Kemelut Itu Kapan Usai?
ISTRIKU dipanggil bekerja lagi oleh boss-nya. Istriku sulit untuk menolaknya, karena permintaan dari boss-nya langsung, padahal istriku sudah berhenti bekerja sejak ia melahirkan hampir 2 tahun yang lalu.
Sebenarnya kalau istriku tidak mau terima permintaan dari boss-nya itu juga tidak akan menyulitkan hidupnya, karena penghasilanku cukup dipakai menghidupi keluarga kecilku.
Penghasilanku setiap bulan biasanya semuanya aku berikan pada istriku setelah aku potong dengan uang untuk aku kirim pulang pada kedua orangtuaku.
Sedangkan uang untuk aku pakai sehari-hari aku masih mendapat insentif dari perusahaan, uang lembur dan uang makan. Belum lagi kalau aku tugas keluar kota aku mendapat uang transport dan uang akomodasi.
Cicilan rumah sudah tidak usah aku bayar, karena aku menempati rumah orangtuaku yang dulu dibeli dengan cicilan sewaktu papaku masih bekerja. Sekarang kedua orangtuaku pindah tinggal bersama adikku.
Anak kami yang hampir berumur 2 tahun terpaksa kami titipkan pada kakak istriku yang sudah berkeluarga dan sudah punya 2 orang anak.
Pulang kerja kami jemput. Tergantung siapa yang pulang kerja duluan. Biasanya aku duluan yang pulang kerja.
Sesampai di rumah kakak iparku aku tidak langsung membawa anakku pulang, biasanya aku istirahat, aku makan sambil menunggu istriku pulang kerja.
Istriku pulang kerja juga ikut makan di rumah kakaknya.
Pulang ke rumah, kami tinggal mandi. Kalau anak kami sudah tidur, kami mandi bareng sambil berhubungan intim di kamar mandi. Jika belum puas, kami melanjutkan lagi berhubungan di tempat tidur.
Pernah aku keluar kota berdua dengan temanku, Abdu namanya dan dari Abdu pula aku sering membawa wanita masuk ke kamar kalau aku nginap di losmen.
Abdu tidak pernah mau main dengan wanita yang masih muda. Ia mengajak aku ngentot dengan seorang wanita berumur sekitar 40-an.
Satu wanita itu kami keroyok berdua, Abdu di lubang anus, aku di lubang memek wanita sederhana itu, tetapi wanita itu berprofesi sebagai PSK yang mangkal cari mangsa di warung remang-remang yang berada di depan losmen.
Mereka main kucing-kucingan dengan aparat keamanan. Mereka tidak tampil seronok, melainkan mereka hanya pakai daster seperti ibu rumah tangga biasa.
Memang mereka ibu rumah tangga biasa yang tinggal di sekitar losmen yang butuh duit, lalu mereka menjual diri. Maka itu tidak setiap malam kita bisa bertemu dengan mereka, hanya kadang-kadang saja tergantung nasib kita lagi baik atau tidak malam itu.
Petugas losmen juga tutup mata. Kata mereka yang menjadi PSK, mereka hanya sebagai tukang pijit kok. Maka itu si ibu ini nolak diajak main bertiga. Akan tetapi karena rayuan maut Abdu, akhirnya si ibu ini melepas dasternya.
Sebenarnya aku juga jijik main dengan wanita umur 40-an ini. Belum lagi nanti kalau kena penyakit kelamin, tetapi melihat tetek montok si ibu ditambah bulu hitam yang tumbuh tidak terawat sampai di dekat anusnya, akupun telanjang menerkam bibir si ibu yang sudah terlentang di tempat tidur.
Abdu menyuruh aku duluan yang mengeksekusi si ibu, ia pergi membeli rokok di warung depan losmen. Mungkin supaya aku juga tidak risih, begitu.
Aku melumat bibir si ibu sambil tanganku meremas-remas teteknya yang masih kenyal berisi, tetapi si ibu hanya diam saja tidak memberikan responnya.
Namun akhirnya ia buka suara juga. “Saya baru pertama ini, Pak.” katanya.
Bisa jadi ia bohong untuk mendapatkan penghasilan lebih dariku, batinku. Tetapi ia ngomong lagi, “Suami saya selingkuh, Pak. Saya sudah memaafkan dia, tetapi ia masih mengulangi lagi. Saya jengkel, akhirnya saya jual diri saja… kalau Bapak tidak percaya, boleh deh Bapak tanya sama warung pecel lele situ…”
“Jadi… Ibu nggak mau nih…?” tanyaku.
“Sama Bapak, saya mau, Pak. Tapi sama teman Bapak, saya nggak mau, saya takut…” jawabnya.
Berhubung si ibu tidak nolak berhubungan badan dengan aku, aku tidak peduli lagi bagaimana ia dengan Abdu nanti, aku langsung mencium perut si ibu dan menjilat puser layunya, sementara tanganku menyibak bulu-bulu jembut yang bertebaran di sekeliling memeknya. Ternyata memeknya juga sudah basah sewaktu kumasukkan jari.
Jariku ikut basah dan berbau amis saat kucolok-colok lubang memeknya. “Aakkhh~~~ aakkhhh~~~ aakkhh~~~” rintihnya.
Tetapi tidak segera kumasukkan penisku, masih saja kujilat memek si ibu yang madunya terasa gurih. Aku jilat sampai lidahku masuk ke dalam lubangnya. Lupa aku dengan penyakit kelamin.
Mula-mula si ibu diam saja membiarkan mulut, bibir dan lidahku mengeksplorasi migas untuk mencari cadangan minyak dan gas bumi di lubang selangkangannya sampai satu saat sewaktu lidahku menyentuh biji itiel-nya, si ibu baru mulai gelisah, pantatnya naik-turun, “Aakkhh~~~ aaakkhh~~~ oooohhh~~~ ooohhh~~~ ooohh~~~ aaaggghhh~~~~” rintihnya semakin menjadi-jadi.
Tubuhnya bergerak tidak teratur. Akhirnya si ibupun kejang-kejang sambil menjerit nyaring. AC di kamar seperti tidak berfungsi. Seluruh tubuhnya berkeringat basah.
Aku tidak membiarkan orgasme si ibu sampai selesai, karena takut Abdu menunggu aku. Lubang memek si ibu segera kuentot.
Aku masih memompa lubang memek si ibu, Abdu masuk ke kamar. “Ganti aku, pren (maksudnya; friend).” kata Abdu sudah telanjang bulat.
Karena aku masih tanggung, aku mompa terus lubang memek si ibu sampai air maniku keluar, baru ganti Abdu yang memompa si ibu.
Terpaksa si ibu nungging. Kasihan aku melihatnya sewaktu Abdu memasukkan ote-nya ke lubang dubur si ibu.
Aku tidak berani melihat. Aku keluar dari kamar. Tak lama kemudian si ibu juga keluar dari kamar, tetapi ia berjalan dengan kepala menunduk sambil menutupi wajahnya dengan sapu tangan.
Aku berusaha menggali informasi tentang si ibu ini dari warung pecel lele.
Ternyata benar si ibu ini ibu rumah tangga biasa yang sakit hati pada suaminya. Aku pernah makan di warung pecel lele itu dan bertemu dengan si ibu ini lagi belanja nasi goreng.
Ia sudah tidak kenal dengan aku, lalu aku mencoba bertanya pada pelayan di warung lele tersebut.
“Di situ tuh rumahnya. Mas masuk ke gang itu sedikit, belok ke kiri ada warung sembako… di situ tuh rumah si Ibu. Mas mau aku antar ke sana?”
“O… nggak usah… nggak usah…!” jawabku cepat meninggalkan warung pecel lele setelah membayar makanan yang aku makan, yaitu seporsi pecel lele dengan nasi dan es teh.Munni, begitu nama kakak iparku. Usianya sama dengan aku, 30 tahun. Hidupnya pas-pasan dengan 2 orang anak dan suaminya bekerja membawa mobil online milik kakaknya.
Pendapatan 60% untuk kakak iparku, sedangkan 40% untuk yang punya mobil. Maka itu, aku bertanya pada Munni, “Aku nitip anak makan disini ngerepotin kamu, Hana kasih nggak sama kamu?”
“Kasih, cukup kok…” jawabnya. “Apa kamu mau nambah? Sini…” katanya menadahkan tangan bercanda denganku.
Tetapi aku tetap mengeluarkan dompetku karena aku baru saja dapat uang lembur yang lumayan banyak, aku memberikan pada Munni 500 ribu rupiah.
“Sering-sering ya… he.. he..” katanya tertawa menerima pemberianku.
Lewat beberapa hari…
Aku pulang kerja lebih cepat. Jam 3 sore sepeda motorku sudah sampai di depan pagar rumah kakak iparku. Aku tidak bisa memasukkan sepeda motorku ke halaman rumah karena pintu pagar terhalang oleh mobil online milik kakak iparku.
Aku taruh saja sepeda motorku di pinggir jalan, lalu membuka pintu pagar masuk ke halaman rumah.
Untung sepatuku yang kupakai tidak menimbulkan suara dan aku belum menginjak ke teras rumah sewaktu mataku menangkap sesuatu di ruang tengah, yaitu kakak iparku hanya memakai celana dalam sedang duduk di tikar mengerik punggung seorang wanita. Dada wanita itu dibiarkan telanjang dan wanita itu juga hanya memakai celana dalam.
Mereka berdua duduk membelakangi pintu rumah dan dari bentuk tubuh wanita yang dikerik kakak iparku itu jelas terlihat bukan Munni, istrinya, melainkan ibunya, atau ibu mertua Munni.
Jantungku segera berdebar-debar, sepertinya suasana tidak kondusif. Aku segera menyingkir mengeluarkan handphoneku menelepon Munni.
Ternyata Munni sedang berada di mall dengan kedua anaknya dan anakku juga diajak oleh tetangganya karena anak tetangganya berulang tahun merayakannya di restoran milik Opa Kolonel Sanders.
Pantesan berani benar suaminya mengajak ibunya ke rumah untuk… ya untuk itu, karena setelah aku telepon Munni, Kanto kakak iparku itu pantatnya sudah naik-turun-naik-turun sambil menindih dan berciuman dengan wanita yang punggungnya dikerok tadi.
Berhubung lalu lintas di depan rumah kakak iparku sore itu kebetulan sepi, aku bisa menonton secara live film porno mom and son itu sampai Kanto menyemburkan spermanya di lobang memek ibunya.
Mereka berdua bangun telanjang bulat pergi ke kamar mandi, aku kabur membawa sepeda motorku menunggu tidak jauh dari belakang mobil Kanto melihat apa yang akan terjadi berikutnya.
Kanto mengajak ibunya yang sudah janda ini pulang. Ibu Kanto tidak tinggal serumah dengan Munni, karena ibu Kanto dengan Munni seperti kucing dengan anjing, tidak bisa dekat. Dekat sedikit bertengkar, karena Munni orangnya judes. Jadi bukan pihak mertuanya yang bersalah. Ibu mertuanya sih baik-baik saja.
“Kamu masih ngentot dengan Kanto?” tanyaku pada suatu sore sewaktu Munni sudah tidak ada pekerjaan duduk santai denganku.
“Kenapa sih kamu bertanya begitu padaku? Aku jadi curiga…” jawabnya.
“Sekarang aku susah dapat jatah dari Hana… kalau kamu sudah nggak, kan bisa bagi-bagi sama aku…” sahutku.
Plak… Munni memukul pahaku. “Enak aja, memangnya aku kue dibagi-bagi…”
“Siapa yang bilang kamu kue, Bu… kamu cantik gitu kok, kue…”
“Iddih… cantik…! Ngerayu… kalo ada maunyaaa…”
“Aku nggak minta lebih denganmu kok…” kataku. “Ngocok bisa…?”
“Haa… haa…” Munni tertawa renyah. “Mana…? Cepetan…!” suruhnya.
“Di sini?”
“Iya, nggak papa, aku ambil sarung dulu.” katanya pergi ke kamar.
Di dalam kamar, kedua keponakanku dengan anakku sedang bermain. Munni hanya sebentar di kamar, tetapi keluar dari kamar Munni tidak hanya membawa keluar sarung untukku, ia juga mengganti celana longgar selututnya dengan kain.
Aku mencopot celana panjangku dan celana dalamku di depan Munni, lalu aku pakai sarung kemudian aku melepaskan kemeja kerjaku dan kaos singletku, sehingga total tubuhku telanjang kalau aku tidak memakai sarung.
Setelah itu aku berbaring di tikar dengan sebuah bantal yang diturunkan Munni dari kursi. Munni membuka ikatan sarungku, lalu menurunkan sarung dari bagian perutku ke bawah sehingga penisku pun terpajang di depan mata Munni.
“Wawww…” seru Munni membelalakkan matanya. Hidungnya bundar, matanya agak sipit dan pipinya jerawatan kecil-kecil. Tingginya paling hanya 160 sentimeter. “Nggak cukup segenggam.” katanya menggenggam batang penisku yang setengah tegang dengan tangannya. “Kanto paling-paling hanya separuhnya… seesstth… oohhh…” desisnya mulai mengocok turun-naik penisku.
Setelah penisku cukup tegang, ia menggantikan tangannya dengan mulutnya mengocok penisku sambil pangkal penisku bersama zakarku digenggamnya… rasanya aku melayang-layang penisku dikocok dengan begitu mesra oleh kakak iparku. Apalagi terbayang olehku Kanto menyetubuhi ibunya di tikar yang sedang kubaringi sekarang ini.
Aku tidak mau berdiam diri lagi sewaktu Munni melepaskan penisku dari mulutnya, ganti mulutku menggapai mulut Munni sehingga spontan tanpa dikomando kedua bibir kami saling berpagut dan melumat. Napas Munni mendengus-dengus keluar dari hidungnya apalagi sewaktu tanganku meremas teteknya yang menggantung lemah di dadanya.
“Ng… nngg… aku gak tahan, Ran.” kata Munni. Namaku Amran. “Setubuhi aku…” suruhnya dengan napas tersengal.
“Sudah berapa lama kamu nggak ngentot sih…?” tanyaku.
“Dua bulan ada kali…”
He.. he… aku tertawa dalam hati sekaligus kasihan dengan Munni.
Ia langsung berbaring di tikar, aku membuka lebar pahanya, lalu menunduk. Ia mendorong kepalaku. “Jangan, Amran. Nggak aku cuci, baunya menjijikkan… lendirku lagi banyak kalau mendekati hari subur…”
Tetapi melihat memek Munni yang keriput berwarna coklat tanpa bulu itu membuat aku semakin bernapsu padanya dan dengan sedikit memaksa, akhirnya mulutku dapat merasakan sensasi memek kakak iparku itu yang berlendir kental berwarna kekuningan sampai berbentuk benang di depan lubang memeknya.
Aku hanya melumat dan menghisap memek Munni sebentar saja. Selanjutnya dengan berlutut di antara kedua paha Munni yang terbuka lebar kudorong masuk penisku ke lubang memeknya.
Sluurpp… slurrpp… bllleeessss….
“Penuh… enak…” kata Munni.
Lalu mulai kutarik dorong penisku menggenjot lubang vagina Munni diiringi dengan bibir kami yang saling melumat sementara tanganku meremas-remas teteknya.
Pergesekan 2 kelamin yang berbeda jenis itu menimbulkan sensasi nikmat yang luar biasa di antara kami berdua, sehingga kedua kaki Munni ikut mendorong-dorong pantatku.
“Bantu aku keluarin…” suruhnya. “Dua hari yang lalu aku sampai korek-korek dengan jari, tapi nggak keluar-keluar…”
“Memekmu terlalu nikmat bagiku…” jawabku.
“He.. he..” Munni tertawa senang, lalu ia memeluk aku erat-erat membiarkan seluruh batang penisku terkubur di dalam lubang vaginanya. “Sayang…” desahnya. “Kamu seperti suamiku…”
“Mau…?” tanyaku.
“Mau aja… kalau Hana setuju aku menjadi istrimu…” jawabnya membiarkan air maniku keluar menggenangi rahimnya.
Munni benar-benar seperti istriku yang kedua setelah persetubuhan sore itu.Aku harus keluar kota lagi. Setelah 2 hari aku di kota tersebut dan pekerjaanku sudah selesai siap-siap pulang, aku baru teringat kalau di kota ini aku punya seorang Tante, atau aku panggil Bude.
Bude Yuti dan Pakde Yikno, suaminya. Aku pun sibuk mencari nomor hape beliau karena takut sudah kuhapus, ternyata masih tersimpan di memory card hapeku.
Aku sengaja berangkat ke rumah beliau dulu yang terletak di sebuah perumahan sederhana dan tidak jauh dari rumah beliau, aku baru telepon beliau ingin memberikan surprise pada Bude Yuti khususnya.
“Siapa ya ini…? Kalau mau nawarin kredit, jangan di sini ya, aku tidak perlu, duitku banyak, tidak perlu kredit… kredot… kredit… kredit…!!!” omelnya.
Aku tertawa dalam hati, tetapi masih juga kuledekin Bude Yuti sampai beliau ngamuk-ngamuk di depan hapenya.
Aku ketok pintu rumahnya dan yang membuka pintu rumah adalah pembantunya. Ternyata Mbok Gini masih betah bekerja di rumah Bude sudah sekian tahun sejak Mbok Gini masih muda.
Mbok Gini menjerit kegirangan melihatku sehingga mengundang Bude Yuti keluar dari kamar… badan Bude Yutik… aduu..uuuhhhh…. gemuknyaaa… astagaaaaa…. pantesan tadi beliau marah-marah sampai napasnya tersengal-sengal….
“Amra..aannn…. o, astagaaaaa…” jerit Bude Yuti terkejut melihatku. “….kenapa mau datang ke sini gak ngomong-ngomong….”
Aku yang masih terperangah melihat tubuh Bude Yuti sampai segemuk itu masih terbengong di tempat aku berdiri sampai Bude Yuti menghampiriku dan memelukku, kami berpelukan… aku seperti memeluk drum…. oh, sayang… desah Bude Yuti sewaktu kucium pipi kiri dan pipi kanannya yang tembem.
Kemudian Pakde Yikno muncul dari pintu depan mungkin beliau melihat ada mobil yang terparkir di depan pagar rumahnya.
Kami bersalaman lalu duduk ngobrol bertiga di ruang tamu. Tentu saja yang ditanyakan Pakde Yikno dan Bude Yuti banyak sekali karena lama kami tidak bertemu, mulai dari bagaimana keadaan kedua orangtuaku, tentang keluargaku, tentang pekerjaanku, aku bekerja di mana sekarang sampai Mbok Gini dari dapur membawa 2 gelas kopi, segelas teh dan setoples biskuit ditaruh di atas meja dengan membungkuk tepat di depanku, Mbok Gini tidak memakai BH.
Tetek Mbok Gini yang telanjang terlihat dari leher dasternya yang longgar itu bukan sudah keriput dan peot, melainkan masih mulus dan kencang.
Aku yang sudah terbiasa bergaul dengan wanita melihat tetek Mbok Gini pandangan mataku seperti tersedot kesana sehingga membuat pikiran mesumku berkecamuk.
“Jangan cepat-cepat pulang ya, Ran…” kata Bude Yuti.
“Tidak bisa, Bude. Aku hanya dapat izin 2 hari, sebenarnya hari ini aku sudah harus pulang, tetapi karena aku teringat dengan Bude, aku minta izin 1 hari lagi besok pulang…”
“Buru-buru banget sih…” kata Bude Yuti suaranya terdengar kecewa.
“Kapan-kapan aku datang lagi, Bude. Aku pengen cari tukang pijit nih… di sekitar sini ada tukang pijit panggilan gak, Bude…?
“Suruh Mbok Gini saja. Bude sering nyuruh Mbok Gini mijit kok… nanti kalau selesai kasih dia tips sedikit… sana, di kamar dia juga boleh, atau di kamar depan…”
Tentu saja Mbok Gini senang. Mbok Gini mengajak aku ke kamarnya meskipun tidak begitu luas terletak di samping dapur, tetapi bersih terdapat satu tempat tidur kecil dan Mbok Gini menyalakan kipas angin.
Setelah itu Mbok Gini menggantungkan pakaianku di belakang pintu kamar. Dan hanya memakai celana dalam aku tengkurap dan punggungku mulai dipijit Mbok Gini.
Sambil Mbok Gini menekan-nekan dadaku, aku menjulurkan tanganku ke dada Mbok Gini meremas tetek Mbok Gini yang kenyal dari luar dasternya.
Mbok Gini tidak menolak aku meremas teteknya. Ia terus menekan-nekan dadaku sampai ke perutku, kemudian celana dalamku dilepaskannya.
Setelah itu ia melepaskan dasternya dan dengan bertelanjang dada ia duduk di tepi tempat tidur mengocok penisku dengan tangannya tanpa bicara.
Selanjutnya ia memasukkan penisku ke dalam mulutnya, lalu penisku dikocok dengan mulut.
Aku membiarkan Mbok Gini mengocok, sementara aku berbaring saja menikmati sampai air maniku nge-crott… croottt… crroott… crroott… di dalam mulut Mbok Gini.
Mbok Gini menelan air maniku. Sampai di sini acaraku dengan Mbok Gini belum selesai.
Mbok Gini melepaskan celana dalamnya. Ia naik ke tempat tidur dengan telanjang bulat berbaring di sampingku membiarkan aku memeluknya dan mencium bibirnya… meremas teteknya, Mbok Gini mengimbangiku dengan mengocok penisku untuk yang kedua kalinya.
Aku tidak memikirkan istriku, aku juga tidak memikirkan Munni, karena aku mempunyai wanita baru.
Penisku tegang lagi. Mbok Gini tau apa yang harus dilakukannya. Ia berbaring terlentang membiarkan aku memasang penisku di lubang memeknya sembari aku menindihnya.
Bluusssss… inilah pertama kali aku merasakan lubang vagina seorang wanita paruh baya yang sudah kering sebab Mbok Gini sudah menopause.
Berhubung tubuh Mbok Gini masih bagus saja sehingga aku napsu padanya meskipun vaginanya sudah kering. Mbok Gini berbaring terlentang membiarkan aku menyetubuhinya.
Lubang vagina Mbok Gini terasa sempit mungkin karena keset dan sudah lama tidak dipakai, jadi rasanya nikmat saja saat penisku menjalani lubang itu sampai air maniku ke luar di dalam lubang memeknya.
Aku cabut penisku, turun dari tempat tidur mengambil celana dalam Mbok Gini membersihkan penisku yang basah, lalu Mbok Gini juga turun dari tempat tidur mengambil celana dalamnya yang sudah kupakai membersihkan penisku untuk membersihkan memeknya.
Keluar dari kamar Mbok Gini tampak biasa-biasa saja di depan Bude Yuti dan Pakde Yikno, sehingga Bude Yuti dan Pakde Yikno tidak curiga pada Mbok Gini dan aku berbuat mesum di kamar.
Aku segera pergi mandi dan setelah berganti pakaian bersih aku keluar dari kamar, Pakde Yikno dan Bude Yuti sudah menunggu aku di depan meja makan.
.
Selesai makan Pakde Yikno ngobrol dengan aku di ruang tamu tentang perkembangan politik saat ini dan siapa yang akan memenangkan pilpres kira-kira sambil beliau merokok.
Selesai menghisap sebatang rokok Pakde Yikno minta izin denganku mau pergi rapat ke balai RW.
Pakde Yikno pergi, gantian Mbok Gini juga mau pergi arisan malam Jumat. Mbok Gini memakai kerudung berwarna coklat dipadu dengan jubah panjang berwarna merah dari bahan brokat dan tubuhnya wangi parfum sampai mencekik lubang hidungku.
Di tepi jalan juga sudah menunggu beberapa orang ibu-ibu. Tadinya Bude Yuti juga mau pergi.
“Pergi saja, Bude.” kataku. “Aku juga pengen pergi.”
“Mau pergi ke mana sudah malem?” tanya Bude Yuti.
“Cari cewek, Bude.”
“Cari cewek? Buat apa?” tanya Bude Yuti heran.
“Buat iseng, Bude… sudah sekian hari meninggalkan istri…”
“Di dekat-dekat sini mana ada cewek buat gituuu… aduu…uuhh kamu… coba kalau Bude masih bisa, ya…” kata Bude Yuti.
Aku kaget dan heran kenapa perkataanku bisa pas begitu seperti memancing Bude Yuti? Padahal perkataanku tidak ada urusannya dengan Bude.
“Masa sudah gak bisa sih, Bude?” tanyaku langsung dengan jantung berdebar sambil berharap-harap cemas. “Bude sudah umur berapa…?”
“Dua bulan lagi sudah 60. Bude sama Pakdemu sudah tidak berhubungan hampir 10 tahun sejak Pakdemu sesak napas dan jantungnya harus dipasang ring sampai 2 biji…”
“Bude mulai lagi mau nggak dengan aku?”
Sebelum pertanyaanku dijawab oleh Bude Yuti aku langsung menyambar Bude Yuti. “Jangan di sini…” kata Bude Yuti. “Di kamar saja. Tutup pintunya… dikunci ya, takut Pakdemu pulang kita lagi main…”
Setelah aku mengunci pintu rumah, aku masuk ke kamar Bude Yuti. Bude Yuti sudah melepaskan semua pakaiannya dan ditumpuk di lantai kamar.
Bude Yuti berbaring di tempat tidur menunggu aku mengeksekusinya. Tubuhnya ditutupi dengan selimut.
Melihatnya aku membuka semua pakaianku dan dengan tubuh telanjang bulat aku naik ke tempat tidur menyingkirkan selimut yang menutupi tubuh Bude Yuti, oh… astagaaaaaaaa….
Lengan Bu Yuti saja bisa jadi berukuran sebesar pipa pralon 5 inci, pahanya… aduu…uuhhh… bayangkan saja bagaimana tubuh seorang wanita yang obesitas seberat 200 kilogram, begitulah kira-kira bentuk tubuh Bude Yuti.
Apakah vaginanya yang hanya sekecil itu masih ada artinya di tubuh yang sebesar dan segemuk itu? Aku mencium bibirnya dan memeluknya saja seperti memeluk seekor g**ah bengkak.
Mula-mula aku masih napsu meremas teteknya yang besar, tetapi akhirnya aku hanya bisa berbaring terlentang lemas di samping tubuh Bude Yuti tidak sanggup aku menzinahinya.
Pulang beberapa hari dari rumah Bude Yuti, istriku harus keluar kota selama 10 hari. Ia menyuruh ibunya datang.
Ibunya datang marah-marah padaku. “Kenapa kamu kasih istrimu kerja?!” katanya membentak aku.
“Bukan aku yang kasih, Mah…” jawabku. “Mamah jangan datang marah-marah padaku. Ia diminta sama boss-nya yang lama, mana aku berani melarang Mah, kalau Hana sendiri mau kerja lagi…?”
“Pulang malam-malam terus… bagaimana dengan hubungan kalian, jangan gara-gara kerja suami diterlantarkan nggak diurus, nggak diladeni..”
“Aduu..uhh… biasa aja kali kalau itu, Mah… nggak usah Mama ributin, kami sudah dewasa bisa ngatur diri masing-masing…” jawabku.
Ibu mertuaku mengalah. Ia mundur teratur, apalagi cucunya minta digendong.
Lewat 4 hari, hari Sabtu, aku tidak kerja.
Selesai makan siang ibu mertuaku main dengan cucunya sambil ia berbaring di karpet, sedangkan anakku duduk menyusun balok-balok kayu.
Aku ikut berbaring, namun tidak sejajar dengan ibu mertuaku, aku berbaring dengan kepala dekat kakinya, tetapi tidak sangat dekat, masih berjarak sekitar 40 sentimeter gitu.
Aku tertidur dan aku baru terbangun dengan kaget sewaktu merasa tanganku menyentuh betis ibu mertuaku.
“Jangan sekarang…” kata ibu mertuaku yang berbaring miring menghadap ke arah anakku. “…tunggu ia tidur dulu…”
Aku kaget mendengarnya!
Wawww… ini rezeki yang tidak bisa ditolak, batinku. Aku seperti mendapat durian runtuh. Tanpa meminta, aku dikasih.
Akupun merasa tidak segan lagi dengan ibu mertuaku. Aku segera mencium telapak kakinya sambil tanganku mengelus-elus betisnya.
“Oohhh… emhemmm…” desahnya pelan, sehingga membuat aku semakin berani dengan menyusupkan tanganku ke balik dasternya. Dan ketika tanganku terpegang celana dalamnya, akupun menariknya.
Ternyata ibu mertuaku memberikan aku melepaskan celana dalamnya, bahkan setelah itu ia menekuk satu kakinya berdiri supaya aku bisa dengan leluasa mengeksplor selangkangannya sembari ia masih berbaring miring menghadap ke arah anakku seperti tidak terjadi apa-apa.
Aku lalu menjilat anusnya yang berkerut-kerut berwarna coklat tua itu tidak menghiraukan baunya. Terus aku menjilat-jilat juga vaginanya dengan bibir vaginanya yang menonjol sudah keriput berwarna coklat, tetapi bulu kemaluannya hitam legam.
Aku menjilat agak lama dan tiba-tiba ia mengerang, “Ooooooooooo….” sambil ia menurunkan pahanya menjepit kepalaku dengan kuat, tetapi kemudian pelan-pelan pahanya mengendor.
“Keluar, Mah…?” tanyaku.
“Iyaa…aahh…” jawabnya terengah. “Tidur yuk…” kemudian ia mengajak anakku. “Oma ngantuk, nih…”
Anakku menurut, lalu meninggalkan mainannya pergi ke kamar diikuti oleh ibu mertuaku.
Aku menunggu di karpet. Sekitar 15 menit ibu mertuaku keluar dari kamar. “Sudah tidur, Mah…?” tanyaku.
“Sudah… sebenarnya dari tadi ia sudah ngantuk…” jawabnya sambil melepaskan dasternya, hingga sebentar kemudian ibu mertuaku sudah telanjang bulat di depanku, lalu ia berbaring di karpet membiarkan aku menggeluti tubuhnya yang telanjang itu sampai ia orgasme sekali lagi.
Setelah itu aku mulai menyetubuhinya. Lubang vaginanya terasa kering dan seret karena ia sudah berumur 55 tahun.
Tidak ada rotan, akarpun berguna sehingga aku terus menyetubuhi lubang vagina ibu mertuaku itu sampai air maniku keluar merendam rahimnya yang kedinginan.
Sejak siang itu selama 6 hari berturut-turut aku menyetubuhi ibu mertuaku selama Hana istriku tidak ada di rumah, aku lupa dengan Munni.
Munni juga tidak telepon mencari aku, karena ia bebas selama 10 hari tidak menjaga anakku.
Setelah istriku balik dari luar kota, ibu mertuaku pulang, aku baru kembali menyetubuhi Munni, tetapi ibu mertuaku sewaktu datang ke rumahku membawa lubang vaginanya yang rapat, namun pulang membawa lubang vaginanya yang bolong menganga karena sekitar 15-an kali lubang itu kusetubuhi selama 6 hari dengan berbagai gaya yang belum pernah ia lakukan dengan suaminya.
Ira datang ingin menebus obat suaminya di apotik, karena obat itu tidak ada di apotik di daerahnya.
Suami Ira stroke ringan padahal usianya baru 35 tahun, sedangkan Ira berumur 28 tahun, anak mereka 1 orang sudah berumur 4 :tahun.
Obat itu kemudian aku yang membelikan, lalu aku segera kirim pulang, karena di rumah ada kedua orangtuaku, sementara Ira aku tahan biar ia bisa istirahat selama 2 atau 3 hari di rumahku baru pulang.
Hari kedua Ira di rumahku, pada sore harinya istriku mau ngajak pergi ke mall, sementara anak kami dibawa oleh Munni ke rumahnya selama Ira di rumahku.
Kenapa mereka lama benar di kamar, tanyaku dalam hati, padahal aku sudah nunggu hampir 20 menit.
Tidak sabar, aku masuk ke kamar, dan oh… ternyata Ira sedang bertelanjang dada hanya memakai celana dalam.
Ira, yang perawakan pendek hanya sekitar 160 sentimeter itu, teteknya besar. Putingnya bulat besar berwarna hitam sama dengan warna areolanya yang lebar mengelilingi putingnya.
“Kenapa sih lama?” tanyaku dengan jantung berdebar sekaligus napsu melihat tubuh Ira.
“Ini Ira lagi nyoba baju…!” bentak istriku.
“Kenapa nggak dari kemarin?!” balasku tidak tidak mau kalah supaya bisa lebih lama melihat tetek Ira yang telanjang.
“Baru keinget, kalau Ira ke sini nggak bawa baju. Ini aja celana dalam Ira pakai punya Mami. Sekalian ini banyak baju Mami yang masih bagus-bagus tidak kepake, biar Ira coba, kalau cocok bisa dibawa pulang. Tunggu sebentar lagi…!!”
“Tuh, di kamar depan masih ada sekardus…” kataku entah kenapa otakku cepat bekerja saat itu.
“O… iya…” istriku cepat bereaksi pula. “Tunggu ya Ra, aku ambil…” katanya.
Nyet… sherrr… jantungku seperti kesetrum listrik saat Hana pergi mengambil kardus pakaiannya di kamar sebelah, sehingga membuat aku berani mendekari Ira yang sedang bertelanjang dada.
“Tetekmu besar, Ra…” kataku.
“Iya, Kak…” jawabnya.
“Dulu bukannya kecil?” ujarku menjulurkan tanganku memegang tetek Ira.
Ira melihat ke arah pintu yang terbuka. “Masih lama.” kataku. “Kardusnya berada di atas lemari.”
Ira memberi aku mencium teteknya, malah aku menghisap putingnya. “Hik… hik… hik…” Ira tertawa meringis kegelian, tetapi aku tidak menghiraukannya, malah tanganku menyusup masuk ke balik celana dalam Ira.
“Ihhh… jangan, Kak.” Ira tersentak saat biji kelentitnya terpegang jariku. “Nanti keluar, Kak. Sudah 3 bulan aku nggak gitu, jangan, nanti cepat keluar…. aaarrrgghhh…. oooohhhh…. Kaakkk…. kkekk…. kkekk… luuu…aaarrr…. deh, Kaaa….akkk…!” jerit Ira terengah-engah karena biji kelentitnya yang keras dan besar itu aku pijit-pijit dengan gemas sampai ia orgasme.
Hana membawa kardus masuk ke kamar. “Ra, kok wajahmu pucat?” tanya Hana.
“Tiba-tiba kepalaku pusing…” jawab Ira beralasan.
“Nggak jadi ke mall deh kalo gitu ya, baring saja… mau dikerok?”
“Nggak usah…” jawab Ira mengambil dasternya untuk dipakai.
Hana membiarkan aku membawa Ira ke kamar sebelah, kamar anak kami, Toni. Sedangkan ia membereskan pakaian yang berantakan di tempat tidur.