Gegara Anak Korupsi

Gegara Anak Korupsi

SAYA tinggal di sebuah perumahan sederhana yang dihuni oleh orang -orang dari berbagai suku bangsa dan berbagai profesi. Saya sudah punya istri dan seorang anak berusia 3 tahun, namanya Bobby.

Saya dan istri termasuk orang yang suka bergaul tidak suka tebang pilih. Pintu rumah saya selalu terbuka lebar untuk siapa saja yang ingin bertamu ke rumah saya.

Sebut saja keluarga Pak Johan. Pak Johan bekerja di pabrik pipa PVC tetapi bukan di pabriknya, melainkan di bagian pemasarannya. Sedangkan istrinya, Bu Erni adalah seorang guru yang mengajar di SMP. Mereka memanggil kami dengan Papa Geboy dan Mama Geboy.

Kami sering saling berbagi. Inilah indahnya hidup bertetangga. Kalau kita baik, tetangga bisa serasa saudara sendiri. Pernah peribahasa mengatakan bahwa lebih baik tetangga yang dekat daripada saudara yang jauh.

Istri saya kalau mau bikin sambel tidak ada cabe di rumah, dia pergi minta ke rumah Bu Erni. Demikian juga dengan Bu Erni kalau mau masak kekurangan bawang putih, dia datang minta dengan istri saya.

Istri saya kalau memasak atau bikin kue, pasti tidak ketinggalan dibagikan pada keluarga Bu Erni.

Pada hari raya lebaran, kami tidak kekurangan ketupat yang diantar oleh para tetangga. Tapi ada juga tetangga yang pelit, tidak mau bergaul. Itu sih urusan mereka.

Hari itu hari Sabtu, Bu Erni datang ke rumah saya mau minjam duit dengan saya untuk membayar tagihan PLN.

Kebetulan istri saya tidak ada di rumah. Istri saya sedang membawa Bobby mencari sepatu di mall.

Bu Erni mau minjam 600 ribu rupiah dengan saya. Jika sampai besok tagihan PLN-nya tidak dilunasi, listrik di rumahnya akan diputus oleh PLN dan akan disambung kembali jika Bu Erni telah melunasi tagihannya.

Bu Erni bukan lalai membayar tagihan PLN. Setiap bulan sebelum tanggal 20 dia selalu melunasi tagihan PLN-nya. Tetapi selama 2 bulan belakangan ini Pak Johan terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan sering keluar kota, sehingga Pak Johan menyerahkan pembayaran tagihan PLN pada anak laki-lakinya.

Oleh anak laki-lakinya, uang 300 ribu rupiah perbulan itu bukan dipakai untuk melunasi tagihan PLN di rumahnya, melainkan dia pakai untuk ngajak pacarnya nonton dan makan.

Keluarga pacarnya memang cukup ketat dalam soal anak ceweknya ini pacaran. Mereka tidak begitu suka dengan anak Pak Johan dan Bu Erni karena faktor ekonomi.

Keluarga pacar anaknya ini tinggal di real estate, di gedong bertingkat, sedangkan keluarga Pak Johan tinggal di RSS. Mana sebanding?

Jadilah si cowok mengajak ceweknya pacaran di bioskop, supaya dia punya kesempatan untuk mencumbui pacarnya, untuk meraba-raba tubuh pacarnya.

Namanya juga ABG, demen aja mereka, apalagi model seperti si Nisah yang baru berumur 18 tahun, teteknya disentuh sedikit saja napsunya sudah langsung melenting tinggi kayak orang lompat galah.

Lanjut!

Jika petugas PLN tidak datang ke rumah Bu Erni untuk menyegel meteran listriknya, Bu Erni sama sekali tidak tahu kalau uang untuk membayar tagihan listrik di”korupsi” oleh anaknya.

Pacaran saja sudah mahir korupsi, bagaimana nanti kalau sudah bekerja?

Duhh… anak sekarang…

Peribahasa mengatakan guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Ada yang bisa dicontoh kenapa nggak dicontoh?

Sebaliknya saya yang kebingungan sendiri menghadapi Bu Erni. Bagaimana saya harus meminjamkan uang sebanyak itu pada Bu Erni? Kalau dia kembalikan uang saya, kalau nggak? Beranikah saya nagih?

“Bukannya saya tidak mau meminjamkan pada Ibu,” kata saya. “Uang dikantong saya hanya tinggal 700 ribu lebih sedikit, soalnya beberapa hari yang lalu habis dipakai oleh Santi untuk berobat ibunya.”

“Tolonglah Papa Geboy, saya janji besok pagi akan saya kembalikan,” Bu Erni memohon pada saya dengan wajah memelas.

“Jika saya pinjamkan pada Ibu 600 ribu, sisa uang saya 100 ribu… seandainya tiba-tiba saya atau Santi ada keperluan mendadak, saya mau pinjam dengan siapa, Bu? Saya tidak tau dikantong Santi ada duit berapa.” kata saya jujur.

“Tolong sayalah Papa Geboy, bagaimana kalau saya pinjam 400 ribu saja?” tawar Bu Erni.

“Saya minta maaf, Bu Erni… benar, saya minta maaf… bukannya saya tidak mau membantu… bukannya saya tidak mau berbelas kasihan pada Ibu, tetapi uang di dompet saya tinggal 700 ribu, sedangkan di ATM saya tinggal 100 ribu…” kata saya pada wanita yang berumur sekitar 40 tahun ini sejujur-jujurnya tidak bohong.

Dia mau percaya atau tidak, terserah! Saya sudah berkata jujur padanya.

“Kalau begitu, saya… mmm… saya coba cari ke tempat lain saja, Papa Geboy… ngg.. ngg… saya minta maaf, sudah mengganggu…” katanya dengan menunduk, lalu berjalan perlahan-lahan meninggalkan ruang tamu rumah saya antara putus asa dan hilang harapan.

Sebagai seorang manusia yang masih mempunyai hati nurani… yang masih punya rasa belas kasihan, melihat kesulitan yang dialami oleh Bu Erni, rasanya saya tidak tega juga. Mau dia kembalikan pinjamannya atau tidak, terserah, yang penting saya sudah menjalankan tugas dan kewajiban saya menolong keluarga Pak Johan.

“Baiklah, Bu Erni,” kata saya sebelum Bu Erni melangkahkan kakinya sampai keluar dari pintu rumah saya.

Saat itu saya melihat Bu Erni tersentak kaget. Secepatnya dia berbalik ke ruang tamu saya. “Apa Papa Geboy? Benar Papa Geboy mau pinjam duit pada saya?” dia bertanya heran dan penuh harap pada saya.

“Iya Bu, Ibu tunggu sebentar… saya ambilkan!” jawab saya, lalu saya pergi ke kamar tidur saya.

“…. Pa, Mama lagi di rumah Papa Geboy.” saya mendengar Bu Erni menelepon Pak Johan. “Besok pagi Papa harus transfer ya, jangan lupa lho. Mama sudah bilang sama Papa Geboy akan segera dikembalikan…”

“Ini Bu uangnya, 600 ribu…” kata saya memberikan uang 600 ribu rupiah pada Bu Erni selesai dia telepon dengan suaminya, Pak Johan.

Mata Bu Erni kelihatan terbelalak dan berkaca-kaca seperti mau menangis melihat 6 lembar uang seratusan ribu di tangan saya. Dia menggenggam seerat-eratnya uang yang saya berikan padanya antara percaya dan tidak. “Tee… tee… rima kasih, Papa Geboy…” katanya dengan suara bergetar karena terharu.

“Iya Bu, pakai saja… nggak usah dipikirkan kapan mau Ibu kembalikan, gampang…” balas saya.

Yang tidak bisa saya percaya adalah ini…, tiba-tiba Bu Erni memeluk saya! Betapa saya terbengong-bengong dan terkaget-kaget untuk beberapa saat. “Saya memang tidak cantik, Papa Geboy. Kalau Papa Boboy mau pakai saya, silahkan!” katanya.

Haa… astaga!!!

“Apa, Bu Erni? Apa saya nggak salah mendengarnya?” tanya saya kaget.

“Ya Papa Geboy, saya minta maaf telah bikin Papa Geboy nggak nyaman jadinya,”

“Kalau benar, ya nggak apa-apa sih Bu.” balas saya tertarik juga dengan tantangan Bu Erni. “Mau dimana, Bu Erni?”

Bu Erni menunduk. Air matanya menetes ke lantai. “Apakah Papa Geboy nanti akan menganggap saya wanita murahan? Tadi saya spontan, Papa Geboy…”

Saya menegakkan wajah Bu Erni. Baru sekarang saya melihat wajah Bu Erni dari jarak yang paling dekat. Saya menghapus air matanya yang meleleh di pipinya yang berbintik-bintik hitam itu dengan jari saya. Lalu dengan perlahan saya mendekatkan bibir saya mengecup bibir Bu Erni, wanita yang mempunyai 4 orang anak ini.

“Saya pulang ya, Papa Geboy…”

Saya tersenyum. “Silahkan, Bu Erni.” jawab saya dengan terpaksa karena saya akan kehilangan Bu Erni sebelum saya menikmati tubuhnya meskipun sudah tidak sexy dan perutnya agak gendut.

Dia melangkah pergi dari ruang tamu saya dengan langkah perlahan dan sebelum sampai ke depan pintu, dia menoleh ke belakang memandang saya.

Saya pun tidak segan-segan lagi menarik tangan Bu Erni dan membawanya dalam pelukan saya, selanjutnya saya mencium bibirnya. Bu Erni membalas ciuman saya dengan hangat. “Ohhh… Papa Geboy… mmmhh… ooohh…” desahnya keluar dari sela-sela bibirnya.

Lidah saya yang terjulur ke mulutnya dihisapnya. Dengan demikian, tanpa menunda waktu lagi, saya menarik Bu Erni masuk ke kamar anak saya, Bobby. Di dalam kamar saya dan Bu Erni kembali berciuman semakin panas membara. Satu persatu pakaian kami terlepas dan bertebaran di lantai.

Tetek Bu Erni yang sudah kendor, saya cium, saya jilat dan saya hisap pentilnya silih berganti. Bu Erni hanya bisa melenguh dan merintih keenakan. Tapi ketika hendak kucium selangkangannya Bu Erni melarang. Bukan karena memeknya kotor dan bau. Bukan pula bulu jembutnya yang rimbun dan kribo seperti rambut dari orang timur sana.

“Tabu, Papa Geboy. Nggak boleh menyentuh daerah situ dengan mulut. Sebenarnya saya pengen mencoba, kata orang enak, tapi saya takut lebih banyak mudaratnya daripada senangnya…” kata Bu Erni.

“Percintaan yang hambar, Bu…” kata saya penasaran dengan memek Bu Erni yang kelihatan merekah basah itu sembari saya mengelus-elus bulu jembutnya dengan jari saya.

Saya melihat beberapa helai bulu jembut Bu Erni terlepas jatuh di seprei. “Hanya sebentar Bu, nggak lama-lama.” rayu saya.

‘Mmm… mm… yaudah…” jawab Bu Erni.

Haa… haa… saya tertawa dalam hati. Saya segera mengganjal pantat Bu Erni yang tepos itu dengan batal kepala dan kakinya saya kangkang lebar.

Sejurus kemudian Bu Erni sudah mendesis-desis dan mengerang-erang saat kelentitnya saya hisap dengan mulut dan lubang memeknya saya colok dengan jari, rahimnya saya korek sampai mengeluarkan bau amis yang menyengat hidung. Lendir memeknya menyembur keluar banyak sekali.

Dan pantat Bu Erni sampai naik dari atas bantal, tubuhnya melengkung seperti dia hendak menjelang ajal. “Aggghhhh… aaaggghh… aaaggghhh…” teriaknya kencang dengan tubuh kaku seperti benar-benar mau mati.

Ya, barangkali ini pertama kali Bu Erni merasakan orgasme sepanjang hidupnya. Banyak kali wanita hanya menerima tusukan kontol suaminya begitu saja sebagai kewajiban tanpa dia bisa merasakan kenikmatan atau orgasme.

“Bagaimana rasanya, Bu?” tanya saya pada Bu Erni yang masih bernapas terengah-engah.

“Malu ah, Papa Geboy…”

“Nikmat kan?”

Bu Erni mencubit perut saya dengan manja. Tahap berikutnya, saya menghujamkan kontol saya yang mengacung tegang menyodok lubang memek Bu Erni.

BLEESSSS….

“Awww… aahhh…” seru Bu Erni ketika kontol saya menyelusup masuk ke sumur cintanya.

“Sedap ya, Bu?”

Bu Erni tersenyum malu dan dia hanya berbaring dengan wajah meringis ketika saya menggenjot lubang memeknya. “Kasihan dengan suami saya, Papa Geboy… dia nggak tau apa-apa…” kata Bu Erni.

“Saya tidak akan cerita dengan siapa-siapa, Bu Erni… Ibu tenang saja, nikmati…” balas saya terus saja menggenjot Bu Erni.

Kadang-kadang saya mencium bibirnya diselingi dengan meremas teteknya. “Oggg… Papa Geboy… oggg… uuggg… aargghh… sodok yang dalam, Papa Geboy… enakkk… mmmhh… aagg…” rintih Bu Erni pantatnya meliuk-liuk memutar kontol saya.

Sedapnyaaa….

Lantas saya membalik Bu Erni ke atas. Tanpa malu-malu lagi dia memacu kontol saya yang terasa semakin keras itu di dalam memeknya sampai ujungnya mengganjal di rahimnya dan menusuk-nusuk rahimnya.

Saya mengejang, saya mengerang nikmat. Supaya lebih maksimal air mani saya nanti keluar nanti, saya balik kembali Bu Erni ke bawah. Saya pompa memeknya dengan lebih cepat. “Aaa… aaa… aaa..” rintih Bu Erni dengan mulut ternganga.

Saya cabut kontol saya, saya kocok di depan mulut Bu Erni. Croott… crroottt… sheerrr… air mani saya yang kental tumpah di dalam mulut Bu Erni, sebagian kena hidungnya.

Uang saya 600 ribu rupiah saya lenyap tidak apa-apa. Saya puas dengan memek Bu Erni. Tapi saya kasihan juga melihat dia berjalan pulang ke rumahnya dengan lesuh karena malu. Pasti dia akan merasa sangat tersiksa dengan suaminya.

Malamnya Pak Johan menelepon saya menanyakan nomor rekening saya di bank. Namun sejak saat itu, Bu Erni kalau melihat saya, ia jadi selalu tertunduk tidak berani melihat wajah saya.