K.o.l.e.k.s.i.a.n.k.u.
K.o.l.e.k.s.i.a.n.k.u.
SAYA ngontrak rumah di kampung, karena saya baru bekerja, saya belum berani ngontrak rumah yang mahal-mahal.
Saya bekerja di perusahaan pakan ternak khusus untuk pakan ikan air tawar.
Perusahaannya terletak di kawasan industri yang tidak jauh dari lokasi saya ngontrak rumah.
Maka itu di daerah sekitarnya banyak kontrakan murah. Saya menempati kontrakan nomor 2 kalau diurut dari kiri.
Di sebelah kontrakan saya, kontrakan nomor 1, ditinggali oleh keluarga Mas Agus dengan istrinya yang bertubuh mungil dan seorang anaknya yang berumur 10 tahun.
Kontrakan sebelah kanan saya, kontrakan nomor 3 diisi oleh Mas Wito dengan bininya yang sombong.
Kontrakan nomor 4 didiami oleh sepasang suami-istri yang sudah berusia paruh baya. Engkong Amin dan Mak Eros.
Saya mengenal mereka karena saya termasuk orang yang mudah bergaul.
Saya juga nonton video @sex-@sex, tetapi hanya sekali-sekali kalau dikirimi oleh teman kuliah saya yang masih ingat dengan saya; Ipunk Ceking.
Tubuh Ipunk sampai habis dimakan oleh janda, karena ia suka dengan janda. Dimanapun ada janda, ia uber sampai dapet. Kalau sudah bosen ia meninggalkannya, maka itu dinamakan Ipunk Ceking, padahal namanya keren lho, Dewa Putra Pertama.
Di kontrakan kami, tempat jemuran pakaian dan kamar mandi diletakkan di belakang. Baik juga menurut saya menempatkan kamar mandi di luar, sehingga kontrakan menjadi lebih luas dan yang sudah punya anak tidak usah tidur sempit-sempitan.
Sempat terpikir oleh saya, bagaimana dengan Mas Agus kalau mau ngeseks dengan Mbak Unik, ya… karena mereka sudah punya anak yang sekolah di SD kelas 4 dan tidur bersama dalam satu ruangan.
Hari Sabtu saya libur kerja dan setiap hari Sabtu pekerjaan saya adalah mencuci pakaian dan Sabtu pagi itu pagi-pagi saya sudah menggantungkan pakaian basah saya di tali jemuran sebelum Mbak Unik dan Mbak Sarijah yang sombong itu menggantungkan cucian mereka.
Setelah itu saya pergi ke rumah teman kerja saya. Ia juga ngontrak dan bininya sedang hamil anak ketiga.
Siangnya saya pulang lalu membuka pintu belakang kontrakan saya. Entah tangan siapa yang suka jahil, di tali jemuran saya melihat bagian selangkangan celana dalam saya ditumpuk menjadi satu dengan bagian selangkangan celana dalam Mbak Unik yang sudah berwarna kekuningan.
Darah saya berdesir bukannya marah saya melihat kejadian itu, karena seolah saya dijodohkan dengan Mbak Unik, tetapi saya tidak memasukkannya ke dalam pikiran perkara itu.
Lewat beberapa hari, pagi itu saya melihat Mbak Sarijah yang sombong mendahului saya pergi ke kamar mandi. Belum lama perempuan yang tubuhnya padat berisi dan pantatnya nonggeng itu kalau ia memakai celana jeans ketat bersama selendang hitam yang menutupi kepalanya, terdengar suara seorang perempuan memanggilnya.
Mungkin kedengaran oleh Mbak Sarijah, saya melihat Mbak Sarijah keluar dari kamar mandi berbalut handuk melangkah setengah berlari ke kontrakannya.
Saya segera menyambar handuk, karena untuk menunggu Mbak Sarijah ngobrol dengan tamunya 10 sampai 15 menit, saya sudah selesai mandi.
Sewaktu saya masuk ke kamar mandi sebelum saya menggantung handuk, wahh… ternyata Mbak Sarijah belum mandi.
Di lantai teronggok BH dan celana dalam bersama daster panjangnya, kemudian di lubang kloset, ohh…
Karena Mbak Sarijah itu sombong, saya segera menggantungkan handuk saya di paku yang tertancap di dinding kamar mandi. Saya menutup pintu kamar mandi, melepaskan pakaian saya sampai tubuh saya telanjang.
Penis saya rasanya berdenyut-denyut sewaktu saya mencium celana dalam Mbak Sarijah yang berwarna merah muda dan di bagian selangkangannya berlumuran iler vaginanya itu. Becek, kental dan berwarna kekuningan.
Saya tidak jadi mandi biar kamar mandi tetap seperti tadi sewaktu Mbak Sarijah keluar, tetapi BH hitam dan celana dalam kotor Mbak Sarijah saya bawa ke kontrakan saya.
Dua hari BH dan celana dalam Mbak Sarijah menemani saya bermasturbasi tanpa dicari oleh Mbak Sarijah.
Degg… saya kaget sewaktu saya masuk ke mini market sore itu pulang kerja. Di lorong rak tempat menaruh deterjen dan perlengkapan pembersih pakaian lainnya, saya bertemu dengan Mbak Sarijah sendirian.
“Eh… Fajar…” sapa Mbak Sarijah duluan sambil tersenyum manis pada saya.
Tumben…?
1.
“Beli apa, Mbak?” tanya saya gugup.
“Sabun cuci… kamu?”
“Saya pengen beli kacang buat persediaan nonton bola nanti malem…” jawab saya.
“Suami saya juga suka nonton bola, cuma sekarang lagi gak ada di rumah…”
“Kemana Mas Wito, Mbak?” tanya saya lancang.
“Ke rumah bininya…”
Hah…?
“Selama ini…?”
“Sudah, kita jangan bicara di sini, mengganggu orang belanja. Kamu hanya beli kacang saja…?”
“Nanti saya yang bayar ya, Mbak…”
Belanjaan Mbak Sarijah kemudian saya yang membayarkan. Keluar dari mini market, saya dan Mbak Sarijah pulang naik becak.
Masih ada satu dua tukang becak yang mengadu nasib dengan becak tua mereka bersaing dengan ojek dan mobil online.
Belum 10 menit kami berada di dalam becak, hujan turun bagaikan air dicurahkan dari langit. Abang becak kelabakan menurunkan gulungan plastik untuk melindungi saya dan Mbak Sarijah dari tamparan air hujan, tetapi baju saya dan baju Mbak Sarijah tetap basah, namun tidak banyak.
Mbak Sarijah memandang saya dengan tersenyum yang tidak biasa. Melihatnya seketika saya memeluk Mbak Sarijah dan saya isep bibirnya.
Mbak Sarijah kelabakan, tetapi bibirnya masih sempat bertempur dengan bibirku. Saat napasnya sudah tidak beraturan, saya melepaskannya. “Mmm… mmm… kam… kamuu…” kata Mbak Sarijah terengah-engah. “… kamu curi BH dan celana dalam Mbak, ya…?”
Pertanyaan yang tak terduga muncul dari mulut Mbak Sarijah. Saya tidak bisa mengelak, “Iya, Mbak…” jawab saya jujur.
“Kenapa sampai mencuri? Kalo pengen, ngomong dong sama Mbak… punya Mbak juga nganggur kalo Mas Wito gak di rumah. Kalau juga di rumah, paling-paling juga hanya sekali….”
“Diencrotin sama iler saya, apa Mbak nggak takut hamil…?”
Kami bergelut bibir dan bertukar ludah lagi. Buas dan penuh nafsu kali ini tidak seperti tadi.
Sesampai di kontrakan, sudah tidak hujan. Saya tidak langsung pulang ke kontrakan saya. Mbak Sarijah menarik saya ke kontrakannya.
Tutup pintu, meletakkan barang belanjaan di lantai, kami segera bergelut di kasur. Saya melepaskan pakaian Mbak Sarijah, Mbak Sarijah melepaskan pakaian saya.
Tidak ada yang tersisa.
Pikir saya, kalau saya tidak mengambil BH dan celana dalamnya tidak akan menjadian Mbak Sarijah bertelanjang bulat di depan saya dan akan terus membuatnya dalam kesombongannya.
Payudaranya menggelantung turun, agak pongah membongkah, putingnya mencuat keras berwarna hitam.
Puting itu segera kuraih dengan lidah dan kuhisap di dalam mulut membuat mata Mbak Sarijah terbelalak hanya tinggal putihnya saja, wajahnya terdongak menghadap ke langit-langit kamar, giginya gemertek menahan denyutan nikmat yang mungkin tersalur sampai ke rahimnya.
“Entot Mbak, Fajar! Entot, Mbak… ayo, masukin…” pintanya.
“Saya baru pertama kali, Mbak…”
“Nggak papa, nanti Mbak bantu…” katanya.
Segera saya menelungkup di atas tubuh telanjang Mbak Sarijah. Mbak Sarijah memegang penis saya yang keras karena tegang.
Saya hanya butuh sedikit tenaga untuk mendorong penis saya ke lubang di selangkangan Mbak Sarijah, Mbak Sarijah langsung menjerit, “AAAAGGHHHHH….” sewaktu batang keras saya itu menerobos rahimnya yang belum pernah melahirkan anak dan menancap kuat di situ.
Licin, basah, hangat dan berdenyut-denyut lemah saat saya mendiamkan penis saya.
“Nikmat ya, Mbak…”
“Jangan sampai ketahuan Unik, ya… ia suka iri… reseh…”
Mana saya ingat dengan Mbak Unik? Segera saya setubuhi Mbak Sarijah. Penis saya hilir-mudik keluar-masuk, sementara pantat saya naik-turun…. ah, nikmat sekali lobang rahimmu, Mbak… desah saya dalam hati sambil penis saya membesot-besot lubang nikmat Mbak Sarijah.
Akhirnya saya tidak tahan lagi. Dengan sekali saja saya menghentakkan penis saya, meluncurlah sperma hangat saya ke rahim Mbak Sarijah.
Crroottt… crrooott… crroottt… crroottt… crroott….
“Bisa kan…?” kata Mbak Sarijah. “Spermamu nikmat, Fajar… kalo bisa, ulangi sekali lagi dong…”
Luluh tak bersisa kesombongan Mbak Sarijah. Mau sombong apa lagi? Mani hangat saya sudah mendekam di rahimnya.
2.
Mbak Sarijah lalu bercerita pada saya sambil bertelanjang berbaring di kasur dengan saya, bahwa selama ini ia hanyalah wanita simpanan Mas Wito.
Segala kebutuhannya dicukupi termasuk kebutuhan seks.
Kemudian saya mencium bibir Mbak Sarijah dan memeluk tubuh telanjangnya yang hangat dan padat.
Mbak Sarijah membalas pelukan dan ciuman saya. Ia sangat menikmatinya.
Berhubung saya lebih muda, Mbak Sarijah seperti mendapat jagung muda yang renyah dan kres-kres kalo digigit. Umur saya baru 24 tahun, sedangkan Mas Wito sudah 45 tahun dan Mbak Sarijah sendiri berumur 35 tahun.
Terlihat kerinduan dan hasrat yang bergelora di mata Mbak Sarijah.
Aku semakin yakin bahwa perempuan ini haus akan belaian lelaki ketika dirasakan ciumannya dibalas dengan penuh nafsu. Bahkan terkesan perempuan itu lebih ganas dan agresif daripada saya.
Tangan Mbak Sarijah memegang belakang kepala saya menekannya agar ciumannya itu semakin lekat dan melumat.
Saya mengimbangi ciuman itu dengan penuh gairah sambil mencoba merangsang perempuan itu lebih jauh, tangan saya mulai merabai vaginanya yang hangat berambut kasar.
Mbak Sarijah bergetar ketika jemari saya menyentuh biji kelentitnya yang sebesar sebiji jagung. Keras dan kenyal rasanya biji yang terdapat di lipatan atas bibir vaginanya itu dan semakin dekat daerah itu selangkangan Mbak Sarijah makin terbuka dan merenggang.
Mas Wito tidak pernah mau melakukan hal itu. Dalam bercinta Mas Wito tidak pernah melakukan pemanasan atau rabaan yang cukup untuk merangsangnya.
Biasanya hanya mencium dan meraba buah dadanya sekilas dan ketika batang penisnya yang sudah tegang langsung saja menusuk ke lubang vagina Mbak Sarijah, dan tentu saja lubang vaginanya yang masih kering itu, terasa sakitlah yang dirasakan Mbak Sarijah.
Dan kini ketika jemari saya yang dengan penuh perasaan merabai daerah biji kelentitnya dan bercocok tanam di lubang vaginanya, semakin berkobarlah napsu di tubuh Mbak Sarijah, seakan haus yang selama ini ada telah menemukan air yang dingin dan segar.
“Ah… entot Mbak lagih, Fajar..” desahnya makin membara.
Segera kubalikkan badan Mbak Sarijah dan mengatur posisi. Mbak Sarijah celentang pasrah dengan kedua paha terbuka lebar menantikan sodokan batang penis saya pada lubang vaginanya yang telah semakin berdenyut.
Mbak Sarijah tersentak ketika terasa benda keras nyelonong masuk ke lubang vaginanya. Direngkuhnya tubuhku ketika perlahan batang penis saya yang keras itu mulai menyusuri lubang vaginanya.
“Akh…! Enak, Fajar…! Mmmm… oohhh… nngggh…” desisnya. Tangannya menekan pinggul saya agar batang penis itu menusuk lebih dalam hingga palkon saya seluruhnya menempel di rahimnya.
Saya juga merasakan nikmat. Saya mulai menggerakkan pinggul saya perlahan naik-turun dan terus dipercepat diimbangi gerakan pinggul Mbak Sarijah. Kami terus berpacu menggapai nikmat.
Saya menggerakkan pinggul saya semakin cepat dan keras. Sesekali saya sentakkan ke depan sehingga batang penis saya tuntas masuk seluruhnya ke dalam vagina Mbak Sarijah.
“Oh… Faaaj….aarrr…!” jerit Mbak Sarijah nikmat setiap kali palkon saya menyodok rahimnya.
Semakin sering saya melakukannya, semakin bertambah nikmat yang dirasakan Mbak Sarijah sehingga pada hentakan yang sekian Mbak Sarijah merasakan otot diseluruh tubuhnya meregang.
Dengan tangannya ditekan pantat saya agar hujaman bantang penis itu semakin dalam. Dan terasa ada yang berdenyut-denyut di dalam lubang vaginanya.
“Ahk..! Ah…duh… akhh…!” teriaknya tertahan merasakan orgasme yang untuk pertama kali saat bersanggama dengan lelaki. Sangat nikmat dirasakan Mbak Sarijah.
Seluruh tubuhnya terasa dialiri listrik berkekuatan rendah yang membuatnya berdesir.
Saya yang belum keluar terus menggerakkan pinggul saya semakin cepat, menyebabkan Mbak Sarijah kembali berusaha mengimbangi.
Diangkat kedua kakinya ke atas dan dipegang dengan kedua tangannya, berakibat pinggulnya sedikit terangkat sehingga vaginanya semakin menjengkit dan hujaman penisku semakin dalam.
Saya yang berusaha mencapai kenikmatannya, semakin menghentakkan pinggul saya ketika dirasakan kenikmatan puncak sudah semakin dekat dirasakan.
“Ahhh…” saya mengerang nikmat ketika dari batang penis saya menyembur cairan kenikmatannya.
Crroott… crroott… crroottt… crroottt… crroottt…
Dikocoknya terus batang penis itu untuk menuntaskan hasratnya.
Tubuh saya ambruk di atas tubuh Mbak Sarijah. Keduanya saling berdekapan. Kemaluan mereka masih bertaut.
Keringat mengucur dari tubuh keduanya, bersatu. Napas saling memburu.
“Terima kasih ya, Fajar” kata Mbak Sarijah lemah di antara napasnya yang memburu.
Tuntas sudah hasratnya. Dua tubuh yang panas berkeringat terus berdekapan.