(KISAH NYATA) EXTRA TIME
- Pos
Cerita ini bukan lanjutan cerita sebelumnya. Yah, secara kronologis tentu saja berkait, tapi substansi cerita bukan tentang perempuan-perempuan yang kutulis sebelumnya. Kuputuskan menulis cerita ini, karena sebagian besar rincian masih hangat di ingatan. Seperti biasa, nama dan tempat akan kusamarkan. Semoga berkenan.
—
— BAGIAN SATU —
Akhir tahun lalu.
Aku mendapatkan tempat kerja baru. Minggu lalu sang pejabat tinggi, seorang pucuk pimpinan tempatku bekerja memanggilku. Ada jabatan kosong di satu unit kerja, masih berhubungan dengan bidang kerja yang kugeluti, sekaligus erat berkait dengan pengalaman studiku terdahulu. Tentu, pertemuan itu bukan dalam rangka diskusi dan kompromi. Aku diminta rangkap jabatan, sementara, sampai tersedia pejabat definitif. Itu adalah perintah yang jelas dan tegas, tidak tersedia ruang penolakan. Aku hanya bisa menjawab: siap.
Selalu ada hikmah dari setiap kejadian, begitupun beban kerja dadakan ini.
Pertama, lokasi unit kerja baru berada di sekitar kotaku. Tidak jauh dari rumah, dekat dengan kantor pusat, fasilitas hidup yang baik. Singkatnya, dekat dengan peradaban. Rencananya, waktuku akan kubagi, seminggu di kaki bukit (tempat kerjaku yang asli), seminggu di tempat kerja baru. Selang-seling, setidaknya itu yang kusampaikan saat menghadap pimpinan tinggi kemarin.
Kedua, ini adalah pengalaman baru. Tidak banyak personel yang kukenal. Budaya kerja baru. Teman baru. Hal baru selalu menarik, penuh misteri, tentu saja aku merasa tertantang.
Ketiga, dibanding dengan pekerjaan yang lalu, di sini lebih banyak sisi manajemen. Hanya ada sedikit aspek teknis, kuyakin tak akan mengganggu pekerjaan utamaku. Sebagian besar hanya urusan administratif kantoran. Mungkin itu juga yang membuat proporsi staf perempuan lebih banyak.
Keempat, urusan di sini banyak berhubungan dengan klien pihak non-pemerintah. Kebanyakan adalah perusahaan yang cukup mapan. Kesempatan emas untuk menjalin relasi bisnis. Pastinya akan melibatkan lobi-lobi di luar kantor bernuansa wangi parfum, bersih nan elegan. Jauh berbeda dengan tempat kerja lama yang menuntut kehadiran di lapangan berdebu, kotor nan berisik..
Beberapa hari berselang, aku hadir di kantor baru. Berkenalan dengan personel dan pimpinan di tempat itu, sekaligus menyiapkan ruang kerja yang nyaman. Hanya ada belasan orang yang bekerja untukku. Setengahnya adalah tenaga kontrak (honorer), beberapa PNS-CPNS, lalu sisanya adalah Konsultan Individu (Tenaga Ahli Perseorangan). Nyaris tidak ada yang kukenal, terlebih karena mereka memakai masker.
Ada seremonial kecil untuk kami berkenalan, tidak terlalu penting, bahkan nama merekapun langsung hilang dari ingatan sejurus kemudian. Hari itu banyak kuisi dengan persiapan ruang kerja. Ada perasaan ganjil saat kubereskan ruang di pojokan itu. Mungkin karena pejabat sebelumnya meninggalkan tempat itu untuk selamanya. Iya, beliau meninggal karena wabah pandemi. Barang-barang pribadinya bertumpuk di ujung ruangan. Milik orang mati, aku bergidik jika mengingat itu. Segera kuminta untuk dirapikan lalu disingkirkan ke gudang, siapa tahu keluarga akan mengambil.
Entah kenapa, suasana ruang itu kurang bersahabat. Masih ada aroma disinfektan yang cukup kuat, residu dari penyemprotan/pengasapan/sterilisasi (apapun lah namanya) beberapa waktu yang lalu.
Selepas Asar, kubuka catatan kepegawaian para bawahanku. Ada foto, data pribadi, juga catatan disiplin dari atasan terdahulu. Satu yang menarik perhatianku, paling menarik bahkan. Menarik dalam arti sebenarnya, karena foto wajah yang tampak cantik, berhijab, dan muda. Menarik karena ternyata kami masih satu almamater, beda fakultas, selisih beberapa tahun saja. Yang paling menarik, ada alasan kuat untuk kami bertemu empat mata, catatan disiplinnya merah, padahal dia belum PNS.
Beberapa menit kemudian, kami akhirnya berjumpa. Kupanggil dia ke ruangan, sudah di luar jam kantor sih sebenarnya, extra time.
Kesan pertama, anak ini tampak gugup, nggak rileks. Body language berkesan polos dan lugu, duduknyapun agak membungkuk, seperti kurang percaya diri, juga cara bicara yang agak kekanakan. Entahlah, seperti kurang dewasa aja. Penampilan berpakaian juga standar, tidak semodis wanita seusianya.
“Dilepas saja mbak,” ucapku.
Dina tampak kaget.
bersambung…
Bagian Dua.
“Hah, apanya pak?”
“Maskernya dong, Dina,” balasku. “Mosok yo, bajunya??”
“Oooh, iya pak,”
“Jaraknya cukup aman kan kita ini? dua meter ada lah ya…,” Aku memberinya isyarat jaga jarak. ”Kamu udah vaksin full kan? Booster juga kan?”
“Sudah pak.”
Dina melepas maskernya. Matanya yang cokelat itu tak berani menatap langsung. Hanya sesekali saja, terlalu banyak menunduk. Coba kuamati wajah itu, sedikit berbeda dengan foto di dokumen yang ada di mejaku. Tetap saja, cantik, bersih, ada tahi lalat kecil di sana, samar sebenarnya, entah kenapa aku menemukannya. Sedikit gurat kelelahan, mungkin karena memang sudah sore.
“Tadi pagi nggak ikut apel perkenalan ya?” tanyaku. Seingatku memang baru pertama ini kami bertemu. Ya, sekadar memastikan jangan-jangan ingatanku salah.
“Betul pak, tadi itu, mmm…. sama bu Anggi (personel bagian kepegawaian, bukan nama sebenarnya-pen) ambil seragam batik. Saya nyampe sini, acara sudah selesai.”
“Terus nggak ada inisiatif menghadap saya, gitu?”
“Ehmmm… lupa Pak, maaf.”
Hadeeeehhh. Polos apa ogeb sih sebenarnya perempuan ini.
Aku menghela nafas, membuka map merah maroon di depanku, dokumen kepegawaian Dina. Percakapan selanjutnya banyak membahas data diri. Soal kami satu kampus (hal yang tampaknya membuatnya sedikit rileks, mungkin merasa satu keluarga), tentang statusnya yang belum ber-SK, paling penting adalah soal catatan merah kedisiplinan.
“Pak Harry (pejabat lama yang meninggal) juga sudah sempat memanggil saya, Pak. Bulan lalu, dua minggu sebelum beliau positif. Eh bukan, awal bulan keknya, pas hujan deras…”
“Ibu Dina…,” potongku. “Saya tidak tahu kapan Pak Harry dinyatakan positif. Lebih jauh, saya juga tidak tahu kapan ada hujan deras di sini. Kantor saya kan di xxx, jauh banget lah dari sini.” Ucapku tegas, tapi lembut, disertai ekspresi prihatin, buah dari rasa geli-sedih-dongkol.
“Ah iya, maaf Pak.”
Aku ambil catatan disposisi di halaman terakhir. Ada tulisan Pak Harry, soal penyiapan surat peringatan, hukuman tertulis. Kuberikan kertas kecil itu untuk Dina. Kusampaikan bahwa catatan itu belum diproses. Kusampaikan pula bahwa aku tidak terlalu peduli soal disiplin jam kerja, disiplin berpakaian, dan urusan formalitas lain. Aku banyak berfokus pada hasil kerja, budaya-ritme kerja, dan teamwork atau bolehlah disebut membangun persaudaraan-kekompakan tim. Walau begitu, mengingat statusnya yang belum PNS, persoalan disiplin ini harus betul-betul dia perhatikan. Catatan negatif dari atasan langsung akan sangat mempengaruhi kariernya ke depan. Aku bahkan memintanya untuk terbuka soal rencana masa depan di jalur pemerintahan ini. Apakah hanya sekadar iseng, mendaftar-ujian-lulus, lalu diterima, atau memang ingin konsentrasi serius di lingkup pemerintahan.
Banyak hal kusampaikan sore itu. Banyak pula informasi baru yang kudapat. Dina di akhir usia 20-an ini sudah menikah, baru beberapa tahun, belum memiliki anak. Suami tinggal dan bekerja di luar kota. Sang suami harus bekerja beberapa minggu, baru kemudian bisa pulang beberapa hari untuk istirahat. Begitu ritme kerjanya, kurasa tidak perlu rincian lebih jauh.
Masalah disiplin Dina kebanyakan soal pelanggaran jam kerja, terlambat masuk kantor dan lupa presensi di saat pulang kantor. Sangat naif sebenarnya, persoalan yang terlampau sepele namun tidak diperhatikan CPNS. Kok bisa.
Informasi penting lain dari hasil pengamatanku, yang ini tentu perlu klarifikasi dan pembuktian adalah: tampaknya aset depan dan belakang tubuh Dina cukup menggiurkan. Ranum. Siap santap.
bersambung
Bagi para suhu yang ingin tahu siapa saya, mohon simak tulisan saya Bumbu Kehidupan yang harus rehat sejenak, belum bisa dilanjut karena beberapa hal.Cerita ini bukan lanjutan cerita sebelumnya. Yah, secara kronologis tentu saja berkait, tapi substansi cerita bukan tentang perempuan-perempuan yang kutulis sebelumnya. Kuputuskan menulis cerita ini, karena sebagian besar rincian masih hangat di ingatan. Seperti biasa, nama dan tempat akan kusamarkan. Semoga berkenan.
—
Akhir tahun lalu.
Aku mendapatkan tempat kerja baru. Minggu lalu sang pejabat tinggi, seorang pucuk pimpinan tempatku bekerja memanggilku. Ada jabatan kosong di satu unit kerja, masih berhubungan dengan bidang kerja yang kugeluti, sekaligus erat berkait dengan pengalaman studiku terdahulu. Tentu, pertemuan itu bukan dalam rangka diskusi dan kompromi. Aku diminta rangkap jabatan, sementara, sampai tersedia pejabat definitif. Itu adalah perintah yang jelas dan tegas, tidak tersedia ruang penolakan. Aku hanya bisa menjawab: siap.
Selalu ada hikmah dari setiap kejadian, begitupun beban kerja dadakan ini.
Pertama, lokasi unit kerja baru berada di sekitar kotaku. Tidak jauh dari rumah, dekat dengan kantor pusat, fasilitas hidup yang baik. Singkatnya, dekat dengan peradaban. Rencananya, waktuku akan kubagi, seminggu di kaki bukit (tempat kerjaku yang asli), seminggu di tempat kerja baru. Selang-seling, setidaknya itu yang kusampaikan saat menghadap pimpinan tinggi kemarin.
Kedua, ini adalah pengalaman baru. Tidak banyak personel yang kukenal. Budaya kerja baru. Teman baru. Hal baru selalu menarik, penuh misteri, tentu saja aku merasa tertantang.
Ketiga, dibanding dengan pekerjaan yang lalu, di sini lebih banyak sisi manajemen. Hanya ada sedikit aspek teknis, kuyakin tak akan mengganggu pekerjaan utamaku. Sebagian besar hanya urusan administratif kantoran. Mungkin itu juga yang membuat proporsi staf perempuan lebih banyak.
Keempat, urusan di sini banyak berhubungan dengan klien pihak non-pemerintah. Kebanyakan adalah perusahaan yang cukup mapan. Kesempatan emas untuk menjalin relasi bisnis. Pastinya akan melibatkan lobi-lobi di luar kantor bernuansa wangi parfum, bersih nan elegan. Jauh berbeda dengan tempat kerja lama yang menuntut kehadiran di lapangan berdebu, kotor nan berisik..
Beberapa hari berselang, aku hadir di kantor baru. Berkenalan dengan personel dan pimpinan di tempat itu, sekaligus menyiapkan ruang kerja yang nyaman. Hanya ada belasan orang yang bekerja untukku. Setengahnya adalah tenaga kontrak (honorer), beberapa PNS-CPNS, lalu sisanya adalah Konsultan Individu (Tenaga Ahli Perseorangan). Nyaris tidak ada yang kukenal, terlebih karena mereka memakai masker.
Ada seremonial kecil untuk kami berkenalan, tidak terlalu penting, bahkan nama merekapun langsung hilang dari ingatan sejurus kemudian. Hari itu banyak kuisi dengan persiapan ruang kerja. Ada perasaan ganjil saat kubereskan ruang di pojokan itu. Mungkin karena pejabat sebelumnya meninggalkan tempat itu untuk selamanya. Iya, beliau meninggal karena wabah pandemi. Barang-barang pribadinya bertumpuk di ujung ruangan. Milik orang mati, aku bergidik jika mengingat itu. Segera kuminta untuk dirapikan lalu disingkirkan ke gudang, siapa tahu keluarga akan mengambil.
Entah kenapa, suasana ruang itu kurang bersahabat. Masih ada aroma disinfektan yang cukup kuat, residu dari penyemprotan/pengasapan/sterilisasi (apapun lah namanya) beberapa waktu yang lalu.
(bukan foto sebenarnya)Selepas Asar, kubuka catatan kepegawaian para bawahanku. Ada foto, data pribadi, juga catatan disiplin dari atasan terdahulu. Satu yang menarik perhatianku, paling menarik bahkan. Menarik dalam arti sebenarnya, karena foto wajah yang tampak cantik, berhijab, dan muda. Menarik karena ternyata kami masih satu almamater, beda fakultas, selisih beberapa tahun saja. Yang paling menarik, ada alasan kuat untuk kami bertemu empat mata, catatan disiplinnya merah, padahal dia belum PNS.
Beberapa menit kemudian, kami akhirnya berjumpa. Kupanggil dia ke ruangan, sudah di luar jam kantor sih sebenarnya, extra time.
Kesan pertama, anak ini tampak gugup, nggak rileks. Body language berkesan polos dan lugu, duduknyapun agak membungkuk, seperti kurang percaya diri, juga cara bicara yang agak kekanakan. Entahlah, seperti kurang dewasa aja. Penampilan berpakaian juga standar, tidak semodis wanita seusianya.
“Dilepas saja mbak,” ucapku.
Dina tampak kaget.
bersambung…