Sedang pada temboknya juga dipenuhi oleh tanaman rambat berdaun kecil, hingga temboknya benar-benar tak terlihat.
Saat pacarku memasuki rumah itu, tentu saja aku juga ikut memasukinya. Tapi tangan si Dono itu malah memegang lenganku.
“Eiiittt…tunggu dulu.. Anda juga punya rumah sendiri. Ayo kami antar…” ujarnya.
“Tapi….”
“Sudah tenang aja, nanti juga kamu bisa main kesini. Ayo ikut kami dulu..” ajak Dono, setengah memaksa.
Akhirnya aku mengikutinya, meninggalkan pacarku yang melambaikan tangan sambil tersenyum.
Tak berapa lama kami tiba dirumah yang dimaksud. Bentuknya tak jauh beda dengan yang tadi. Hanya pada jendelanya tak ditumbuhi bunga morning glory.
“Ya sudah, kami tinggal dulu ya…Selamat beristirahat, dan selamat menikmati rumah barunya…” lalu mereka pergi meninggalkanku sendiri dirumah itu.
Walau tanpa AC, ruangan ini cukup sejuk dan nyaman, tak kurasakan panas atau gerah.
Pada kamar mandinya dilengkapi bathtube berbahan tembaga. Disebelah sudutnya terdapat pintu berbahan almunium sebagai penyekat ruangan kecil dengan WC jongkok yang cukup bersih.
Saat kubuka lemari pakaian didalam kamar, ternyata disitu telah terisi berbagai macam pakaian pria. Ah, ternyata ukurannya sesuai dengan tubuhku. Hmm..apakah semua ini memang telah disiapkan, tapi bagaimana mekanismenya? Ah, aku tetap berharap semua ini hanyalah mimpi, jadi untuk apa pula aku harus pusing-pusing memikirkannya.
Puas melihat-lihat didalam isi rumah, kini aku duduk dibangku panjang berbahan kayu diserambi rumah. Hmmm.. memang cukup nyaman suasana disini, benar-benar asri.
Wah, siapa lagi itu wanita yang mengenakan caping bambu seperti petani. Dengan celana jeans ketat serta sepatu boot tinggi menghiasi kakinya. Sedang tangannya yang dibungkus oleh sarung tangan karet memegang semacam gunting pemotong rumput. Perhatiannya terpusat pada tanaman mawar dihadapannya. Sesekali alat ditangannya itu menggunting dahan-dahan yang terlalu menjorok kearah jalan.
“Selamat pagi dik…!” sapanya dengan ramah kepadaku. Sepertinya wanita itu sadar kalau aku tengah meperhatikannya.
“Pagi mbak, sedang sibuk kelihatannya?” balasku sekedar beramah tamah. Ah, betapa cantiknya wanita ini, terutama matanya itu. Bola matanya tampak bercahaya, dengan bulu mata yang hitam lebat. Kulit wajah begitu halus, serta dagu yang runcing. Dan yang mencirikannya adalah tahi lalat dipipi kanannya itu. Oh iya..aku baru ingat sekarang, dia pasti Suzanna, artis yang terkenal dengan peran-peran difilm horror era 80an. Beberapa filmnya pernah aku tonton, bahkan beberapa diantaranya masuk dalam koleksi film yang aku simpan didalam eksternal harddisc.
“Ah, enggak juga koq. Cuma sekedar memotong dahan-dahan yang menjorok kejalan. Lagian kan ganggu orang jalan. Durinya itu lho…tajem-tajem…” Ah, suaranya itu. Lembut dan menggoda, persis seperti didalam film-filmnya.
“Apa mbak juga seorang ahli pertamanan?” tanyaku, tentunya sekedar berbasa-basi.
“Ah, bisa aja adik ini…Enggak koq, saya hanya seorang pecinta bunga..bagi saya bunga itu memiliki keindahan yang alami, cantik dan juga harum…” paparnya, Ah..ucapannya itu, walaupun terdengar klise, tapi aku menyukainya.
“Tapi juga memiliki duri yang dapat melukai kan?” pancingku.
“Ya, untuk melindungi dirinya dari tangan-tangan jahil yang merusaknya…”
“Mbak juga cantik, seperti bunga…mmm..tapi saya harap tidak memiliki sesuatu yang tajam yang dapat melukai orang lain…” ocehku dengan semakin berani.
“Ha…ha..ha…adik ini bisa saja… Adik tidak perlu kawatir. Benda ditangan saya ini tidak untuk saya fungsikan sebagai senjata yang menyakiti orang lain…” paparnya, sambil menatap gunting ditangannya.
“Mmm…barang kali dengan sesuatu yang jauh lebih tajam dari sekedar gunting atau pisau. Sesuatu yang langsung menikam kedalam kalbu, yang membuat korbannya merana dan tersiksa..” Astaga, kenapa aku jadi lebay begini.
“Ah, adik ini…paling pintar bermain kata-kata… Baiklah, kita sudahi saja pembahasan tentang bunga tadi. Mmm…boleh saya duduk? ”
“Dengan senang hati..”
“Perkenalkan, saya Suzzana.. Semoga adik sudah mengenal siapa saya, sehingga saya tidak perlu lagi menjelaskan panjang lebar.. Dan itu rumah saya..” paparnya, ternyata rumahnya hanya berjarak sekitar 20 meter disebelah rumah ini. Rumah terdekat dari sini dibanding rumah-rumah yang lain.
“Siapa yang tidak mengenal anda. Artis horror legendaris tanah air, pemeran sundel bolong…” paparku, lalu kuperkenalkan diriku padanya.
“Ah, maaf ya dik, kalau saya kurang begitu mengemal seniman-seniman muda sekarang, termasuk adik…” yang diutarakannya itu sebagai hal yang lumrah. Dimasa hidupnya, namaku memang belum terlalu dikenal didunia musik tanah air.
Akhirnya kami terlibat dalam perbincangan hangat yang mengasikan. Tentang pengalamannya sewaktu dirinya masih hidup didunia fana. Hingga tentang kegiatan-kegiatan seni yang dilakukan masyarakat disini. Termasuk tentang film terbarunya yang akan ditanyangkan di Bioskop besok, tentunya Bioskop ditempat ini.
Hingga akhirnya obrolan kami dikejutkan oleh suara seorang wanita yang menyapa kami
“Waduuhh…mbak Susan, berduaan aja nih gak ngajak-ngajak…” Ah, rupanya salah seorang wanita pelayan di Kafe tadi.
“Eh, dik Nike.. Ya udah, sini gabung aja, sekalian kenalan dengan tetangga baru kita..” tawar Suzanna
“Wah, sebetulnya saya baru mau pulang nih… habis dapet giliran jaga Kafe, terus pulangnya langsung jogging..” Wooww…sosok wanita yang dulu pernah menjadi idolaku kini berdiri dihadapanku. Dengan rok mini ala cheerleader membalut bokongnya, sehingga pahanya yang mulus terekspos indah. Sangat pas dengan atasan t-shirt putih tanpa lengan, serta sepatu kets olah raga yang menghias kakinya. Rambutnya yang lurus sebahu dihiasi bondana sehingga tampak trendi. Mengingatkanku pada gaya remaja era 90an.
“Udah deh, duduk dulu disini..” tawar Suzanna setengah memaksa, yang membuat wanita itu tak mampu lagi mengelak, seraya duduk disamping kananku. Ya, kini aku dihimpit oleh dua sosok wanita legendaris yang pernah berjaya dijamannya.
Untuk beberapa saat aku masih terpaku oleh kehadirannya. Sebelum akhirnya kami bertiga larut dalam obrolan yang hangat.
“Yah, karena saya dilahirkan lebih dulu dari kamu, dan kebetulan juga saya berasal dari daerah jawa-barat, kamu boleh panggil saya Teh Nike…” itu yang dikatakannya disaat aku bingung untuk memanggilnya dengan sebutan apa.
“Ngomong-ngomong, apa kamu enggak berminat untuk untuk lihat-lihat disekitar sini, kebetulan sekarang lagi ada shooting. Teguh karya sedang menggarap film barunya. Sedang ditempat lain, Arifin C noor juga sedang menggarap film kolosal. Tapi kalau untuk pentas musik, baru nanti malam. Disini hampir tiap malam kami menggelar pertunjukan musik dialun-alun desa….” tawar Suzanna, tentu saja itu sebuah tawaran yang menarik bagiku.
“Wah, sebuah ajakan yang menarik itu, sayangnya saya belum tau tempatnya, andai saja….”
“Jangan kawatir, kebetulan saya juga mau kesana, kamu bisa sama-sama dengan saya…” potong Suzanna, sebuah tawaran yang memang kuharapkan.
“Oke, kita kesana bertiga…” ujar Nike. Wah, rupanya dia juga akan ikut.
“Tapi, kita ketempat teman saya dulu, dia juga pasti sangat antusias bila menyaksikan hal-hal yang berhubungan dengan seni peran…” pintaku.
“Teman apa? Semua disini kita berteman..” papar Suzanna.
“Mmmm…teman wanita, teman dekat. Kami datang bersamaan ketempat ini…”
“Pacar maksudmu?”
“Yah, begitulah…” jawabku malu-malu.
“Mmmm..saya akan ceritakan sedikit tentang kebiasaan dan peraturan ditempat ini yang harus kamu ketahui. Bahwa disini kita tidak mengenal istilah pacar atau istri..” Ah, itu yang tadi aku dengar dari Bing Slamet, yang katanya lurah ditempat ini.
“Semua kita disini adalah satu kesatuan, kita tidak mengenal kelompok, bahkan kelompok kecil seperti keluarga, dalam hal ini suami istri. Kita semua disini adalah insan-insan yang pada masa hidupnya mengabdikan diri pada seni, dan berkumpul disini untuk menikmati hidup dalam berseni. Hubungan kekasih atau perkawinan justru akan membuat kita terkotak-kotak dalam kelompok kecil. Disamping juga perkawinan kerap membuat kita justru saling curiga,cemburu dan akhirnya saling menyakiti, yang justru akan menghilangkan rasa cinta kita. Oleh karena itu, disini tidak dibenarkan adanya keterikatan perkawinan atau hubungan kekasih. Kita semua saling mencintai dengan kadar yang sama untuk setiap orangnya. Contohnya, kamu harus mencintai aku dan Nike dengan kadar yang sama. Kamu tidak boleh mencintai dik Nike lebih banyak ketimbang aku. Begitu juga sebaliknya, termasuk kepada seluruh masyarakat dikampung ini. Dan tentunya juga termasuk pacarmu didunia fana dulu itu..” aku hanya terdiam mendengar penuturan Suzanna itu.
“Oke, ayo kita berangkat… Oh ya, kita ketempat, mmm…mantan pacarmu dulu kan?” Apa? mantan pacar? Sejak kapan aku putus? Yah, sepertinya aku memang harus mengikuti aturan yang ada disini.
Akhirnya bertiga kami berangkat, setelah Suzanna terlebih dahulu menyimpan caping dan gunting rumput dirumahnya.
Bukan kepalang terkejutnya aku, saat apa yang kusaksikan dihalaman rumah pacarku itu, tepatnya diatas taman yang ditumbuhi oleh hamparan rumput gajah mini. Diatas hamparan rumput yang terbuka itulah pacarku kini tengah “dikeroyok” oleh tiga komedian tadi.
Tubuh telanjang pacarku yang berbaring telentang tengah digagahi oleh Jojon, yang duduk berlutut sambil menggoyangkan bokongnya maju mundur dengan kedua tangannya memegangi paha pacarku. Sedang si Dono berdiri sambil batang penisnya dioral oleh pacarku. Ah, ekspresi si pelawak berwajah bemo itu, dilain situasi mungkin akan membuatku tertawa. Namun tidak untuk kondisi sekarang ini. Lidahnya yang bergerak-gerak keluar masuk, serta matanya yang setengah terpejam justru membuatku muak. Sedangkan Ateng, sipelawak bertubuh kerdil itu bagaikan seorang bayi tengah asiknya menyusu pada payudara pacarku.
“Sophi…! Apa-apaan ini…?” Hardikku, dengan setengah berteriak. Dan semakin kesalnya aku saat respon pacarku itu seolah nyantai saja menanggapinya. Tangan kanannya justru dilambai-lambaikannya kearahku. Sejurus kemudian dia mulai melepaskan kuluman penis si Doni itu.
“Kita harus menyesuaikan diri dengan kehidupan disini ril.. Kamu gak usah lebay begitu deh….kamu juga boleh koq main dengan dua wanita disampingmu itu. Main ditempat terbuka seperti ini sungguh sesuatu lho ril…Sensasinya bener-bener mengena…” ucapnya.
“Iya nih, kamu gangguin aja… Sudah, kamu main sendiri sana sama Mbak Susan atau si Nike. Sekaligus dua-duanya juga papa…” komplain Dono kepadaku.
“Tenang sayang… Udah gak sabar mau diisep lagi ya…?” lalu mulut itu berhenti berucap, kembali sibuk mengoral batang penis si Dono.
Baru saja ingin kuhampiri, dengan maksud akan kusingkirkan satu persatu ketiga komedian konyol itu dari tubuh pacarku. Tapi sepasang tangan lembut malah menahan lenganku, seraya dengan sabar dia berusaha menenangkan hatiku yang tengah memanas oleh api cemburu.
“Sshhhh…sshhh…sshhhhh…tenang dik, apa yang dikatakannya itu benar. Kamu juga harus menyesuaikan diri dengan kehidupan disini….” papar Suzanna dengan bibir yang didekatkan ketelingaku, lalu membimbingku duduk dikursi taman, yang berjarak hanya sekitar lima meter dari lokasi “Pertempuran” itu.
“Itulah akibat dari rasa cinta yang hanya terpusat pada satu orang.. Rasa cemburu, sakit hati dan dendam menjadi satu. Itulah yang tengah kamu rasakan sekarang ini… Rasa yang timbul disaat orang yang kita cintai berkhianat… Semoga sekarang kamu mengerti dan bisa memahami akan kebijakan yang diberlakukan ditempat ini. Apa yang sedang kamu rasakan itulah yang sedang kami coba hilangkan dari orang-orang penghuni tempat ini. Rasa yang tentunya hanya akan menimbulkan permusuhan dan kehancuran…”
Aku hanya terdiam mendengarkan penjelasan mbak Susan ini. Entah apakah diamku ini merupakan sebuah pembenaran dari penjelasannya itu, atau karena aku terlalu shok melihat ulah pacarku .
“Sekarang kamu nikmati saja apa yang ada dihadapanmu itu, tak perlu kamu membenci dia, cintailah dia, sebagai mana kamu juga mencintaiku, Nike dan juga semua orang-orang penghuni tempat ini… Nikmati sajian itu, seperti kamu menikmati tayangan film biru. Tayangan yang membuat gairahmu bangkit…” Menikmati bagaimana pacarku digangbang oleh ketiga badut celaka itu? Ah, sial… Tapi baiklah, sedangkan pacarku saja bisa beradabtasi dengan cara hidup disini, mengapa aku yang laki-laki harus sentimentil seperti ini.
Benar, aku akan coba menikmati show ini sebagai mana tayangan film porno yang kadang aku saksikan sebagai foreplay sebelum bercinta dengan pacarku.
Ya, untuk saat ini sebaiknya aku tak lagi menganggap Sophi sebagai pacar lagi. Dan akan lebih baik aku menganggapnya sebagai artis film porno yang tengah beraksi.
Dihamparan alam terbuka dengan disinari cahaya matahari pagi, tubuh mulus Sophi semakin terlihat putih, kontras dengan ketiga komedian yang berkulit sawo matang cenderung coklat. kecuali Ateng yang berdarah Tionghoa, tubuh cebolnya berkulit kuning, dengan ukuran penis yang tak lebih besar dari ibu jari tanganku.
Jojon, pelawak berkumis nyentrik ala Adolf hitler, masih lincah memompakan bokongnya maju mundur. Dari kursi taman tempatku duduk hanya bagian belakang tubuhnya saja yang dapat kulihat. Namun justru aku dapat melihat dengan jelas bagaimana penisnya itu berpenetrasi keluar masuk didalam vagina Sophi dengan irama yang cukup cepat namun tetap konstan. Kondisi fisiknya yang adalah pria berusia 25 tahunan tentu itu bukanlah masalah, staminanya masih prima untuk melakukan itu.
Sedangkan Dono, masih seperti tadi. Ekspresinya bagaikah orang tengah berkomat-kamit dengan lidah keluar masuk, sedang dari mulutnya terus meracau tak karuan.
“Aduuuuhhhhh…..sedeepp…nih..sedeeeppp….enak banget…..akhirnya kontolku bisa nyobain mulutnya Sophia latjuba….sedeeeppp…sedeeeppp….” ocehnya, sambil matanya setengah terpejam, dan hanya bagian putihnya saja yang trelihat. Tiba-tiba matanya itu terbuka, menatapku sambil tersenyum mengejek.
“Eh, mas….mulut mantan pacarmu enak juga nih…he…he….he… Pasti dulu sering kamu ciumin ya? Sory ya sekarang dimasukin kontol saya…he..he..he..” ejek si Dono itu. Sial, kurang ajar betul simuka bemo ini.
“Eh, mas…liatin nih..” panggilnya lagi, lalu kedua tangannya itu memegang kepala Sophi, dan.. Astaga, pinggulnya bergerak maju mundur dengan cepat, sehingga Sophi tampak kewalahan dan sedikit tersedak karenanya.
“He…he…he….enak mas…mulut Sophia latjuba saya entotin….he…he..he…” ujarnya dengan cengengesan.
Namun aku tetap tenang, aku justru berusaha untuk menikmati aksinya itu. Ya, rasanya aku mulai bisa menikmati pertunjukan ini sebagai sesuatu yang menghibur dan merangsang.
Ghlloggh…ghlllogh…ghlllogh…suara itu yang terdengar dari mulut Sophi yang dikerjai oleh si tonggos yang pecicilan itu.
Tak kalah ngocol dengan si Dono, Ateng yang tengah menikmati buah dada Sophi bertingkah bagaikan anak kecil yang sedang menyusu pada ibunya.
“Mmmm….nyemmm…nyemmmm…nyemmmm…enak ma, enak…nenen mama enak….pentil mama juga enak…gurih…gurih…mmmm…nyemmm…nyemmm…” ocehnya, dengan gaya bicara yang dibuat-buat seperti layaknya anak balita.
“Lihat, bagaimana mantan pacarmu begitu menikmati permaianannya… Kamu juga mulai dapat menikmati pertunjukan ini kan?” bisik Suzanna, sambil tangannya membelai-belai lembut pahaku yang masih terbalut celana blue jeans.
“Iya, betul kata mbak Susan…kamu nyantai aja… Tuh, kamu udah mulai nafsu kan? tititnya aja udah mulai bangun nih..hi..hi..hi…” goda Nike, sambil mengelus-elus tonjolan dibagian selangkanganku.
Gaya bicara wanita ini lebih polos, khas anak muda. Aku rasa karna dia tewas dalam usia yang begitu muda, sehingga belum pernah merasakan fase dewasa dalam hidupnya, baik itu dalam berpikir maupun berbicara. Berbeda sekali dengan Suzanna yang telah cukup lama mengenyam kehidupan didunia fana, manis dan pahitnya kehidupan telah banyak dia rasakan, sehingga cara berbicaranyapun juga lebih bijak.
Aaaahhh….aku hanya mendesah pelan saat jemarinya menyentuh nakal kemaluanku,walaupun masih terbungkus celana jeans, pengaruh sentuhan itu cukup membuatku terhanyut, terutama saat melihat tawanya itu. Tawa yang menggoda, kulihat jelas gigi-gigi bagian tepinya yang runcing-runcing putih menggemaskan. Hangat nafasnya terasa hingga kewajahku.
Kulihat Suzanna yang berada disebelah kananku memberi isyarat kepada Nike dengan matanya. Sepertinya dimaksudkan agar aku jangan terburu-buru “diganggu”, lebih diberi kesempatan untuk fokus menyaksikan Sophi yang kini tengah beraksi.
“Hoiii… Gantian dong, sekarang aku yang disitu… Udah lama nih.. Saya juga pengen ngerasain barangnya Sophia latjuba…” protes Dono kepada Jojon.
“Bentar lagi kenapa sih…Kagak sabaran bener jadi orang…” tolak Jojon dengan tak kalah sewotnya.
“Iya, tapi udah berapa menit nih…”
“Ah, apaan sih, sepuluh menit aja belom…”
“E-eh…sudah..sudah, jangan ribut begitu dong…” kali ini Sophi mencoba menenangkan mereka. Seraya mendorong tubuh Jojon hingga jatuh terduduk.
“Mmmmm…begini aja, biar adil dan gak ribut, Mas Dono masukin bagian depan saya, sedang Mas Jojon bagian belakang saya, setuju enggak?” usul Sophi
“Bagian belakang maksudnya lobang bo’ol ye?” tanya Jojon dengan gayanya yang khas agak keblo’on-blo’onan.
“Ya begitu deh, itu juga kalo Mas Jojon mau, kalo gak mau ya silahkan antri dulu, karna Mas Dono yang gilirannya masukin kesini…” papar Sophi, diakhiri dengan menunjuk kearah vaginanya.
“Mau dong, saya mau… Mau juga dong saya ngerasin bo’ol kamu, pasti lebih peret kali ye..” setuju Jojon
“Ya udah kalo gitu, Mas Jojon sekarang tiduran telentang…” pinta Sophi, yang langsung dilaksanakan Jojon.
Tanpa banyak bicara lagi, Sophi menggenggam batang penis Jojon yang berdiri mengacung, seraya berjongkok membelakanginya. Dan jleeppp…batang penis itu kini tertanam didalam anusnya.
“Sekarang Mas Dono yang masukin depannya…” pinta Sophi, kepada Dono
“Horeee…akhirnya kesampean juga ngerasain memeknya Sophia Latjuba…asik…asik…asik….” girang Dono, seraya menancapkan batang penisnya divagina Sophi. Praktis, kini dua lubang mantan pacarku itu telah terisi oleh penis-penis kedua komedian legendaris itu.
“Aku sih bagian nenen aja ya ma….” masih dengan gayanya yang tadi, Ateng tetap masih tak bosan menyusu pada buah dada Sophi.
“Ih, anak mama yang satu ini, paling suka nenenin tetek mama ya…hi…hi…hi…” ujar Sophi dengan gayanya yang genit.
“Iya dong ma…biar Ateng cepet gede, makanya Ateng mimi cucu terus…he…he…he…mmm….nyemmm…nyemmm..” sambil terus mengulum puting susu Sophi, sesekali tangannya meremasi buah dadanya yang padat dan berisi itu.
Ah, apa yang ada didepan mataku ini benar-benar sebuah adegan yang hanya pernah aku lihat di film-film biru. Dimana seorang wanita disetubuhi oleh dua orang sekaligus dalam waktu yang bersamaan dan pada dua lubang yang berbeda. Yaitu si Jojon yang berada dibawah mendapatkan jatah liang anus. Sedangkan Dono yang berada diatasnya mulai menggenjot liang vaginanya.
Dasar perempuan jalang, saat dari awal aku dekat dengannya, akupun memang tak terlalu berharap banyak dari perempuan itu. Sebagai wanita dia terlalu “Celamitan”. Bahkan pada dua kali perceraiannya dengan suami sebelumnyapun konon disebabkan oleh dirinya yang gemar selingkuh dengan pria lain. Typical wanita yang easy going, terlalu mudah pindah kelain hati.
Terus terang hanya daya tarik seksualnya itulah yang dulu mampu memikat hatiku. Namun seiring jalannya waktu dalam hubungan kami, aku mulai merasakan adanya keseriusan pada dirinya. Seperti beberapa waktu lalu dia mendesak bertemu orang tuaku untuk meyakinkan ayahku atas keseriusan hubungan kami.
Dan yang paling membuatku tersentuh adalah waktu dia memutuskan untuk berpindah keyakinan. Sehingga aku mulai percaya kalau perempuan ini memang serius. Walau kemudian seiring perjalanan waktu pula, mulai terlihat lagi kebiasaan lamanya yang gemar tebar pesona. Lalu seolah memberi angin pada laki-laki yang dianggapnya menarik untuk dirinya. Untuk kebiasaan buruknya itu beberapa kali kami sempat berselisih paham. Kadang sampai beberapa hari kami putus kontak. Namun rasa rindu pula yang membuat kami tetap bertahan. Entah itu rasa rindu secara birahi atau cinta, akupun tak terlalu tau pasti. Yang jelas setelah diatas ranjang, segala pertentangan prinsip diantara kami berangsur mereda. Walau untuk dikemudian hari sebetulnya itu akan muncul kembali.
Hmm, sepertinya apa yang dikatakan Suzanna itu ada benarnya juga. Suatu hubungan khusus antar dua insan yang diikrarkan dalam bentuk ikatan pernikahan atau pacaran, sangat berpotensi akan timbul konflik. Yang berujung dengan saling menyakiti satu sama lain.
Wanita cantik yang telah bermain film layar lebar semenjak tahun 50an ini, kuyakini memang telah sarat dengan asam garamnya kehidupan yang menyangkut hubungan khusus antara dua insane. Yang aku tahu dia pernah dua kali menikah. Dan didalam rumah tangganyapun sarat dengan konflik yang ruwet. Karena itulah sekarang dia bisa menilai mana yang seharusnya perlu dilakukan, dan mana yang tdak perlu. Kini dia duduk dengan anggunnya disampingku, menyilangkan paha dengan kedua tangan diletakan diatasnya. Berbeda dengan Nike yang duduk dengan kedua pahanya terbuka, sedang kedua tangannya direntangkan diatas sandaran kursi, sesekali terdengar tawanya melihat tingkah konyol ketiga komedian itu.
“Uuuuuggghhhhhh……ayo terus Mas Dono, genjot yang kuat..uuuggghhhh…” racau Sophi. Entah apa maksudnya tatapannya itu lebih sering mengarah padaku. Sepertinya dia memang sengaja ingin menggodaku, bahkan saat meracau seperti itupun pandangannya tak lepas dari wajahku. Atau dia ingin melihat reaksiku saat dirinya memekik nikmat oleh gempuran ketiga pelawak itu.
Seperti yang dipinta Sophi, Dono semakin bersemangat mengayuh bokongnya. Ukuran penisnya yang tak seberapa besar mempermudah gerakannya. Karena aku tahu pasti ukuran liang vagina Sophi yang tergolong lebar. Mantan suaminya yang bule pasti memiliki ukuran penis yang lebih besar dari standar orang Indonesia. Belum lagi pria-pria yang konon pernah menjadi selingkuhannya selama dia tinggal di Amerika. Tentunya ukuran penis besar mereka itulah yang berefek menjadi melebarnya liang vagina Sophi. Sehingga batang penis si Dono itu bergerak bagaikan alu yang tengah menumbuk diatas lumping. Nyaris tanpa jepitan otot vagina, hanya los saja bergerak tanpa hambatan.
Pok…pok..pok…pok… Suara benturan paha yang bertumbukan, dengan kecipakan dua alat kelamin yang tengah berpenetrasi seolah berkolaborasi dengan suara lenguh dan pekik mereka, menghasilkan irama yang paling purba. Irama yang telah ada sejak jaman adam dan hawa. Irama birahi…irama yang tak pernah lekang oleh jaman.
Kini tubuh si Dono itu kulihat menunduk, sepertinya dia ingin mencium Sophi. Mulutnya yang sudah monyong semakin terlihat runcing saat bibirnya itu dimajukan untuk dapat mencapai bibir Sophi. Bibir yang runcing itu tampak bergerak-gerak kedepan mencari sasaran sambil matanya separuh terpejam. Tentu saja tingkahnya itu membuat Nike ardila yang berada disamping kiriku tertawa cekikikan. Ah, sebuah pemandangan yang kontras. Bibir seksi Sophi yang menggemaskan harus berpagutan dengan mulut monyongnya Dono. Namun Sophi justru menyambut kecupan itu dengan hangat. Kedua tangannya merangkul punggung pentolan warkop itu, bahkan kini mulutnya mengulumi lidah Dono yang dijulurkan. Dan beberapa saat kemudian berganti justru Dono yang mengulumi lidah Sophi yang sengaja menjulur.
Sementara Jojon yang berada dibawahnya tak mau ketinggalan. Lidahnya bergerak-gerak lincah menjilati sekujur leher Sophi, atau sesekali mulut yang diatasnya terdapat secumit kumis itu mengecup dan menggigit-gigit dengan gemas yang membuat Sophi memekik manja. Sedangkan Ateng, masih asik menetek. Tingkahnya semakin menggelikan saat menarik dengan mulutnya puting susu Sophi hingga terlihat melar kedepan, lalu kemudian dilepaskannya lagi, dan itu dilakukannya beberapa kali.
“Apa orang-orang disini memang biasa berhubungan badan ditempat terbuka seperti ini?” tanyaku, disela-sela perhatianku pada pertunjukan yang semakin memanas itu.
“Ya, begitulah adanya… Bercinta dialam terbuka seperti ini lebih mengasikan. Disamping kita dapat melihat setiap lekuk tubuh lawan main kita secara detail. Juga kita lebih merasa menyatu dengan alam. Dan yang paling penting, sensasinya itu.. Kita benar-benar merasakan kebebasan yang utuh… Kebebasan berekspresi..” terang Suzanna.
“Pokoknya nanti kamu bakalan nyobain juga.. Pasti ketagihan deh…” kali ini Nike yang membisikan ditelingaku, seraya matanya mengerling genit.
Sudah hampir sepuluh menit kami menyaksikan live show spesial itu. Tubuh mereka tampak mulai dibasahi oleh peluh, terutama tubuh Sophi yang tampak berkilat. Rambutnya mulai basah, yang dari ujung-ujungnya tampak tetesan keringat, lalu jatuh mengenai kening dan lehernya.
“Eh, gantian dong… Masa’ barang saya dari tadi nganggur aja nih… Ayo gantian don..” pinta Ateng, yang kini telah berdiri disamping Dono.
“Ya udah tuh, ambil… Barang kamu kecil begitu. Mana terasa…” ejek Dono, sambil beringsut dari atas tubuh Sophi.
“Barang gue emang kecil, tapi gua punya otak… Gak kaya elu, otak sama gigi gedean gigi..” sesumbar Ateng sambil memposisikan diri dihadapan selangkangan Sophi.
“Enak aja kamu, biar begini-begini saya sarjana lulusan UI tau.. Coba kalo sampai sekarang saya masih hidup dialam fana, pasti sudah jadi menteri… Minimal anggota dewan lah…” sanggah Dono.
“Iya, menteri urusan pergigian….” ejek Ateng.
“Ah, sialan kamu… Dasar kuntet lu..” balas Dono, yang akhirnya duduk direrumputan sambil mengamati apa yang akan dilakukan oleh personil kwartet jaya itu.
“Eh, jon… Sekarang masukin kontol elu kedalem memeknye…” perintah Ateng kepada Jojon, yang saat itu penisnya masih tertanam didalam anus Sophi.
“Ah, kebanyakan ngatur lu kuntet…” kesal Jojon, namun tetap menuruti keinginan Ateng itu.
Kini batang penis Jojon yang ukurannya terbilang paling besar diantara ketiganya telah “berpindah kamar” keliang vagina Sophi. Tentu saja ukuran penisnya yang masih terbilang lebih kecil bila dibanding dengan kepunyaanku itu terasa masih longgar untuk vagina Sophi.
“Elu tahan ye jon.. Jangan dicabut dulu..” ujar Ateng. Ah, gila.***panya dia memasukan batang penis mungilnya itu disela-sela vagina Sophi yang telah dimasuki oleh batang penis Jojon.
“Nah, begini baru sempit….he…he…he…” girang Ateng, seraya memompakan bokongnya maju mundur. Dua batang penis yang berukuran seperti mereka itu sepertinya bagi Sophi bukanlah hal yang luar biasa. Otot vaginanya masih belum terasa mengetat secara berlebihan, sehingga reaksinyapun tetap rileks dan enjoy.
“Nah, kalau begini lebih asik nih…lebih terasa… Wah, anak mama emang pinter ya.. Ayo sayang, genjot yang kuat…” oceh Sophi, seperti biasa sambil mengatakan itu tatapannya mengarah kepadaku.
“Oke mama… Ateng bakal genjot yang kuat untuk mama Sophi yang cantik, he…he…he…” ujar Ateng, seraya mempercepat gerakan bokongnya.
“Wah, itu sih akal bulus namanya…Dasar kecebong lu…” gusar Dono, sambil tetap serius menyaksikan aksi double penetration itu.
“Ini bukan akal bulus…Ini namanya Salome, alias satu lobang berame-rame…he…he…he…” ejek Ateng.
Sophi sepertinya begitu enjoy digangbang sedemikian rupa oleh pelawak-pelawak itu, dan ditempat umum pula. Apakah ini juga termasuk bagian dari obsesinya itu? Ah, bisa jadi, dan disini dia bisa mengekspresikannya dengan bebas.
“Anak mama koq enggak ciumin mama sih, ayo dong ciumin mama…” ujar sophi dengan gaya centilnya yang menggemaskan.
“Oke deh ma, Ateng mau cium mama…mmmm…nyum…nyemmm..nyemmmm..clepot..clepot..” Sambil menciumi bibir Sophi, bokongnya yang gempal itu tetap bergerak turun naik.
Kini kedua lidah mereka terjulur, lalu saling jilat, untuk kemudian saling kulum secara bergantian.
“Hoi, teng…ini sih sama aja elu yang ngewein gua… Yang elu gesek-gesek inikan kontol gua.. Ini mah maen anggar namanya..” ujar Jojon sambil menepuk-nepuk bokong Ateng.
“Ah, banyak ngomong lu…udah diem aja, yang penting kan elu ngerasain enak juga…” gusar Ateng merasa kesenangannya tergangu, dan setelah itu kembali Ateng meneruskan aksinya.
“Uuuuugggggggghhhhhhh……zzzzz…..uuughhhhhhh….” lenguh Sophi dengan mata terpejam sambil kedua kakinya lurus mengejang. Hmmm, sepertinya dia telah orgasme. Dan kelebihan dia walaupun telah klimaks, namun agresifitasnya seperti tidak berkurang, dia akan tetap power full selama partner mainnya itu masih aktif.
Sekitar lima menit Ateng menggenjot dengan caranya yang terbilang tak umum itu, akhirnya dia menghentikan aksinya, seraya duduk menggelosor dengan nafas terengah-engah.
“Wah, payah lu…belum apa-apa udah ngos-ngosan…” goda Dono.
“Oke deh, kalian semua sekarang berdiri..” pinta Sophi, yang baru saja bangkit dari atas tubuh Jojon.
“Mau ngapain lagi nih?” tanya Dono
“Udah pokoknya berdiri aja deh..” ujar Sophi, yang akhirnya ketiganya berdiri berjajar dengan posisi membelakangiku.
“Sekarang semuanya membungkuk, sambil pegang lututnya…Ayo..!” kini ketiganya membungkuk, dengan kedua tangannya masing-masing berpegangan pada lututnya. Ah, sial bokong-bokong itu kini menungging kearahku, memperlihatkan sun-holenya yang mengerucut.
Posisi Sophi yang duduk bersimpuh, kini berada dibelakang Dono. Jari tangannya yang lentik itu mulai menyibak belahan pantat yang ada didepannya. Setelah menoleh sesaat kearahku sambil memainkan lidahnya, sejurus kemudian lidah itu telah bergerilya menggelitik liang anus komedian asal kota Solo itu.
“Adaaaawwwww…..Asiknyaaaa…Silitku dijilatin Sophia latjuba mek….Aaaaggghhhh….Sedeeeeepppp…” racaunya. Posisi kepalanya yang menghadap kesamping membuatku dapat melihat ekspresi Dono yang memejamkan mata sambil lidahnya bergerak keluar masuk dengan cepat.
Tak lama setelah itu giliran Jojon yang mendapatkan bagiannya, begitupun Ateng yang mendapatkan jatah terakhir.
Puas melakukan aksi Rim-job pada ketiga komedian itu. Tubuhnya kini menungging direrumputan, dengan bokong menyembul kearahku. Benar seperti yang dikatakan Suzanna tadi. Cahaya sinar matahari memperjelas kita dalam menikmati keindahan lekuk-lekuk tubuh partner seks kita secara lebih detail. Hmm..pendapat itu mungkin berlaku bagi partner seks yang memang dianugerahi keindahan tubuh yang sempurna seperti Sophi ini. Tapi kurang tepat bila partner seks kita penuh dengan kekurangan. Sinar matahari ditempat terbuka seperti ini bukankah justru malah memperjelas kekurangannya. Untunglah yang sekarang menjadi objek pandanganku adalah Sophi yang selama ini kukenal adalah wanita yang betubuh nyaris sempurna. Dan kini menjadi sempurna secara utuh, setelah penampilan pisiknya yang sekarang adalah wanita berumur 26 tahunan, bukan 45 tahun seperti yang selama ini kukenal.
Dalam posisi menunging seperti itu, bokongnya yang gempal dan bulat tampak semakin indah. Kulitnya yang putih memperjelas guratan warna hijau yang adalah jalur aliran darahnya. Baluran keringat yang membasahi memperindah tampilannya hingga tampak berkilat. Posisinya yang seperti itu membuat anusnya separuh membuka. Memperlihatkan dinding-dindingnya yang berwarna merah jambu. Pemandangan seperti itu sebenarnya sudah sering kulihat darinya, tapi tidak ditempat terbuka seperti sekarang ini. Sehingga jakunku harus bergerak beberapa kali karna menelan ludah.
“Ayo tuan-tuan…Silahkan hajar dari belakang..” tantang Sophi, dan seperti biasa, saat berbicara matanya menatap kearahku.
“Oke, saya dulu…saya dulu…” Dono yang posisinya kebetulan lebih dekatlah yang mendapat kesempatan pertama.
“Saya masukin kesilitnya aja lah, memeknya dah longgar banget..***k terasa…” ujar Dono, seraya menancapkan batang penisnya kedalam anus Sophi.
“Nah, kalo ini agak mendingan nih…Masih ada peret-peretnya dekit lah….Mantaaaapppp…” oceh Dono sambil menggoyangkan bokongnya maju mundur.
Daging bokong Sophi yang gampal seperti terpantul-pantul seiring genjotan pinggul Dono. Yang membuat komedian itu gemas hingga sesekali menampar-nampar bongkahan daging montok itu. Tanda merah jambu tampak tercetak pada setiap tamparan di bokong putihnya, yang bagiku justru terlihat semakin menggemaskan.
Hingga beberapa saat kemudian tubuh si muka bemo itu mengejang, disertai dengan gerakan bokongnya yang semakin kuat menghentak-hentak.
“Aaaaaaaggghhhhhhhh…..Saya keluar nih…uuuuuggggghhhhhh….Segeeeeeeeerrrrr…..” gumamnya, sambil kedua tangannya meremas buah pantat Sophi.
Goyangan yang tadinya konstan, kini mulai tersensat-sendat. Bahkan sesekali ditahan dengan tanpa gerakan. Hingga akhirnya tubuh itu terdiam. Dan dengan malas batang penisnya itu dicabut. Lalu tumbang. Duduk berselonjor direrumputan dengan nafas yang terengah-engah.
Kulihat tetesan sperma mengalir dari sela-sela anus Sophi, namun tak lama berselang kembali liang itu tersumbat oleh batang penis yang lain, kali ini milik Jojon.
Sama seperti Dono, personil Jayakarta grup itu juga mengAnal Sophi. Liang anus yang sebelumnya telah disirami air mani Dono menimbulkan suara berkecipakan yang riuh saat Jojon menghujamkan batang penisnya. Broottt…brroott..jrrooott..prroootttt… Persis bagaikan suara langkah sepatu yang terisi air. Ditambah pula oleh racauan Sophi yang tak kalah riuhnya. Hingga semakin bersemangat saja sikumis chaplin itu dengan aksinya.
Tiba-tiba Jojon mencabut penisnya, lalu dengan tergopoh-gopoh mengarahkannya kewajah Sophi.
“Aaaaaagggghhhhhhhh….Makan nih peju guaaaaa…..Adaaaaaahhhhh….” pekik Jojon, sambil tangan kanannya memegangi batang penisnya.
Crrroootttt….crrrooottt…crrrooottttt… Cairan kental menyembur mengenai wajah Sophi. Hingga memenuhi pipi, dagu dan bibirnya.
Setelah dirasa tak ada lagi tetesan sperma yang keluar dari penisnya. Komedian itu menghampiri tubuh Sophi yang masih menungging, seraya membantunya untuk duduk.
“Hoiii mas.. Liat nih muka mantan cewek lu… Tambah seksi aja kalo belepetan peju kayak gini…he…he…he…” ujar Jojon, sambil kedua tangannya memegang kepala Sophi dengan maksud menunjukan wajah penuh sperma itu kepadaku.
“Mama Ateng juga mau dong meju’in muka mama…Ayo isepin titit Ateng ma..” pinta Ateng, sambil berdiri mengacungkan penis mungilnya kewajah sophi.
“Wah, anak mama mau peju’in muka mama juga ya… Ayo sini sayang, mama isepin….mmmm…slloopp..sllooppp…slllyyyuuurrrfff…” penis yang hanya berukuran sebesar ibu jari itu dengan mudahnya dicaplok kedalam mulut Sophi. Saking kecilnya bukan cuma batamg penisnya saja yang dikulum. Bahkan buah pelirnyapun ikut masuk kedalam mulut Sophi.
“Aaaaaaggghhhh…Aduh ma…Ateng mau keluar maaa….Aaaaggghhhh…” pekik Ateng, yang hanya butuh tak sampai dua menit Sophi mengoralnya.
Namun sepertinya mulut Sophi tetap terus mengukumnya. Sehingga Ateng tak sempat mengikuti jejak Jojon yang menumpahkan spermanya diwajah Sophi.
Selang beberapa saat dilepaskannya penis itu dari mulutnya. Dan saat itu pula tubuh kuntet Ateng ambruk, telentang diatas rerumputan.
Kini Sophi menatap kearahku, lalu mulutnya membuka perlahan. Hmmm..sepertinya dia sengaja ingin mempertunjukan isi didalam mulutnya itu. Ya, aku dapat melihat jelas saat mulut itu terbuka lebar. Cairan kental berwarna keputihan tampak memenuhi rongga mulutnya, lalu…glekkk…mulut itu kembali kosong. Isi didalamnya telah turun kedalam lambungnya. Namun itu belum selesai. Kini jari telunjuknya mengusap sperma disekujur wajahnya, lalu digiring kearah mulutnya, untuk kemudian dikenyam-kenyam beberapa saat, dan kembali ditelan. Terakhir dikuluminya jari telunjuknya itu hingga jari-jemarinya itu bersih dari cairan kental.
Hmmm…sebuah aksi yang binal disuguhkan oleh Sophi. Bisa jadi itu memang sebuah obsesinya. Yaitu digangbang oleh tiga lelaki dihadapanku. Dan itu bisa diekspresikannya disini.
“Sepertinya kamu mulai bisa menerima mantan pacar kamu disetubuhi orang lain kan…?” tanya Suzanna, dan Ah, tangannya mulai mengusap pelan tonjolan diselangkanganku.
“Yah, bukankah disini memang seharusnya begitu…” jawabku. Tangannya masih beraksi, kali ini jari telunjuknya bergerak memutar tepat pada batang penisku. Walau masih dibalut oleh celana jeans. Aksinya itu cukup efektif dalam membakar birahiku. Ditambah pula dengan gerak lidahnya yang beberapa kali menjilati bibir atasnya.
“Apa kamu gak kepingin memberi show tandingan pada mantan pacarmu itu?” tanyanya, sambil melirik kearah Sophi yang saat itu duduk bersantai diatas rerumputan bersama ketiga pelawak tadi.
Aku jawab hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya itu. Sementara Nike yang disamping kiriku juga tak tinggal diam. Jari tangannya mulai menyusuri sekujur leherku, yang membuatku menggelinjang sesaat.
“Ngesek ditempat terbuka seperti ini bikin kecanduan lho ril, beneran deh…” kali ini Nike yang membuka suara, seraya tangan yang sebelumnya menggerayangi leher kini beralih kecelana jeansku. Melepas kancingnya lalu menarik resleting.
“Wah, rupanya dik Nike ini sukanya to the point aja ya..” sindir Suzanna, kepada Nike yang saat itu tengah menarik lepas celana jeansku.
“Abis, dari tadi aku penasaran banget sama temen baru kita yang cool ini. Kepingin tau aja ukuran onderdilnya… Ternyata lumayan juga” ujar Nike, sambil tangan kanannya mengocok-ngocok batang penisku. Aku hanya pasrah, dan mengikuti saja irama yang kini tengah mereka bangun sambil menikmati sentuhan tangan lembut Nike yang mengonani penisku. Tapi begitu kepalanya menunduk dan bersiap mengoral bazokaku. Tangan Suzanna justru menahan kepalanya.
“Eeeiiitt…Maaf ya nona manis.. Seperti kebiasaan disini, yang muda harus mendahulukan yang lebih tua..” ujar Suzanna, yang membuat Nike sedikit merengut, namun akhirnya harus rela menunda niatnya itu.
“Iya deh, mbak Susan emang paling getol nih sama barang baru…” sindir Nike, sambil kembali menyandarkan punggungnya dikursi taman.
Kini Suzanna berdiri dihadapanku, seraya melepaskan seluruh pakaian yang melekat ditubuhnya, kecuali sepatu bootnya yang masih menghiasi kakinya.
“Seperti yang sudah aku katakan tadi. Bercinta dialam terbuka seperti ini lebih bisa menikmati keindahan tubuh partner kita…” ujarnya, sambil bertolak pinggang, seraya tubuh itu berputar pelan dengan maksud menunjukan keindahannya padaku.
Untuk tubuh telanjang yang ada dihadapanku ini memang tak kusangsikan lagi keindahan dan pesonanya. Sebagai seorang wanita bisa dikatakan dia betul-betul sempurna. Tak heran jika di era 70 dan 80an silam dirinya mendapatkan predikat bom sex dalam perfilman tanah air. Salah satu artis yang menjadi objek khayalan mesum para lelaki pada masa itu. Ukuran buah dadanya cukup besar, padat dan sekal, dengan puting merah jambu. Darah Belanda yang mengalir pada dirinya terwakili oleh warna kulitnya yang putih mulus tanpa cacat. Lekukan pinggulnya begitu indah, dengan bokongnya yang menyembul. Pada selangkangannya dihiasi bulu-bulu kemaluan yang tertata rapi alami. Sayangnya dalam posisinya yang berdiri seperti itu, aku hanya bisa melihat garis vertikal pada belahan vaginanya. Ah, seandainya kakinya itu sedikit mengangkang, pasti aku akan melihat lebih jelas jeroan didalamnya. Dan seperti yang dikatakannya tadi, dialam terbuka seperti ini keindahan didalam liang vaginanya itu pasti akan terlihat lebih ditail.
Kini dia duduk berlutut dihadapanku. Tangannya mulai membelai-belai lembut batang penisku. Dan, Aaagghhhh…benda lunak nan basah kurasakan menggelitik batang jakarku. Ya, lidahnya dengan lincah menjilati sekujur jakarku. Dan sejurus kemudian separuh bagiannya hilang tertelan didalam mulutnya. Mmmm…kulumannya sungguh nikmat. Sepertinya dia telah begitu piawai mengenali titik-titik nikmat lawan jenisnya. Kepalanya mulai bergerak turun naik dengan tatapan tetap mengarah kewajahku.
Saatku mendesah nikmat, masih sempat kulihat Sophi yang duduk direrumputan memperhatikan diriku. Kulihat ekspresinya hanya tersenyum. Entah apa arti senyumnya itu.
Nike yang berada disampingku mulai kembali aktif. Lidahnya menyapu disekujur leherku, lalu merambat kearah tengkuk, hingga telingaku juga tak luput dari jilatannya. Bahkan kini ujung lidahnya itu merangsak hingga bagian dalam telingaku. Gelitikannya membuat aku menggelinjang geli. Ah, ini sih namanya geli atas bawah.
“Zzzzzzzzzzzzz….Aaaagggghhhhh…” desahku, sambil tanganku mulai meremasi rambut Suzanna yang bergelombang.
Ah, kini biji testisku mulai dilumatnya. Dikulum-kulum beberapa saat, lalu ditarik dengan mulutnya dan dilepaskan.
Beberapa saat kemudian dia menyudahi aksi oralnya. Lalu kedua tangannya memegang buah dadanya sendiri sambil menatapku, seolah tengah memamerkan padaku keindahan gunung kembarnya itu. Sejurus kemudian, didekatkan belahan dadanya itu kearah penisku. Woooww, ternyata batang penisku dijepit oleh kedua gunung itu. Lalu tubuhnya bergerak turun naik seperti orang tengah berdisco. Sesekali dari mulutnya sengaja meneteskan ludah kesela-sela payudaranya atau pada penisku. Sepertinya sengaja dilakukannya untuk memberikan pelumasan agar gerakannya bisa lebih leluasa.
“Zzzzzzz…. Aaaaaagggggghhhhh….Nikmat mbaaakkk…” desahku, namun desahanku tak berlangsung lama, karena bibir Nike justru kini telah menyumbat mulutku hingga aku tak bisa lagi untuk mendesah. Kecuali hanya melenguh tertahan sambil melayani gerakan lidahnya yang bergerak-gerak liar didalam rongga mulutku. Hembusan nafasnya yang hangat begitu terasa, yang menandakan bahwa dirinya kini tengah dibakar birahi.
Beberapa saat kemudian Nike melepaskan pagutannya, seraya berdiri lalu melepaskan T- Shirt sekaligus branya, begitu pula dengan celana dalamnya. Sehingga hanya menyisakan rok mininya serta sepatu kets olah raganya.
Woooww..tak kalah dengan Suzanna, tubuh gadis ini juga begitu indah, walaupun ukuran payudaranya tak sebesar Suzanna, tapi bentuknya cukup menggemaskan. Begitu pula dengan bentuk tubuhnya yang ideal untuk seorang ramaja, ramping dan atletis. Apakah mungkin karna kebiasaannya jogging itu. Warna kulitnya kuning langsat, khas wanita pasundan.
Sejurus kemudian dia telah kembali duduk disamping kiriku, lalu menyodorkan buah dadanya pada wajahku. Tentu saja aku langsung menyambutnya dengan mengemut puting susunya secara bergantian.
Belum satu menit aku menikmati payudara Nike, tiba-tiba Suzanna menghentikan aksinya. Lalu berdiri dengan posisi membelakangiku, seraya menundukan tubuhnya dengan kedua tangan bertumpu pada lututnya. Tentu saja hal itu membuat bokongnya menyembul menantang kearahku. Woow, sebuah pemandangan yang benar-benar menantang. Dari sini aku bisa menyaksikan lipatan vaginanya diantara kedua paha yang menjepit. Dan tentunya juga sun-holenya yang mengerucut.
“Ayo dik..! Aku juga ingin merasakan sentuhan lidahmu …” ujarnya, dengan nada yang memohon.
Tanpa pikir panjang lagi, terpaksa aku harus rela melupakan dulu buah dada Nike yang masih kuemut. Lalu mengalihkan perhatianku pada bongkahan benda montok didepanku.
“Maaf ya teh..” maafku, pada Nike yang tampak sedikit merengut karna kecewa.
Kini kedua tanganku mulai meremasi buah pantat Suzanna. Kupandangi sejenak keindahannya, lalu lidahku mulai bergerak lincah menggelitik bibir vaginanya. Kusibak dengan kedua ibu jariku belahannya. Woooww…keratan daging lembut berwarna kemerahan tampak menyeruak, tampak licin berkilat oleh cairan birahi.
Slaapp..slaapp..srllyyuufff…lidahku mulai menjilati hingga bagian dalamnya, terus merangsak dan mencari-cari. Sesekali kuseruput gemas cairan asin didalamnya.
“Aaaagggggghhhhhhh…..terus sayang….mmmmmmm…uuuuggghhhh….hugghhh…aahhhh…” gumamnya, sambil tangan kanannya meremasi buah dadanya sendiri.
Beberapa saat kemudian perhatianku tertuju pada bagian lain yang lebih keatas. Pada kerutan garis-garis yang memutar, yang pada masing-masing ujungnya bertemu pada satu titik pusat. Pada titik pusatnya itulah kini ujung lidahku menggelitik.
“Uuuuggghhhhh….mmmmm….iya..ooogghhhh… Kamu jilatin juga lubang anusku ya… Aagghh..kamu me..mang pin…ter. uuugghhhh…” racaunya, yang sesekali wajahnya itu menengok kearahku.
Liang anus itu tampak berkedut-kedut selama lidahku menyentuhnya. Yang bagiku itu justru terlihat menggemaskan.
Kini Nike yang berada disampingku kembali sibuk. Sambil menunduk dia mulai mengoral batang penisku. Namun sepertinya itu tak akan berlangsung lama
“Udah dong…. Aku gak tahan nih…. Ayo langsung masukin dik…Hantam aku dari belakang…Cepeeettt…!” mohon Suzanna, sambil kedua tangannya menyibakkan bibir vaginanya.
“Maaf lagi ya teh…muhuuun..” kembali aku harus meminta maaf pada Nike karena harus mengusik kegiatannya.
Dan seperti tadi, wajahnya merengut, namun tetap dihentikannya aksi oralnya itu, dan kembali duduk bersandar dikursi taman.
Kini aku berdiri dibelakang Suzanna yang berdiri menunging. Sleepp…sekali dorong batang penisku telah amblas menembus liang vaginanya, yang dibarengi oleh desahan lembutnya.
“Zzzzzzzzz….Aaaahhhhhhhh….” desahnya, walau posisinya membelakangiku, namun aku masih bisa melihat bagaimana matanya terpejam sambil menggigit bibir bagian bawahnya.
Pinggulku mulai kugerakan maju mundur, membombardir liang vaginanya yang hangat dan legit. Sementara dihadapanku dengan santainya Sophi menonton aksiku sambil berselonjor dirumput taman.
Seperti yang dilakukan oleh Sophi padaku tadi, akupun menatap wajahnya saat mengekspresikan rasa nikmat yang kini tengah kurasakan. Ya, kini dia dapat melihat bagaimana aku mendesah sambil membuka mulutku dengan mataku yang separuh terpejam. Biar kutunjukan padanya betapa aku begitu menikmati vagina aktris horror ini. Yang tentunya aktris yang lebih diperhitungkan didunia peran tanah air, ketimbang aktris kelas ecek-ecek seperti dirinya. Ah, kenapa aku jadi sinis begitu. Apakah itu pertanda bahwa tadi aku memang cemburu padanya. Sebaiknya aku kubur rasa itu. Benar juga seperti yang dikatakan Suzanna tadi. Rasa cinta yang difokuskan hanya untuk satu orang cenderung membuat kita cemburu dan akhirnya saling menyakiti.
Yang penting saat ini aku tengah menikmati tubuh selebritis legendaris ini, dan memang nikmat, dan rasa nikmat itu sudah sewajarnya aku ekspresikan seperti ini. Ada atau tiada Sophi dihadapanku, aku tetap akan bereaksi seperti ini.
Plok…plok…plok..plok…brott..broott..jroottt… Suara riuh yang dihasilkan dari aksi yang kulakukan. Suara yang terdengar erotis bagiku, sehingga semakin bersemangat aku menggenjot bokongku.
Sedang asik aku menyetubuhinya sambil berdiri, tiba-tiba dia menarik bokongnya kedepan. Pluupp…batang penisku yang sedari tadi bersarang diliang vaginanya kini harus terlepas. Kulihat sekujur batang penisku tampak berkilat oleh baluran air birahi dari dalam vaginanya.
“Kamu duduk dik..” ujarnya, sambil mendorong tubuhku hingga jatuh terduduk dikursi taman.
Seperti menerkam, tiba-tiba tubuhnya telah naik diatas pangkuanku. Tangan kanannya memegang batang penisku, lalu pantatnya dinaikan sedikit. Untuk beberapa saat sepertinya dia tengah mengarahkan ujung penisku pada posisi yang tepat. Blesss…setelah dirasakan pas, bokongnya kembali turun kebawah, dan sudah dengan batang penis tertanam didalam vaginanya.
Dengan kedua tangannya berpegangan pada sandaran kursi dibelakangku, tubuhnya mulai bergerak turun naik. Kuremas dengan kedua tanganku bokong yang bergerak naik turun itu.
Buah dadanya yang besar ikut bergoyang-goyang seiring gerakan tubuhnya. Yang membuatku terpancing untuk mengulumi puting susunya. Masih terlihat sisa-sisa air ludah yang menempel dipayudaranya, air ludah yang tadi digunakannya sebagai pelumasan saat menjepit penisku, kini justru ikut termakan olehku.
“Mmmmmmm…uuuuggghhhhh…..iya terus…emut tetekku dik….emut…uuuuggghhhhhh…..” gumamnya, sambil terus memompakan bokongnya. Peluh mulai membasahi tubuhnya, beberapa malah menetesi wajahku.
Disebelah kiriku, Nike telah menyingkap rok mininya, lalu memainkan sendiri liang vaginanya dengan jari tangannya, sambil matanya terpejam dan mulut sedikit terbuka. “Awas kau, tunggu giliranmu..” ancamku dalam hati, kepada Nike yang terlihat sangat sensual dengan ekspresinya yang seperti itu.
Beberapa menit setelah itu, tubuh Suzanna seperti mengejang, diikuti dengan mulutnya yang memagut bibirku dengan buas hingga aku sulit bernafas. Goyangan bokongnya kurasakan begitu kasar sehingga batang penisku seperti tertarik-tarik dan agak ngilu.
“Mmmmmmm…fffffffhhhhhhh….Mmmhhhhhhhhh……” gumamnya sambil tetap melumat bibirku.
“Aaaaaaggggghhhhhhhhhh……nikmaaaaaaatttttttt…..” pekiknya, setelah melepaskan pagutannya dari mulutku.
Akhirnya goyangannya terhenti, seiring tuntasnya puncak kenikmatan yang dirasakan. Namun dirinya tetap berada dipangkuanku dengan tatapan sayu serta senyum kepuasan menghias bibirnya.
“Cepetan… Sekarang giliran saya yang ditoblos, atuuhhh….” pinta Nike, yang masih duduk mengangkang disampingku sambil menepuk-nepuk bibir vaginanya sendiri.
Segera kuangkat tubuh Suzanna, dan kududukan diatas kursi. Kini batang penisku menuju sasaran baru, yaitu liang vagina Nike ardilla. Yang sedari tadi sudah gatal minta dirojok oleh batang penisku.
Jleeeppp….Tanpa perlu basa-basi lagi, langsung kutoblos liang vaginanya yang mengangkang.
“Langsung genjot yang kenceng… Pokoknya gak pake’ pelan-pelan…” pintanya, sambil kedua tangannya memeluk tubuhku, sedangkan kedua kakinya yang masih mengenakan sepatu kets menjepit pinggulku.
Mengikuti apa yang dipintanya, pinggulku bergerak dengan kecepatan penuh.
” Hegghhhh…..hegghh…hegghhh…..ewek..terus..yang.. kuat. mang….hegghh..hegghh..heghhh…” suaranya terdengar terengah-engah saking kuatnya gempuran yang kuberikan. Bahkan sesekali kepalanya itu harus terbentur-bentur sandaran kursi dibelakangnya.
Wajah imutnya membuatku gemas, sehingga menggodaku untuk melumat bibir tipisnya. Mmmmmmhh…..kukulum lidahnya itu dengan rakus, dan tanpa jijik kuhirup air liurnya. Ternyata diapun membalas aksiku dengan tak kalah hebohnya. Lidahnya justru merangsak masuk menggelitik kesekujur dinding mulutku, kemudian mengulum lembut lidahku untuk beberapa saat.
Beberapa menit kemudian dirinya memekik keras. Rangkulan tangannya dipunggungku semakin erat. Bahkan kuku-kukunya itu nyaris mencakar punggungku.
“Aaaaaaaaaagggghhhhh…..Nikmaattt….Eeeuuuuuuyyyyyy….” pekiknya. Kurasakan liang vaginanya banjir oleh cairan nikmatnya, sehingga terasa becek saat penisku berpenetrasi. Dan menimbulkan bunyi kecipak yang riuh.
Tubuh yang sebelumnya memeluk erat tubuhku dengan begitu ketat bagaikan ular sanca yang membelit mangsanya, kini telah menggelepar lemas bagai tak bertenaga. Genjotanku kini praktis tanpa perlawanan, seperti menyetubuhi gedebong pisang saja layaknya. Sehingga aku putuskan untuk beralih pada wanita disampingku yang sepertinya telah mulai segar kembali.
“Mbak Susan tolong nungging dong…!” pintaku pada Suzanna. Yang segera diturutinya.
Tubuhnya kini berlutut diatas kursi taman dengan menghadap kebelakang. Sedang kedua tangannya berpegangan pada sandaran kursi. Posisinya yang seperti itu praktis membuat bokongnya menungging kearahku.
Kini batang penisku telah kembali mendapat sasarannya, namun kali ini bukan liang vaginanya yang aku jadikan target. Melainkan lubang yang berada sedikit diatasnya.
“Ooww…ooww..ooww… Ternyata nakal juga ya…Suka main belakang…” ujarnya, sambil mengacung-ngacungkan jari telunjuknya kearahku. Seperti otang tua yang tengah memergoki kenakalan anaknya.
“Dari tadi saya penasaran , mau ngerasain juga belakangnya Mbak Susan.. Gak papa kan mbak?”
“Ya, tentu gak papa dong… Kamu boleh lakuin apa aja pada tubuhku, anak nakal….” ujarnya, seraya mengerlingkan sebelah matanya dengan genit.
Sebuah sinyal positif darinya, sehingga langsung kutancapkan batang penisku pada liang anusnya.
Agghhhh…. Otot anusnya kurasakan bagai menjepit erat batang penisku, sehingga aku hanya dapat menggenjot pinggulku dengan tempo yang sedang.
Sekitar tiga menit aku menganal Suzannna, Nike yang sebelumnya hanya terkapar malas, kini sepertinya telah kembali segar.
“Wah, sudah memasuki sesi main belakang nih..” godanya, yang kembali duduk sambil bersandar.
“Teteh juga mau ditusuk belakangnya?” tawarku, sekedar menanggapi ocehannya.
“Iiihhh..***k mau ah, takuuuuttt…” jawabnya dengan gaya yang sok imut.
Melihat gayanya itu, justru membuat aku terpancing, seraya kuberanjak dari tubuh Suzanna, dan beralih kepadanya.
“Sini…Biar kamu rasain ditoblos belakangnya…” ujarku, sambil membalikan tubuhnya agar berposisi seperti Suzanna.
Setelah posisinya menungging, kusingkap keatas rok mini yang masih menutupi bokongnya. Sehingga kini aku bisa menyaksikan bokong imutnya menyembul menantang kearahku.
Kusibak liang anusnya dengan kedua ibu jariku. Hmmm…sepertinya ukurannya lebih imut ketimbang milik Suzanna, sehingga aku perlu memberikan sedikit pelumasan dengan air liurku.
Kini ujung penisku telah betada tepat dimuka liang duburnya, dan…blessss..
“Aaaaaaaawwwwwww……Sakiiit…Tau…” rintihnya, dengan wajah menengok kebelakang menatap padaku.
Namun rintihannya itu tetap tak kugubris. Bahkan pinggulku mulai bergerak maju mundur walau dengan kecepatan lambat.
Uuuhhh… Memang beda, lubang si teteh ini benar-benar sempit, jepitan otot-otot anusnya serasa menjepit penisku dengan ketat.
“Aaaggggghhhhhh….lubang burit si Teteh memang legit pisan euuuyyyyy….” pujiku, sambil menikmati sensasi jepitan anusnya.
“Iyaaaaa….ta…pi…sakiiittt…aaadah…dah..dahhhhh…uuuhhhhh…” rintihnya, sambil sesekali menggigit bibir bawahnya.
Sepertinya aku semakin menikmati sensasi ini, sehingga dengan sendirinya pinggulku juga semakin lebih cepat bergerak.
“Aaawww…aawww…aawww….pelan-pelan, gelo’ sia…aawwww…” pekik Nike, sambil menepuk-nepuk pahaku. Namun aku tak mempedulikannya, karena aku merasakan akan segera sampai pada puncak kenikmatanku.
Dan akhirnya..
“Aaaaaaaaaaaggggghhhhhhh….. Aku keluar teh Nike……aaaaaaaggggghhhhhh….” erangku, sambil membombardir liang anusnya dengan semakin gencar.
Croootttt…croootttt…croootttt… Semburan seperma yang menyirami liang pelapasan gadis itu yang akhirnya menyudahi permainanku untuk pagi ini.
Kucabut batang penisku dari dalam liang anusnya, seraya kuhempaskan tubuhku dikursi taman, diantara dua orang artis legendaris tanah air, yang baru saja aku nikmati tubuhnya.
“Wuuuuuuu…..Good job…Good job….Mantaaaaap…” sorak Sophi, sambil bertepuk tangan. Sebuah aplous yang aku balas hanya dengan senyum. Sepertinya aku memang tak perlu membenci dia. Seperti yang dikatakan Suzanna, aku akan tetap mencintainya. Seperti halnya aku akan mencintai semua penghuni tempat ini, dan tentunya dengan kadar cinta yang sama.
Malam telah datang, setelah siang tadi aku touring menyaksikan kegiatan shooting pembuatan film, kini saatnya aku menikmati pergelaran musik di alun-alun desa.
Sebuah panggung cukup mewah telah terbangun, dengan penataan lampunya yang artistik. Ratusan kursi berjajar rapi didepannya yang diperuntukan bagi para penonton. Diantara ratusan penonton disini, beberapa memang cukup familier bagiku. Dikursi depanku tampak Sophi tengah asik berbincang. Hmm..sepertinya dia tengah reuni dengan teman lama seangkatannya, aku kenal dengan sosoknya. Bintang film idola remaja pada era 80 dan 90an. Pemeran film Lupus yang cukup fenomenal itu. Ya, lelaki itu adalah Ryan Hidayat. Yang tewas pada usianya yang masih terbilang muda, diduga akibat overdosis..
Sedang disampingku, seorang wanita yang kutemui di Kafe tadi pagi, dialah Alda, dan kebetulan aku bertemu lagi dengannya disini. Mmmm…katanya sih, setelah acara ini rampung dia akan mampir kerumahku sekedar bersilaturahmi.
“Tiap dalam berapa hari ada pertunjukan musik seperti ini?” tanyaku pada Alda.
“Hampir tiap malam” jawabnya.
“Hampir tiap malam? Dengan panggung semegah ini?”
“Iya, panggung kami selalu seperti ini.. Esok atau lusa, kamu pasti juga akan tampil disitu…”
Woooww… Hampir setiap malam mereka mengadakan pertunjukan musik seperti ini. Dan tentunya musik yang dimainkan adalah musik yang diciptakan secara bebas dari hati dan jiwa simusisi itu. Bukan musik yang diciptakan atas pertimbangan komersial dan selera pasar. Fuuuhh.. Jiwa seniku sepertinya mulai tak sabar untuk segera ambil bagian dalam ajang ini.
Tiba-tiba dari atas panggung muncul seorang pria dengan pakaian jas safari. Yang disambut oleh tepuk tangan para penonton.
“Selamat malam para pemirsa semua.. Berjumpa lagi dengan saya Edy Sud, dalam acara kesayangan kita “Aneka ria Safari” yang pada malam hari ini akan menampilkan bintang-bintang yang tidak asing lagi, diantaranya: Diana Nasution, Mbah Surip, ARafik, Poppy mercuri, Franky Sahilatua, Megi Z, Rinto Harahap, Gito Rollies, Broery pesolima, Chrisye, Pance pondaag… Dan, tentunya kita juga akan dihibur oleh Jojon,UU, dan Prapto yang tergabung dalam grup lawak Jayakarta grup, dan yang pasti, mereka akan mengocok perut kita… Dan seperti biasa, sebagai tembang pembuka akan dibawakan oleh seluruh artis yang akan tampil pada malam hari ini, inilah dia tembang…Ekspesi…”
Bersamaan dengan itu, dari sebelah kiri dan kanan pangung para musisi yang yang disebutkan namanya tadi muncul secara bersamaan. Dan intro musik telah berkumandang, diikuti dengan permainan lampu yang menakjubkan dengan warnanya yang berfariasi Dan, lagupun mengalun.
Menanti terkuak
Ingin mengungkapkan
Dan mencurahkan
Berbagai rasa dan kesan
Tentang kehidupan
Begitu sarat yang ada di benak
Menunggu tersirat
Ada segala cara
Dan berbagai jalan
Untuk mewujudkan
Hasrat di hati khayalan
Kedalam cipta dan seni
Mari berkarya
Dalam puisi dan lagu
Musik dan tari
Layar perak panggung gerak
Adalah tempat kita
Insan dunia
Ekspresikan diri
*********
“Ril….Bangun.. Eh, bangun dong sayang….koq kebalasan gitu sih…” kurasakan sesuatu mengguncang-guncang pundakku. Ah, ternyata Sophi. Dan kuperhatikan sekelilingku. Ya, aku masih berada didalam mobil. Tapi mengapa suara lagu itu masih terdengar? Ah, bukankah itu hanya suara dari radio mobil, yang saat itu tengah memutar tembang Ekspresi dari Titiek dj.
Untuk beberapa saat tatapanku terpusat pada Sophi, yang dibalas dengan mengernyitkan keningnya yang mulai terbentuk beberapa kerutan garis itu. Bukan lagi Sophi berumur 25 tahun dengan kulit wajahnya yang masih kencang dan segar.
“Kenapa kayak orang kebingungan gitu sih…Tadi katanya minggir sebentar cuma mau ngerokok, eh malah kebablasan tidur hampir satu jam… Sekarang dah bangun malah kayak orang linglung gitu..” Ah, ternyata peristiwa yang aku alami dinegeri antah berantah tadi memang hanyalah sekedar mimpi. Sudah kuduga.
Ya, aku mulai ingat. Tadi memang aku menghentikan mobilku ditepian jalan, sekedar untuk mengecek bagian depannya setelah aku yakin seperti membentur sesuatu. Namun benar seperti yang dikatakan Sophi, bahwa mobil ini memang tak menyentuh apapun semenjak keluar dari Bandung. Apalagi menghantam sesuatu dengan keras seperti yang aku ungkapkan padanya. Dia bahkan sempat mencurigaiku tengah dibawah pengaruh narkoba. Sial, aku bukanlah jenis musisi yang bergantung dengan benda haram itu. Tapi setelah aku melihat keluar memang tak terjadi apa-apa pada mobilku, bahkan sedikit gorespun tidak. Akhirnya kuputuskan untuk istirahat sejenak sambil menghabiskan sebatang rokok, dengan harapan pikiranku menjadi lebih jernih. Sepertinya saat istirahat itulah aku tertidur.
Kuteguk sedikit air mineral dari dalam botol kemasan, lalu kunyalakan mesin mobil.
“Ayolah, kalo gitu kita lanjut aja…” ucapku, mobilpun kembali meluncur menyusuri jalan raya yang pada kanan kirinya dipagari pembatas besi. Karena memang sepanjang jalan ini merupakan dataran tinggi yang dibawahnya adalah jurang.
Dari radio mobil, suara emas Titiek dj masih berkumandang dengan tembang ekspesinya. Aku hanya tersenyum bila mengingat mimpi konyolku tadi. Dimana musisi-musisi yang telah almarhum berkolaborasi membawakan lagu ini dalam satu panggung. Dan yang lebih konyol lagi saat aku meniduri Suzanna dan Nike ardilla.
Ah, Nike ardilla, gadis semuda itu harus tewas secara dramatis, bahkan saat itu usianya belum genap 20 tahun. Kecelakaan lalu lintas, itulah penyebabnya. Hmmm..aku baru ingat, lokasi kecelakaannya itu tak jauh dari sini, atau malah bisa jadi disekitar sini.
Sedang asik aku mengemudi sambil melamun, kulihat didepan jalan raya sesosok wanita muda tengah berdiri sambil tersenyum. Sosok wanita dengan mengenakan rok mini khas cheerleader, sedang kakinya mengenakan sepatu kets olah raga.
Sial, dengan kecepatan tinggi seperti ini tak mungkin aku dapat mengerem secara mendadak, Sedangkan jarak wanita itu hanya beberapa meter saja didepanku. Hanya wanita sinting yang berdiri ditengah jalan sambil tersenyum. Tapi sepertinya sosok itu tidak asing lagi bagiku. Apa aku tidak salah lihat..? Ya, itu Nike ardilla, gadis cantik yang kusetubuhi dalam mimpiku tadi.
Salah satu jalan adalah dengan membanting setir kesamping agar mobil ini tak sampai menghantam tubuhnya.
BRRAAAAAKKKK….! Sial ternyata mobilku malah menghantam besi pembatas. Untuk beberapa saat aku merasakan duniaku seperti berguling-guling. Suara benturan benda keras bercampur dengan suara jeritan histeris Sophi membuatku semakin panik, dan tak tau harus melakukan apa. Tiba-tiba gulingan mobil terhenti. Mungkin saat ini kami telah berada didasar jurang. Kulihat Sophi telah tak sadarkan diri, sepertinya dia pingsan. Segera aku bermaksud keluar dan menolong Sophi. Tapi terlambat, hanya sepersekian detik kudengar suara ledakan keras yang diikuti oleh kobaran api membakar mobil dan juga diriku. Kurasakan panas yang teramat sangat pada tubuhku, namun hanya teriak yang bisa aku lakukan.
“Heiii…. Bangun, koq teriak-teriak kayak gitu sih…? Kamu mimpi ya? Mimpi buruk?” kudengar suara lembut diantara guncangan pada lenganku.
“Di..dimana aku…? Dimana..? Si..siapa kamu… Kamu siapa?” tanyaku dengan panik kepada sosok telanjang disampigku.
“Aku Alda sayaaang… Tadi sehabis nonton pertunjukan musik, kitakan pulang bareng, lalu aku mampir kerumahmu….dan, mmm…begitu deh.. dan akhirnya bobo’ bareng disini…” paparnya, sambil tangan lembutnya mengusap-usap dadaku.
Kuperhatikan sekelilingku, ini bukan rumah sakit, dan sekujur tubuh telanjangku ini baik-baik saja, tak ada luka bakar, apalagi perban pembungkus yang menyerupai mumi. Yang kutempati sekarang ini adalah kamar tidur sederhana tapi cukup nyaman. Fuuhhh.. Aku menarik nafas panjang, dan pikirankupun kembali mulai tenang.
Ya, aku ingat sekarang, selesai pertunjukan musik tadi, Alda mampir kerumahku, dan malam itu pula kami bercinta hingga dini hari..
Dengan manja, kepalanya kini disandarkan miring diatas dadaku. Sedang tangan kanannya merangkul tubuhku. Seolah diriku ini adalah sosok yang telah memberikan kebahagian padanya.
Tinggal aku kini yang semakin bingung. Dan hati kecilkupun mulai bertanya. Sebenarnya bagian yang manakah dalam hidupku adalah sebuah mimpi. Yang sekarang inikah? Atau aku yang jatuh kedalam jurang bersama mobil dan pacarku itu? Hmmm… Bisa jadi sosok Ariel yang dikenal sebagai musisi fenomenal tanah air itu hanyalah sebuah mimpi dari tidurku belaka. Dan yang sekarang inilah kehidupanku yang sebenarnya.
Aku semakin pusing dengan teka-teki kehidupan ini. Ah, mengapa pula harus aku ambil pusing. Yang terpenting sekarang adalah nikmati saja hidup yang telah ada didepan mata, dan jalani semuanya dengan cinta. Seraya kukecup kening wanita muda didalam dekapanku ini. Sebuah kecupan yang membuatnya menggeliat manja dalam pejamnya.