FOURTH STORY : Kara, You’re Doing Good.
Pagi – pagi, teman sekerjaanku, Dega menghampiri mejaku. Sedikit terkantuk karena belum minum kopi. Ia langsung memberiku secangkir kopi.
“Tumben, ada apa nih ngasih gue kopi? Biasanya paling ngasih kerjaan ke gue.”
“Yaelah, begitu amat sama gue sih A’.”
“Kenapa lu? Kayaknya kusut banget.”
“Hape gue error yang BB. Pengen ganti hape guenya. Ke Android mungkin.”
“Oh, terus mau minta kasbon? Ngomong gih ma Lika.”
“Gue udah ngobrol ma Lika. Gue minta temenin A’ ke BCP ntar malem.”
“Pacar lu kemana?”
“Ah, A’. Gue minta tolong nih.”
“Iye, ngenes amat elu. Udah kerja mapan, kagak punya cowo.”
“Lu juga sama, A’. Gak punya cewe juga.”
“Pacaran yuk.”
“Ogah sama A’.”
“Kagak lah. Oiya, mau beli hape yang gimana?”
“Punya Lika kali ya?”
“Itu mah Iphone, neng. Ada uangnya?”
“Gak ada juga sih.”
“Hadeuh, si eneng ini. Punya uang berapa sih?”
“500ribu aja, A’. Tapi, gak yakin juga sih dapet pinjeman.”
“Ntar malem ke BCP barengan. Kalo ada yang masuk duitnya. Gue tambahin.”
“Serius, A’?”
“Iya, nanti bayarnya bulan depan, ya.”
“Huh, si Aa’ ni. Kirain gratis.”
“Makanya jadi pacar Aa’.”
“Mending gue bayar bulan depan.”
“Iye iye. Yaudah makasih kopinya. Coba aja kalo tiap pagi gini, kan enak guenya.”
“Ngarep Aa’nya.”
Dega berlalu pergi. Ah, ada – ada saja kelakuannya pikirku. Dan pekerjaanku berlanjut hingga sore hari.
Aku dan Dega sudah berada di BCP sejak petang tadi. Dasar cewek, kalau milih barang selalu lama. Aku mengikutinya berpindah – pindah konter hape.
“Ga, mau berapa konter lagi yang mau didatengin.”
“Gak tahu nih, A’.”
“Lah, gimana sih? Yang butuh hape kan lu bukan gue.”
“Bingung A’. Banyak modelnya.”
“Ntar juga gue tambahin. Tapi, gak banyak juga.”
Sebuah stand hape menarik perhatianku.
“Mau liat stan itu? Kayaknya smartfren cakep tuh.”
“Iya, yuk ah.”
Semoga saja ini menjadi tempat terakhir. Ia masih bertanya dan memilih hape yang sesuai. Aku sibuk melihat iklan elektronik yang tersedia disamping stan itu. Sebuah wajah yang menarik untuk kusimak. Rambut pendeknya menambah kesan seksi dan boy-ish. Aku mengetahui bintang iklan itu adalah Girindra Kara. Dulu, ia berambut panjang. Sekarang, gayanya minimalis. Sejak dia bermain di serial Masalembo, aku cukup mengaguminya. Ingin sekali bertemu dengannya melalui perkenalanku dengan Gita.
“A’ ngelamun aja. Punya 700 ribuan gak?”
“Aduh, neng banyak banget sih.”
“Lagi promo sih, A’.”
“Yaudah kalo gitu, aku mau juga lihat. Sekalian bayarnya juga.”
Dega membeli hape smartfren. Dan, aku senang melihat paras cantiknya di iklan itu.
Aku dan Dega berpisah. Wajah Kara terbayang di pikiran. Sial, pasti seperti ketika ada wanita yang menarik perhatianku. Hape sudah berada di tanganku. Nomor kontak Gita tersorot. Haruskah aku menggunakan Gita untuk berkenalan dengan Girindra Kara? Kebingungan, aku memencet tombol back dan melepaskan hape-ku.
Keesokan harinya, Dega dengan riang memamerkan hapenya. Aku tersenyum melihatnya seperti itu. Aku browsing tentang Kara di Internet. Tidak terlalu banyak info terbaru yang didapat. Hanya sekumpulan arsip – arsip berita dahulu. Mungkin, ia menghargai kehidupannya dengan tidak mengeksposenya secara berlebih.
Beberapa hari berlalu, dan aku tetap membayangkan parasnya di iklan seperti orang yang bodoh. Bodoh karena dia. Tidak mengapa jika harus seperti itu.
Menjadi kebiasaanku saat weekend tiba, kepalaku butuh refreshing dari penatnya kerja. Dengan motor, aku berkendara mengelilingi Jakarta. Melihat gedung bertingkat dan pusat perbelanjaan setidaknya menenangkanku. Aku berhenti di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Timur. Tidak terpikirku untuk membeli sesuatu. Aku berjalan menjelajah isi tempat tersebut. Seseorang merangkulku dari belakang. Aku berbalik badan, ia tersenyum kepadaku.
“Hai, Grha.”
“Gita! Eh ngapain kesini.”
“Harusnya aku yang nanyain itu ke kamu.”
“Aku sih jalan – jalan aja. Pusing di rumah aja. Kamu udah jarang ngehubungin aku juga.”
“Iya deh maaf. Lagi padet juga jadwal aku. Kebetulan nih ketemu, ikut yuk sama aku.”
Tangan kananku ditariknya mengikuti ia berjalan. Aku senang dapat bertemu dengannya. Ia berhenti di pojok sepi dan memberi isyarat tangan mengepal seperti orang batuk dan menekan lidahnya ke pipi.
“Lagi mens nih akunya. Tapi pengen….”
“Ih, gak bosen kamunya.”
“Gak dunk. Ke parkiran aja yuk. Di mobil.”
Singkatnya, kami menyelesaikan urusan nafsu di dalam mobil dan kembali masuk ke dalam pusat perbelanjaan.
“Kamu belum jawab aku, Git.”
“Jawab apa?”
“Cantik – cantik bloon ya. Ya kamu disini ngapain? Abis dipejuhin begini nih.”
“Biarin aja. Yang penting udah dipejuhin. Aku disini nemenin temen.”
“Temen ato temen?”
“Cemburu ya? Hayo ngaku.”
“Dikit sih. Eh, tadi itu mobilnya Girindra Kara?”
“Iya. Aku nemenin dia jadi Ikon iklan hape itu loh.”
“Smartfren?”
“Iya. Nungguin di backstage aja.”
Aku sampai di booth smartfren. Promosi dan penawaran ditumpah ruahkan di tempat ini. Bersama Gita, kami menunggu di backstage.
“Kamu manggung disini juga?”
“Tadi sih. Udah selesai.”
“Aku mau keliling booth boleh? Nanti aku balik loh.”
“Iya. Gapapa.”
Aku berkeliling booth. Alasanku sebenarnya adalah agar aku bisa melihat Kara secara langsung. Dia berada di sudut booth dengan kostum yang sama dengan iklannya. Sial, dia cantik banget. Kuperhatikan parasnya yang menawan. Berdiri disana dengan segala keindahannya. Baru beberapa aku tinggal, Gita menghubungiku. Ia tidak memiliki teman ngobrol. Ah, kenapa sih dia mengganggu saat seperti ini. Aku menemui dan menemaninya hingga Kara turun panggung. Gita menyambutnya dengan riang.
“Kara…”
“Gita…..”
“Gimana tadi?”
“Begitulah. Capek. Untung ada kamu disini. Kalo gak, huh…bakalan bete.”
“Iya deh iya. Oh iya, kenalin nih temen aku, dia yang pernah aku ceritain ke kamu.”
Aku dan Kara bertatap pandang. Kujulurkan tanganku untuk bersalaman.
“Grha….”
“Kara. Kamu yang pernah nolongin Gita ‘kan?”
“Iya, saya pernah menolongnya.”
“Gimana? Ganteng ‘kan?” Rayu Gita pada Kara.
“Ih, apaan sih, Git. Gak enak di dengerin orangnya.”
“Terus kenapa gak lepas – lepas tuh tangan.”
Spontan, kami melepaskan tangan. Kara salah tingkah terhadap Gita. Aku sendiri menyembunyikan salah tingkahku.
“Oiya, Gita, Kara. Aku keluar dulu ya. Gak enak aku nimbrung dalam obrolan kalian.”
“Ikut aja disini, gapapa.” Kara memandangku.
“Aku sekalian ingin ke toilet.”
Aku pergi ke toilet. Aku tadi terburu – buru hingga tidak membersihkan diri.
“Sepongan Gita kayak mesin pompa. Kenceng banget.” Pikirku
Penisku sedikit tegang bila mengingatnya. Kubawakan sepasang gelas berisi kopi kepada Gita dan Kara.
“Nih, Git. Ada kopi biar kamu gak ngerokok lagi.”
“Makasih loh, Grha.”
“Kara, nih kopi buat kamu biar ada tambahan energinya.”
“Makasih juga.”
Aku dan Kara saling pandang. Gita tidak menyadarinya. Mungkin, ia telah mengetahui apa yang aku lakukan terhadap temannya yang sibuk dengan hapenya.
“Grha, boleh minta tolong? Aku ada show dadakan di kawasan Jakpus. Tapi,……”
“Loh, emang gak dijadwalin sama si xxxx?” Kara memotong.
“Dia miskomunikasi.”
“Iya, aku anterin koq. Koq ada tapinya?”
“Aku sama Kara cuma pakai mobil satu. Nanti, gimana Kara mau pulang?”
“Soal Kara, biar aku yang anterin ke rumah.”
“Gapapa, Git. Nanti aku naik taksi aja.”
“Besok kan aku show di luar jawa, Ra.”
“Yaudah gini – gini. Git, aku anterin kamu sekarang. Baru setelah itu aku anterin pulang Kara.”
“Ngrepotin kamu loh, Grha akunya.”
“Kamu kan temen Gita. Harus dibantuin juga.”
Aku mengantarkan Gita menuju tempat shownya berlangsung. Sepanjang perjalanan, kami mengobrol satu sama lain.
“Sayang…”
“Baru nih manggil sayang.” Kataku.
“Abisnya dari tadi manggil nama terus. Gak enak.”
“Hahaha…..kan juga gak enak manggil sayang di depan temen aku.”
“Besok jadwal keluar jawa ya?”
“Iya, beberapa hari sih. Berangkatnya nanti dini hari. Makanya, naik mobilnya cuma satu.”
“Ati – ati disana. Jaga kesehatan juga.”
“Perhatian banget sih sayang.”
“Gapapa kan?”
“Gapapa koq. Gimana Kara?”
“Maksudnya?”
“Kara cantik gak?”
“Cantik koq.”
“Tuh kan sayang.”
“Loh koq marah? Kan nanyain Karanya kaya gitu.”
“Terus kalo aku?”
“Kalo sayang sih udah cantik banget. Fuckable juga.”
“Tapi kan sekarang lagi gak fuckable. Tapi nanti kalo udah balik, akunya di -fuck ya.”
“Iya. Liat waktunya juga.”
“Aku titip Kara juga ya, sayang.”
“Aku udah diceritain ke temen kamu?”
“Udah. Dari usaha kamu bikin aku berhenti ngerokok sampe nolongin aku ganti ban.”
“Oh syukur deh kalo gitu. Kayaknya udah sampe nih.”
“Oh iya, udah sampe nih.”
“Koq kamu sedih gitu?”
“Parkir dulu ya. Pengen jadi cewek yang fuckable buat kamu. Kan masih ada yang belakang.”
“Yaudah kalo gitu.”
Mobil kuparkirkan di tempat yang aman dan kami menuntaskan hasrat duniawi kami.
“Makasih ya sayang udah ngasih aku tadi.”
“Kamu juga ngenakin aku banget.”
“Masih sakit nih. Tapi, nikmat banget. Aku pamit yah. Jagain Kara loh.”
“Iyah. Aku jagain temen kamu.”
Aku kembali ke tempat dimana Kara berada. Aku menuju booth yang sudah mulai sepi dan segera ke backstage. Kara telah berganti pakaian.
“Maaf aku terlambat.”
“Gak koq. Aku baru saja selesai.”
“Yuk kalo gitu.”
Kami beriringan jalan menuju parkiran. Dengan memakai jaket jeansnya, aku melihatnya dengan penuh kagum. Rambut pendeknya membuatku terpesona. Ia menangkapku sedang melihatnya.
“Kenapa liatinnya kaya gitu?”
“Gapapa, koq.”
“Terus kenapa liatinnya aku kaya gitu?”
“Ya aku liatin kamu karena cantik.”
“Semua cowok pasti bilang begitu.”
“Emang kenyataannya kamu cantik.”
“Oh iya, tadi Gita nitip pesen apa sama kamu?”
“Cuma nitipin pesen buat jagain kamu.”
Kami berdua masuk ke dalam mobil. Aku yang menyetir dan dia duduk di kursi depan.
“Sekarang kemana?” Kataku
“Pulang aja. Udah malem. Capek aku.”
“Yaudah. Kita lewat jalan tol aja.”
Mobil milik Kara melaju di ruas tol Jakarta. Kami mengobrol seperlunya. Ia terlihat letih dan kecapekan. Tidak mau kupaksakan dirinya untuk mengobrol denganku. Kunyalakan GPS di samping dashboard dan mencari lokasi tersimpan. Tertulis Home pada lokasi tersimpan. Muncul perintah untuk memulai navigasi dan berkendara sesuai arahan GPS.
Kara telah tertidur pulas ketika sampai di rumahnya. Kutinggalkan ia bersama pembantu yang mengurus rumahnya. Aku pun kembali ke rumah.
Paginya, saat aku menyiapkan sarapan pagi. Kara meneleponku.
“Hei, Pagi Grha.”
“Siapa ya?”
“Ini aku, Kara.”
“Maaf aku tidak menyimpan nomormu? Tunggu, bagaimana kau bisa dapat nomor teleponku?”
“Aku menghubungi Gita dan memberi nomormu. Btw, makasih ya udah nganterin sampe rumah. Sampe dianterin ke dalam kamar kata si bibi.”
“Iya sama – sama koq. Aku hanya melakukan apa yang diminta Gita.”
“Tapi, bukan itu yang diminta Gita lho.”
“Bukan itu?”
“Supir aku lagi pulang kampung. Aku ada acara jadi MC di kejuaraan Motor Trail di daerah. Bisa nyupirin gak? Aku bayar deh. Aku udah bilang ke Gita”
“Kalo udah bilang Gita yaudah berarti aku bisa nyupirin kamu. Kapan berangkatnya?”
“Sekarang sih. Kejuaraannya dimulai besok. Aku belum hafal juga daerahnya.”
“Baiklah aku kesana sekarang.”
Aku sampai di rumahnya. Ia nampak sibuk menyiapkan barang – barang keperluannya.
“Maaf aku baru datang.”
“Tidak apa, aku baru selesai menyiapkan barang keperluanku.”
“Mana barangnya? Biar aku masukkin ke mobil.”
“Gak ngrepotin nih?”
“Tenang aja.”
Kuangkat tas miliknya dan kutaruh di bagasi mobil. Ia berbicara kepada pembantunya untuk titip rumah
“Berangkat yuk, Grha.”
“Yuk.”
Mobil melaju perlahan meninggalkan rumah.
“Emang Gita ngizinin aku pergi sama kamu.”
“Tentu dunk. Aku udah bilang ke dia.”
“Ya, aku masih gak percaya aja.”
“Percaya dunk. Lagian……..”
“Lagian apa, Ra?”
“Boleh nanya sesuatu?”
“Silahkan aja.”
“Hubungan kalian berdua itu apa sih?”
“Loh, bukannya Gita udah ngasih tahu ke kamu, Ra?”
“Dia ngasih tahu kalo kamu temennya.”
“Emang aku temennya Gita.”
Dia terdiam. Sejurus kemudian, menyalakan GPSnya. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan.
“Bisa berhenti di depan gak?”
“Bisa koq.”
Aku menyetop mobil di pinggir jalan.
“Kalo gitu, bisa liat ini gak?”
GPS itu memutar video aku bersama Gita. Dalam video itu, dari kursi depan Gita mengoralku yang duduk di kursi supir. Sesekali, suara desahan terdengar. Aku terkejut bagaimana GPS ini dapat merekam peristiwa ini. Kara melihatnya dengan bergetar. Ia menahan gejolak nafsu yang membuncah dalam dirinya. Hingga, saat aku berejakulasi. Gita menelan semua pejuh dari penisku. Ia menyetop video itu.
“Kalian koq bisa begituan sih?”
“Ehm…itu…aku…”
“Kalian katane teman, tapi Gita sampe mau sepongin kamu. Ada apa?”
“Kami emang saling berteman, Ra. Itu cuma kebetulan aja.”
“Kebetulan?”
Ia kembali menyalakan sebuah video. Aku menduga video ini adalah saat aku melakukan anal kepada Gita di kursi belakang. Secara tidak sadar, kami melihat video itu dengan seksama. Penisku bereaksi dan menegang. Ia memutarnya hingga aku memuntahkan pejuhku di anusnya.
“Gita nikmatin banget itunya kam u.”
“I..iya sih, Ra. Aku minta maaf ngelakuin itu di mobil kamu.”
“Aku sih marah aslinya. Tapi, ya udah kejadian kan?”
“Aku nyesel, Ra.”
“Udah berapa kali ngeseks sama Gita?”
“Gak keitung. Kalo dia minta, aku kasih kalo gak sibuk.”
“Kamu pernah minta ngeseks sama dia?”
“Pernah, tapi gak sebanyak yang Gita minta.”
“Beruntung banget ya Gita. Bisa ngeseks sama kamu. Jadi pengen ngerasain gimana ngeseks sama kamu.”
Kupegang tangannya. Ia meremasnya pelan. Senyum tersungging dari wajahnya. Kucium tangannya. Wajahnya memerah.
“Apaan sih, Grha pake acara cium tangan aku.” Kara tersipu malu.
“Emang gak boleh?”
“Boleh sih.”
Kupeluk tubuhnya yang hangat. Ia memberikan kehangatan. Bibirku mencium mesra lehernya dan menghembuskan nafasku. Ia melenguh pelan.
“Aaaahhhh……”
“Kamu terangsang liat video tadi?”
“Sebagai cewek, ngeliat sahabat aku sendiri ngeseks. Aku dah horny dari waktu nemuin video itu.”
Aku mencium keningnya. Lanjut ke pipi kanan kiri dan hidungnya.
“Cewek tomboy kaya kamu bisa terangsang juga.”
“Biar begini, aku juga tetep cewek biasa. Liat begituan juga ikutan horny.”
Bibirku dengan bibirnya beradu dalam satu ciuman. Sementara, kami saling menukar ludah dengan lidah kami. Saling berpagutan menunjukan dominansi dan kegairahan yang ingin direguk.
“Ciuman kamu nikmat banget, Grha.”
“Kamu pandai mainin lidah kamu.”
“Boleh liat penis kamu gak? Gita aja sampe segitu nafsunya sama kamu.”
“Jangan disini ya. Kita cari rest area di pom bensin dulu.”
“Iya deh.”
Aku kembali memacu mobil. Aku berhenti di sebuah rest area yang cukup lebar. Aku memarkirkan mobilku di parkiran yang tersedia.
“Pindah ke kursi belakang aja biar nyaman.”
Kami berdua pindah ke belakang. Aku duduk disampingnya.
“Waktu aku nyetir kamu liatin celana aku ya?”
“Enggak koq. Enggak. Aku enggak liat koq.” Kara terbata – bata.
“Mata kamu gak bisa diboongin loh.”
“Udah boleh akunya?”
Aku membuka celanaku di depannya. Penisku tegang didepannya. Ia melihatnya dengan takjub sekaligus takut. Ia menyentuhnya dengan tangan tepat di lanis (kepala penis).
“Ooohhh….”
“Eh, kamu kenapa?”
“Gapapa koq. Kamu nyentuhnya pas di titik lemah aku. Jadi berasa banget sentuhan kamu.”
Kara masih ragu – ragu. Ia takut sekaligus bernafsu untuk bermain dengan penisku lebih jauh.
“Aku pegang yah penisnya.”
Ia memegangnya. Sensasi itu menyetrum tubuhku. Dipegangnya pelan kemudian dieratkannya.
“Penis kamu gede. Pantesan, Gita suka banget sama kamu.”
Ia mengukurnya dengan jarinya. Walaupun, hal itu tidak penting.
“Dikocok aja, Ra.”
Ia memulai kocokannya. Ia mengocoknya tidak beraturan. Mungkin ia pertama kali melihat penis secara langsung.
“Enak gak kocokanku?”
“Enak banget, Ra.”
“Mau dijilatin penisnya. Pengen tahu rasanya.”
Bersambung Di Post Selanjutnya
“Kamu jahat masukkin penis kamu sampe aku keselek.”
“Dijilatinnya bikin aku merinding banget. Makanya, aku langsung masukkin ke mulut kamu.”
Wajahnya terlihat kusut karena penisku tadi.
“Penis kamu mentok banget tadi. Ampe susah nafas.”
“Masih mau lagi?”
Dengan sisa tenaga, ia kembali mengoral penisku. Sesekali tangannya ikut mengocok. Meski tidak sepandai Sibad, Zaskia ataupun Gita. Tetap saja, ia memuaskanku dengan caranya.
“Sslllluuurrrpppp………sssslllluuuurrrrpppp……ssssllllebbbb………sssslllleeebbbb……ssssslllluurrrpppp……sssslllleeeebbb…..”
Tidak tahan lagi, aku memusatkan konsentrasi dan kusemburkan pejuhku. Kara tidak siap dengan ini, ia langsung memuntahkan pejuhku di penisku karena kaget dan jijik. Entah apa yang merasukiku, kutampar wajahnya yang menyia – yiakan pejuhku.
“Udah capek – capek ngeluarin. Dimuntahin lagi.”
Ia hanya terdiam. Wajah pasrahnya bersalah kepadaku.
“Aku gak bermaksud muntahin pejuh kamu. Aku kaget aja pejuh kamu nyemprot di mulut aku.”
Kubelai pipinya yang habis kutampar.
“Maafin aku, Ra. Tadi nampar kamu.”
Kami saling berpelukan.
“Makasih Grha. Udah mau bagi kenikmatannya. Gita beruntung banget.”
“Aku juga beruntung koq. Tolong rahasiain ini dari Gita ya. Aku masih pengen ngerasain nikmat bareng kamu.”
“Aku juga masih pengen. Gita udah dapetin semuanya. Aku masa’ enggak sih?”
Aku membeli minuman untuk Kara. Kubiarkan dirinya tertidur. Parasnya semakin cantik saat tidur dan tampak bahagia. Maafkan aku Gita, aku membagi kenikmatan itu dengan Kara.
Hamparan kebun teh menyambut kami, meski jalanan kurang bersahabat. Mobil ini menunjukkan kegarangannya dalam melibas jalan.
“Sepertinya itu Villa nya.” Kataku.
Kara yang terbangun dari tadi sibuk memandangi alam sekitar. Dipotretnya sesekali dengan smartphone-nya.
“Mau diposting ke instagram?”
“Iya. Sama sekalian di path. Oiya, ada akun insta atau path?”
“Aku gak make sih kalo begituan. Mentoknya bbm sama wa.”
“Kan biar bisa stalking kegiatan aku.”
“Kan sekarang bukan stalking. Malah sekalian ikut kegiatan bareng kamu, Ra.”
Panitia menyambut kami di Villa. Aku membereskan keperluan Kara. Sementara, dia bersama panitia mengadakan rapat tentang acara besok dan menyiapkan dress code nya.
Selesai beberes, aku merebahkan badanku di kasur. Villa yang bagus dengan arsitek kayu dan bambu. Kupejamkan mataku beberapa saat dan sesosok wanita tidur dengan beralaskan lenganku.
“Koq disini, Ra? Kan kamar kamu di depan.”
“Gapapa. Pengen tiduran aja di badan kamu.”
“Gimana tadi rapatnya?”
“Ya begitulah. Besok aku dijemput oleh panitia pagi dan acaranya sampe sore.”
“Pasti capek banget nanti kamunya.”
“Istirahat yuk. Pintu depan udah aku kunci. Tapi, istirahatnya disini aja ya bareng kamu?”
Aku mengusap kepalanya dan membiarkan dirinya bersandar. Ia memelukku dan wajahnya mengarah kepadaku.
“Kiss me….” Pekiknya.
Aku menciumnya hingga tertidur. Begitupun denganku. Tidak terasa, petang menyambutku dari tidur. Kara sudah tidak ada. Aku bergegas keluar dari kamar dan ia keluar dari dapur.
“Kamu udah bangun? Baru aku bikinin kopi buat kamu. Diminum gih.”
Aku seruput kopi hangat yang dibikinnya. Dan kukumpulkan pikiranku yang masih kemana – mana.
“Aku balik ke dapur mau nyiapin makanan.”
Aku menyusul ke dapur. Kurangkul pinggang dan kuciumi tengkuknya.
“Ih, udah berani peluk peluk aku. Ntar Gita marah loh.”
“Aku tidak ada hubungan apa – apa dengan Gita. Sekarang cuma kita berdua aja kan?”
“Aku mau nyiapin makan nih.”
Kujauhkan dia dari dapur.
“Kamu duduk aja. Biar aku nyiapin makan.”
Kulihat freezer yang cukup penuh dengan bahan makanan. Dan, kutemukan alat yang kucari. Terlebih dahulu, aku meracik bahan yang kuperlukan dan olahan yang akan kumasak.
“Kamu mau kemana?”
“Kayaknya makan di luar enak.”
Aku menyiapkan panggangan dan beberapa kayu. Syukurlah, ada beberapa orang dari offisial lomba membantuku. Aku menyiapkan bahan yang lebih banyak. Kara pun akhirnya ikut terjun membantuku. Malam itu, menjadi malam bakar – bakaran untuk offisial panitia dan kami.
“Gak kepikiran sampe begini tadi. Kamu sampe ngajak panitia makan malem.”
“Aku kasihan aja, mereka makannya nasi kotak ala kadarnya. Kebetulan, ada yang bantu jadinya banyak deh.”
“Kamu bener – bener orang yang gak ketebak dan baik lagi.”
“Makasih, Ra. Kamu juga baik dan gak segan buat ngebantuin aku nyiapin ini.”
Malam semakin larut. Padahal baru menunjukkan pukul 9 malam. Para offisial panitia sudah membubarkan diri dan ada yang membereskannya.
“Masuk yuk. Udah dingin akunya.”
“Iya, Ra. Aku masukkin kamu ke rumah biar anget.”
“Masukkin aku juga gapapa koq biar anget juga.”
Kalimat terakhirnya menggoda syahwatku. Namun, masih kutahan saja. Ia masuk ke dalam kamar depan dan aku di sebelahnya. Kembali beristirahat, pikiranku masih membayangkan kalimat terakhir. Hapeku berdering.
“Iya, Ra. Kenapa nelpon? Panggil aja aku.”
“Kamu ke kamarku sekarang.”
Aku menuju kamarnya. Cahaya lampu menerangi kamarnya. Ia terbaring dengan telanjang. CDnya ia lepaskan sampai mata kaki. Kaosnya ia angkat sampai memperlihatkan payudaranya yang tidak sebesar milik Gita dengan aerola yang minim berwarna coklat pekat kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Vaginanya ditumbuhi bulu halus yang cukup lebat berwarna hitam. Bentuk badannya membuatku terangsang hingga penisku memberontak habis.
“Tubuh aku kurang bagus ya? Lebih bagusan punya Gita.”
“Ssssttt….jangan ngobrolin Gita ya. Kamu tetap Kara yang menarik koq.”
Kulepaskan pakaianku. Akupun juga telanjang dihadapannya. Penisku mengacung keras.
“Penis kamu bikin horny.”
Kara mulai merangsang dirinya dengan memuntir puting dan mencolok – colok vaginanya dengan jemari. Kudekati dirinya dan aku menindih badannya.
“Kalo kamu begitu, aku disini jadi apa? Aku juga pengen muasin kamu.”
“Aku grogi sama kamu. Bingung mau ngapain aja.”
Kumainkan payudaranya. Ia mengerang nikmat.
“Aaaaahhhh…….sssssshhhh…..pelan….sakit…..”
Kuremas dan kuayunkan berulang – ulang. Tidak lupa, kupilin – pilin putingnya seperti kacang polong. Ia memegangi kepalaku. Menjambaknya menahan nikmat tiada tara. Lidahku terang bermain di puting dan aerolanya tanpa kecuali. Aku menghisap dan menyusunya seperti bayi kecil.
“Ooooooccchhhhh……..hhhhhmmmmmm………ssssssshhhhhhh…….aaaaahhhhh…….”
“Sssssslllluuurrrppppp……..ffffllllllllllooooopppp……..fffffflllllloooopppp……….ssssssllllluuuurrrrpppp….”
Kutinggalkan cupanganku di sekitar aerolanya.
“Ganas banget gigitnya ampe merah – merah gitu. Sakit sih, tapi seneng banget.”
Aku mengunci bibirnya dengan bibirku. Jemariku memainkan klitoris dan lubangnya sesuai ritme. Kutekuk jariku seperti kait dan menggeseknya berlang – ulang. Walaupun, bulunya cukup menghalangi.
“Bulu kamu agak lebat yah?”
“Aku takut kalo dicukur nanti tambah lebat.”
Tanganku basah oleh lendir cair dari vaginanya.
“Kamu dateng tadi?”
Ia menganggukkan kepala. Kembali aku menciumnya.
“Crok…kocrok….kocrok….kocrok….kocrok….” Bunyi vagina basah yang beradu dengan jariku.
Kepalaku menuruni badannya dan berhenti di depan vagina. Aku memakan vaginanya dengan rakus. Ia menggelinjang bagai terkena setrum.
“Aaahhhh….uuuuucccchhhh……aaaaaccchhh….uuuccchhhh……ssshhhh……oooocccchhhhh…..”
Mataku sampai perih karena lendir cairnya yang menyeruak keluar ketika aku memakannya.
Kara memegang penisku. Mengocoknya sebentar dan mengulumnya. Ia melumurinya dengan ludah.
“Pliss, buat aku jadi perempuan sepenuhnya untuk kamu. Masukkin yah penis kamu.”
Kudorong perlahan, ia mengaduh kesakitan. Kutambahi dengan ludahku, masih saja ia kesakitan.
“Terusin Grha….aku gapapa.”
Sial, ternyata miliknya lebih nikmat. Ia terus menghisap penisku masuk lebih dalam. Aku membiarkan penisku beradaptasi.
“Pas banget di vagina aku. Gede, penuh banget.”
Aku mendorongnya perlahan. Kunaikan temponya perlahan hingga normal. Kara tidak dapat menahan gejolak nafsu di tubuhnya semakin beringas menciumku. Aku menghujamkannya lebih cepat dan ia mengimbanginya.
Kumainkan ciumanku dan remasan payudaranya menahan laju permainan.
“Vagina….kamu…..sedot…..penis…..aku….dalem….”
“Masukkin….dalem…..masukin…..dalem…..”
“Sssllleeppp…..slllleeppp…..sllleeppp……sllllleepppp….ssslllleeeppp….”
Pertahananku mengendur. Kedutan – kedutan di penisku memberi isyarat. Aku sudah tidak tahan lagi.
“Ra, aku udah gak tahan. Vagina kamu ngisep aku ampe lemes.”
“Keluarin….keluarin…pejuh…..di…..”
Belum sempat menyelesaikan kata – katanya, penisku menyemburkan pejuh di dalam vaginanya.
“Kamu keluarin di dalem yah?”
“Iyah, udah gak tahan.”
“Aku mau bilang keluarinnya di luar.”
“Apa? Jadi kamu…..”
“Gapapa koq. Kamu udah berusaha banget tadi.”
“Maafin aku, Ra.”
Kukecup keningnya yang berpeluh keringat.
“Malam ini, tidur disini aja yah. Dingin banget kalo tidur sendiri. Malam ini, aku jadi perempuan milik kamu seutuhnya.”
Kami berdua beristirahat dalam satu ranjang. Tubuh berkeringat kami saling berpelukan. Kulihat wajah Kara yang tertidur pulas. Begitu damai dan menyenangkanku.
Keesokan harinya, seperti kemarin. Aku tidak mendapati dirinya. Sebuah pesan tertulis di hapeku.
“Sayang, aku berangkat dulu ya. Makasih udah ngasih aku kenikmatan yang aku pengen sejak lama. ID card official udah aku gantung di kamar. Dipake ya kalo mau kesana. Love you, Kara.”
Aku bangkit membersihkan diri. Dengan segelas minuman hangat, kubaca timeline twit**ter di layar hapeku. Aku meminjam motor trail yang disediakan dan menuju tempat lomba. Melewati beberapa tanjakan dan turunan. Suasana semakin meriah ketika aku mendekati tempat lomba. Dengan ID card offisial, aku bebas. ra crosser saling unjuk gigi dalam lomba ini. Dari atas panggung, Kara menjadi MC lomba. Kulihatnya dia disana. Aku melihat dari sisi panitia saja. Ia melihatku dan melempar senyumnya.
Hari menjelang sore, lomba hari ini telah mencapai puncaknya. Tepat pukul 5 sore, acara selesai untuk hari ini.
“Gimana hari ini? Lancar?” Tanyaku.
“Lancar koq acarane. Kamu kesini naik apa?”
“Naik motor trail.”
“Pulang bareng kamu yah naik motor?”
“Gapapa kamu pulangnya?”
“Gapapa. Tadi aku diceritain tempat yang menarik disini. Pengen kesana sekarang.”
“Yuk kalo gitu.”
Dengan motor trail, kami menembus jalanan ini dengan mudah. Setelah bertanya pada beberapa warga asli, kami sampai disebuah air terjun. Tidak terlalu besar. Menyenangkan percikan air mengenai badan kami. Airnya jernih. Kuamati sekitar, tidak ada yang mengamati.
“Wih, seger banget deh. Grha, sini temenin.”
Aku menemani Kara duduk di sebuah batu. Ia memeluk tanganku, dan menyandarkan kepalanya di bahuku.
“Udah mau malem nih, Ra. Pulang yuk besok kalo udah gak ada jadwal kita kesini.”
“Iya. Yuk.”
Kembali ke Villa saat malam menyeruak. Aku sampai pukul 8 malam karena sekalian mencari makan malam. Dengan badan cukup lelah, malas kaki ini berjalan ke kamar mandi. Sudah jadi kebiasaa aku tidak pernah menutup pintu kamar mandi saat mandi. Gemericik air dingin membasahi badan. Kupejamkan mata sambil menikmati air yang melunturkan semua kelelahanku. Sepasang tangan wanita dengan halus merayap menyentuh badanku. Kutengok, Kara sudah bertelanjang dada.
“Aku takut mandi sendirian.” Kara menggerayangi dadaku. Jarinya memainkan putingku.
“Aaahh…….geli, Ra.”
Ia menurunkan tangannya hingga menyentuh penisku. Kedua tangannya menggenggam batang nikmat itu perlahan.
“Kamu masih tegang aja, istirahatin dunk.”
“Bantuin istirahatin penis aku dunk.”
Kusandarkan punggungku di dinding, tangan kanan Kara aktif mengocok penisku yang tegang. Ia mencium bibirku mesra. Bibir kami berpagutan cukup lama.
“Penis kamu kuat banget. Dikocokin ampe pegel tanganku.”
Ia bersimpuh. Tangannya menumpu pada pinggangku. Ia menjilati penisku sesuai dengan alur urat penis.
“Ooohhh….Ra, enak banget.”
“Ssslllleeeepppp………sssslllluuuurrrpppp…………sssssllllluuuuurrrppp……sssslllllleeepppp……”
Kepalanya maju mundur mengoral penisku. Semakin lama, semakin cepat ia menggerakkan kepalanya. Ia menghisapnya semakin dalam. Akhirnya, aku memegangi kepalanya dan menghujamkan penisku ke dalam mulutnya.
“Ra, pejuhku mau keluar.”
Aku intens menjaga sodokanku. Hingga, penisku berkedut dan pejuhku mengalir ke dalam kerongkongan Kara. Kara menenggaknya hingga tidak bersisa. Tidak lupa, penisku dibersihkannya.
“Mandi bareng yuk biar seger.” Ajakku.
Kami saling menyabuni diri satu sama lain. Terkadang, tanganku menggodanya tubuhnya. Ia pun melakukan hal yang sama kepadaku.
Aku memakai kaos dan celana boxer tanpa CD dan bersantai di ruang tamu. Kara keluar dari kamar dan menyandarkan tubuhnya di badanku.
“Kara, kamu ini ya.”
“Aku pengen santai juga kayak kamu. Di kamar bosen.”
“Tapi gak ada hiburan disini.”
“Ada koq. Hiburan aku kan kamu.”
Kami terdiam menatap dinding tanpa pikiran. Aku merasakan hangatnya tubuh Kara. Sesekali, ia mencium leherku menghirup bau badanku. Aku mencium bahunya yang masih terhalang baju.
“Tapi aku masih kepikiran tentang kemarin.”
“Yang mana?”
“Soal aku crot di dalam.”
“Oh itu. Gapapa koq. Lagian itu first time aku juga.”
“First time? Berarti kamu…..”
“Gak juga. Aku sempet ngalamin kecelakaan waktu ada studi banding di sebuah situs purbakala.”
“Maaf aku gak tahu.”
“Gapapa. Menurut kamu, Gita itu gimana sih? Kayaknya dia sayang banget sama kamu. Dia aja seneng nyeritain kamu berulang – ulang sama aku.”
“Soal Gita, ya aku akuin aku juga suka sama Gita. Kami saling suka, tapi ada yang ngehalangin kita berdua.”
“Apa yang ngehalangin?”
“Keyakinan kita yang gak bisa satu. Udah jangan dibahas lagi.”
“Coba kalau aku yang kenal duluan sama kamu.”
“Sssstttt……udah. Aku lagi sama Kara sekarang.”
Aku membalikkan badannya dan aling bertatapan. Rambutnya yang menghalangi wajahnya kusingkap. Ia begitu cantik. Tidak kalah dengan paras Gita.
“Kamu cantik, Ra. Beneran.”
Kutempelkan dahiku dan hidung kami bersentuhan. Bibirku membasahi bibirnya dengan cepat berubah menjadi adu bibir. Tidak ada yang mengganggu kami. Kaos Kara kuangkat hingga payudaranya bebas.
“Gak pakai bra?” Tanyaku.
Ia terus menciumiku. Kuremas payudaranya dengan tanganku. Kami larut dalam gejolak nafsu yang membara.
“Dilepasnya bareng aja. Gak sabar liat penismu yang ngaceng.”
Ia melorotkan celana boxer-ku. Penisku tidak tertahankan lagi mengacung di depannya. Kulepas juga celana Kara. Vaginanya ku fingering sementara ia mengocokku lembut.
“Aaahhh…….uuuuuuccchhhhh……..terus…..disitu……pas…..aaaacchhhhh…….ooooooohhhhhhh…..” Ia meracau kesetanan karena nikmat.
Aku terengah – engah karena permainan intens tadi. Kara meraih penisku dan dielusnya.
“Main yuk. Masa gitu aja?” Ajaknya.
Tanpa basa – basi, ia menaikiku dan memasukkan vaginanya ke penisku.
“Aaahhh…..mentok banget penis kamu.”
Ia menunggangiku seperti koboi dengan kuda. Payudaranya naik turun dan nafasnya memburu kenikmatan. Pinggangnya kupegangi agar ia tidak lepas.
“Oooooccchhhhhhh……..oooooooccccchhhh……..uuuuuuuuucccccchhhhh……………….uuuuuuccccccchhhhhh…….ssssssssshhhhhhh………”
Vagina benar – benar menghisap penisku. Ia berbalik dan tetap menyodokkan vaginanya. Punggungnya tergambar bulir keringat.
Ia berhenti dan aku merasakan kedutan di vaginanya yang diteruskan dengan lendir cairnya yang merembes keluar.
“….pipis….enak….” Pekik Kara.
Ia berbalik dengan muka sayu. Lucu ia bilang seperti itu. Penisku masih tegang. Ia melihat penisku dengan pasrah.
“Kamu jahat. Gak mau kalah sama aku.”
“Loh, bukannya kalo yang gini kamu suka?”
“Suka akunya, tapi capek. pengen bikin lemes.”
“Mau nyoba lewat belakang?”
“Takut, belum pernah soale.”
“Sama kaya Gita kamunya. Takut – takut.”
“Kalo Gita gimana?”
Aku membaringkannya. Kurangsang anusnya dengan jari dan penisku.
“Perutnya sakit, Grha…”
“Bentar lagi enakan koq.”
Anusnya melebar hingga aku dapat memasukkan penisku kedalamnya.
“Udah masuk penis aku, gimana?”
“Diemin dulu. Masih enak.”
Kugerakkan penisku dan ia mulai keenakan.
“Oooocccchhhh….hhhmmmmmmhhhhh……..sssssssshhhhhh………aaaaahhhhh……”
Ia sempit sekali. Aku kesulitan menggerakan penisku. Kupancing dengan memfingering vaginanya.
“Oooohhh……nikmat…..banget…..terussss…….ssssshhhhh…”
Aku menyusunya memberi tambahan nikmat yang dirasakannya. Ia menjepit penisku dengan anusnya.
“Gak kuat lagi, aku keluar, Grha.”
“Aku juga keluar, Ra.”
Vaginanya kembali mengalirkan lendir cairnya. Akupun memuntahkan pejuh karena dijepit dengan keras.
“Aku lemes banget, Ra. Dijepit anusmu itu.”
“Aku juga lemes, 2 kali keluar capek.”
Aku mengangkat tubuhnya ke kamar tidur.
“Katanya lemes koq masih bisa ngangkat aku?”
“Kasihan kalo tidur disini kamunya.”
Kuangkat badan lelahnya ke kamar tidur. Kupakaikan dia celana pendeknya dan menyelimutinya. Aku beranjak menuju ke kamar tidurku. Dipeganginya tanganku.
“Disini aja sama aku bobonya.”
Aku masuk ke dalam selimut. Ia langsung memelukku dengan sisa tenaga. Kepayahan membuat kami tertidur.
Paginya, aku masih mendapati dirinya tertidur di sampingku.
“Met pagi, Kara.” Kataku mencium keningnya. Ia terbangun setelahnya.
“Pagi juga. Mau dipanggil sayang sama kamu.”
Kucium bibirnya yang masih hangat.
“Met pagi, Sayang.”
Ia tersipu malu kemudian berdiri menuju kamar mandi.
“Mandiin aku dunk, masih capek akunya.”
Kami berdua masuk ke kamar mandi. Setelah itu, Kara kembali ke tempat lomba menyelesaikan pekerjaanya.
Hari ini acara berlangsung sampai sore. Malamnya, kami diajak makan malam bersama oleh panitia dan tidak ada kegiatan pelampiasan hasrat seksual.
Keesokan harinya, aku membereskan keperluan dan bersiap dengan mobil Kara. Ia menyambangiku yang sedang di luar.
“Grha, kita sehari lagi yuk. Ke tempat yang kemarin ya.”
“Kan harus pake motor.”
“Aku udah pinjem koq.”
Aku dihampiri oleh seseorang membawa motor trail.
“Permisi, saya disuruh nganter motor ini.”
“Oh iya, makasih Pak.”
“Nanti motornya ditaruh aja disini.”
“Baik pak.”
Kara tersenyum lebar.
“Yuk kesana.”
Kami telah berada di atas motor dan bergerak menuju air terjun. Sesampainya disana, Kara terburu melepas pakaiannya dan mengenakan bikini. Sial, aku lupa membawa pakaianku. Ia berenang menikmati kolam yang berada di bawahnya. Tidak terlalu dalam. Hanya seukuran bahu orang dewasa.
“Ayo masuk, Grha.”
“Aku gak bawa baju ganti. Lagipula, aku tidak bisa berenang.”
Ia melepaskan bikininya dan melemparkannya kepadaku.
“Aku juga gak bawa. Tapi, aku bisa main air. Masuk buruan ato aku tarik kamu masuk.”
Kulepas baju dan celanaku.
“Lepas CDnya.”
“Tapi…..”
“Gak ada tapi – tapian.”
Kulepaskan CD yang menutup penisku. Tidak terlalu tegang. Namun, aku sedikit terangsang dengan penampilan Kara. Akhirnya, aku dan Kara bermain air di kolam itu. Kami bertukar pandangan. Ia memberiku sinyal untuk mendekati dirinya. Entah setan apa yang merasuki tubuhku, kulumat bibirnya tanpa perlawanan. Ia membalas, aku tidak ingin kalah. Kupeluk tubuhnya erat. Air disekitar kami tidak mampu membendung hasrat kami yang menggelora. Kuseret dia ke tepi dan kuletakkan tubuh basahnya di sebuah batu. Air kolam masih menggenangi sekitar batu itu. Derasnya air terjun terdengar di belakangku. Penisku menghujam vaginanya dengan cepat. Darahku berdesir merasakan pijatan lembut di penis. Pikiranku hanya ingin memuaskan birahi yang tertanam di kepala.
Kaki kara melingkar di pinggangku berusaha mendorong penisku lebih dalam. Ia menciumiku dan menghembuskan nafasnya yang membuatku berbafsu. Kara hanya mengekspresikan apa yang ia rasakan dengan raut wajahnya. Nafasku tidak terkendali. Nikmat dan lelahku bercampur jadi satu.
“Keluarin aja di dalem. Sakit loh kalo ditahan terus.” Bisiknya mesra.
Tidak kuturutinya. Aku masih sibuk dengan sodokan – sodokan yang semakin mendekatkan diriku pada puncaknya. Ia menjepit penisku dengan keras.
“Karaaaa…….”
Pejuhku keluar di dalam vaginanya. Ia masih menjepitku dengan keras.
“Ra, ampun….***k kuat…..ampun….” Aku memelas. Ia sedikit melonggarkan jepitan vaginanya.
“Kamu sih terus – terusan ngentotin aku. Aku gak di dengerin.”
Penisku masih basah. Ia membersihkan sisa – sisa di penisku. Dikulum dan dikocoknya pelan.
“69 ya. Aku diatas.” Kara bertukar posisi denganku. Praktis, pantat Kara terhampar di depan mukaku. Ia sudah sibuk mengoral penisku agar tegang lagi. Aku menjilati vaginanya.
“Jangan disitu. Lobang yang diatasnya.”
Kara menyuruhku menjilati anusnya. Ia sudah mengerti nikmatnya melakukan anal. Kuiyakan saja. Beberapa saat kemudian, kami sama – sama telah siap. Ia mencari sebuah batu untuk sandaran. Ia menungging memberi tanda ia telah siap. Tanganku dipinggangnya dan penisku kembali bekerja di dalam anusnya. Kudorong pantatnya sesuai tempo yang kutentukan.
“Kita ngentot disini apa gak ada yang ngeliatin, Ra?”
“Aku gak peduli. Sekarang, aku pengen seneng sama kamu.”
Aku menjambak rambut pendeknya.
“Aahhhh…..sakit…..terus…….sssshhhh…….mmmmmhhhhh……oooocccccchhhhh…….dalem…….dalem…….kenceng……kenceng……ooooooccchhhh……”
“Puas….kamunya….?”
“Banget…….oooohhhhhh…….tamparin pantat aku…….”
Dengan tangan yang tersisa, aku menampari pantatnya hingga kemerahan kontras dengan kulitnya yang bersih.
“Ra, aku crotin kamu pelan ya.”
“Gimana cara…..aaakkkhhh.”
Penisku berkedut sekali memuntahkan pejuh. Aku menghujamnya sekali lagi dan berkedut lagi.
“Oooocccchhhhh……..crot 2x….”
Kembali kuhujamkan lagi penisku.
“Ooooocccchhh……3x…..”
Penisku menghujam untuk terakhir kali di dalam anusnya.
“Ooooocccchhhh…….4x……deres banget nyemprotnya.”
Ia berbalik dan memelukku dengan mesra.
“Aku jadi perempuan banget kalo begini.” Katanya sambil satu tangannya mengelus penisku.
“Kamu kan perempuan, Ra.”
“Gak sebelum dipuasin sama kamu.”
“Aku gak nyangka bisa sama kamu.”
“Aku juga. Tapi, aku takut banget.”
“Takut kenapa?”
“Kalo kita balik. Kamu udah milik Gita.”
“Kamu masih pengen dipuasin?”
“Pengen sebenere.”
“Aku tetep bisa muasin kamu. Asal, Gita jangan pernah tahu.”
“Janji?”
“Janji. Tapi ngertiin aku ya.”
“Iya. Aku ngerti.”
Setelah itu, kami kembali ke Jakarta dan berpisah untuk sementara. Gita pulang beberapa hari kemudian, dan tentu saja ia langsung memintaku berhubungan badan dengannya di sebuah hotel.
“Puas deh, akhirnya setelah beberapa hari gak ketemu. Bisa ngentot lagi sama kamu, Grha.”
“Emang disana gak ketemu penis lain, Git?”
“Ngaco ah kamunya. Aku mau tidur bentar. Nanti ngentot lagi.”
Ia menarik selimut ke arahnya dan tertidur. Ponselku berdering,
“Dari Kara??” Gumamku.
Aku bangun dari tempat tidur.
“Halo, Ra.”
“Grha, dimana?”
“Lagi sama Gita. Kenapa?”
“Kamu usilin aku apalagi di mobil sewaktu kita balik ke Jakarta?”
Langsung teringat ketika ia berada di kursi belakang, aku memperkosa mulutnya dengan penisku dalam keadaan tertidur.
“I – itu…”
“Pokoknya besok kita harus ngentot. Kalo gak, aku kasih rekaman aku ke Gita.”
Kara menutup teleponnya. Apakah ia sedang marah atau sedang bernafsu denganku? Entahlah. Sebuah pesan singkat masuk di hapeku.
“Nanti malam, kamu harus ngelayanin aku. Zaskia.”
Sepertinya jadwalku akan sangat padat.
Sekian dari Saya. Mohon Maaf apabila ada sedikit penurunan kualitas karena kesibukan. jika menyalahi aturan harap PM.