JEJAK PENGKHIANATAN
Malam itu, Angga dan Dewi kembali bertengkar. Pertengkaran tersebut sudah menjadi rutinitas mereka selama dua bulan terakhir. Angga duduk di sofa sambil menatap layar televisi dengan pandangan kosong. Dewi berdiri di hadapan Angga, menatapnya dengan penuh kemarahan.
“Kenapa kamu masih saja bekerja?” tanya Angga dengan nada kesal. “Aku sudah melarangmu, tapi kamu tidak mau mendengarkan.”
“Aku tidak bisa hanya duduk di rumah saja,” jawab Dewi dengan ketus. “Aku ingin mandiri dan bisa menghidupi diriku sendiri.”
“Tapi kamu punya aku,” kata Angga. “Aku bisa menafkahi kamu dan anak kita.”
“Aku tidak ingin menjadi bebanmu,” kata Dewi. “Aku ingin menjadi wanita yang mandiri dan bisa diandalkan.”
Angga menghela napas panjang. Dia tahu bahwa Dewi adalah wanita yang keras kepala. Dia juga tahu bahwa Dewi ingin mandiri dan bisa menghidupi diri sendiri. Namun, Angga juga ingin Dewi berada di rumah saja mengurus rumah dan anak mereka.
“Aku hanya ingin yang terbaik untukmu dan anak kita,” kata Angga. “Aku tidak ingin kamu bekerja keras dan meninggalkan anak kita sendirian.”
“Aku bisa mengurus anak kita,” kata Dewi. “Aku bisa bekerja dan mengurus anak kita bersamaan.”
“Tapi itu tidak mudah,” kata Angga. “Kamu akan kewalahan.”
Dewi terdiam sejenak. Dia tahu bahwa Angga benar. Menjadi ibu rumah tangga dan bekerja sekaligus memang tidak mudah. Namun, dia juga tidak ingin menyerah begitu saja. Tiba-tiba, dia teringat sesuatu yang membuat dia marah.
“Kamu tidak pernah mendukungku,” kata Dewi dengan nada kesal. “Kamu selalu melarangku melakukan apa yang ingin aku lakukan.”
“Aku hanya ingin melindungimu,” kata Angga.
“Perlindunganmu itu tidak berguna,” kata Dewi. “Kamu hanya mempersulit hidupku.”
Angga menatap Dewi dengan terkejut. Dia tidak menyangka bahwa Dewi akan berkata seperti itu.
“Apa maksudmu?” tanya Angga.
“Aku tidak bisa melakukan apa-apa karena kamu,” kata Dewi. “Aku tidak bisa bekerja, aku tidak bisa mengurus rumah, dan aku tidak bisa mengurus anak kita dengan baik.”
“Itu tidak benar,” kata Angga. “Kamu bisa melakukan semua itu.”
“Tidak, aku tidak bisa,” kata Dewi. “Kamu selalu ada di sana untuk mengkritikku dan membuatku merasa tidak berguna.”
Angga merasa tersudut. Dia tidak tahu harus berkata apa.
“Aku tidak bermaksud seperti itu,” kata Angga akhirnya. “Aku hanya ingin yang terbaik untukmu.”
“Tapi yang terbaik untukku bukanlah apa yang kamu inginkan,” kata Dewi. “Yang terbaik untukku adalah aku bisa menjadi diriku sendiri.”
Dewi lalu berbalik dan berjalan menuju kamar. Angga menatapnya dengan perasaan sedih dan kecewa.
Angga Aryasatya (28 tahun) adalah seorang pria yang tampan dan gagah. Dia memiliki tinggi badan 172 cm dan berat badan 65 kg. Kulitnya putih bersih dan rambutnya hitam lebat. Dia memiliki mata yang tajam dan hidung yang mancung. Angga adalah seorang pria yang cerdas dan bertanggung jawab. Dia bekerja sebagai seorang engineer di sebuah perusahaan swasta. Dia memiliki gaji yang cukup besar, sehingga dia bisa menafkahi keluarganya dengan baik. Angga adalah seorang pria yang penyayang dan perhatian. Dia selalu berusaha untuk menjadi suami yang baik bagi Dewi dan ayah yang baik bagi anaknya. Namun, dia juga memiliki ego yang cukup besar. Dia terkadang ingin memaksakan kehendaknya kepada Dewi, tanpa memperhatikan perasaan Dewi.
Dewi Ardiningrum (27 tahun) adalah seorang wanita yang cantik dan anggun. Dia memiliki tinggi badan 165 cm dan berat badan 55 kg. Kulitnya putih bersih dan rambutnya hitam panjang. Dia memiliki mata yang indah dan bibir yang tipis. Dewi adalah seorang wanita yang mandiri dan cerdas. Dia memiliki gelar sarjana ekonomi dari sebuah universitas ternama. Dia ingin bekerja dan menjadi wanita yang mandiri. Dewi adalah seorang wanita yang lembut dan penyayang. Dia selalu berusaha untuk menjadi istri yang baik bagi Angga dan ibu yang baik bagi anaknya. Namun, dia juga memiliki sifat yang keras kepala. Dewi sulit menerima masukan atau kritik, terutama ketika merasa yakin dengan pendapat atau keputusannya. Dia juga terkadang memaksakan kehendaknya kepada Angga, tanpa memperhatikan perasaan Angga.
Angga duduk termenung di sofa. Dia tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Dewi. Angga merasa marah. Dia marah karena Dewi tidak menghargai usahanya. Dia juga marah karena Dewi tidak mau mendengarkannya. Angga tidak bisa tidur. Dia hanya bisa memikirkan Dewi dan bagaimana dia harus menyadarkannya. Angga kemudian berbaring di sofa, termenung dan marah. Lama-lama mata Angga mulai berat dan akhirnya dia tertidur lelap.
#####
ANGGA POV
Sinar mentari pagi menerobos jendela kantorku, menyinari wajahku yang sedang asyik membaca laporan. Aku menghela napas lega. Hari ini adalah hari yang baru, dan aku siap untuk menghadapinya dengan penuh semangat. Aku adalah seorang mechanical engineer di perusahaan otomotif ternama di tanah air. Tugasku adalah memeriksa komponen-komponen yang telah diproduksi untuk memastikan bahwa setiap komponen tersebut memenuhi standar kualitas yang ditetapkan.
Sebelum memulai pekerjaanku, aku selalu memeriksa alat-alat yang akan aku gunakan. Kali ini, aku menggunakan alat ukur yang sudah ada. Namun, aku merasa bahwa alat tersebut tidak cukup presisi. Aku bisa melihat bahwa ada beberapa komponen yang tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan. Aku mulai berpikir bahwa perlu ada alat ukur yang lebih presisi. Alat tersebut dapat membantuku memastikan bahwa setiap komponen yang diproduksi memenuhi standar kualitas yang ditetapkan perusahaan.
Aku duduk di meja kerjaku, tenggelam dalam pikiran. Aku membayangkan sebuah alat ukur yang memiliki presisi yang jauh lebih tinggi dibandingkan alat yang sudah ada. Alat tersebut dapat membantuku memastikan bahwa setiap komponen yang diproduksi memenuhi standar kualitas yang lebih baik. Aku mulai menggambar sketsa alat ukur baruku di atas kertas. Aku memikirkan setiap detailnya, mulai dari desain hingga cara kerja alat tersebut. Aku menghabiskan berjam-jam untuk mengerjakan sketsa tersebut. Akhirnya, aku merasa puas dengan sketsa alat ukur baruku.
Aku yang tengah fokus memeriksa sketsa alat ukur terbaruku, tiba-tiba aku mendengar langkah berat terdengar di depan ruanganku. Tak berselang lama, Herman, rekan kerja sekaligus sahabat karibku, melangkah masuk dengan ekspresi wajah yang kusut dan matanya terlihat berkaca-kaca. Jelas terlihat bahwa dia tengah menghadapi persoalan yang menurutku cukup berat. Aku menatap Herman, menyambutnya dengan raut wajah penuh kekhawatiran.
“Ada apa, Herman?” tanyaku saat dia membanting pantatnya di kursi depan meja kerjaku.
“Istriku berselingkuh,” jawab Herman dengan suara bergetar.
Aku terkejut mendengar kabar tersebut. Herman dan istrinya, Lina, adalah pasangan yang harmonis. Mereka sudah menikah selama 10 tahun dan memiliki dua orang anak.
“Apa buktinya?” tanyaku.
Herman mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto. Foto tersebut menunjukkan istrinya sedang bersama seorang pria di sebuah restoran.
“Aku melihatnya sendiri,” kata Herman. “Mereka terlihat sangat mesra.”
Aku terdiam, tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Kesedihan melanda hatiku begitu mendengar kabar tersebut. Simpati yang mendalam pun terasa saat melihat Herman dalam keadaan seperti ini. Sejenak, kami saling bertatapan, dan aku bisa merasakan betapa beratnya beban yang ia pikul.
“Aku tidak tahu harus berbuat apa,” kata Herman. “Aku ingin memukulinya, tapi aku juga tidak ingin menyakiti anak-anakku.”
“Tenangkan dirimu dulu,” kataku. “Kita cari solusinya bersama-sama.”
Wajah Herman tampak mengekspresikan kelelahan. Dia menghela napas panjang, memberikan kesan bahwa beban yang ia pikul begitu besar. Tatapan matanya menunjukkan kegalauan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
“Aku tidak tahan lagi,” kata Herman. “Aku juga ingin berselingkuh.”
Dengan keterkejutan, aku menyimak apa yang diungkapkan oleh Herman. Sama sekali tidak terlintas di benakku bahwa dia akan memiliki pandangan sejauh ini. Sambil merenung sejenak, aku berusaha memahami kerumitan pemikirannya yang begitu mendalam.
“Apa kau yakin?” tanyaku.
“Ya, aku yakin,” kata Herman. “Aku ingin membalas dendam.”
Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku tidak ingin mendukung Herman untuk berselingkuh. Namun, aku juga tidak ingin menghakiminya.
“Aku mengerti perasaanmu,” kataku. “Namun, aku tidak yakin apakah berselingkuh adalah solusi yang tepat.”
“Kenapa tidak?” tanya Herman. “Itu hanya cara untuk membalas dendam.”
“Mungkin saja,” kataku. “Namun, kau harus ingat bahwa perselingkuhan adalah tindakan yang salah. Kau juga harus siap menghadapi risikonya.”
Aku menatap Herman dengan penuh kekhawatiran. Matanya yang berkaca-kaca menunjukkan bahwa dia sedang sangat terpukul. Aku tahu bahwa dia sedang memikirkan untuk membalas dendam kepada istrinya dengan cara berselingkuh. Aku menghela napas panjang. Aku mengerti perasaannya, tetapi aku tidak ingin mendukungnya untuk melakukan hal yang salah. Perselingkuhan bukanlah solusi yang tepat. Aku ingin dia memikirkan matang-matang keputusannya. Herman terdiam. Dia tampak berpikir keras. Aku menunggu dengan sabar, berharap dia akan mengambil keputusan yang bijak.
Aku menghela napas panjang. Aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk menasihati Herman, tetapi sepertinya dia tidak bisa menerimanya. Herman berdiri dari tempat duduknya lalu berjalan keluar dari ruanganku sambil menggeleng-gelengkan kepala. Aku bisa melihat kekecewaan dari sikapnya itu. Aku mengerti mengapa Herman merasa seperti itu. Dia sedang marah dan kecewa pada istrinya. Dia ingin membalas dendam, dan dia berpikir bahwa berselingkuh adalah cara yang tepat untuk melakukannya. Namun, aku tidak bisa mendukung Herman. Aku tahu bahwa perselingkuhan adalah tindakan yang salah. Aku hanya bisa berharap bahwa Herman akan bisa menemukan solusi yang lebih baik untuk masalahnya.
Aku menyandarkan punggung di sandaran kursi sembari merefleksikan peristiwa yang Herman alami. Memang harus diakui, sekarang ini perselingkuhan seakan-akan menjadi hal yang wajar. Aku pernah membaca hasil riset yang dibeberkan oleh General Social Survei dari National Opinion Research, ditemukan fakta mencengangkan. Hasil riset tersebut menyatakan perselingkuhan lebih banyak dilakukan oleh pihak istri ketimbang suami, hal ini disebabkan oleh karena kemampuan wanita dalam menopang hidup secara finansial menunjukkan kemajuan pesat. Fenomena ini membuat wanita lebih mandiri dan bisa bertanggung jawab pada diri sendiri, sehingga membuat mereka tidak terlalu mengkhawatirkan perceraian.
Aku menghela napas panjang lagi. Aku tahu kalau aku tidak bisa mencegah orang lain untuk berselingkuh. Namun, aku bisa berusaha untuk melindungi pernikahanku sendiri. Oleh karena itulah aku termasuk laki-laki yang tidak menginginkan istri bekerja. Aku tahu kalau pendapatku ini mungkin terdengar sangat naif. Namun, aku percaya bahwa itu adalah cara terbaik untuk melindungi pernikahanku. Aku tidak ingin istriku bertemu dengan pria lain di tempat kerja, karena aku takut istriku akan jatuh cinta dan berselingkuh. Namun kini sudah terjadi, aku tidak mampu menahan keinginan istriku untuk bekerja. Aku berharap apa yang ada di pikiranku ini tidak terjadi dalam kehidupan rumah tanggaku.
#####
DEWI POV
Aku duduk di salah satu sudut kafe yang dipadati oleh pengunjung, suatu tempat yang terletak di pusat Kota Jakarta, yaitu di Jalan Thamrin. Hari ini, Lina, rekan kerjaku dan istri sahabat suamiku, Herman, menemani aku. Meskipun awalnya suasana santap siang bersama kami penuh keceriaan, namun segalanya berubah menjadi canggung ketika Lina memutuskan untuk berbagi pengalaman rahasianya. Dengan agak ragu, Lina menceritakan kisah perselingkuhannya dengan atasannya, Rendy. Aku merasakan suasana berubah, dan ekspresi wajah Lina menggambarkan beragam emosi yang sulit diungkapkan. Meskipun terkejut dengan pengakuan yang tak terduga ini, aku berusaha menjaga sikap dengan mendengarkan kisah rekan kerjaku ini dengan penuh perhatian.
“Dia sangat tampan, Dewi,” kata Lina sambil tersenyum. “Aku langsung jatuh cinta padanya saat pertama kali bertemu.”
Aku mengangguk. Aku harus mengakui bahwa Rendy memang pria yang sangat mempesona, membuat banyak wanita terpikat. Dia tinggi dan atletis, dengan wajah yang tampan dan senyum yang manis. Pesonanya terpancar dari setiap gerakannya, menambah daya tarik yang sulit diabaikan. Yang membuatnya begitu istimewa adalah kombinasi antara kemaskulinan dan kelembutan yang terpancar dari sikapnya.
“Dia selalu perhatian padaku,” kata Lina melanjutkan. “Dia selalu membuatku merasa istimewa.”
Aku bisa merasakan kerinduan di suara Lina. Dia jelas sangat mencintai Rendy. Setiap kata yang terucap memancarkan kehangatan dan kelembutan, menggambarkan betapa mendalamnya perasaan Lina terhadap pria yang menjadi pusat kisahnya itu. Melalui intonasi yang penuh kasih, tergambar jelas betapa Rendy menyimpan tempat yang istimewa dalam hati Lina.
“Kami mulai berkencan secara diam-diam,” kata Lina. “Aku merasa sangat bersalah pada Herman, tapi aku tidak bisa menahan diri.”
Aku menghela napas. Aku tidak bisa menyalahkan Lina. Dia hanya ingin bahagia. Dalam ucapannya itu, terasa begitu kuat keinginan temanku ini untuk menemukan kebahagiaan sejati. Menurutku, apa yang dipilih Lina adalah langkah berani untuk membebaskan diri dari belenggu yang merintangi.
“Bagaimana rasanya selingkuh?” tanyaku penasaran.
Lina tersenyum. “Rasanya sangat luar biasa,” katanya. “Aku merasa hidupku penuh dengan sensasi.”
Aku tersenyum. Aku bisa membayangkan bagaimana rasanya berselingkuh dengan pria yang tampan dan perhatian. Pasti sangat menyenangkan. Tiba-tiba muncul keinginan untuk merasakan sesuatu yang baru dan menggoda, sungguh sangat menggairahkan.
“Aku merasa sangat dicintai dan disayangi,” kata Lina. “Rendi selalu membuatku merasa seperti wanita yang paling cantik dan istimewa di dunia.”
Aku merasa iri pada Lina. Aku ingin merasakan hal yang sama. Aku ingin merasa dicintai dan disayangi oleh seorang pria. Kerinduan itu menjadi semakin mendalam, memunculkan impian tentang kebahagiaan yang selalu terbayang di benakku.
“Tapi, kamu tidak merasa bersalah pada Herman?” tanyaku.
Lina terdiam sejenak. “Aku merasa bersalah,” katanya akhirnya. “Tapi, aku juga merasa bahagia. Aku tidak tahu harus bagaimana.”
Aku tidak bisa memberikan jawaban untuk pertanyaan Lina. Aku juga tidak tahu harus bagaimana. Kami melanjutkan makan siang sambil berbincang-bincang tentang hal lain. Namun, pikiranku masih tertuju pada cerita Lina tentang perselingkuhannya. Aku tidak bisa memungkiri bahwa aku merasa tertarik untuk mencobanya.
Aku dan Lina menyudahi makan siang kami di kafe. Waktu istirahat kerja sudah hampir habis. Kami bergegas menuju mobil Lina. Di perjalanan, kami berbincang-bincang tentang hal lain. Namun, pikiranku masih tertuju pada cerita Lina tentang perselingkuhannya. Aku merasa iri pada Lina. Ya, aku ingin merasakan hal yang sama.
Sesampainya di kantor, aku kembali melakukan aktivitasku sebagai teller bank. Namun, pikiranku masih bercabang antara fokus pada pekerjaan dan cerita Lina. Aku merasa ada daya tarikan yang kuat untuk mencoba apa yang Lina lakukan. Aku tahu bahwa perselingkuhan adalah hal yang salah. Namun, aku juga merasa bahwa aku layak untuk merasakan cinta dan kasih sayang. Aku ingin merasa dicintai dan disayangi oleh seorang pria. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku takut, tetapi aku juga takut akan kehilangan kesempatan untuk merasakan kebahagiaan. Akhirnya aku memutuskan untuk menyimpan perasaan ini untuk diriku sendiri. Aku akan memikirkannya dengan baik sebelum mengambil keputusan.
Waktu menunjukkan pukul 16.30 sore. Ini waktunya aku pulang kerja. Namun, aku merasa lebih senang berada di kantor ketimbang di rumah. Rumahku terasa bagaikan neraka. Aku merasa tertekan dan tidak bahagia di sana. Dengan malas, aku melangkah ke halte bus yang letaknya persis di depan tempat kerjaku. Halte ini kosong, hanya aku sendirian di sini. Aku menunggu angkutan umum yang setiap hari mengantarkanku pulang. Aku melihat ke arah jalan raya yang ramai dengan kendaraan. Aku menghela napas panjang. Aku merasa lelah dan tidak bersemangat. Aku melirik ke arah gedung perkantoran di seberang jalan, melihat beberapa orang yang sedang beraktivitas di sana. Mereka tampak bahagia dan bersemangat. Aku merasa iri pada mereka. Aku ingin memiliki kehidupan seperti mereka.
Tiba-tiba sebuah Mercedes Benz yang elegan berhenti di hadapanku. Pintu mobil mewah itu terbuka, dan dari dalamnya muncul seorang pria tampan, mengenakan jas dan dasi yang menambah kesan elegan pada penampilannya. Pria itu mendekati aku dengan langkah tergesa-gesa, membuka percakapan dengan pertanyaan tentang alamat yang tak jauh dari rumahku. Kami pun terlibat dalam pembicaraan ringan tentang rute dan jalan yang rumit menuju tempat yang ia cari. Meski aku berulang kali menjelaskan rincian perjalanan tersebut, pria tampan itu justru tersenyum sambil menggelengkan kepala, mengindikasikan kebingungannya. Dalam kebimbangan, aku menyarankan agar ia menggunakan Google Maps. Namun, pria itu menyebutkan bahwa smartphone-nya tertinggal di kantornya. Dengan sedikit ragu, aku memberanikan diri untuk mengatakan bahwa alamat yang ia tuju sangat dekat dengan rumahku. Ekspresi antusias terpancar di wajah pria itu, dan dia mengajakku untuk mengantarkan dirinya, sekaligus mengantarkan aku pulang. Aku berusaha untuk tidak terlihat tertarik dengan ajakan pria tampan itu. Aku pura-pura menolak ajakannya untuk mengantarkanku pulang.
“Maaf, tapi aku tidak bisa mengantarkanmu ke tempat itu. Aku akan pulang naik bus saja,” kataku.
Pria itu tampak kecewa. “Aku mohon, aku sangat membutuhkan bantuanmu. Rumah yang kutuju adalah rumah nenekku yang sedang sakit dan perlu segera dibawa ke rumah sakit,” katanya.
Aku terkejut mendengar pengakuannya, dan rasa keterkejutan itu segera diikuti oleh perasaan simpati. Aku tidak tega meninggalkannya begitu saja, dan tentu saja hatiku tergerak untuk membantunya.
“Oh, begitu. Baiklah, aku akan mengantarmu,” kataku.
Pria itu tersenyum lega. “Terima kasih banyak.”
Kami pun masuk ke dalam mobil mewahnya. Aku merasakan kenyamanan di ruang dalam mobilnya yang dirancang begitu elegan. Selama perjalanan, kami melintasi jalan-jalan perkotaan yang lumayan padat merayap. Pria tampan ini bernama Dimas. Dia mengaku seorang pengusaha di bidang ekspor impor. Hingga akhirnya, lewat obrolan yang hangat dan penuh keceriaan, kami membagi banyak cerita, membangun konektivitas yang tumbuh seiring dengan kilometer yang terlewati.
“Kamu tahu, aku punya teman yang bekerja di bank. Dia bilang, kalau kamu mau jadi kaya, kamu harus punya banyak rekening bank.” Kata Dimas sembari mengemudikan mobilnya.
“Kenapa begitu?” Tanyaku penasaran.
“Karena semakin banyak rekening bankmu, semakin banyak biaya administrasi yang harus kamu bayar. Dan semakin banyak biaya administrasi yang kamu bayar, semakin besar uangmu.” Jelasnya sambil tersenyum.
“Loh kok aneh? Bukannya malah tambah berkurang?” Aku coba mencerna ucapan Dimas.
“Nggak dong … Semakin banyak kamu punya rekening, semakin besar jumlah uang yang kamu miliki.” Dimas pun tersenyum.
“Ikh kamu … Bisa aja …” Aku terkikik dengan candaan Dimas tersebut.
Dimas pun terus bercerita dan bercanda, membuka dirinya lewat kata-kata yang mengalir begitu alami. Saat-saat itu, obrolan kami menjadi semakin seru dan mengalir begitu lancar. Aku merasa terhubung dengan cerita-cerita yang dibagikan olehnya. Kebersamaan kami di dalam mobil itu membuatku semakin merasa nyaman berada di sampingnya.
Tanpa terasa, kami sudah sampai di tujuan. Ternyata Dimas ingin mengantarkan aku sampai depan rumahku. Aku berusaha untuk menolak, namun Dimas bersikeras dengan keinginannya itu. Memang tidak sampai dua menit kami sampai dan Dimas menghentikan mobilnya tepat di depan rumahku. Sebelum berpisah, kami saling memberikan kartu nama. Aku pun mengucapkan selamat tinggal kepada Dimas.
Aku berjalan melintasi halaman dan tiba-tiba perasaan nyaman yang kurasakan barusan lenyap begitu saja. Aku melihat pintu rumah seakan melihat hantu. Perlahan aku membuka pintu dan langsung saja aku terhenyak saat mendapati Angga sudah berdiri di depanku. Wajahnya sungguh tidak bersahabat.
“Siapa yang mengantarkanmu pulang?” tanya Angga dengan nada dingin.
Melihat sikapnya itu tiba-tiba saja aku naik pitam, “Dia butuh petunjuk jalan dan aku mengantarnya.” Kataku tak kalah dingin.
“Jangan berbohong padaku. Daerah ini sangat terkenal dan mudah dicapai. Aku tak percaya kalau ada orang yang tidak tahu daerah ini sampai meminta seseorang untuk mengantarkannya.” Kata Angga dengan nada mulai meninggi.
“Aku tidak berbohong. Itu kenyataannya!” Aku berteriak marah. Aku pun menceritakan semuanya dengan berapi-api.
“Apakah kamu sadar? Kalau dia sedang butuh waktu segera untuk mengantarkan neneknya ke rumah sakit, kenapa dia masih sempat mengantarkanmu ke sini?” Pertanyaan Angga benar-benar menukik.
“Karena sebentar, gak butuh waktu lama dia ke sini!” Tegasku sambil geleng-geleng kepala. Ada saja ucapan Angga yang selalu menyudutkanku.
“Siapa dia?” Angga bertanya lagi dengan penuh curiga.
“Angga …” Kataku bergetar menahan amarah. Aku yang sehari-hari memanggilnya ayah kali ini aku memanggilnya dengan sebutan nama karena rasa hormatku lenyap seketika. “Aku sudah menceritakan semuanya. Terserah kamu mau percaya atau tidak. Aku gak peduli!”
Angga menatapku dengan penuh kemarahan. Urat-urat di dahinya terlihat menonjol. Dia membuka mulutnya untuk berbicara, tetapi aku tidak tahu apa yang akan dia katakan. Aku pun mengambil langkah maju, mendekat ke Angga. Aku menatapnya dengan penuh kemarahan.
“Aku tidak berbohong,” kataku dengan suara tegas.
Aku bisa merasakan darahku mendidih di dalam tubuhku. Mataku menjadi merah dan berkilat. Jemariku mengepal erat. Angga menatapku dengan terkejut. Dia tidak menyangka aku akan menjawabnya dengan tegas. Dia pun mengambil langkah maju, mendekat ke arahku. Wajahnya semakin tegang dan marah. Kami berdua saling bertatapan dengan tatapan tajam. Suasana di rumah pun terasa semakin tegang. Akhirnya, Angga menghela napas. Dia berbalik dan meninggalkanku. Aku pun berdiri kaku di tempatku, masih merasakan kemarahan.
Aku berusaha meredakan emosi. Secara perlahan kemarahanku mereda. Segera saja aku berjalan menuju kamarku. Di sana aku langsung mandi, membasuh tubuh dengan air dingin dengan harapan hatiku kembali sejuk. Setelah selesai mandi, aku memakai pakaian casual, celana panjang dipadukan dengan kaus putih dan sneakers putih. Tak lupa aku juga merias wajah dengan bedak juga lipbalm. Setelah siap, aku keluar kamar, melewati Angga begitu saja yang sedang menonton televisi. Aku berjalan cepat menuju ruang depan dan keluar dari rumah. Untung saja Angga tidak menegurku, kalau saja ia menegurku sudah sangat pasti pertengkaran tidak bisa dihindari lagi.
Aku berdiri di depan rumah, menatap taksi online yang baru saja berhenti di depanku. Tanpa membuang waktu, aku masuk ke dalam taksi online tersebut dan duduk di kursi belakang. Tidak lebih dari setengah jam, aku sampai di rumah orangtuaku. Aku langsung masuk ke dalam rumah dan mendapati ayah, ibu, dan anakku yang baru bisa berjalan di ruang tengah. Aku segera memburu anakku, Aksa. Aksa adalah anak laki-lakiku yang berusia satu tahun. Dia baru saja bisa berjalan, dan dia sangat lucu. Aku menggendong Aksa dengan penuh kasih sayang. Kuciumi wajahnya yang imut dan lucu. Aksa pun tertawa kegirangan. Setelah itu, aku duduk di sofa bersama ayah dan ibuku. Mereka menyambutku dengan penuh kegembiraan.
“Ayah, Ibu, aku ingin bercerai dengan Angga,” kataku dengan suara tegas.
Ayah dan ibu terkejut mendengar perkataanku. Mereka menatapku dengan penuh kekhawatiran.
“Kenapa, Dewi?” tanya ayah.
“Karena aku sudah tidak tahan dengan sikap dan perilakunya,” jawabku. “Dia selalu kasar kepadaku dan selalu curiga kepadaku.”
Ayah dan ibu menghela napas. Mereka terlihat sangat sedih mendengar perkataanku.
“Kami tahu kamu sedang dalam kondisi yang sulit,” kata ibu. “Tapi, kami harap kamu bisa bertahan.”
“Bertahan untuk apa?” tanyaku dengan kesal. “Aku sudah tidak bahagia lagi.”
“Pernikahan bukan hanya tentang kebahagiaan,” kata ayah. “Ada banyak hal lain yang harus dipertimbangkan. Perceraian bukanlah jalan keluar yang mudah. Ada banyak konsekuensi yang harus ditanggung, baik oleh kamu maupun Aksa. Jika kamu bercerai, kamu akan kehilangan suamimu. Kamu juga akan kehilangan dukungan finansial darinya. Dan, yang paling penting, kamu akan kehilangan ayah dari anakmu. Kami tidak ingin kamu menyesal di kemudian hari karena telah mengambil keputusan yang salah.”
Ibu pun menimpali, “Dewi, kami tahu kamu sangat mencintai Aksa. Tapi, kamu harus ingat bahwa Aksa juga membutuhkan kasih sayang dari seorang ayah. Jika kamu bercerai, Aksa akan tumbuh tanpa ayah di sisinya. Dia akan merasa kesepian dan terlantar. Kami tidak ingin itu terjadi pada Aksa.”
Aku terdiam. Aku mendengarkan perkataan ayah dan ibu dengan saksama. Aku tahu mereka benar. Perceraian bukanlah jalan keluar yang mudah. Aku memang memiliki anak, Aksa. Aku tidak ingin Aksa tumbuh tanpa ayah. Tapi, aku juga tidak ingin terus-menerus hidup dalam tekanan dan ketakutan. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku merasa sangat bingung dan sedih.
Ayah kemudian berkata, “Nanti ayah akan bicara sama Angga. Nanti selepas maghrib, ayah akan menemui Angga. Malam ini kamu menginap saja di rumah ini.”
Aku merasa sangat senang ketika ayah mengatakan bahwa dia akan bicara dengan Angga. Aku berharap Angga berubah setelah berbicara dengan ayah. Aku tahu bahwa ayah adalah orang yang bijaksana dan berwibawa. Ayah pasti bisa membujuk Angga untuk berubah. Aku ingin sekali bisa hidup bahagia bersama Angga. Aku ingin Angga menjadi suami yang baik dan ayah yang penyayang bagi Aksa. Aku berdoa agar ayah bisa membantuku memperbaiki hubunganku dengan Angga.
Benar saja, setelah maghrib ayah pergi meninggalkan rumah untuk menemui dan berbicara dengan Angga. Aku sedang bermain-main dengan Aksa di halaman belakang rumah. Kami sedang bermain bola bersama. Tiba-tiba, smartphoneku berdering. Aku melihat layarnya dan melihat nama Dimas terpampang di sana. Aku agak terkejut. Aku tidak menyangka Dimas akan meneleponku. Aku menggendong Aksa dan membawanya ke taman belakang. Aku meletakkan Aksa di kursi taman, lalu aku mengangkat telepon Dimas.
“Halo,” sapaku.
“Halo, juga,” kata Dimas. “Em, maaf ya aku mengganggumu.”
“Oh, tidak apa-apa. Ada apa ya Dimas?” Tanyaku agak tergesa-gesa sambil menengok ke arah rumah khawatir ibu mendengar percakapanku.
“Aku mau minta tolong.” Ucapnya.
“Minta tolong apa ya?” Hatiku mulai berdebar-debar. Entah kenapa aku merasa bahagia tetapi juga pada saat yang bersamaan khawatir.
“Nenekku sedang sakit keras dan dirawat di rumah sakit. Aku tadi bilang sama nenekku kalau aku sudah punya calon istri. Aku berbohong karena aku ingin nenekku bahagia. Tapi, sekarang nenekku ingin bertemu dengan calon istriku,” kata Dimas.
Aku terdiam mendengar cerita Dimas. Aku tidak menyangka Dimas akan melakukan hal seperti itu.
“Aku minta tolong, Dewi. Tolong pura-pura jadi calon istriku dan temui nenekku di rumah sakit,” kata Dimas.
Aku menghela napas. Sebenarnya aku merasa berat hati dengan permintaan Dimas tersebut, tapi aku merasa kasihan padanya. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak ingin membohongi nenek Dimas, tapi aku juga tidak ingin melihat nenek Dimas kecewa.
“Bisakah kamu meminta tolong pada yang lain saja?” Kataku hati-hati.
“Tidak, Dewi … Aku tidak banyak mengenal perempuan, dan kamu lah yang aku rasa paling cocok dari semua perempuan yang aku kenal.” Jawabnya.
“Loh, kenapa?” Tanyaku tertegun.
“Maaf ya, Dewi. Aku bukan mau mengada-ada. Kamu cantik.” Katanya yang sukses membuatku kembali terhenyak, namun pada saat yang bersamaan aku merasa tersanjung, bahkan bibirku langsung melengkung senyum.
“Terima kasih.” Kataku pelan.
“Aku yang harus berterima kasih.” Ujarnya semakin aku dibuat tersenyum.
“Baiklah, aku akan membantumu,” kataku akhirnya.
“Terima kasih, Dewi. Aku tidak tahu harus berbuat apa tanpamu,” kata Dimas.
“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin nenekmu bahagia,” kataku.
“Aku akan menjemputmu sekarang.” Katanya lagi.
“Oh, aku sedang berada di rumah orangtuaku, Dimas. Berikan saja nama rumah sakit dan alamatnya. Aku akan naik taksi online.” Responku cepat.
“Oh, begitu ya … Baiklah kalau begitu. Nama rumah sakitnya Persada, tapi aku tidak tahu nama jalannya. Aku tidak mengenal daerah ini.” Ucap Dimas.
“Aku tahu rumah sakit itu. Biar aku yang ke sana. Nanti setelah aku sampai, aku akan menghubungimu.” Kataku.
“Baik.” Jawab Dimas.
Aku segera menggendong anakku dan memberikannya pada ibu. “Ibu, tolong jaga anak sebentar ya,” kataku.
Ibu tersenyum. “Tentu saja, Nak. Ada apa sih?”
“Ada teman yang butuh bantuanku,” jawabku.
Ibu mengangguk. “Ya sudah, hati-hati ya.”
Aku mencium kening anakku dan berpamitan pada ibu. Aku segera keluar rumah dan berjalan menuju gerbang kompleks. Sambil berjalan, aku memesan taksi online. Belum juga sampai di gerbang kompleks, taksi online yang aku pesan sudah menghampiriku. Aku segera masuk ke dalam taksi dan meminta sopir taksi untuk mengantarkanku ke rumah sakit Persada. Tanpa banyak membuang waktu, taksi langsung berangkat ke tempat tujuan yang aku inginkan.
Sekitar jam 20.00 malam, aku sampai di rumah sakit Persada. Setelah berada di lobby rumah sakit, aku segera menelepon Dimas mengabarkan kalau aku sudah berada di rumah sakit. Sekitar lima menit berikutnya Dimas menemuiku dan langsung mengajak ke kamar perawatan neneknya. Sesampainya di kamar perawatan, aku melihat nenek Dimas sedang duduk di tepi tempat tidur sambil memandangi jendela. Dimas memperkenalkan aku kepada neneknya.
“Nenek, ini Dewi, calon istriku,” kata Dimas.
Nenek Dimas tersenyum lebar. “Akhirnya, Dimas menemukan jodohnya. Nenek sudah lama menunggu hari ini,” katanya.
Aku tersenyum dan mengangguk. Aku merasa gugup saat harus mengaku sebagai calon istri Dimas. Namun, aku berusaha bersikap tenang agar nenek Dimas tidak merasa khawatir.
“Nenek, saya senang bisa bertemu dengan nenek,” kataku. “Semoga nenek cepat sembuh.”
Nenek Dimas meraih tanganku dan mengelusnya. “Terima kasih, Dewi. Nenek juga senang bisa bertemu denganmu,” katanya.
Aku duduk di samping nenek Dimas dan mengajaknya mengobrol. Aku bercerita tentang berbagai hal, mulai dari latar belakangku, pekerjaanku, hingga keluargaku. Nenek Dimas mendengarkan dengan penuh perhatian. Aku merasa senang bisa membuat nenek Dimas tersenyum dan tertawa. Aku berharap kehadiranku dapat memberikan semangat baginya untuk melawan penyakitnya. Saat aku ngobrol dengannya, tiba-tiba nenek Dimas menanyakan kapan aku dan Dimas akan melaksanakan pernikahan.
“Nenek, aku belum tahu kapan kami akan menikah,” kataku. “Kami baru saling kenal sekitar dua bulan.”
Nenek Dimas tersenyum. “Tidak apa-apa, Dewi. Nenek mengerti,” katanya. “Tapi, nenek berharap kalian bisa segera menikah. Nenek tidak ingin meninggalkan Dimas sendirian.”
Aku terkejut mendengar perkataan nenek Dimas. Dari ceritanya sekarang aku tahu kalau Dimas adalah yatim piatu sejak berusia 12 tahun. Kedua orangtuanya meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas di jalan tol. Sejak itu nenek lah yang mengurus Dimas sehingga menjadi pengusaha seperti sekarang ini.
“Nenek, Dimas tidak akan kesepian. Dia memiliki banyak teman dan keluarga,” kataku.
Nenek Dimas menggeleng. “Tidak sama, Dewi. Nenek ingin Dimas memiliki istri yang bisa mendampinginya sepanjang hidupnya,” katanya. “Nenek ingin pernikahan kalian bisa nenek saksikan.”
Aku terdiam. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku merasa kasihan kepada nenek Dimas. Dia terlihat sangat lemah dan pucat. Aku sangat iba melihat kondisnya saat ini.
“Nenek, aku akan berusaha untuk memenuhi keinginan nenek,” kataku akhirnya. “Aku akan berbicara dengan Dimas tentang hal ini.” Dengan berat hati aku terpaksa berbohong sekedar untuk menghibur wanita tua ini.
Nenek Dimas tersenyum bahagia. “Terima kasih, Dewi. Nenek sangat senang mendengarnya.”
Dengan lembut, aku menyeka air mata yang mengalir di pipi nenek Dimas. Entah bagaimana, tiba-tiba saja hatiku dipenuhi oleh gelombang rasa kasih sayang yang mendalam terhadap wanita ini. Matanya yang penuh dengan riwayat hidup, mengandung kebijaksanaan dan kelembutan. Aku merenung sejenak, mengingat perjalanan panjang yang telah dilaluinya, dan aku merasakan secercah empati yang menghubungkan hati kami.
Nenek Dimas tersenyum lembut, menghargai kehadiran dan perhatianku. Dia bercerita tentang masa mudanya, pengalaman hidupnya yang penuh liku-liku, dan perjuangannya dalam menjalani kehidupan. Waktu terus berlalu, nenek Dimas tampak semakin lelah, dan aku mulai menyadari bahwa saatnya untuknya istirahat. Aku menyarankannya untuk beristirahat, dan berjanji kalau aku akan kembali lagi.
Nenek Dimas berkata dengan lembut, “Terima kasih, nak. Nenek merasa sangat bahagia hari ini.”
Aku mencium lembut tangan dan pipi nenek Dimas sebelum melangkah keluar dari ruangan perawatan. Dimas mengucapkan terima kasih berulang kali, menyampaikan apresiasinya karena aku bersedia membantunya. Meski demikian, aku mengakui perasaanku yang merasa kasihan karena terpaksa menyembunyikan kebenaran dari nenek Dimas. Dimas pun mengatakan bahwa aku tidak perlu khawatir, segala sesuatunya dapat diatasi, yang terpenting neneknya bisa segera pulih dan menikmati kebahagiaan.
“Aku ucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas bantuanmu. Jika ada yang kamu inginkan dariku, jangan pernah merasa ragu, katakan saja keinginanmu. Bila aku mampu, aku pasti akan mengabulkan keinginanmu.” Ucap Dimas saat kami sudah berada di lobby rumah sakit.
“Aku tak menginginkan apa-apa, Dimas. Yang aku inginkan adalah kesembuhan nenekmu.” Jawabku.
“Kamu sungguh berhati mulia.” Ujar Dimas sambil tersenyum.
Aku menolak permintaan Dimas untuk mengantarku pulang. Aku ingin pulang sendiri, untuk menenangkan diri dan memikirkan apa yang telah terjadi hari ini.
“Aku bisa pulang sendiri, Dimas,” kataku. “Aku sudah pesan taksi.”
Dimas menatapku dengan ragu. “Apa kamu yakin?” tanyanya. “Aku bisa mengantarmu.”
Aku mengangguk. “Ya, aku yakin,” kataku. “Aku ingin pulang sendiri.”
Dimas akhirnya menyerah. Dia mengantarku ke depan rumah sakit, tempat taksi yang aku pesan sedang menunggu.
“Terima kasih atas semuanya hari ini,” kataku kepada Dimas. “Aku senang bisa bertemu dengan nenekmu.”
“Aku juga senang bisa bertemu denganmu,” ucap Dimas dan tanpa kuduga tiba-tiba Dimas mengambil tanganku lalu menciumnya. Sungguh aku sangat terkejut, tak percaya dia berani berlaku seperti itu. Namun anehnya, aku tak berusaha melepaskan tanganku dirinya, bahkan ada sedetik momen dimana aku merasa tersanjung. “Sampai jumpa lagi.” Katanya kemudian sembari melepaskan tanganku perlahan.
Aku segera masuk ke dalam taksi dan menutup pintunya. Aku melihat Dimas berdiri di tepi trotoar, menatapku. Aku membalas tatapannya, lalu tersenyum. Taksi mulai bergerak, meninggalkan Dimas di belakang. Aku menghela napas panjang. Aku merasa lelah, tapi juga lega.
Pengalamanku hari ini dengan Dimas dan neneknya seakan sedikit mengurai benang kusut di dalam hatiku. Aku merasa ada kenyamanan ketika berada di dekat mereka, rasa kenyamanan yang sudah lama tidak kurasakan. Aku menutup mata dan bersandar di kursi taksi. Aku mencoba untuk mengingat kembali percakapanku dengan nenek Dimas. Nenek Dimas adalah wanita yang sangat baik dan penuh kasih sayang. Aku bisa merasakan bahwa dia sangat menyayangi Dimas.
Aku juga memikirkan Dimas. Dia adalah pria yang baik dan perhatian. Dia membuatku merasa nyaman dan dicintai. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi, aku tahu bahwa aku ingin mengenal Dimas lebih jauh. Aku ingin tahu lebih banyak tentang dirinya, tentang keluarganya, dan tentang masa lalunya.
Ketika aku tiba di rumah, lampu masih menyala meskipun hari sudah agak larut malam. Aku masuk ke dalam rumah dan menemui kedua orangtuaku di ruang tengah. Sambil duduk di sofa dekat mereka, aku melihat wajah sayu mereka. Mata ibuku memancarkan kekhawatiran, dan ayahku terlihat penuh keprihatinan. Aku segera bisa menafsirkan ekspresi mereka sebagai pertanda bahwa misi ayah untuk meredam ketidakakuran antara Angga dan aku tidak membuahkan hasil. Aku langsung menanyakan hasil pertemuan ayah dengan Angga dan ayah menjawab kalau Angga tetap menginginkan kalau aku tidak bekerja dan mengurusi rumah tangga saja dengan alasan Angga sangat mampu membiayai kehidupanku dengan anakku.
“Angga egois dan mau menang sendiri. Dia laki-laki yang tidak punya perasaan,” kataku dengan kesal.
“Angga adalah suamimu. Kamu harus bisa memahami perasaannya. Mungkin dia merasa tidak nyaman jika kamu bekerja karena khawatir kamu akan meninggalkannya. Dia takut kehilanganmu. Angga mungkin merasa tidak dewasa dan belum bisa mempercayaimu sepenuhnya. Kamu harus bisa menunjukkan kepadanya bahwa kamu mencintainya dan tidak akan meninggalkannya. Kamu harus bisa meyakinkannya bahwa kamu adalah istrinya yang setia.”
Ibu juga ikut menimpali, “Aska butuh kedua orang tuanya. Kamu harus mempertahankan rumah tanggamu demi masa depan Aska. Jangan sampai Aska tumbuh tanpa kedua orang tuanya. Kamu harus bisa menunjukkan kepada Aska bahwa kamu dan Angga adalah pasangan yang harmonis dan saling mencintai. Kamu harus bisa menjadi teladan yang baik bagi Aska.”
Aku kemudian berdiri dan berjalan ke arah jendela. Tatapan mataku menembus keluar ruangan, mencoba menenangkan diri di tengah hembusan angin malam. Meskipun alam mencoba memberikan ketenangan, amarahku terhadap Angga semakin tumbuh. Laki-laki itu begitu picik, tak bisa memahami perjuangan dan ambisiku untuk berkembang. Bagaimana bisa dia begitu picik, menganggap kalau aku, sebagai istrinya, akan mengkhianatinya? Kekecewaan ini seperti beban berat di dada, membuat ruang hatiku semakin sempit. Aku bertanya-tanya apakah ini akan berakhir ataukah kami akan terus terjebak dalam lingkaran pertengkaran yang tak kunjung usai.
“Aku tidak bisa lagi bertahan dengan Angga,” kataku dengan tegas.
“Apa maksudmu, Dewi?” tanya ayah.
“Aku ingin bercerai,” jawabku.
“Kamu tidak bisa melakukan itu, Dewi,” kata ibu. “Angga adalah suamimu. Kalian harus bisa menyelesaikan masalah ini.”
“Aku sudah mencoba, tapi Angga tidak mau mendengarkanku. Dia tetap pada pendiriannya agar aku berhenti bekerja.” Kataku.
“Ayah mengerti perasaanmu, Dewi,” kata ayah. “Tapi kamu harus berpikir lagi tentang keputusanmu. Perceraian adalah hal yang sangat serius.”
“Aku sudah memikirkannya dengan matang, Ayah,” kataku. “Aku tidak ingin terus-menerus bertengkar dengan Angga. Aku juga tidak ingin Aska tumbuh dalam lingkungan yang tidak harmonis,” kataku lagi sambil menengok ke arah kedua orangtuaku. Ayah dan ibu terdiam. Mereka tampak memikirkan kata-kataku.
“Baiklah,” kata ayah akhirnya. “Kami akan mendukung keputusanmu. Tapi, kasih ayah waktu satu bulan. Ayah akan berusaha membujuk Angga lagi sampai Angga sadar dan mau menerima kenyataan kalau kamu ingin tetap bekerja.”
“Ya … Hanya satu bulan.” Jawabku sambil meninggalkan ayah dan ibu.
Aku berjalan menuju kamarku. Sesampainya di kamar, aku merebahkan diri di samping anakku yang sudah tertidur pulas. Aku belai kepalanya dengan penuh rasa kasih sayang. Aku sangat menyayangi Aska. Dia adalah satu-satunya alasan mengapa aku masih bertahan di rumah tangga ini. Jika saja tidak ada dia, sudah barang tentu aku pergi dari sejak dulu dari kehidupan Angga. Sikap Angga yang tidak mau menerima aku bekerja sudah sangat keterlaluan. Dia selalu memaksaku untuk berhenti bekerja dan hanya mengurusi rumah tangga. Aku merasa frustasi menghadapi sikap Angga. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Tak seberapa lama, mataku terasa sangat berat. Aku pun tertidur lelap di samping Aska.
BERSAMBUNG