Fantasi Pamer Istri
Iseng nulis cerita panas tentang fantasi sendiri hehe. Jangan dianggap serius, beberapa percakapan emang nyata, tapi banyak adegan yang cuma fiktif belaka. Prolog Namaku Reza, seorang pria berusia 28 tahun. Ini adalah kisahku yang memiliki kelainan fantasi pada istriku. Sebelumnya perkenalkan, istriku bernama Ifa, 28 tahun. Ia memiliki tinggi 165 cm dan tubuh yang membuat banyak lelaki menelan ludah saat memandangnya, terutama pada bagian dadanya yang besar berukuran 36 B. Aku selalu berfantasi ada pria lain yang meremas payudara besar itu, bahkan mengeluarkannya dari dalam sarang dan melahapnya, memainkan putingnya dengan sapuan lidah dan gigitan manja hingga membuatnya mendesah tak karuan. Namun, sampai saat ini itu semua hanyalah sekadar fantasi belaka. Aku hanya mampu memotret tubuh indahnya secara candid dan memamerkannya di forum. Bahkan beberapa rekan kerjaku juga sudah pernah melihat foto-foto candid sexy nya. Mereka pun berfantasi bisa menikmati payudara Ifa, hanya saja aku tak berani untuk mewujudkan fantasi tersebut. Pada suatu hari, tak sengaja Ifa memainkan ponselku dan menemukan banyak foto dirinya yang tergolong fulgar. “Mas, kamu kok fotoin aku kayak begini sih? Porno banget,” ucapnya. “Biarin lah, sama istri sendiri kok,” balasku berusaha biasa saja. “Kamu sebar ya?!” Aku memicing. “Masa foto istri sendiri disebar, ngawur! Itu buat koleksi pribadi aku kalo lagi jauh dari kamu, biar tetep tegang, Baby.” “Aku keliatan gendut tau, enggak suka,” ucapnya. Dalam hatiku berkata, ‘temen-temenku dan orang forum aja pada ngaceng liat kamu. Mereka pun berharap bisa menikmati tubuh kamu. Dasar enggak bersyukur!’ Ifa tergolong alim. Ia selalu mengenakan hijab sehari-hari, tetapi sesekali outfitnya tak mampu menyembunyikan monster yang bersemayam di dadanya. Sehari-hari kami berangkat kerja bersama-sama naik kereta api KRL tujuan Jakarta Kota. Hanya saja aku turun di Stasiun Manggarai, sementara istriku di Stasiun Mangga Besar. Ketika kereta sedang penuh, sesekali ku lihat payudara itu menempel dengan penumpang lain. Bisa ku taksir pria mana pun yang ketempelan pasti akan tegang sampai stasiun tujuannya, bahkan rela melewati stasiun tujuannya demi terus menempel dan menggesek-gesekkan sikutnya di payudara istriku. Pernah ku tanya padanya saat di ranjang. “Kamu kao di kereta risih enggak sih? Toket kamu kan gede, kadang aku liat nempel sama abang-abang.” “Ya risih sih, tapi mau gimana lagi? Kadang tanganku yang satu buat pegangan, yang satunya pegang hape. Kalo udah pegang hape dan kereta penuh, aku suka susah buat masukin ke dalem kantong, jadi ya udah deh.” “Pernah enggak sih pentil kamu tegang?” Ia terlihat malu-malu. “Baby, jawab dong. Pernah enggak?” tanyaku lagi. “Ya pernah sih gara-gara digesek-gesek. Pernah juga waktu keretanya ngerem, tangannya sengaja ngeremes. Pernah juga ada yang gemes nyubit dan pas kena pentilku waktu di momen-momen kereta goncang dan ngerem mendadak gitu,” jawab Ifa. “Terus kamu enggak teriak? Itu kan pelecehan,” ucapku. “Soalnya momen keretanya seolah enggak sengaja gitu, Baby. I’m sorry.” Aku mengelus rambutnya. “Enggak apa-apa, mau gimana lagi.” Mendengar ceritanya, burung ku tegang dan membayangkan ia digerayangi beberapa orang di kereta. Awal pembicaraan itulah yang menjadi kunci untuk membuka pintu yang selama ini tak bisa ku buka.
Bab 1 : Tantangan Iseng Aku lebih suka menghabiskan waku di rumah saat libur, sementara istriku adalah wanita yang berjiwa petualang. Pada hari itu aku sedang asik berbaring sambil memainkan mobil legend, hingga tiba-tiba istriku datang dan ikut berbaring di sampingku. “Mas, jalan yuk. Bosen nih.” “Ke mana sih? Capek ah, panas,” balasku. “Yang deket aja, babyyy. Kita makan siang di luar.” Aku menghela napas, lalu mengalah. “Ya udah, siap-siap sana. Kamu kan lama kalo siap-siap.” “Aku enggak pake BH ya? Mager,” ucapnya. Burung ku mendadak tegang, darah ku mendidih dan semangat ku langsung berkobar untuk keluar dari rumah. “Ya udah, terserah,” balasku. Aku bangkit untuk bersiap-siap. Ku lihat istriku hanya mengenakan kaos putih, celana panjang dan outer tak berkancing berwarna merah muda. Jilbab kaos menjadi pilihannya siang ini. Ku lirik pentilnya yang tercetak di kaos, pertanda ia benar-benar tak mengenakan BH. Aku langsung menerawang jauh, bersiap untuk menyuguhkan susu segar pada orang-orang di luar sana. Aku pergi ke sebuah kafe dan makan siang di sana bersama istriku. Namun, harapanku pupus mengingat kafe ini sepi dan tak banyak kejadian yang menjadi titik terang fantasiku. Kami singgah di sana cukup lama sampai sore menjemput. Setelah istriku bosan, kami pun memutuskan untuk pulang. Di perjalanan, aku menggoda istriku. “Beb, tempelin bantalnya dong. Pegel nih punggungku.” “Huu maunya!” Ia menempelkan payudaranya ke punggungku. Rasanya sangat kenyal dan empuk. Kebetulan kami melewati jalur alternatif yang sepi karena tempat kami tinggal tergolong macet. Jalur itu merupakan jalur satu arah yang kecil dan jarang dilewati, mengingat jalan di sana cukup rusak. Dari arah depan, terlihat motor yang dikendarai oleh pengendara ojek online. Ide nakal ku mulai timbul. Aku hanya ingin memuaskan sedikit kegilaanku untuk sekadar hasrat belaka sore ini. “Beb, nanti aku pura-pura nanya jalan ke bapak itu. Kamu pura-pura kuncir rambut ya. Berani enggak?” “Malu ah,” balasnya. “Sekali aja, ya,” ucapku memohon. “Di sini sepi beb, kalo dia nekat lebih gimana? Aku enggak pake BH loh ini. Kalo aku ngiket rambut, dadaku maju.” “Kasih ada pegang dikit,” ledekku diiringi kekehan tipis. “Enak aja! Enggak mau! Gila kamu, ya?” “Ya udah, cuma kasih liat dikit boleh ya?” “Kamu suami macem apa sih? Masa seneng liat istrinya pamer dada ke cowok lain sih?” “Body kamu tuh mantep, babyyy. Toh, kalo enggak mau juga enggak apa-apa,” ucapku. Ia diam sejenak tanpa respons balasan. Jarak antara kami dan bapak itu sudah tak jauh lagi. Wajah cemberut ku mulai muncul lantaran rencana ku gagal. “Ya udah, sebentar aja ya,” ucap istriku. Wajahku mendadak segar dengan senyum tipis. Aku menghampiri bapak itu dan berhenti agak di sebelahnya agar ia bisa melihat istriku. “Pak, maaf numpang tanya,” ucapku. Ifa mengangkat tangannya, tanda bahwa ia sudah mulai menjalankan rencana yang ku mau. Ia mengikat rambut hingga dadanya membusung. Kini pentil cokelatnya tercetak indah di kaos putih yang ia kenakan. “Ya, tanya apa?” tanya bapak itu. Aku menoleh ke belakang. “Beb, di mana alamatnya?” “Eh?” Istriku terlihat bingung. Ia tak menyangka bahwa aku akan melimpahkan pertanyaan untuk bapak itu padanya. Sontak bapak itu menatap ke arah istriku. Kini ia sudah masuk ke dalam jebakan, matanya turun hingga terpaku pada dada istriku. Ditatap pria lain membuat istriku salah tingkah, tebakan ku kali ini pentilnya tegang. Ku lihat dari kaca spion, istriku hanya diam seolah sedang berpikir. (Fantasy on) Aku membayangkan bapak itu nekat meremas dada istriku dan memainkan pentilnya dengan jari hingga Ifa mendesah-desah dan berkata. “Shhh … Puter, pak, ahhh.” “Puter apanya, neng?” tanya bapak itu. “Puting ku, pak,” jawab Ifa. Bapak itu memutar pentil Ifa tanpa kata sampai tangan istriku meraihnya dan memasukannya sendiri ke dalam baju agar bapak itu lebih leluasa memainkan pentilnya tanpa halangan. “Awww jangan ditarik pak,” pekik istriku. “Abis gemes hehe,” ucap bapak itu. “Bapak isep ya, Neng,” Ifa mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya. Tanpa aba-aba bapak itu mengangkat kaos istriku dan menghisap pentilnya dengan ganas, menyedot payudara Ifa seperti mesin pompa. Ifa menjambak kepalanya. “Enak, Pak, shhhhshhhh … terushh.” (Fantasy off) Namun, itu semua hanya imajinasiku semata. Hanya pikiran liar ku yang terbang jauh. “Arah ke Pasir Putih mana ya pak?” tanya istriku. Bapak itu memberitahu arah, lalu berlalu pergi. “Puas?” tanya istriku setelah kami melanjutkan perjalanan. Aku hanya tertawa. “Yuk kita pulang. Mau main sama kamu di kamar, punyaku udah tegang bayangin nenen kamu.” Ifa mencubit pinggangku. “Dasar cabul!”