JAHIL

Agus [42 tahun] berupaya melakukan terobosan ngawur dalam kehidupan rumah tangganya. Dia bosan istrinya seakan seperti pajangan yang dikunjungi kalau ada perlunya saja, terutama saat nafsu sedang menggebu-gebu mengidamkan selangkangan. Buah dari perjuangan Agus yang membujuk sang istri, Astrid, untuk melakukan sesuatu yang abnormal terkabulkan. Astrid rela melakukan semata-mata karena ia gundah menanggapi desakan sang suami yang terus-terusan. Apakah yang akan dilakukan oleh pasangan suami-istri yang telah dikaruniai seorang balita ini?


JAHIL

“Ihhh kamu iih, gak berubah-ubah, yaudah maunya kamu. gimana?”, ujar Astrid dengan raut sebal bercampur pipi chuubynya. Ia tahun ini mau memasuki umur genap 36 tahun. Kami sedang berbicara seraya berbaring menatap langit-langit, menjelang tidur malam.

“Nghhh… besok kamu berangkat kerja, pakai kaos ketat ya, bawahannya legging, gimana? Mau?”

“ENGGAK! Masa harus seperti itu, ENGGAK MAU!”

“Yaaahh sama aja bohong, males deh ah”, aku memalingkan tubuh, pura-pura ngambek untuk kesekian kali mendapat respon kurang positif dari Astrid tentang keinginanku.

“Yaudah, yaudah, aku turutin, mau kamu gimana? mau kamu bagaimana?”

“Udah enggak usah, kalau enggak mau, aku enggak maksa”

“Iyaa ini aku turutin Mas, apa mau kamu?”, Astrid mencolek punggungku.

“Ya, itu tadi… besok kamu pakai kaos ketat saat berangkat kerja”

“Terus, selanjutnya?”

“Besok kan kita berangkat bareng, yaudah kamu tunggu aja instruksi selanjutnya dari aku, supaya kamu enggak kepikiran malam ini. Supaya bisa tidur Hehehe”

“Kamu ngomong gini aja aku sudah kepikiran Mas, ck”

Namaku adalah Agus. Aku bersama istri dan anakku yang berusia 4 tahun tinggal di sebuah kos-kosan bertingkat di sekitaran Barat Jakarta. Tempat tinggal kami cukup menyenangkan dan nyaman karena jumlah penghuninya tak banyak, ditambah kosan ini bersih karena kerap ada petugas yang rutin membersihkan, kira-kira seminggu tiga kali mereka bertandang. Kami tinggal di lantai dua dengan fasilitas pendingin ruangan serta kamar mandi yang menyatu dengan kamar kos sehingga kamar yang kami tempati adalah salah satu kamar yang sewanya mahal, meski tak semahal harus mengontrak sebuah rumah. Bangunan kos ini terdiri dari tiga lantai. Lantai dasar, bagian depan terdapat pertokoan kelontongan, juga sebuah tempat menginap sekaligus menunggu bagi penjaga kos. Kemudian di seberang tempat kos ada sebuah warung kopi yang ramai disinggahi setiap malam, terutama akhir pekan.

DUGH DUGH DUGH DUGH|Seseorang mengetuk pintu kamar kos kami.

“Kamu yang buka Mas”

“Enggak ah, kamu aja, aku sudah mager banget habis nemenin main Aldo (Putraku yang berusia 4 tahun. Ia sedang tidur di kasur mungil bersandingan dengan ranjang aku dan Astrid tidur)”

“Tapi aku sudah dasteran gini”

“Ya gapapa kan cuman ngecek doang, palingan tetangga sebelah mau kasih makanan sesuatu”

“Ck, kamu kebiasaan ish”, Astrid merajuk, menuruni ranjang dengan rasa jengkel karena aku bertahan di atas tempat tidur, malas menemui seseorang yang mengetuk pintu pada jam tidur.

Astrid keluar, menutup pintu. Ia berbicara dengan seseorang yang sedikit aku hafal suaranya, yaitu Dayat [45 tahun]. Dia adalah penjaga kos sini yang sering mendapat giliran jaga malam. Siang harinya dia masih harus bekerja sebagai seorang karyawan. Karena rumah berdekatan dengan tempat kos kami, ia rela memperoleh penghasilan tambahan dengan menjaga tempat kos ini. Baik Aku dan istriku sudah mengenal dekat Dayat karena kami tinggal di kosan sudah hampir 3 tahun.

Aku adalah seorang pendatang yang menikahi Astrid yang sudah lama mendiami ibukota. Astrid sempat bekerja di sebuah perusahaan farmasi, namun setelah melahirkan aku meminta dirinya vakum, tidak menutup kemungkinan di kemudian hari, Astrid dapat bekerja kembali seperti sebelumnya. Apalagi menurut istriku, perusahaannya dengan terbuka menerima kembali Astrid karena ia tergolong diperhitungkan di kantor.

Belum jua masuk ke kamar, Aku penasaran mengapa istriku lama sekali di luar. Aku bergegas turun perlahan dari ranjang, menengok keadaan di luar.

“Saya bukan enggak mau bayar bu, masalahnya uangnya sedang tidak ada, sedangkan kalau saya angkat kaki di sini, saya musti perlu waktu mencari tempat baru lagi”, ungkap Mang Doyok. Dia adalah penghuni satu deret kamar dengan kami, tersela oleh sebuah kamar yang kosong penghuni.

“Saya sudah berusaha memahami Mang, saya juga secara pribadi sebetulnya bisa sekali memaklumi kondisi mamang. Hanya saja, kembali lagi saya di sini hanya menjalankan pekerjaan, menjalankan perintah. Lagipula jawaban Mamang tiga bulan belakangan selalu janji mau bayar, tetapi keseriusannya enggak ada”

“Aku ini tinggal di sini sudah hampir dua tahun loh, hanya 3 bulan belakangan enggak bayar, tolong jangan distempel enggak ada keseriusan, hati-hati kamu bicara”

“Iya saya mengerti, cuman ada kewajiban untuk membayar Mang, harus ada kepastian”

“Ya sudah beri aku 1 minggu lagi untuk mencari pinjaman dulu”, tutur Mang Doyok.

“Mba Astrid jadi saksi ya, itu kenapa Saya minta Mba Astrid ikut menyimak”

“Iyaaa Mas Dayat”, Astrid berdiri mengangguk-ngangguk, berada di tengah dua laki-laki yang sedang berhadapan.

“Baik Mang, sudah janji loh yaa, jangan ngeles lagi”

“Kali ini saya usahakan keras menepatinya”

“Ya sudah terima kasih banyak Mba Astrid atas kesediaan waktunya, mohon maaf mengganggu waktu istirahat. Tolong sampaikan maaf juga untuk Mas Agus”

“Iyaaa, nanti saya sampaikan”

“Agus sudah tidur jam segini?”, tanya Mang Doyok dengan raut terang memandang Astrid.

“Iyaaa mang, hehehe, cape kayaknya”

“Lemah sekali, jam segini sudah tidur, weleh-weleh, biasanya temani saya mengopi dia”

“Kalau begitu, saya pamit masuk dulu ya”

“Iyaaa, silakan Mba”

Di lantai dua ini terdapat deret kamar yang berhadapan, masing-masing terdiri dari 5 kamar. Ada pula dapur yang berada di sisi sebelah kanan kamarku yang biasa digunakan untuk para penghuni memasak atau makan karena tersedia meja makan di sana. Astrid, Dayat, dan Mang Doyok berbicara di depan kamar Mang Doyok. Istriku sudah kelar, ia hendak masuk ke kamar. Ketika berjalan melambat, aku perhatikan, baik mata Mang Doyok dan Dayat melirik nakal ke bodi istriku. Bola Mata Mereka mungkin meneropong bokong dan paha Astrid karena bagian tersebut terlihat rendah dan menerawang diintip. Daster berwarna biru muda yang dia kenakan bagian atasnya memang normal-normal saja, tidak menimbulkan kesan erotis apalagi sensual sehingga tidak heran lirikan mata Mang Doyok dan Dayat ke bagian bawah badan istriku.

“Aku sudah tahu harus apa dan bagaimana dengan Astrid, hehehe”, ucapku segera buru-buru menaikki tempat tidur sebelum istriku menyadari bahwa aku telah mengamatinya.

To be continued…