KEMBANG KOMPLEKS (collab with @killertomato)

Halo semuanya, Kali ini, kami akan mengangkat kisah romansa yang muncul di lingkungan tempat tinggal para tokoh utama, tentunya dengan genre yang sudah biasa kami munculkan di cerita-cerita kami sebelumnya.
KEMBANG KOMPLEKS Sebuah kisah KBB, NTR, Perselingkuhan, dan semacamnya dengan tema lingkungan perumahan

PART 1: LUKISAN KELUARGA​
Gina Selvia bersyukur. Bersyukur karena akhirnya ia bisa sampai di titik puncak kehidupannya, bersyukur karena akhirnya ia bisa memajang lukisan besar yang sudah dipesan sejak berbulan-bulan lalu. Di depannya kini, lukisan keluarga Jaya Haryadi terpasang rapi di dinding ruang tamu. Tepat di belakang sofa utama keluarga. Selain dirinya, ada empat sosok lain yang terlukis di karya agung dari seorang pelukis ternama itu. Empat orang yang sangat dekat di hati Gina. Empat orang terpenting dalam hidupnya. Sang suami dan ketiga anaknya. Wanita berparas cantik itu berkacak pinggang. Dengan ini… semuanya sempurna. Semua yang ada di hidupnya memang terasa sempurna. Karirnya berjalan mulus, rumah tangganya aman sentosa, orang tua sehat di kota asal, anak-anak dibesarkan dengan baik dan siap diterjunkan ke masyarakat. Bagaimana mungkin dia tidak bersyukur dengan semua berkah ini? Semuanya baik, dan akan selamanya seperti itu. Gina Selvia adalah seorang ibu rumah tangga, dosen, sekaligus salah satu peneliti terkemuka di Universitas Jaya Abadi. Konon dia digadang-gadang akan menjadi salah satu deputi rektor menggantikan petinggi sebelumnya yang sudah masuk masa pensiun. Gina adalah seorang wanita yang tidak hanya cantik dan seksi, tapi juga menarik, cerdas, pintar, dan baik hati. Meski sudah berusia 43 tahun, tapi Gina tetap layak masuk jajaran wanita menawan yang terlihat jauh lebih muda dari usia sebenarnya bahkan tanpa make up sekalipun. Tidak ada yang menduga usianya sudah kepala empat jika melihat fisik dan parasnya yang awet muda. “Widih. Lukisan siapa ini, Ma?” Shani Devara berdiri di samping Gina. Anak sulung Gina yang baru saja mandi mengelap rambut panjangnya sehabis keramas. Gadis muda itu memiliki tubuh yang indah dan wajah yang juga jelita, mewarisi kecantikan sang Mama sekaligus ketampanan sang Papa.

Kalau di rumah, gadis itu hanya akan mengenakan kaos santai yang ia tekuk lengannya sampai bahu dan celana pendek hot pants berbahan kain yang gagal menyembunyikan paha putih mulusnya. Saat ini, Shani sedang mengecap pendidikan di Universitas Negeri yang lokasinya sedikit jauh dari rumah mereka. Itulah mengapa keluarga tersebut memutuskan menyewa satu kamar kos untuknya di sana. Seandainya Shani tidak bisa pulang setelah mengikuti kelas, dia bisa tidur sementara di kosnya, sebuah kos eksklusif khusus wanita yang dekat dengan kampus. “Lukisan Jae-boom.” Sang Mama mengedipkan mata. “Ja-Jae-boom? Mama kenal sama dia?” Shani terkesiap, siapa yang tidak mengenal pelukis nyentrik berkebangsaan Korea Selatan yang kini menetap di kota mereka? Han Jae-Boom adalah fenomena dunia lukis internasional. Karyanya yang mencampurkan seni klasik dan modern membuatnya populer bahkan di dunia yang tidak memahami seni lukis. Jae-Boom sering diundang untuk wawancara di berbagai acara talk show karena cara melukisnya yang tak lazim tapi menghasilkan karya indah yang epik. Gina mengangguk. “Salah satu teman Mama itu yang mengompori Jae-Boom sampai akhirnya dia mau tinggal di sini. Karena itu, Mama jadi kenal dia.” “Waaah, mau dong Ma dikenalin sama dia. Jae-boom ganteng bangeeeet.” “Ini anak,” Gina dengan main-main menghantamkan tangannya di ubun-ubun sang sulung. “Jae-boom itu sudah tua, usianya sama Papa kamu aja setara, Neng. Bisa-bisanya kamu bilang ganteng. Mana aslinya itu orang juga aneh banget.” “Yah, itu justru artinya sudah matang, Ma. Tua-tua keladi. Makin tua makin jadi. Ganteng mah ganteng aja gak kenal usia berapa. Kekar dan gagah begitu mah masih oke lah. Mama gimana? Deg-degan gak kalau di dekat Jae-boom? Laporin sama Papa ah,” ujar gadis berusia dua puluh tahun itu penuh canda. “Idih! Mana ada deg-degan! Awas aja kalau sampai kamu…” “Hahahaha…” Shani pun lari dari amukan sang Mama, “Kabuuuuuur.” Gina geleng-geleng kepala sambil merapikan semua peralatan yang ia gunakan untuk menggantungkan lukisan tersebut. Ia pun mengembalikan bangku ke posisi semula, dan menempatkan barang-barang di tempat seharusnya. “Sudah selesai, Ma?” “Sudah.” “Yaaah, padahal baru mau bantuin.” Si anak tengah cekikikan karena tentunya apa yang ia ucapkan hanyalah bercanda, “Pengen banget bantuin Mama kok udah selesai aja.” “Hish. Memang dasar anak-anak Mama. Giliran udah selesai aja, baru pada nongol.” “Hihihi,” Ayunda Devina duduk manis di kursi ruang makan sambil bersandar di tepian island. “Eh, Mah. Ayu kira-kira cocoknya masuk mana, ya? Ke kampus kakak ogah banget. Kejauhan, males. Uang saku kepake cuma buat bayar kos.” “Kenapa nggak ke kampus Mama aja?” “Ya kali, Ma. Takutnya dilihat orang dapat privilege, padahal ya emang iya. Hihihi. Ayu boleh ga pilih kampus yang deket-deket aja?” “Deket-deket aja itu di mana? Kamu kan sudah gede, sudah hampir sembilan belas tahun, seharusnya sudah bisa memutuskan dengan tepat mau masuk ke kampus yang menjadi pilihan kamu,” Sang Mama masuk ke dapur, ia menyiapkan piring nasi dan semangkuk makanan berkuah ke hadapan Ayunda. Makanan itu sebenarnya kesukaan Papa mereka, soto daging kuah santan. “Yah, pilihannya hanya swasta kan, sayang?” Ayunda merenung. Dari segi nilai dia gagal masuk kampus favorit. Dari segi ujian, dia gagal masuk kampus negeri. “Iya…” Ayunda cemberut, ia memang tidak secerdas Kak Shani. Secara akademis kemampuannya di bawah sang kakak yang menurutnya tidak hanya lebih pintar, tapi juga lebih cantik dan seksi luar biasa. Shani adalah idola bagi Ayunda. Seperti halnya Papa dan Mama-nya. Saat lulus dari SMA beberapa waktu lalu, Ayu merasa kecewa karena gagal mempersembahkan hasil yang terbaik. Kini dia hanya berharap bisa masuk ke perguruan tinggi swasta dan menunjukkan kalau dia juga memberikan prestasi tersendiri, demi mengembalikan kepercayaan Papa dan Mama-nya. “Dimakan dulu, sayang. Jangan kebanyakan melamun,” Gina menyentil hidung Ayunda. Sang Mama tersenyum manis, “Mama tahu apa yang kamu pikirkan, buang jauh-jauh pikiran burukmu itu. Kampus manapun yang kamu pilih, Kamu tetap kebanggaan Mama. Paham?” Ayunda mengangguk, meski ia masih cemberut. “Kenapaaaa lagi, Kakak? Baper lagi!? Wuh payah.” “Cerewet.” Si Bungsu yang baru saja turun dari lantai atas duduk di samping kakaknya dan langsung meledek Ayu. Satu-satunya anak cowok Gina itu terkekeh-kekeh melihat Ayunda bermuram durja. Dia memang jahil pada kedua kakaknya, terutama pada si tengah. Si bungsu yang masih SMA langsung mengambil sendok dan makan sop daging milik sang kakak. “Woy! Punya siapa itu!” Ayunda protes, “Mama!! Ini Adek nakal banget!” “Adek… ga boleh begitu ah. Ini punya kamu, jangan gangguin punya Kak Ayu.” Gina pun menghidangkan makanan di hadapan Revan Devano, anak bungsunya yang lebih sering dipanggil dengan nama panggilan Adek jika di rumah. “Udah tuh satu-satu. Ayu satu, Adek satu.

Mana tadi si Neng? NEEEENG, ayo makan dulu. Keburu dingin.” “Iyaaaaa.” Shani muncul dari balik pintu taman sambil menggendong kucing kesayangannya, Si Doyok. Keluarga mereka memang pecinta kucing dan memelihara dua ekor kucing yang sangat disayang semua anggota keluarga. Yang pertama adalah si Meng si kucing betina yang sedang entah berada di mana dan yang kedua adalah si Doyok yang berjenis kelamin jantan. “Appa mana, Ma?” tanya Shani melirik ke kanan kiri mencari ayahnya. Biasanya jam segini Papanya sudah turun dan ikut sarapan, “Belum bangun ya? Duh, jadi nganterin Neng gak? Kalau siangan dikit jalan udah macet ini.” “Sudah pasti belum bangun lah. Papamu kan semalam nonton bola, jadi jam segini pasti masih ngorok,” Gina tertawa kecil, “Sudah kalian makan dulu. Biar Mama yang bangunin. Neng siap-siap aja.” Shani pun duduk di samping Revan sembari mengelus-elus si Doyok yang seperti biasa anteng sekali dalam gendongan sang empunya. Dia tidak mengeong, mengamuk, dan minta lepas jika sudah berada di pelukan Shani. Seakan-akan Doyok tahu nyamannya berada dalam pelukan Shani yang buah dadanya mengembang dan mulai membesar sempurna layaknya wanita yang sedang ranum-ranumnya. Meninggalkan ketiga buah hatinya untuk sarapan, Gina menuju ke kamar utama yang berada di ruang tengah. Di sebelah kamar utama ada tangga ke lantai dua yang mengarah ke kamar anak-anak. Ketika kamar utama dibuka, lampu masih gelap dan tirai jendela belum dibuka. Gina tersenyum. “Hmmmphhh…” terdengar suara gerutu suaminya yang masih memejamkan mata. “Bangun, Mas. Yuk aku bikinin kopi.” Gina tertawa kecil melihat sang suami malah semakin tenggelam di atas pembaringan – mengemas dirinya sendiri di dalam lautan selimut tebal putih yang nyaman. “Ayolah. Hari sudah pagi. Shani sebentar lagi berangkat kuliah, kita juga harus mengantarkan Revan ambil raport di sekolah.” “Mmmh… bisa di pending dulu tidak paginya? Masih ngantuk berat.” “Idih. Mana bisa begitu. Yuk ah, Mas. Yuk bangun. Inilah makanya kalau pagi itu ada acara, lebih baik nonton bolanya dipertimbangkan. Sudah tahu jam segini harus nganterin anak-anak, eh nekat tidur sampai jam tiga pagi.” Jaya Haryadi mendengus. Ia pun menggeliat dan menguap lebar. Tangannya direntangkan ke kanan dan kiri supaya badannya lebih nyaman, meski nyatanya tindakan itu ternyata tidak banyak membantu. Sambil duduk di sisi pembaringan, pria yang kerap disapa Jay itu menggaruk-garuk punggungnya. “Ayo, Mas. Kamu kan janji mau nganterin si Eneng ke kampus, terus juga ambil rapornya Adek, dan nganterin Ayu lihat-lihat kampus swasta. Yuk ah, buruan bangun.” Gina membuka tirai kamar yang langsung membuat cahaya mentari bersinar terang menembus ke dalam kamar. Membuat sinarnya nan terik di pagi yang cerah jatuh tepat di wajah Jay. “Mama aaah! Kenapa dibuka? Jam berapa sih sekarang…?” pertanyaan itu tidak dijawab Gina karena saat Jay melirik ke jam meja, waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. “Lha gawat!! Bisa macet ini di jalan!!” Jay menatap istrinya dengan tatapan kosong. Mulutnya menganga dan matanya melotot. Gina hanya cekikikan melihat sang suami yang nampak shock. “Makanya sedari tadi sudah dibangunin malah ngorok. Udah sana buruan mandi.” “Huhuhu,” Jay bangkit dari duduknya dan berjalan dengan gontai ke kamar mandi dalam yang ada di dekat pintu masuk kamar, “Mama ikut kan?” “Nggak.” “Lha? Memangnya hari ini Mama mau kemana? Bukannya nemenin aku nganterin anak-anak?” “Mas sendiri kan tidak apa-apa, Adek sama Ayu udah gede ini. Aku ada acara, Mas. Ketemuan sama geng Cilukba,” jawab Gina sembari merapikan selimut di sudut ruangan. Geng yang disebutkan Gina adalah kelompok pertemanan sesama dosen di kampus Universitas Jaya Abadi. Saat ini mereka sedang disibukkan dengan adanya acara kedatangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam rangka peninjauan kampus swasta favorit. Wanita anggun berparas jelita itu memastikan kasur kembali rapi dan siap untuk digunakan lagi saat mereka pulang nanti. Kebiasaan buruk Jay adalah tidak pernah merapikan tempat tidurnya usai digunakan. Jadi… hari ini hanya dia dan anak-anak ya? “Hrmph…” Jay menggerutu. “Kenapa?” tanya Gina heran. “Cuma aku saja? Jadi tidak seru kalau tidak ada kamu, sayang,” Jay berlari kecil untuk memeluk Gina dari belakang. Ia mengecup leher sang istri. “Hmm… kamu wangi banget. Jadi pengen lagi masukin punyaku ke punyamu…” “No! No! No!” Gina mendorong suaminya. “Ish. Kayak ga ada puas-puasnya suamiku ini. Semalam aja udah minta jatah berapa kali? Sekarang kok ya masih minta. Sana mandi dulu! Nanti beneran jalannya macet lho. Ish.” “Heheheh… Mana pernah aku puas kamu layani, sayang. Tubuh indahmu bikin aku horny forever. Seperti fine wine, makin berumur makin seksi.” “Idih,” Mama Gina menjulurkan lidah yang langsung disambut cekikikan sang suami. “Oh, iya. Sepertinya kita harus melanjutkan obrolan kita waktu itu, Mas.” “Obrolan yang mana?” “Itu lho, soal mencari asisten rumah tangga untuk membereskan rumah, memasak, dan menjaga anak-anak kalau kita berdua kerja.” Pasangan tersebut memang baru saja pindah ke Cluster Kembang Cempaka, sebuah perumahan yang baru dibangun di kawasan pinggiran ibu kota. Sayangnya, pembantu yang selama ini bersama dengan mereka di rumah lama tidak bisa ikut pindah, karena masih harus mengurus suami dan anaknya di rumah. Sedangkan, lokasi tempat tinggal baru keluarga Gina dan Jay berjarak cukup jauh dari tempat tinggal mereka yang lama. Di masa-masa liburan semester seperti ini, Gina tentu tidak perlu sering-sering ke kampus dan bisa mengurus pekerjaan dari rumah. Namun begitu kegiatan belajar mengajar dimulai, tentu ia tidak bisa seleluasa sekarang, dan perlu seseorang untuk membantunya mengurus rumah. “Oh. Kamu sudah coba tanya pembantu kita yang lama. Siapa tahu dia punya kenalan yang bisa disuruh tinggal di sini. Atau kontak penyalur resmi.” “Aku sudah tanya mantan pembantu kita, tapi katanya belum ada yang tertarik. Kalau kontak penyalur, ngasih harganya mahal-mahal banget,” jawab Gina. Meski ia dan sang suami sama-sama mempunyai penghasilan, tetapi tetap saja tidak bisa dihambur-hamburkan untuk membayar gaji pembantu. Apalagi bila mempertimbangkan keuangan mereka yang menipis setelah membeli rumah baru, sementara kebutuhan biaya pendidikan ketiga anaknya terbilang cukup tinggi. “Lagipula kalau rekrut pembantu untuk menginap, dia mau tidur di mana, Mas? Rumah ini kan cuma ada empat kamar tidur.” “Ya terpaksa Ayunda dan Shani kita suruh tidur sekamar. Toh, Shani sepertinya bakal lebih sering menginap di kost, kan?” “Benar sih. Tapi mereka pasti protes, kamu tahu sendiri kelakuan anak-anak kita, hee.” “Biarin aja. Nanti juga diem sendiri. Udah ah, aku mau mandi dulu.” “Jangan lupa keramas, Mas.” “Iya… iyaa…” Jay pun buru-buru masuk kamar mandi. Gina tersenyum sembari geleng kepala. Lagi-lagi dia harus bersyukur, hubungan intimnya dengan sang suami masih tetap terjaga di saat usia mereka sudah tidak lagi muda. Dia sering mendengar bahwa setelah pernikahan yang cukup lama, hubungan suami istri kadang menjadi dingin dan tidak lagi jadi prioritas. Tapi syukurlah dalam kehidupan pernikahan mereka, Gina dan Jay sama-sama setia dan saling menyayangi. Tidak pernah ada yang aneh-aneh. Setidaknya sampai saat ini.
***​
Jay sudah siap di samping mobil untuk mengantarkan ketiga anaknya mengurus keperluan mereka masing-masing di hari Sabtu yang cerah ini. Pria tersebut memang berjanji untuk menemani mereka di waktu libur kerja seperti sekarang, setelah lima hari terus berkutat dengan tugas-tugas dari kantor. “Shani … Ayu … Revan … !! Ayo cepat masuk ke dalam mobil. Mau berangkat jam berapa neh,” teriak Jay. Namun sebelum ketiga anaknya keluar, dua orang pria tampak mendekat ke arah rumah tersebut dan menghampiri suami Gina tersebut. Seorang dari mereka tampak mempunyai jabatan penting karena penampilannya yang necis dengan kemeja lengan pendek sambil membawa map. Sedangkan seorang lagi yang berusia lebih muda adalah petugas keamanan di Cluster Kembang Cempaka, yang saat ini sudah mengenakan seragam putih hitamnya. “Selamat pagi, Pak Jay,” ujar pria yang membawa map. “Selamat pagi, Pak Mul. Apa kabarnya neh? Tumben pagi-pagi sudah berkeliling,” jawab Jay. “Kabar baik, Pak Jay. Menurut pepatah, kalau kita mulai kerja lebih siang, nanti rejekinya bakal dipatok soang. Saya tentu tidak mau rejeki saya dipatok-patok soang tho. Ehehee …” Jawab pria bernama lengkap Mulyadi tersebut dengan tawanya yang khas. “Dipatok ayam kali maksudnya, Pak.” “Eh, siapa yang dipatok ayam? Burung Bapak ada yang dipatok ayam? Atau Bu Gina yang baru dipatok ayam? Boleh saya periksa? Saya jago lho kalau disuruh periksa perempuan cantik seperti Bu Gina.” Duh, mulai rada-rada neh Pak RT gemblung. Mungkin sebaiknya aku nggak terlalu banyak bicara dengannya, takut jadi salah paham, pikir Jay dalam hati. “Ng-Nggak ada yang dipatok ayam, Pak. Tenang, semua aman kok.” “Wah, Pak Jay ini bikin kaget saja. Bilang dong dari tadi. Kan saya jadi panik, takut ada apa-apa dengan Bu Gina. Ehehee …” “Jadi, lagi ada perlu apa neh Pak RT ke rumah saya?” “Oh, kalau sama Pak Jay saya tidak ada perlu apa-apa, kan kemarin kita sudah selesaikan pendataan untuk penghuni baru di Cluster Kembang Cempaka ini.” “Lalu Bapak mau ke mana?” “Saya mau ke sana, rumah nomor 14 dan 16. Ada penghuni baru juga,” jawab Pak Mul sambil menunjuk rumah yang lokasinya sejajar dengan rumah Jay, yang juga bernomor genap. “Wah, jadi tambah ramai ya Cluster ini. Jadi tambah menyenangkan. Tapi ngomong-ngomong, rumah di sebelah saya ini belum ada yang nempatin juga Pak?” Tanya Jay sambil menunjuk rumah nomor 4 tersebut. “Duh, bagaimana ya, Pak. Rumah ini nggak ada yang mau ngambil karena nomornya bikin siul.” “Sial, Pak,” kali ini giliran Ucup, sang satpam Cluster yang berusaha membetulkan kata-kata Pak RT. “Heh, kok kamu malah mengumpat di depan saya sih, Cup. Nggak suka kamu saya ajak nemenin ke rumah penghuni baru?” Tanya Pak Mul yang mulai naik pitam. “Bu-Bukan itu maksud saya …” “Sudah … Sudah, Pak. Jangan berantem di sini,” Jay berusaha menengahi perdebatan tidak penting itu. Ia pun teringat akan perbincangan sebelumnya dengan sang istri. “Ngomong-ngomong, Pak RT atau Bang Ucup tahu ada orang di sekitar sini yang bisa direkrut jadi asisten rumah tangga nggak?” “Maksudnya pembantu ya, Pak Jay?” Tanya Ucup. “Iya, itu maksud saya.” “Pekerjaannya ngapain aja, Pak?” “Cuma bersih-bersih rumah, masak, sama jagain anak-anak aja.” “Cuci gosok juga? Perlu yang nginep atau pulang balik?” “Ya, cuci gosok juga boleh. Tapi kalau nggak bisa juga nggak masalah, saya masih bisa bawa ke laundry. Kalau mau nginep boleh, tapi kalau bisanya cuma sampai sore juga nggak apa-apa. Ada kepikiran seseorang, Bang Ucup?” “Hmm, sebenarnya istri saya juga sedang cari pekerjaan, buat nambah-nambah biaya dapur.” “Wah, cocok tuh. Bang Ucup rumahnya di sekitar sini kan?” “Iya lah, Pak Jay. Itu rumah saya pas banget nyempil di belakang Cluster.” “Kalau begitu, boleh minta nomor telepon Bang Ucup? Nanti saya atau istri saya akan hubungi untuk proses selanjutnya.” “Boleh dong, Pak Jay,” ujar sang Satpam sambil menyebutkan 12 digit nomor teleponnya. Jay pun dengan sigap mencatatnya di kontak ponsel. Ketika mereka sedang asyik mengobrol, ketiga anak Jay tiba-tiba muncul dari belakang ayahnya. “Sudah siap neh, Appa. Masih sibuk nggak?” Ujar Shani. Remaja berparas manis tersebut pun tak lupa menyapa kedua pria yang sedang mengobrol dengan ayahnya. “Selamat pagi Pak RT … Selamat pagi Bang Ucup …” “Owh, bilang dong kalau sudah siap berangkat. Ini juga sudah selesai kok. Saya pergi dulu ya Bapak-Bapak,” ujar Jay berpamitan. Mereka berempat pun langsung masuk ke dalam mobil. Begitu mobil SUV yang dikemudikan Jay meninggalkan kediaman nomor 6 tersebut, Pak Mul dan Ucup melanjutkan perjalanan mereka. Dalam hati, mereka berdua sama-sama mengagumi keharmonisan keluarga Jay, dan kecantikan paras anak-anaknya. “Gila ya Cup. Itu Dik Shani kok bisa cantik banget begitu. Dik Ayu juga, sesuai namanya, sueeeger tenan,” ujar Pak Mul sambil menggenggam erat map yang sedari tadi dibawanya. “Ibu sama Ayahnya kan cantik dan ganteng, pasti anaknya juga oke dong, Pak,” jawab Ucup. “Ahh, itu seperti kata pepatah. Buah jatuh tak jauh dari pokoknya.” “Pohonnya, Pak RT.” “Masa sih? Perasaan yang jatuh itu buah deh, bukan pohon.” Ucup hanya bisa geleng-geleng kepala menghadapi Pak RT gemblung tersebut. Kalau tidak karena berharap penghasilan tetap untuk menghidupi keluarganya, mungkin petugas keamanan itu sudah buru-buru mengundurkan diri karena tidak sabar dengan kelakuan Pak RT.
***​
Butuh waktu sekitar satu jam bagi Jay dan anak-anaknya untuk bisa sampai di rumah kost Shani. Padahal, pria berusia 45 tahun tersebut sudah mengemudikan mobil dengan kecepatan yang cukup tinggi. Tapi kemacetan di berbagai titik membuat perjalanan mereka jadi terhambat. “Mau dibantu nggak untuk bawa barang ke dalam, Kak?” Tanya Jay saat anak sulungnya itu baru turun dari mobil. “Nggak usah, Appa. Shani bisa sendiri kok,” jawab remaja berparas cantik itu. “Oke, deh. Kalau gitu Appa langsung berangkat lagi ya. Biar nggak terlambat untuk ambil rapor Revan dan ajak Ayu keliling kampus.” “Iya. Hati-hati di jalan ya.” “Bye, Kak Shani,” ujar Ayu dan Revan hampir bersamaan. Begitu mobil sang Ayah pergi meninggalkan rumah kost tersebut, Shani pun langsung masuk ke dalam sambil berdendang ringan. Dimulai dari gerbang depan yang digembok. Setiap penghuni kost wajib memiliki kunci masing-masing. Jika ada yang kehilangan, akan didenda oleh Ibu Kos mereka yang cantik. Gembok gerbang pagar depan akan membuka ruang tertutup berupa garasi. Di sisi kiri garasi terdapat jalur koridor menuju ke kamar-kamar di belakang, sementara di sisi kanan garasi tersebut ada jalur menuju ke rumah utama. Shani memilih jalur kanan. Ia mengetuk pintu pemilik kost. Butuh beberapa saat sebelum pintu itu akhirnya terbuka. Seorang wanita berhijab berparas jelita yang mengenakan daster rumahan langsung berwajah cerah saat melihat siapa yang mengetuk pintu. “Eh, Shani. Ada apa, Nduk?” “Ini, Kak. Ada titipan dari Mama aku,” Shani tersenyum lebar sambil menyerahkan satu kotak brownies yang kemarin dibeli Gina saat pergi ke kota sebelah. “Mudah-mudahan keluarga Kak Citra suka.” “Eh, ya ampun. Repot-repot amat sih? Kok tahu anak-anak aku suka banget brownies Amando? Mereka pasti seneng banget kalau tahu. Oke deh aku terima ya… makasih ya, Nduk. Bilang terima kasih ke Mama kamu. Nanti aku juga WhatsApp deh.” Wajah sumringah Citra semakin cerah saat menerima oleh-oleh dari Mama Shani. “Sama-sama, Kak. Shani ke kamar dulu ya.” “Iya… iyaa… sekali lagi makasih ya.” Shani pun melambaikan tangan pada sang pemilik kost yang kebetulan memang masih sangat muda, jadi Shani lebih sering memanggilnya Kakak daripada Ibu atau Tante. Jarak usia antara Shani dan sang pemilik kost mungkin hanya lima atau enam tahun saja. Wanita jelita berjilbab itu pun masuk kembali ke rumah sementara Shani beralih ke koridor di samping kiri garasi. Gadis jelita itu harus melewati dua kamar terlebih dahulu sebelum sampai di kamarnya yang berada di sisi kanan nomer tiga. Ada sepuluh kamar di kost-kostan ini, memanjang dari belakang garasi sampai ujung belakang rumah. Ding! Bunyi notifikasi dari aplikasi pesan singkat menyeruak menyapa Shani saat tepat berada di depan pintu kamar kosnya. Smartphone Shani langsung dibuka dan dara jelita itu pun tersenyum saat melihat siapa yang sudah menghubunginya. Benar saja, itu adalah nama yang sudah ia tunggu-tunggu sebelumnya. Sudah sampai? Aku sudah kangen. Dengan hati yang penuh semangat Shani pun membuka pintu kamar, meletakkan tas ranselnya di kursi, lalu membuka jendela supaya udara pengap keluar. Ia menyalakan kipas angin untuk membantu menetralkan udara di dalam ruangan. Karena ruangannya sudah rapi sewaktu ditinggalkan, ia hanya perlu membersihkan debu yang menempel di beberapa perabotan. Setelah dirasa cukup, Shani duduk di atas ranjangnya sembari memeluk bantal dengan sarung berwarna pink. Dengan penuh keyakinan, Shani pun memencet tombol untuk menelepon. Tak perlu menunggu waktu lama sebelum telepon itu diangkat. Shani pun mengucapkan salam, “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Suara seorang pemuda terdengar bahagia saat mendengarkan suara indah sang dewi pujaan. “Sudah balik lagi ke kost?” “Sudah dong. Nanti malam kan mau belajar bareng sama Dini dan yang lain. Besok ada presentasi, jadi hari ini pulang lebih cepat. Takutnya kalau kesiangan atau kesorean, jalannya macet. Tahu sendiri arus balik weekend.” Minggu-minggu ini sebenarnya masih merupakan waktu libur untuk perkuliahan reguler. Namun demi mempercepat waktu kelulusan, anak pertama pasangan Jay dan Gina tersebut memutuskan mengambil kelas tambahan di semester pendek. Kedua orang tuanya sempat mencegah anaknya untuk terlalu memforsir kegiatan belajarnya. Namun Shani memang sosok remaja yang sulit dicegah apabila ia mempunyai keinginan kuat, apalagi bila keinginan tersebut berkaitan dengan masa depannya. “Iya tuh…” “Mas gimana kabarnya?” Shani tersenyum pada diri sendiri. Ia memandang ke arah cermin besar di sisi dinding dan merapikan pakaiannya. Ia berusaha tampil rapi dan cantik meskipun sang pemuda juga tidak bakal bisa melihatnya. Entah kenapa Shani selalu berusaha tampil sebaik dan sesempurna yang ia bisa di hadapan pemuda yang saat ini sedang berbincang dengannya, mungkin sudah refleks. “Aku? Aku baik-baik saja…” tapi kemudian pemuda itu terdiam sejenak, “Ehm. Tidak sih. Aku tidak baik-baik saja. Aku kangen banget sama kamu. Sakit rasanya berjauhan dari kamu meski hanya sebentar saja. Tidak bisa ketemu kamu itu menyiksa, tau?” Shani tertawa kecil. “Eh, kok malah ngeledek.” “Mas ini ada-ada aja. Tidak ketemu aku kok menyiksa, emangnya aku apaan? Aku tu cuma remahan rengginang di dasar kaleng Khongguan merah, jadi gak usah mikir yang terlalu jauh, oke Mas? Hihihi.” “Sejujurnya aku kangen aja sama kamu…” ”Ya udah iya. Lagipula Mas Iwan bisa-bisanya ngomong begitu. Memangnya aku kemana, Mas? Jelas-jelas aku bakal balik ke sini. Kuliahku masih panjang, baru semester dua. Beda sama Mas Iwan yang sudah semester empat.” Shani melirik tumpukan buku yang ada di atas meja belajarnya, “Daripada ngobrol ngalor-ngidul mending kita belajar aja yuk. Nanti mau ikut belajar bareng sama kami? Tapi cewek semua yang ikut.” Iwan Rahadian menghela napas panjang. Suaranya desahannya terdengar oleh Shani, “Mungkin lain kali. Aku tidak nyaman kalau kita berduaan di depan teman-teman kamu.” “Ya sudah, sekarang Mas Iwan sudah tahu kan kalau aku balik ke kost? Aku mau istirahat dulu ya. Mau bebersih juga.” “Shan.” “Iya, Mas?” “Boleh minta foto kamu yang senyum?” “Hahaha. Buat apa, Mas?” “Sekedar saja. Kan udah bilang kalau aku kangen.” “Ya sudah. Nanti aku kirim. Bye, Mas Iwan.” “Bye, Shani. Miss you.” Sambungan ditutup. Shani tersenyum. Dia memang selalu menolak diajak video call oleh Iwan, karena takut akan membebani kuota pria yang berasal dari desa itu. Kondisi keuangan Iwan yang mepet seringkali membuat Shani tidak nyaman membebani kawan kuliahnya itu dengan berbagai hal yang menyangkut masalah finansial. Shani tahu bagaimana banting tulangnya Ibu Mas Iwan di desa yang bekerja sebagai buruh cuci di sebuah Laundry dan ayahnya yang seorang pekerja kebun sewaan. Entah apakah alasan yang sama menjadi penyebab Shani tidak kunjung menerima ajakan Iwan untuk berpacaran meskipun mereka berdua sangat akrab dan kemana-mana selalu berdua. Shani selalu beranggapan bahwa pacaran akan mengganggu study mereka berdua. Ada harapan besar untuknya dan Mas Iwan yang jauh lebih penting digapai daripada sekedar masalah asmara. Shani berharap ia dan Iwan sama-sama meraih mimpi mereka dulu baru. Setelah itu, baru mereka bisa memutuskan akan berhubungan secara serius atau tidak. Mimpi mereka yang pertama adalah lulus dengan predikat cum laude, lalu lanjut sekolah di S2, dan mencari kerja. Itu dulu. Baru yang lain. Shani memilih salah satu fotonya yang tersenyum cantik, lalu mengirimkannya ke Iwan. Sang pria pun langsung mengirimkan emoticon love bertubi-tubi. Shani kembali tersenyum dan meletakkan ponselnya di atas meja. Ah… suasana yang panas membuatnya jadi kepengen mandi. Eh lha iya ya? Dia belum beli sabun mandi cair pouch seperti yang biasa dia gunakan. Shani selalu memiliki stock kecuali hari ini. Duh kok bisa lupa. Mbak Marni masih ada nggak ya? Shani mengambil handuk dan mengalungkannya di leher. Seperti biasa kalau tidak sedang keluar, Shani mengenakan kaos yang digulung lengannya dan celana pendek yang membuat paha putih mulusnya terlihat jelas oleh siapapun. Sambil menggelung rambut panjang indahnya ke atas, Shani berdendang dan berjalan menuju kamar paling ujung. Tempat seorang SPG ngekost. “Mbak Mar…” Jantung Shani seakan berhenti berdetak. Pintu kamar Marni tertutup rapat, tapi ada tirai yang sedikit tersingkap secara tidak sengaja yang membuat Shani bisa melihat ke dalam kamar. Di sana, Shani melihat pemandangan yang sungguh tidak disangka-sangka. Dia melihat Mbak Marni sedang bergumul dengan suami Ibu Kos di atas ranjang. Keduanya telanjang.
***​
Seorang perempuan dengan kemeja berwarna kuning dan jilbab berwarna krem tampak baru saja memasuki sebuah coffee shop yang terletak di daerah pusat bisnis ibu kota. Di hari kerja, bisa dipastikan tempat itu akan penuh dengan para eksekutif muda yang mengundang klien untuk meeting, atau sekadar ingin mencari suasana baru untuk bekerja. Namun di Sabtu siang ini, suasana coffee shop tersebut tampak masih cukup lengang. “Selamat siang, Bu. Boleh dibantu untuk berapa orang?” Tanya seorang pelayan perempuan dengan ramah. “Tiga orang, Mbak,” jawab perempuan yang baru masuk tadi. “Mau area smoking atau tidak?” “Non-smoking saja boleh. Kalau yang di dekat jendela itu bisa nggak, Mbak?” “Oh, bisa kok Ibu. Silakan duduk saja, nanti saya ambilkan menu.” “Terima kasih.” Perempuan berjilbab yang mempunyai tinggi di atas rata-rata perempuan Indonesia tersebut langsung menempati tempat duduk yang ia tunjuk barusan. Itu adalah tempat favoritnya setiap kali datang ke coffee shop tersebut. Di sana, ada empat kursi yang menghadap ke sebuah meja berbentuk persegi panjang, dan tepat berada di sebelah jendela besar yang menghadap ke jalan raya. Dari tempat duduknya saat ini, sang perempuan bisa melihat dengan jelas para pejalan kaki yang berseliweran di trotoar, baik yang baru selesai berolahraga pagi maupun yang akan bersiap-siap untuk menikmati malam minggu di pusat hiburan ibu kota yang lokasinya memang dekat dengan coffee shop tersebut. Perempuan tersebut bisa merasakan beberapa pria yang sedang berada di coffee shop tersebut melirik ke arah dirinya. Mungkin mereka berpikir bahwa bidadari berparas menawan itu mengapa hanya duduk sendirian saja? Apakah ia sedang kesepian dan tengah menanti seorang pria yang bisa menemani serta memberinya kepuasan di malam minggu ini? Belum reda kekaguman para pria di coffee shop tersebut, seorang perempuan lain dengan rambut indah yang tergerai hingga ke punggung turut memasuki coffee shop tersebut. Ia tampak begitu anggun dengan blus berwarna hitam dan celana panjang berbahan jeans. Perempuan tersebut pun turut menghampiri meja yang berada di samping jendela itu. “Duh, sorry banget Lit. Lo udah nunggu lama ya?” Sapa perempuan yang baru datang, sambil mengambil kursi dan duduk di hadapan temannya tersebut. “Nggak kok. Baru juga sampe. Buku menu juga belum diambilin sama Mbaknya. Apa kabar lo Gina?” Jawab sang teman yang mengenakan jilbab. “Baik, kok. Lo juga kan?” “Baik juga …” Siang ini, Gina Selvia tengah memenuhi janji untuk bertemu dengan teman-temannya yang tergabung di geng Cilukba. Tidak ada yang tahu dari mana nama tersebut berasal, tetapi nama tersebut sudah muncul sejak ketiganya menjalani karier sebagai dosen di Universitas Jaya Abadi. Perempuan berjilbab yang datang pertama kali ke coffee shop tersebut adalah Lita Wahid, seorang dosen jurusan Hubungan Internasional dengan pengetahuan dan jaringan yang luas di negara Korea Selatan. Karena itu, tak heran kalau dia punya banyak kenalan dan relasi dari Negeri Ginseng itu. Menurut informasi, ia pun tengah mengikuti kursus agar bisa lancar menggunakan bahasa Korea. Sebagai dosen jurusan Antropologi, maka Gina dan Lita sama-sama bekerja di bawah naungan Fakultas Sosial Politik di UJA. Selain mereka berdua, sebenarnya ada satu lagi dosen yang tergabung di geng Cilukba, tapi dia belum datang. Tak lama kemudian, pelayan yang tadi menyapa Lita pun menghampiri mereka berdua dengan membawa buku menu. “Eh, Lit. Thanks berat ya buat bantuannya. Kalau nggak ada lo, mana mau pelukis terkenal kayak Jae-Boom bikin karya buat keluarga gue. Mana pakai potongan harga segala lagi,” ujar Gina dengan wajah sumringah. Ia memang mengenal sang pelukis akibat dikenalkan oleh sahabat baiknya itu. “Haa, santai Gin. Kalau ada request lagi kabarin aja. Kata Jae-Boom, kalau dia nggak sibuk, oke-oke aja kok buat bantu,” jawab Lita sambil memeriksa buku menu, menimbang-nimbang minuman apa yang akan ia pesan hari ini. “Tapi hebat sih, lo bisa kenal sama Jae-Boom. Kalau nggak salah, yang meyakinkan dia buat tinggal di sini itu lo juga kan?” Lita hanya tersenyum, lalu menganggukkan kepala. “Dia masih single ya, Lit?” Perempuan berjilbab di hadapan Gina tiba-tiba mendelik. Ia menatap sahabatnya tersebut dengan tatapan curiga. “Hmm, kenapa tiba-tiba nanya kayak gitu? Lo nggak ada rencana mau jodohin dia sama seseorang kan?” “Hahaa, nggak kenapa-kenapa sih. Tadi pagi gue iseng ngobrol sama anak gue tentang Jae Boom. Terus tiba-tiba keinget sepertinya gue nggak pernah lihat ada berita dia lagi deket sama cewek. Padahal usianya kan udah cukup banget buat married.” “Setahu gue juga belum sih,” jawab Lita sedikit acuh. “Tapi …” kali ini Gina menurunkan volume suaranya, seperti tidak ingin obrolan mereka terdengar oleh pengunjung coffee shop yang lain. “Dia straight kan?” “Kalau itu tanya sendiri aja sama dia.” “Ahh, gak asyik lo Lit.” Sang sahabat pun menjawab dengan mengeluarkan lidahnya. “Btw, suami lo apa kabar? Masih baik-baik aja kan?” Tanya Gina lagi. “Perasaan udah jarang banget gue nggak lihat kalian jalan bareng.” “Dia baik-baik juga kok,” jawab Lita dengan nada ketus. Terlihat jelas bahwa ia tidak suka dengan pertanyaan yang diberikan sahabatnya sesama dosen tersebut, dan langsung mengalihkan obrolan mereka ke topik lain. “Gue udah mau pesen neh. Lo mau pesen juga nggak?” Meski sudah berusia di atas 40 tahun, dan salah satu dari mereka bahkan sudah mempunyai tiga orang anak, kedua dosen tersebut masih tampak begitu cantik dengan tubuh yang juga menggugah minat pria untuk mendekati. Bahkan tak jarang bila keduanya sedang berkumpul, ada beberapa pria yang terang-terangan mendekati dan menganggap mereka masih berusia 30an tahun. Lita dan Gina pun hanya tertawa-tawa saja bila mengingat kejadian tersebut. Di coffee shop tersebut, keduanya tampak tengah mengobrol tentang rencana penyambutan Menteri Pendidikan ke kampus mereka. Acaranya memang masih dua minggu lagi

, tetapi Pak Dar sebagai rektor telah memerintahkan seluruh instansi kampus untuk mempersiapkan segala sesuatunya sejak sekarang, tak terkecuali Lita dan Gina. Menurut informasi, sang Menteri tertarik untuk datang karena melihat dokumentasi acara Entrepreneurship Day yang berlangsung beberapa waktu lalu di Universitas yang terkenal dengan sebutan Kampus Ungu tersebut. Karena itu, ia pun ingin mempelajari sistem pendidikan di kampus swasta itu, dan berniat untuk menularkannya ke kampus negeri di bawah naungan kementeriannya. Untuk sementara, Lita yang memang mempunyai kemampuan public speaking mumpuni telah didapuk sebagai MC di acara penyambutan tersebut. Sedangkan Gina mempunyai tugas di belakang layar untuk mempersiapkan materi presentasi yang berkaitan dengan Fakultas Sosial Politik. Pak Dar tentu saja tidak bisa mengharapkan Pak Banu sebagai dekan fakultas tersebut untuk menyelesaikan pekerjaan itu. “Halo semuanyaaa …” Tiba-tiba Gina dan Lita dikejutkan dengan kehadiran seorang perempuan paruh baya yang juga mempunyai umur serupa dengan mereka. Perempuan tersebut juga mempunyai paras yang menarik, dan mengenakan pakaian yang cenderung lebih seksi, yaitu short dress berwarna hitam yang hanya menutup sampai bagian atas lututnya. Pakaian tersebut bahkan cukup ketat membentuk tubuhnya, hingga menonjolkan payudaranya yang berukuran cukup menggoda. “Haishh … Kebiasaan banget lo, Tuti. Dateng-dateng langsung ngerusuh,” omel Gina. “Sorry, sorry … Habis kalian berdua serius banget sih ngobrolnya,” jawab perempuan bernama Tuti tersebut. Ia juga merupakan dosen di Universitas Jaya Abadi, tetapi di fakultas yang berbeda dengan kedua temannya. “Yaudah, pesen minum dulu sana.” “Santai. Gue barusan makan kok. Ngomong-ngomong kalian lagi ngobrolin apa sih?” “Biasa, soal Pak Menteri yang mau datang ke kampus.” “Hahaa, belom datang aja udah nyusahin. Gimana kalau udah datang nanti, hee.” “Tapi lo kok nggak ikut repot sih, Tut. Nggak ikut disuruh bikin presentasi kayak gue? Kayaknya dulu Pak Yo kalau ada apa-apa selalu minta tolong sama lo deh,” tanya Gina penasaran. “Hmm, nggak tahu ya. Dekan gue itu sejak acara Entrepreneurship Day waktu itu kayaknya seneng banget nyuruh-nyuruh si Sofyan. Dia dosen muda gitu, nggak tahu deh kalian kenal apa nggak.” “Kayaknya gue tahu. Dia yang sering jalan bareng sama Bu Yasmin yang di Public Relations kan, Lit?” Lita pun mengangguk. “Iya. Kayaknya gue sering lihat mereka kumpul bertiga, sama Bu Indira yang dari Fakultas Ilmu Komputer juga. Yang gue denger mereka satu angkatan waktu kuliah.” “Owh, pantes,” gumam Tuti. “Iya, jadi akhir-akhir ini kalau ada macam-macam tuh selalu dikasih ke Sofyan. Bahkan akreditasi juga udah diserahin ke dia. Pokoknya gue udah bebas deh dari semua keribetan itu, hee.” “Lo nggak merasa aneh sama semua itu, Tut?” Tanya Gina. “Kalau gue sih selama bisa dibikin gampang, kenapa harus dibikin ribet. Iya nggak? Hahaa …” Jawab Tuti. “Tapi serius deh, akhir-akhir ini tuh lo sendiri jadi keliatan makin glowing, makin cetar gitu. Auranya kayak beda aja di mata gue. Padahal, sebelumnya lo kan jutek banget gitu. Apa sih rahasianya? Bagi-bagi dong. Siapa tahu bisa gw pakai biar bikin Jay klepek-klepek untuk kedua kalinya,” desak Gina. “Namanya juga rahasia. Ya nggak boleh dikasih tahu dong, hee.” “Pelit dasar …” “Lagian kalau gue kasih tahu, belum tentu cocok juga sama kalian,” lanjut Tuti penuh teka-teki, membuat kedua temannya yang lain malas untuk menanggapi. Dalam hati, Tuti mensyukuri keadaan yang seperti terus memberikan kabar baik untuknya. Atasannya di kampus tiba-tiba mengurangi beban pekerjaannya, lalu mengalihkannya ke seorang dosen junior. Di saat yang sama, ia pun bisa menjalin kedekatan dengan brondong muda yang tidak hanya tampan, tetapi juga mempunyai teknik bercinta yang lumayan. Dalam hal persahabatan, ia pun mempunyai Geng Cilukba yang berisi rekan-rekan dosennya di kampus, dan satu geng lagi yang biasa menemaninya ketika dugem. Semua terasa lengkap. “Eh, ngomong-ngomong soal pejabat pemerintah, kalian udah denger berita calon gubernur ibu kota yang baru belum? Pak Agustinus?” Tanya Tuti kepada kedua sahabatnya. “Iya, gue denger sih. Emang kenapa?” Balas Lita. “Gue nggak mau bahas politik ya, cuma penasaran aja kalau dia bener-bener jadi gubernur. Pertama, dia kan bukan pemeluk agama mayoritas. Kedua, setahu gue dia tuh deket banget sama Pak Rektor. Semua dekan kayaknya juga kenal sama dia.” “Anaknya kan juga masuk di kampus kita. Di Fakultas Ilmu Komputer.” “Nah, kan … Jangan-jangan kampus kita bisa kecipratan proyek apa kek dari dia, terus kita bisa naik gaji deh, hee.” “Amiiinnn …” ujar Lita dan Gina di waktu yang hampir bersamaan. Meski sama-sama sudah memiliki suami yang mempunyai pekerjaan tetap, baik Lita dan Gina tentu akan merasa bersyukur kalau mereka juga bisa memiliki penghasilan yang jumlahnya lumayan. Untungnya, karena mereka sudah terhitung sebagai dosen senior, gaji mereka pun sudah bisa dibilang cukup. Apalagi untuk Tuti, yang sejak bercerai dengan suaminya tampak begitu menikmati hidup dan menghabiskan gaji hanya untuk senang-senang sendiri. “Lagian ya, bukan cuma Pak Agustinus doang ternyata yang mau nyalonin jadi pejabat,” ujar Lita sambil melirik ke arah perempuan di hadapannya, yang sudah mempunyai tiga orang anak tetapi tetap bisa tampil jelita. Payudaranya pun masih bisa menyembul lucu dari balik kemeja hitamnya. Tuti langsung mengerti maksud pembicaraan sahabatnya itu. “Hah, serius? Lo jadi mau nyalonin diri buat posisi deputi rektor?” Gina hanya tersenyum mendengarnya. “Ya, doain aja babe. Pak Warsono kan baru pensiun dan harus ada yang mengisi posisinya.” “Wah, congrats Gina. Tapi memangnya dekan lo gak tertarik buat maju? Si Pak Banu,” tanya Tuti lagi. “Dia kayaknya nggak tertarik deh. Terlanjur zona nyaman sepertinya di kursi dekan, nggak mau pindah kemana-mana. Dan karena posisi gue di fakultas paling senior, ya kenapa nggak,” jawab Gina dengan wajah sumringah yang tidak bisa disembunyikan. Perempuan cantik itu memang begitu bersemangat untuk mengisi posisi baru tersebut. “Cuma ada satu masalah.” “Masalah apa?” “Secara akademik, gue masih kurang satu penelitian lagi buat jadi deputi rektor. Dan sampai sekarang, gue belum tahu mau bikin penelitian apa yang oke, tapi bisa selesai cepet juga.” Lita dan Tuti pun terdiam. Sebagai sahabat, mereka tentu berharap yang terbaik bagi Gina. Tetapi mereka berdua pun merasa tidak bisa membantu apa-apa. Hingga Lita yang tengah memandang ke luar jendela melihat seorang pemulung tengah mengobrak-abrik sebuah bak sampah di trotoar jalan. Perempuan tersebut pun seperti baru saja mendapat sebuah ide brilian. “Gina, gue ada ide deh,” ujar Lita tiba-tiba. “Apa tuh, Lit?” “Bagaimana kalau lo bikin penelitian soal kondisi pemulung di ibu kota. Gue denger sebenarnya mereka tuh bisa dapat penghasilan yang kadang-kadang lebih tinggi dari upah minimum di daerah, makanya banyak yang akhirnya hijrah ke Jakarta. Dan mereka juga punya semacam jaringan yang unik gitu mulai dari bos yang paling tinggi sampai ke kroco-kroco di bawah,” jelas Lita. Perempuan tersebut memang punya ketertarikan dalam masalah sosial, terutama yang bisa dihubungkan dengan studi perbandingan budaya antar negara. “Hmm, boleh juga sih. Tapi kayaknya udah banyak deh penelitian soal itu.” “Pakai etnografi, Gina. Bagaimana? Apa udah banyak juga?” Gina pun tampak berpikir sejenak. Ia coba mengingat-ingat puluhan jurnal yang pernah ia baca, apakah ada yang coba melakukan teknik penelitian tersebut untuk objek tenaga pemulung sampah.

Sebuah senyum akhirnya muncul di bibirnya yang sensual. “Ide yang menarik itu, Lit. Lo brilian deh.” “Babe … Babe … Sorry neh. Bukannya gue mau ganggu. Tapi dari tadi tuh gue roaming denger obrolan kalian. Nggak ngerti sama sekali. Etnografi itu apaan dah?” Tanya Tuti protes. Ia yang berasal dari Fakultas Ekonomi Bisnis memang kurang familiar dengan istilah tersebut. Lita pun tertawa mendengar kata-kata sahabatnya, lalu berusaha menjelaskan. “Jadi, etnografi itu teknik penelitian di mana sang peneliti harus tinggal dalam waktu yang cukup lama, bisa beberapa minggu atau berbulan-bulan, di lokasi objek penelitian. Dengan begitu, dia bisa mendapat gambaran yang cukup komprehensif tentang apa yang terjadi di sana, sehingga bisa menghasilkan penelitian yang oke, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.” “Jadi maksud lo Gina harus tinggal di kampung pemulung selama sebulan, atau bahkan lebih?” “Kenapa nggak? Setelah penelitian selesai, dia tinggal bikin laporan. Ketika laporan itu jadi, langsung deh isi jabatan deputi rektor. Beres kan?” “Emangnya lo mau kayak gitu Gin?” Gina pun mengangguk. “Sepertinya ide Lita itu menarik banget. Lagipula, gue nggak perlu bener-bener tinggal di sana selama 24 jam juga. Tetap bisa sambil bolak balik ke rumah, babe.” “Ah, oke oke. Gue tetep nggak ngerti sih, tapi kalau itu bisa bikin lo naik jabatan, gue ikut seneng Gin. Yang penting jangan lupa traktirannya, hee.” “Thanks ya, babe. Kalian berdua memang sahabat paling the best sedunia,” ujar Gina. “Iya dong. Jadi siapa kita?” Tanya Lita sambil menutup matanya dengan kedua tangan. “Ci …” Tuti mengikuti gerakan tersebut. “Luk …” Gina pun mengikuti kedua sahabatnya. “Ba …” Mereka bertiga kompak membuka tangan mereka, dan langsung saling bergenggaman tangan sambil tertawa-tawa cekikikan. Girls will be girls. Beberapa orang yang melirik ke arah mereka agak terheran-heran dengan apa yang dilakukan oleh mami-mami ini. Tapi apapun yang terjadi, Gina, Lita, dan Tuti merasa bahagia. Sayangnya, di dunia ini tidak akan pernah ada yang namanya kebahagiaan abadi. Tidak pernah ada yang pasti. Satu-satunya yang abadi, adalah perubahan.
***​
Hari sudah menjelang senja saat geng Cilukba mulai kehabisan bahan obrolan, dan siap untuk meninggalkan coffee shop tersebut. “Thanks berat ya babe. Gue harus balik dulu neh, takut dicariin Jay sama anak-anak,” ujar Gina sambil membereskan ponsel dan dompetnya yang masih tergeletak di meja. “Lo naik apa babe? Nggak dijemput sama Jay?” Tanya Lita. “Jay lagi ada urusan nganter anak-anak, jadi nggak bisa nemenin. Gue naik taksi online, itu udah nunggu di depan. Bye, semua!” Lanjut Gina sambil melambaikan tangan. Kini tinggal Lita dan Tuti yang masih berada di coffee shop tersebut. Lita masih dengan kebiasaannya menatap ke arah luar jendela, melihat mobil dan motor yang mulai ramai melewati jalan raya di depan. Sedangkan Tuti malah sibuk dengan ponselnya sendiri. “Lagi chattingan sama siapa sih lo?” Tanya Lita, setelah melihat sahabatnya itu terus mengetikkan pesan di ponsel sambil tersenyum sendiri. Sejak berteman dengan Tuti, Lita merasa belum pernah melihat sahabatnya tampak bersemangat seperti itu. “Ada deh,” jawab Tuti. “Calon suami baru ya? Hee.” “Bu Lita kepooo …” “Ishhh …” Lita pun mendengus kesal. “Eh, gue mau nanya sesuatu deh.” “Mau nanya apa sih Lit? Nanya tinggal nanya aja.” “Waktu kemarin lo cerai sama suami lo. Prosesnya gampang nggak?” “Hmm, kenapa lo nanya kayak gini? Lo bukannya mau …” Lita buru-buru memotong perkataan sahabatnya itu. “Nggak … Nggak … Ini bukan buat gue, tapi buat … Hmm … Tetangga gue. Iya, tetangga gue katanya mau cerai gitu.” Meski masih curiga, Tuti akhirnya memutuskan untuk terbuka. “Ya, susah-susah gampang sih, Lit. Kalau pasangannya juga setuju buat pisah, prosesnya akan jauh lebih mudah, tinggal siapin uang untuk pengacara dan proses hukum aja. Tapi kalau pasangannya masih pengin rujuk, nah itu yang repot setahu gue.” “Owh, gitu. Baiklah.” “Eh, gue udah dijemput neh. Jalan duluan ya. Jangan lupa bayarin dulu semua minuman sama makanan gue, hehee …” Ujar Tuti tiba-tiba. Tanpa menunggu balasan dari temannya, ia langsung berdiri dan beranjak meninggalkan meja. “Woy, tunggu Tuti. Emangnya lo dijemput siapa? Cerita dulu, hehh …” Tuti tidak menggubris panggilan Lita, dan terus saja berjalan keluar dari coffee shop. Lewat jendela besar di sebelahnya, Lita bisa melihat temannya itu masuk ke dalam sebuah mobil BMW berwarna hitam. Ia tidak bisa melihat dengan jelas siapa pengemudi mobil tersebut, tapi sepertinya seorang pria yang masih berusia muda. Apa iya sahabatnya itu kini tengah dekat dengan brondong muda? Tapi Lita tidak mau terlalu memikirkan urusan pribadi sahabatnya. Apabila waktunya sudah tepat, ia pasti akan cerita. Kini, tinggallah Lita duduk sendirian di coffee shop yang mulai ramai dengan pasangan-pasangan muda yang ingin menikmati malam minggu. Namun tiba-tiba, ada sebuah pesan yang masuk ke ponselnya. Pesan tersebut tertulis dalam aksara Korea alias Hangul. “Bappeuseyo? Eodi gaseyo?” Lita yang sudah sedikit-sedikit memahami bahasa Korea jelas mengerti kata-kata tersebut. Hatinya berdebar saat mengetikkan huruf demi huruf di gawainya. “Kamu sedang sibuk? Lagi pergi ke mana?” (Bersambung)