Naked Mom [NO SARA]
Ini adalah pertama kalinya Kemuning mendapati pancaran birahi dari mata anaknya. Ning bukan tidak menarik, janda satu anak itu memiliki tubuh berisi dengan kulit kuning langsat. Gelambir lemak dan kerutan-kerutan pada perut menandakan di masa lalu, wanita itu, pernah mengandung selama 9 bulan lamanya, seorang putera yang dinamainya Dewandaru. Rambutnya hitam sepundak, dan selalu digelung hingga menampakkan lehernya yang jenjang dan dipenuhi dengan rambut-rambut halus. Wajahnya bulat manis dengan hidung bangir dan dagu lancip yang menyiratkan sisa-sisa keningratan yang masih menyisa dalam darah wanita berusia 35 tahun itu. Cinta terlarangnya dengan I Koplag, seorang Sudra, memaksa Ning nyerod, atau turun Kasta dan dibuang oleh keluarga besarnya yang masih keturunan Griya. Dan Ning, tidak pernah menyesali sedikitpun keputusannya, termasuk ketika I Koplag, belahan hatinya terbangun lebih dulu dalam grubug (wabah) ketika Dewandaru masih berada di dalam kandungan. Semesta berjalan berdasarkan Karma yang ditabur dalam kehidupan lalu, apa gunanya mengutuki Dewa-dewa jika apa yang terjadi hanyalah buah dari perbuatanmu sendiri? Sepetak tanah berisi berbagai macam pohon buah dan palawija peninggalan sang suami sudah lebih cukup untuk membesarkan buah hatinya seorang diri, setidaknya, hingga Dewandaru melanjutkan pendidikan di Denpasar 3 tahun yang lalu. Ning menitipkan Dewandaru pada seorang kerabat yang bekerja sebagai pemandu wisata, dan anak itu cukup rajin untuk disuruh membantu beres-beres rumah di sana. Sudah tiga tahun lamanya, dan semata wayangnya tiba-tiba muncul di depan pintu dalam kemeja dan celana panjang, dan langsung menghambur memeluknya, menuntaskan rindu. Kali ini Ning merasa pelukan Dewandaru lebih lama dari biasa, dan ekor mata anak itu diam-diam tertuju pada gumpalan montok dadanya. “Nah, Panak bagus, sana mandi-mandi dulu, Ibuk buatkan kamu teh hangat.” “Baik, Ibu,” anaknya tertawa polos. Dewandaru mengangguk cepat, dan lagi, Ning menangkap kilasan mata sang anak yang jatuh pada sepasang bukit kenyal di dadanya ketika pelukan itu terlepas. Ning tersenyum lembut. Mungkin perasaannya saja barangkali, dia berkata pada dirinya sendiri
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Ning tidak pernah mengenakan atasan ketika berada di rumah, hanya kain jarik yang membebat ketat tubuh bagian bawah tanpa kutang atau kemeja. Sama seperti para warga desa kecil di lereng pegunungan tengah di Pulau Dewata, bagi Ning, buah dada tidak termasuk bagian tubu yang harus ditutupi. Payudaranya masih menggantung kencang meski tak pernah ditopang kutang, membongkah kenyal dalam ukurannya 36 B. Tak memilik anak lain yang harus disusui membuat jaringan ikat kelenjar penghasil susu itu masih kencang untuk wanita seumurannya. Bongkahan dada Ning menggantung lembut bagai sepasang buah melon di atas tubuhnya yang montok. Dua buah puting berwarna coklat muda mencuat dari bundaran areola yang berukuran cukup besar, sebesar tutup gelas pula. Ning berlutut di dapur berlantai tanah, telanjang dada. Tungku batu berbahan bakar kayu terlihat menyala, memanaskan satu teko air hangat untuk menyeduh teh, di sebelahnya satu panci berisi sayur santan menguarkan gurih aroma nikmat. Dandang berisi nasi sudah tanak terlebih dahulu, dan dimasukkan ke dalam keranjang bambu yang mengepulkan uap hangat. Suara guyuran air terdengar dari halaman belakang tempat sumur timba berada. Ada sebuah sumur dengan pembatas dari bata sederhana yang dibangun almarhum suaminya dulu. Posisi rumah yang berada di lereng gunung tak mengharusnya mereka membuat penghalang, dan rasanya tak akan ada yang peduli kalau mereka menghabiskan waktu di tempat itu dengan bertelanjang. Dari sela-sela bilah bambu yang digunakan sebagai pembatas pintu, Ning bisa melihat tubuh anaknya mengguyurkan air berkali-kali ke atas tubuhnya yang tak berhalang. Ning tersenyum kecil, bocah lucu yang biasa disusuinya itu sudah begitu dewasa kini, rimbunan hitam di antara pahanya terlihat dalam kilapan-kilapan buliran air yang menitik sesekali. Lalu tubuh yang dulu kerempeng itu kini dipenuhi kerat-kerat otot jantan yang terlihat menggeliat ketika Dewandaru menimba air dari dalam sumur. Suara air terdengar mengguyur. Bunyi denging teko yang mencapai titik didih mengentaskan Ning dari lamunan singkat. Wanita berwajah manis itu tersenyum, geli sendiri kepada isi pikiran yang sempat terlintas barusan. Cepat-cepat Ning menyeduh teh dalam gelas besi dan menghidangkan sajian sederhana itu.
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Dewandaru muncul dalam balutan kain jarik yang digulung layaknya cawat. Tubuhnya tinggi tegap untuk anak seumurannya. Kulitnya yang mengarah ke kuning langsat menurun dari darah bangsawan sang Ibunda, dan raut wajah yang keras dan jantan berasal dari kromosom ayahnya. Dewandaru memiliki tulang rahang tegas, dengan rambut ikal yang kini panjang sedagu, perpaduan genotip yang menghasilkan hidung mancung dan alis tebal seperti layaknya darah ras Arya. Kali ini, entah kenapa, Ning seolah ingin berlama-lama menikmati detil-detil kecil dari tubuh anaknya. Barangkali karena rindu, karena toh, hampir setahun ini keduanya tak bertemu. “Heh, berpakaian dulu, baru makan,” delik Ning, karena Dewandaru yang langsung menyambar pisang goreng di atas meja. “Saya sudah lapar, hehehe.” “Heh, kau itu, baru sebentar di kota, sudah pandai membangkang!” Dewandaru menyeringai dengan mulut penuh. “Biar! Lagi pula saya rindu masakan ibu.” Ning hanya tersenyum terenyuh, melihat anaknya menghabiskan nasi dan lodeh di piringnya dengan lahap. “Bagaimana sekolahmu?” “Yah, biasa saja…” Dewandaru memalingkan mata. “Belajar yang rajin, agar Ibuk tidak malu kepada Mbok Nengah karena sudah mengizinkanmu tinggal di rumahnya.” Mbok Nengah adalah adik ayahnya tempat Dewandaru menumpang. Dewandaru tercengir. Mereka bercerita tentang banyak hal, mengisi satu tahun kekosongan, dan menuntaskan rindu antara ibu dan anak, dan Ning sedang tak ingin membahas kenapa mata Dewandaru yang diam-diam melirik belahan montoknya, ataukah kenapa aroma jantan yang menguar dari ketiak anaknya yang berbulu itu terasa lebih sedap dari biasa. “Biar saya saja, Buk,” sambar Dewandaru cepat. “Heh, pakai baju dulu sana!” “Ah, padahal tadi saya berpikir untuk mencuci sambil melalung.” “Hush! Jangan macam-macam!” _________________________________________ Melalung = telanjang bulat _________________________________________ Dewandaru tergelak sebelum menghambur ke kamarnya, dan Ning hanya tersenyum melihat tingkah laku remaja yang agaknya makin bandel saja. Rumah itu belum selesai, hanya dinding batako tak berplester, dan atap tak berplafon. Lantainya semen tanpa ubin, dengan kusen-kusen pintu dan jendela yang dibiarkan terbuka. Seperti ruangan-ruangan lain dalam rumah tak berplester itu, kamar Dewandaru tak berpintu, membuat kegiatan yang terjadi di kamar itu bisa dengan jelas terlihat dari ruang tengah yang juga difungsikan sebagai ruang makan, termasuk Dewandaru yang sedang membongkari barang bawaannya yang dilakukan dalam keadaan polos. Dan kali ini sepasang matanya yang seperti tidak bisa beralih dari tubuh jantan Dewandaru yang tak terbalut sehelai benangpun, pahanya yang kukuh, pantatnya yang padat dengan lubang anus mungil yang terlihat ketika sedang membungkuk, juga seperangkat kelakilakian yang mengantung indah di antaranya. Ada yang berdesir dan tak kentara, dan Ning memilih melanjutkan kegiatan siang itu tanpa suara.
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Barangkali hanya kesepian, batin Ning, barangkali karena pengaruh kerinduan, batin Ning lagi karena belasan tahun menjanda toh membuat ia mendamba belaian hangat pria juga pada akhirnya. Menjanda bukan berarti tak ada pemuda ataupun duda yang tertarik untuk kembali memperistri, karena untuk ukuran wanita seusianya, Ning masih sangat menarik, pinggulnya yang montok dan payudaranya yang berukuran di atas rata-rata membuat tak sedikit pula pria-pria yang tak sabar ingin menikmati, terlebih bibir sensual di atas wajahnya yang manis itu, sehingga Ning harus kerepotan meladeni pinangan dari sana-sini, dan ada yang perjaka pula. Dewandaru tidak memerlukan kehadiran seorang bapak tiri, kata Ning kepada dirinya sendiri, karena Ning takut tidak bisa membagi kasih sayang kepada anak semata wayangnya. terlebih lagi, Ning tidak ingin Dewandaru disakiti. Kalau ekonomi yang menjadi alasan, kebun kecil yang berisi beragam hasil bumi itu sudah lebih cukup untuk menyambung hidup sehari-hari, dan bergulung-gulung perhiasan emas peninggalan masa remajanya akan cukup membiayai sekolah Dewandaru, setidaknya, hingga lulus nanti. Tapi, kebutuhan biologis itu lain cerita. Seberapapun Ning berusaha tegar, ada sesuatu dalam dirinya yang menolak untuk terus menjanda, ceruk hangat di antara paha yang melembab di tiap malam sunyi, tajuk-tajuk dada yang merindu untuk dipetik, juga rahimnya yang menanti mani untuk membuahi, dan Ning, harus mencukupkan untuk mendaki puncak-puncak itu seorang diri. Malam sudah melarut dalam serinai halimun yang mengabut. Posisi desa yang terletak di lereng gunung Batukaru membuat selimut putih tebal sudah membungkus rumah-rumah beratap rumbia yang terletak di antara pohon-pohon raksasa itu. Selebihnya sunyi. Hanya lolongan anjing yang terdengar sesekali. Ini adalah masa ketika Leak-leak berkeliaran mencari mangsa dan manusia berkemul dalam selimut hangat, membiarkan malam hari sebagai waktu bagi para Butha dan Buthi. Lampu-lampu minyak di rumah Ning sudah dipadamkan, menyisakan kegelapan total yang melingkupi tubuhnya yang telanjang. Kain jariknya sudah terlipat di dekat kepala, dan selimut tipis garis-garis akan senantiasa menjadi teman tidur selama belasan tahur terakhir ini. Ning tak pernah tidur dengan busana, karena selain nyaman, toh, bawahan yang dipakainya itu tak pernah bertahan sampai pagi dan pasti akan melorot dengan sendirinya, tapi kali ini, entah kenapa, jantung Ning lebih berdebar dari biasa. Kamar Dewandaru yang terletak di sebelahnya membuat ada sedikit rasa gugup membayangkan dirinya tertidur telanjang di depan anaknya yang sudah dewasa, dan pintu itu tak berhalang pula, hanya kain jarik yang dibiarkan jatuh sebagai tirai, tapi anehnya, pikiran-pikiran itu justru membuat putingnya menegang, dan selangkangannya kembali meremang. Ning membalikkan badan, dan matanya masih berusaha untuk memejam, saat itulah ia menangkap cahaya jingga yang berasal dari kamar anaknya. Pelita-pelita lain yang padam membuat satu-satunya sumber cahaya itu terlihat seperti benderang matahari yang masuk dari celah pintu. Mungkin belajar, batin Ning. Rajin sekali anak itu, batinnya lagi. Ia sedang membayangkan sang anak yang akan menjadi orang pintar kelak, ketika sayup-sayup ia mendengar suara enggahan. Ning mengira ia salah dengar, sebelum enggahan itu terdengar semakin keras. Sepasang matanya terbuka lebar. Telinganya bergerak mencari asal suara. Benar itu suara anaknya. Apa yang dilakukan anak itu malam-malam seperti ini? Suara yang makin meninggi dan berganti rintihan tertahan membuat Ning tak tahan lagi. Wanita bertubuh montok itu menyambar kain jarik untuk penutup tubuh seadanya sebelum berjingkat tanpa suara. Cahaya terang keluar dari celah tipis di tirai di pintu kamar Dewandaru yang tergerai, hati-hati, Ning menyisipkan pandangannya ke dalam bilik. Tubuh anaknya adalah yang terlihat pertama, disusul tangannya yang bergerak cepat mengurut sesuatu di antara paha. Lampu minyak menyala dalam cahayanya yang temaram, menerangi tubuh Dewandaru yang tak berhalang. Remaja itu telantang dan telanjang, tubuhnya yang tak berhalang hanya ditutupi lapisan-lapisan keringat yang mengilap oleh cahaya jingga. Otot-ototnya yang liat dan jantan menggeliat erotis mengikuti derasnya racapan pada sebatang kejantanan yang tak berkhitan itu. Kulupnya telah tersingkap, menampakkan ujung tumpul berwarna merah muda yang mentiikkan cairan bening pada lubang kencingnya. Dada Ning berdesir melihat pemandangan erotis itu, antara marah, malu, tapi erotis juga rasanya melihat remaja yang telah matang itu mencumbui tubuhnya sendiri. Ning menelan ludah, tapi kerongkongannya terasa kering, dan sepasang tungkainya terasa terlalu lemah untuk menumpu, ada kebasahan yang terbit dari ceruk rapat di bawah pahanya, rasa gatal yang membuat tangannya perlu berpegangan pada dinding agar tak jatuh lemas. Kegiatan mesum itu semakin seru saja, dan Dewandaru sepertinya terlalu terpaku pada batang kontolnya sehingga tidak sadar sang ibunda mengamati dari luar kamar. Pahanya yang tadinya merentang kini tertekuk ke atas dan memamerkan sepasang buah zakar dan lubang anus di bawahnya. Dadanya yang bidang membusung-busung nikmat, dan bibirnya mendesah-desah pula. Wajah tampan Dewandaru dipenuhi keringat, dan matanya megerejap resah pertanda puncaknya hampir tiba. Ya Tuhan, seperti itulah wajah anakku jika bercinta? dada Ning dipenuhi dengan desiran-desiran indah menyaksikan anak kandungnya sendiri yang sedang masturbasi, lalu ketika erangan Dewandaru semakin tinggi dan meninggi, Ning tak bisa lagi menahan diri. “Ibuk…. Ibuk…. Dewandaru…. mau muncrat… Ibuuuuuk…. aaaaaaaaah……” anak kandungnya mengucap namanya, remaja itu menggelinjang, bersamaan dengan semburan cairan kental yang menyemprot hingga wajah dan dada. Ning terpekik kecil, dan terpaksa menekap bibir, karena tangan kirinya sedari tadi sudah terbenam dalam belahan basah di antara paha. Ning terenggah, puncak kenikmatannya tiba tanpa suara, hanya enggahan lega disertai dengan desakan deras yang dari dalam kewanitaannya yang mendamba, sebelum hening, hening yang diselingi bunyi sengalan napas. Semburan nikmat itu memaksa Ning jatuh duduk terlunglai, gemetar oleh berbagai macam perasaan yang campur baur mengaduk dadanya. Ning mengatur napas dan perasaannya sendiri, lalu, ketika ia yakin sudah bisa menguasai diri, wanita itu bangkit perlahan, dan kembali ke kamar, tanpa suara. Tapi kali ini Ning tidak bisa memejamkan mata. Keheningan itu terasa semakin menjengahkan, dan fantasi erotis di tiap malam-malam sunyi itu kini akhirnya kembali memiliki citra: Wajah anaknya sendiri.
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Ning terbangun dalam keadaan gulana. Dewa Ratu, bagaimana aku bisa menghadapi Dewandaru setelah ini? batin Ning gundah, karena mau tak mau, kejadian semalam terlanjur menggoyahkan fundamental hubungan mereka sebagai ibu dan anak. “Ibuk.. Ibuk tidak apa-apa?” sambar Dewandaru, mendapati seharian itu ibunya hanya tidur-tiduran lesu di bale-bale sambil mengunyah pinang. “Ibuk ndak apa-apa,” sahut Ning berdusta. Lagipula Ning tidak tahu harus mulai dari mana. “Yang benar? Tapi Ibu terlihat tidak enak badan!” “Mungkin masuk angin,” Ning berdusta lagi. “Saya pijatkan, mau ya?” “T-tidak usah,” cegah Ning, tapi sang anak lebih sigap dengan mengambil minyak kelapa dan mulai menguruti kakinya. “Ibuk kan sudah capai-capai berjualan demi membiayai sekolah saya, sekarang saatnya saya memanjakan Ibuk!” dengus Dewandaru “Dari pagi kau sudah membantu Ibuk. Pergilah bermain dengan teman-temanmu!” “Ah. Nanti saja, Buk!” kekeh Dewandaru. “Kau tidak rindu teman-temanmu?” “Rindu! Tapi saya lebih rindu kepada Ibuk!” Ning menggeleng-geleng. “Ada-ada saja kau ini….” “Ibuk tidak rindu kepada saya?” Tentu saja ia rindu. 3 tahun sudah Dewandaru merantau ke kota untuk mendapatkan pendidikan yang lebih layak, dan hanya pulang sesekali. Kedua batang kara itu bertukar cerita. Dewandaru bercerita tentang teman-temannya di Kota, dan Ning bercerita betapa ia merindukan sang anak, dan menyuruhnya rajin-rajin menulis surat. Dengan telaten Dewandaru memijat betis dan tendon Achilles ibunya. Pijatan Dewandaru tidak pernah tidak enak, walaupun masih kecil, Dewandaru sering diminta oleh tetangga-tetangganya untuk memijat, dan kali inipun, Ning harus dibuat terbuai dengan tangan-tangan liat yang bergerak mengurut setiap serabut ototnya yang tegang. Wajah Ning agak bersemu. Setelah apa yang terjadi semalam, sentuhan Dewandaru, entah kenapa, terasa sensual. Aroma keringat sang anak terasa lebih sedap dari biasa. Ada butiran-butiran tak kasat yang terbawa di udara, masuk memenuhi rongga hidung dan paru-paru. Aroma yang membuat salah satu bagian di otak Ning merespon dengan memerintahkan kelenjar-kelenjar di bawah perutnya memproduksi cairan pelicin, dan pijatan Dewandaru, mau tak mau terasa semakin erotis. Adakah ia sengaja? batin Ning gulana. Anak kandungku berhasrat kepada tubuhku sendiri. Anak yang kukandung selama 9 bulan itu menjadikan aku sebagai fantasi seks, batin Ning lagi, dan yang paling mengerikan dari semua itu, adalah ternyata perasaan itu ternyata tak searah. Lelehan hangat yang mengalir deras dari bagian tubuhnya yang paling jujur membuat Ning tahu bahwa diam-diam dirinya memendam hasrat yang sama pula. Peristiwa tak senonoh itu kembali berputar-putar di dalam kepala. Otot-otot tubuh liat yang menggeliat-geliat. Sepasang paha dan bongkahan paha padat. Juga batang kontol berurat milik anak kandungnya yang meneteskan cairan precum. Dada Ning dipenuhi dengan desiran-desiran indah, membuat keinginan itu terasa semakin tak tertahan, keinginan lacur yang sejak malam mati-matian ditahannya atas nama norma. Lalu, ketika Pijatan Dewandaru sampai pada pantat montoknya, iapun berkata, “Kalau kain Ibuk terasa mengganggu, dilepas saja… tidak apa-apa…,” desau Ning dengan wajah bersemu. “Oh… yah… terserah Ibuk saja, baiknya bagaimana…,” jawab Dewandaru sama gugupnya. Agak gemetar Ning melepas stagen yang melingkar di pinggang, diikuti kain jarik penutup tubuhnya. Semua dilakukannya dalam gerakan perlahan agar tidak mengesani Ning sebagai wanita murahan. Bagian belakang tubuhnya kini terpampang tak berhalang. “Nah, anakku. Sekarang lanjutkanlah tugasmu,” titah sang ibunda, sebelum kembali bertelungkup. Dewandaru mengangguk gugup, karena di depannya sang ibu kini dalam keadaan polos tanpa sehelai benang. “Kalau begini lebih mudah, memijatnya…?” “I-iya.” Ning merasakan gemetar dari tangan anaknya yang membalurkan lotion ke atas bongkahan montok pantatnya. Duduk di atas paha, Dewandaru mulai mengurut otot-otot gluteus yang kaku di sana sini. Menguleni pantat kenyal ibunya dengan telaten. Ning bisa merasakan tangan-tangan jantan anaknya membelai jauh hingga membelai lubang tahi ibu kandungnya. Saat itulah Ning merasakan ada sesuatu yang mengeras dari tubuh Dewandaru. “Kau sudah besar, Dewandaru,” ia berkata tiba-tiba. “Di kota kau tak mempunyai pacar?” Dewandaru menggeleng. Wajahnya agak tersipu. “Masa? anak setampan kau ini?” “Tapi ibu jangan bilang-bilang ke siapa-siapa!” Ning mengangguk. “Saya mendapat beberapa surat cinta.” “Yang benar?” “Benar!” “Lalu!” “Saya hanya menganggap mereka sebagai teman!” “Kau ini, jual mahal saja!” Ning terkikik geli mendengar cinta monyet itu. “Apa mereka kurang cantik?” “Cantik-cantik! Tapi tak ada yang secantik ibu!” “Kau ini, baru tiga tahun di Kota, sudah pandai menggombal!” Dewandaru terkekeh sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Nah. Bagian belakang sudah. Berbaliklah, Bu!” Wajah Ning kembali bersemu, karena ia kini telentang dalam keadaan telanjang bulat, sementara anaknya yang hanya mengenakan kain berlutut di sebelahnya dan membalurkan minyak pada perutnya yang berlemak. Saat itulah pandangan Ning tersita oleh tonjolan di balik kain cawat sang anak. “Hayoh, anak Ibuk sudah mulai jaruh, yah?” Ning mendelik lucu. “Ah, Ibu…. namanya saja anak muda,” Dewandaru tercengir sambil memperbaiki letak celana. _________________________________________ Jaruh = Jorok, porno _________________________________________ “Kenapa? Kau suka melihat tubuh Ibuk?” Dewandaru mengangguk cepat. “Bukannya kau sudah sering melihat Ibuk telanjang?” Dewandaru mengangguk, “tidak tahu, tapi saya benar-benar suka melihat tubuh Ibuk!” “Yang benar? Ibuk kan sudah tua?” “Ta-tapi tubuh Ibuk benar-benar bagus! Bahkan di Denpasar sana, tidak ada cewek yang seindah tubuh Ibuk!” Ning tersipu, lama sekali rasanya janda muda itu tidak mendengar puji-pujian. “Kalau begitu, pandangilah tubuh Ibuksepuasnya!” titah sang ibunda. Dewandaru terkesiap, karena Ning tiba-tiba berbaring menyamping dan bertelekan pada siku-siku, sehingga sepasang buah dadanya yang montok menggantung jatuh. Kemontokan tubuhnya membentuk kurva yang membukit pada pinggul dan melembah pada pinggang, kain penutup tubuhnya yang melorot jatuh menampakkan perut berlemak yang dihiasi kerutan selulit, dan hamparan segitiga hitam yang tampak basah di sana sini. Ning lalu beringsut mundur. Tubuhnya condong ke belakang dan hanya menumpu pada sikunya. Sepasang pahanya yang montok terbuka lebar dan tertekuk setengah, mengungkap semua organ-organ yang tersembunyi di antara paha, yang merah muda, dan berdenyut-denyut melelehkan kehangatan. Sepasang payudaranya sudah membusung, dengan puting yang mencuat tegang dari tengah areola, dan Ning hanya tersenyum sayu, wajahnya bersemu membiarkan anaknya sepuas hati menikmati keindahan tubuhnya. Jantung Ning berdebar-debar, tatapan anaknya yang tak berkedip pada tubuhnya membuat dadanya berdesir-desir indah pula. Dipandangi dalam keadaannya yang paling memalukan membuat semburat merah muda menghiasi wajah manis Ning. Putingnya mengeras, dan lendirnya mengalir deras. Seluruh tubuh Ning menggigil hebat mendapati pandangan birahi sang anak. Anehnya Ning tak ingin berlekas-lekas. Itilnya yang berkedut-kedut sedap membuat Ning ingin menikmati lebih lama lagi tatapan itu pada tubuh telanjangnya. “Kau suka melihat tubuh Ibuk seutuhnya?” Dewandaru mengangguk cepat. “Meskipun susu Ibuk sudah turun begini?” Ning tersenyum jenaka, menopang sepasang buah dadanya yang montok dengan sepasang tangannya. Puting-putingnya yang mengenyal terjepit di antara jari-jarinya. “Tidak benar! Nyonyo Ibu Bagus sekali! Besar dan tidak turun! Jauh sekali dengan nyonyo bule-bule di Kuta!” Ning tersenyum, dadanya membuncah bangga. “Kau benar-benar suka melihat ibu tanpa busana?” Dewandaru mengangguk sungguh-sungguh. “Maka dari itu, selama kau ada di sini, Ibuk tak akan mengenakan pakaian sehelaipun. Ibuk akan menjadi binatang peliharaanmu. Perlakukanlah Ibuk dengan baik, ya?” Dewandaru masih melongo tak percaya. Wanita bertubuh montok itu tersenyum manis dan menyilangkan tangan menutupi bagian intim, sebelum melenggang ke arah sumur tanpa mengenakan apa-apa lagi.
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Maka dimulailah kehidupan baru Ning sebagai hewan peliharan, dan hewan ternak tidak seharusnya mengenakan pakaian. Dahulu waktu baru menikah, Ning memang pernah melakukan ini, bertelanjang bulat selama sebulan penuh dan menjadi peliharaan suaminya, tapi kali ini ia akan melakukan hal ini demi seorang anak yang dulu dikandungnya. Sesuai kesepakatan. Ning tidak akan mengenakan pakaian sehelaipun, bahkan alas kaki dan perhiasan diperintahkan untuk ditinggalkan, dan Ning harus mengerjakan semua pekerjaan rumah hanya dalam pakaian kelahiran. “Selamat Pagi Dewandaru,” sapa Ning manis. Ibu bertubuh montok itu sudah berlutut di bale-bale dapur sambil merajang bumbu, tubuhnya yang montok terlihat dari arah ruang tamu ketika Dewandaru keluar untuk mandi pagi. Rona-rona merah muda menghiasi wajah Ning yang manis, tapi terlihat dari senyum lebar di bibirnya, Ning pun terlihat menikmati. “Masak apa, Buk?” Dewandaru yang berpakaian lengkap berdiri di samping ibunya. “Ini Pesan Tlengis, kau pasti suka.” Ada rasa berdebar menyadari bahwa ia telanjang bulat di depan anaknya yang berpakaian lengkap, peluh di dahinya mulai menetes ke atas buah dadanya yang menggantung, tapi sebisanya Ning bersikap wajar dan menyiapkan makanan itu seperti biasanya. Ning lalu belutut di depan tungku dan menyalakan tumpukan kayu bakar. Bibirnya meniup buluh bambu untuk membesarkan nyala api. Wajahnya agak bersemu, karena dari posisinya yang membungkuk itu, Dewandaru pasti bisa melihat gundukan kewanitaannya yang menggunduk tembem di bawah pantat, di antara paha, dan lagi, terangsang karena dilihat dalam kondisinya yang paling memalukan membuat cairan cintanya meleleh deras hingga menetes di lantai tanah. Nyala api menyala merah menerangi wajah Ning yang bersemu, mengilat di atas tubuh montoknya yang dipenuhi oleh titik-titik keringat. Ini adalah cobaan, batin Ning. Di satu sisi ia tak ingin benar-benar bersetubuh dengan anak kandungnya sendiri, tapi di sisi lain bertelanjang bulat selama duapuluh empat jam membuat Ning selalu terangsang. Menyadari bahwa dirinya tidak mengenakan pakaian sehelai pun dalam mengerjakan peerjaan rumah membuat klitorisnya membengkak dan putingnya terus mengeras. Ceceran basah menetes di sana sini ketika Ning menyajikan nasi untuk sang anak, atau menyapu rumah, tapi, sedapatnya Ning menahan diri untuk tidak masturbasi, ia tidak tahu apa yang akan terjadi jika birahi benar-benar mengambil alih. Ning duduk mencuci pakaian dalam keadaan telanjang bulat, sementara sang anak meandanginya lekat-lekat, tangannya begerak menggosok kain jarik dengan lerak dan batu apung. Duduk di sebuah bangku kayu kecil, sepasang paha Ning terpaksa terbuka lebar dan mengungkap area berbulu di pangkal-pangkalnya, perut Ning yang dilapisi lapisan lemak tebal tampak berlipat seksi, melengkapi keindahan sepasang buah dada yang menggantung jatuh layaknya buah melon, dan Dewandaru hanya memperhatikan keindahan itu dalam keadaannya yang berpakaian lengkap. Tempat jemuran terletak di sebuah pekarangan terbuka di samping rumah bedek mereka, dan Ning terpaksa melakukan kegiatan rumah tangga itu dalam kondisinya yang paling memalukan. Cepat-cepat Ning melangkah dan membentangkan kain jarik di jemuran bambu, karena meskipun itu adalah jalan desa, tapi tetap saja beberapa tetangga melintasi jalan tanah di depan rumahnya jika hendak kepasar. Pagar bunga puring di halaman depan tak cukup sebagai penghalang pandang, dan matahari sudah mulai menyinari, tapi anehnya, menyadari kondisinya yang telanjang bulat di tempat yang tidak semestinya dan adanya kemungkinan tetangga yang memergoki justru membuat kewanitaan Ning semakin basah dan mendamba. Perpaduan antara rasa takut, malu, dan erotis itu justru menyemburatkan tetesan-tetesan lendir ke tanah setiap kali ia melangkah. Ning sudah membentangkan tiga buah kain ketika Bu Made tetangga samping rumah melintas dan mengusung keranjang berisi sayur mayur. “Loh, Bu Dewandaru, ndak ke pasar? Sekarang kan hari pasaran!” (Orang di Desa biasa memanggil ibu-ibu dengan nama anaknya) Jantung Ning seketika hendak berhenti, tapi ia berusaha bersikap normal, melongok dari balik jemuran. “Tidak, Bu Made. Hari ini saya mau mengurus sapi.” Ibu muda itu tersenyum hambar, hanya pundak dan dada atasnya saja yang terlihat. Bu Made mengangkat bahu, dan mengucap permisi, meski diam-diam dia agak curiga juga melihat bayangan tubuh Ning yang terlihat dari balik kain. Ning menghela napas lega setelah Bu Made menghilang di ujung jalan, cepat-cepat ia berlari ke belakang rumahnya ke tempat di mana sumur dan tegalan berada. Dadanya masih berdesir, dan kehangatan itu masih deras mengalir, jadi seperti ini rasanya, batin Ning, ia terkadang memang berjalan dari sumur ke dalam rumah tanpa busana, tapi bertelanjang di tempat yang tak semestinya? Ning tersenyum, menyadari betapa rasa takut ketahuan itu bisa begitu mengadiksi. Dewandaru yang memperhatikan tingkah laku ibunya hanya tersenyum-senyum geli. Lalu ketika matahari beranjak tinggi dan ia harus pergi ke ladang, Ning semakin ragu, karena lokasinya yang menjorok jauh ke arah gunung, bertelanjang di rumah lain soal, tapi berjalan jauh hingga ke tengah hutan. Lalu Ning pun pergi ke ladang, menyirami sayur mayur dan pohon buah yang tumbuh subur di sepetak lahan yang memanjang ke belakang, di ujungnya adalah hutan yang mengarah ke gunung di mana ia biasa mencari kayu bakar. Jantungnya agak berdebar karena jika jeli orang yang lewat di lahan di sebelahnya bisa melihatnya berkeliaran tanpa busana, tapi Ning pun tahu, semakin tinggi resiko itu, semakin nikmat pula sengatan pada kelentitnya. Ning pun melakukan kegiatannya sehari-hari, memberi pupuk kandang, dan mencabuti gulma yang tumbuh di sana-sini, dan itu dilakukannya dalam keadaan telanjang bulat. Tubuh Ning yang montok dan tidak ditutupi sehelai benangpun diliputi keringat di sana sini, membuat kulitnya yang sawo matang dihiasi dengan kilapan indah cahaya eksotis, dan kakinya yang telanjang mulai disaputi dengan lumpur. Ning menyeka keringat yang menetes di dahinya, sehingga lapisan tanah mulai melapisi tubuhnya yang molek. “Ibuk! Istirahat dulu!” Dewandaru melambai dari kejauhan membawa dua buah kelapa muda yang dibuka. Ning duduk di bawah pohon manggis, tersenyum manis ke arah anaknya, tak lagi berusaha menutupi tubuhnya, dibiarkan saja semak-semak ribun di bawah sana terbuka, atau dadanya yang menggantung terbuka. Bahkan entah kenapa, Ning seperti sengaja membiarkan air kelapa menetes di atas bongkahan kenyal dadanya. Desakan kandung kemih yang menuntut dikosongkan membuat Ning tanpa malu-malu berjongkok di depan anaknya, dan menunaikan hajat. Telanjang bulat, semburan indah cairan urin segera menyemprot deras dari dalam lubang kencing dan melelehi betis sebelum menggenang pada tumit. Ning tersenyum dengan wajah merah padam, menyadari betapa lacurnya tindakannya ini. “Setelah ini mau ke mana lagi, Buk?” tanya Dewandaru. “Mencari pakan ternak,” sahut Ning dengan wajah bersemu, masalahnya lapangan rumput yang biasa ia mencari rumput gajah berada agak jauh dari rumah. Diperlukan perjalanan melewati hutan kecil di belakang rumahnya untuk tiba di hamparan lembah yang dipenuhi rumput gajah. Para warga biasa mencari rumput di tempat itu, dan Ning hanya berharap ia tak kebetulan memapasi. “Tenang saja, Buk, saya akan menemani,” Dewandaru tersenyum jahil. “Tapi Ibuk juga tidak boleh memakai alas kaki!” Ning menggembungkan pipinya yang bersemu, malu, tapi kelaminnya justru menyambut gembira perintah anaknya itu dengan bahagia. Lalu hanya dengan membawa keranjang dan arit, Ning berjalan memasuki hutan kecil di belakang rumahnya. Ada sebuah setapak tanah yang diapit berbagai macam pepohonan rimbun. Juga semak-semak keladi di kanan kiri. Jantung Ning agak berdebar, meski ia tahu tidak akan ada orang lain yang melewati tempat ini selain dirinya. Kakinya yang telanjang menjejak permukaan tanah yang dipenuhi akar, dan cuping hidungnya menghidu aroma kayu yang melapuk oleh fungi. Ning tersenyum lebar, belum pernah ia membayangkan ini sebelumnya, berjalan sebegitu jauh dari rumah tanpa mengenakan apa-apa lagi di atas tubuhnya, membuat kebasahan itu semakin tampak di antara kedua paha. ─dan Ning semakin jauh masuk menuju hutan. Matahari berada di atas kepala ketika jalan setapak itu berakhir di sebuah tanah lapang. Rumput gajah setinggi pinggang terlihat memenuhi areal yang membatasi hutan dengan jurang terjal di ujung satunya. Ning melangkah ragu, karena di tempat itu pun warga lain biasa mencari rumput. Warna hijau rumput terlihat sejauh mata memandang, dan tubuh Ning yang sawo matang terlihat di antaranya, berjongkok kikuk dan menyabit rumput untuk dimasukkan ke dalam keranjang bambu. Rambutnya yang panjang basah tergerai di punggung, dan kulitnya sudah basah pula. Matahari yang berada tinggi di atas kepala membuat kulit sawo matang Ning terlihat semakin eksotis karena berkilat-kilat. Sebenarnya Ning pun sudah terangsang dengan keadaannya kini, terlebih lagi karena siksaan birahi yang ditahannya sejak tadi, tapi dengan tenang ia berjongkok dan mengarit rumput untuk pakan ternak. Ning sedang asyik dengan pekerjaannya, sampai-sampai tidak menyadari bahwa seorang kakek-kakek mendekat dari sudut buta. Kompiang Bagia namanya, kakek-kakek setengah pikun yang tinggal di ujung desa, melangkah sambil membawa sekarung rumput untuk makan ternak. Ning yang kebetulan berdiri hanya bisa mematung panik, berharap rumput-rumput tinggi dan mata si kakek yang rabut menyamarkan ketelanjangannya. “Yeh, Luh. Ngudiang melalung dini?” _________________________________________ Kenapa telanjang di sini? _________________________________________ “Tidak Pekak, ini saya mencari rumput. Hanya saja karena gerah, saya melepaskan pakaian saya,” kata Ning pelan. Tangannya bersilang di depan dada dan menekap pada pangkal paha. Jantungnya berdegup kencang, dan cairannya meleleh banyak sekali, membayangkan ia akan dilaporkan kepada Kepala Desa, dan ia dan anaknya akan dihakimi. ─tapi Kompiang Bagia hanya tersenyum penuh arti dan memandangi tubuh Ning yang montok dari kepala hingga ujung kaki. “Kau ini sudah terlalu lama menjanda, maka dari itu carilah seorang laki,” si kakek terkekeh-kekeh. “─tapi, Pekak!” “Hahahaha! Luh ini tidak usah berpura-pura, seperti saya tidak pernah muda saja.” “Saya tidak─” Kompiang Bagia menepak pantat Ning yang telanjang, “nakal sekali, coba saja saya masih muda, pasti saya akan paling dulu maju di antara pelamar-pelamar itu.” Matanya beralih ke arah Dewandaru. “Kau Dewandaru, jaga baik-baik ibumu. Anggap saja saya tidak melihat apa-apa. Tapi kalau kau mau jangan di tempat seperti ini. Kalau terpergok, bahaya!” Dewandaru hanya tercengir melihat seorang kakek-kakek menggerepe dada ibunya.
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Ning bersyukur karena Kompiang Bagia hanya meminta menyentuh susunya saja, sebagai imbalan tutup mulut. Hari beranjak senja ketika mereka berdua kembali dengan dua karung penuh berisi pakan sapi. Dewandaru membantu ibunya menimba bergentong-gentong air untuk memandikan I Sampi, sapi peliharaan mereka yang biasanya disewakan untuk membajak sawah. Dewandaru yang berganti dengan kain cawat membantu sang ibu membasuh tubuh kekar sang pejantan dan menggosoknya dengan sikat. Sementara Ning yang tak mengenakan apa-apa, membasuhkan daun pandan di antara bulu-bulunya, menimbukan buih-buih di antara bulu I Sampi yang berwarna merah kecoklatan. Tubuh Ning pun sudah belepotan lumpur pula, dan lengketan keringat terlihat di sana sini, rambutnya yang sepundak lepek tergerai dan dipenuhi dengan helaian-helaian rumput, dan wajahnya terlihat lebih kumal dari biasa. “Sekarang kan Ibuk peliharaan saya. Maka sini saya mandikan!” kata Dewandaru. Ning agak tersipu ketika diperintahkan ikut merangkak di samping I Sampi. Dan Dewandaru mengguyurkan air ke atas tubuh ibunya yang telanjang dan mulai membersihkan tubuh montok itu dengan telaten. Leher, pundak, ketiak yang dipenuhi rambut-rambut halus. Dewandaru agak berlama-lama ketika menyabuni sepasang buah dada ibunya yang menggantung penuh, bahkan dengan sengaja mememeras dan memilin-milin putingnya sehingga membuat Ning merintih manja. Dewandaru tersenyum dan mulai menyabuni punggung, tangannya melingkar di pinggang, sebelum beralih pada pinggul dan pantat, lagi-lagi, Dewandaru memuaskan fantasinya selama ini dan meremas-remas sepasang bongkahan montok itu. Dewandaru membalurkan busa-busa sabun di atas bongkahan pantat Ning dan wanita bertubuh montok itu merasakan tangan-tangan liat itu bergerak membelai bukit-bukit kenyal dengan penuh perasaan, terkadang jari-jarinya bergerak hingga celah di antara pantat di mana lubang anus berada. Ning tidak tahu Dewandaru sengaja atau tidak, tapi sepertinya ia dengan telaten memijat bagian itu pula. Jari-jari Dewandaru beralih pada pangkal paha, tapi kali ini, Dewandaru seperti berlama-lama ketika menyabuni bagian pangkal. Berkali-kali jari-jari Dewandaru yang dilumuri sabun mengenai sepasang bibir tembem di bawah sana, kadang menggesek lama ketika ia menyabuni pangkal paha, tapi Ning memilih diam dan menunggu gerakan dari Dewandaru. Tangan-tangan liat Dewandaru bergerak memijiat bagian abdomen, meluruskan otot-otot perut bawah searah serat-seratnya yang mengerucut di pangkal paha. Jari-jarinya yang dilumuri sabun bergerak lincah membentuk huruf ‘v’ yang berkumpul di bagian pangkal, tempat vagina berada, tapi kali ini tangan Dewandaru seperti hendak berlama-lama, bahkan mengurut bagian-bagian tepi dari bibir-bibir Ning yang telah membasah dan menjepitnya dengan sepasang jari. Napas Ning semakin memburu, ia hendak protes, tapi belaian pada bagian tubuhnya yang paling intim itupun terasa enak betul, sehingga ia berharap Dewandaru jangan dulu selesai menyabuni bagian itu. “Ibu, Ibu basah ya?” tanya Dewandaru, polos. “I-iya.” “Kenapa ibu terangsang?” “I-bu.. terangsang karena kau melihati Ibuk telanjang.” “Aneh betul, hehehe… benar ibu suka saya lihat dalam kondisi telanjang bulat?” Ning mengangguk tersipu. “Dari pagi Ibuk sudah basah, tapi…” “Kalau begitu meracaplah, Buk… agar Ibuk merasa lega.” “Eh?” “Tidak usah malu, saya sudah sering melihat Ibuk meracap diam-diam sebelum tidur, dan saya suka sekali….” Wajah Ning seperti terbakar mendengar permintaan cabul itu, malu, tapi erotis sekali rasanya membayangkan harus masturbasi di depan anak kandungnya sendiri, tapi mendengar hal itu, ada sisi dalam dirinya yang tak sabar menanti, putingnya segera menegang, dan kelaminnya meneteskan lebih banyak lagi cairan pelicin. Ning sudah mencoba menahan diri dari pagi, tapi kali ini ia bahkan tidak bisa mendengar kata hatinya sendiri, karena yang terdengar hanyalah suara jantungnya yang berdegup kencang. Ujung jarinya yang memulai pertama, membelai belahan hangat di pangkal paha dan menyibak lembaran-lembarannya yang merah segar, tonjolan kecil yang tersembunyi di antara lipatan kulit tebal itu sudah mencuat seksi dan merindukan sentuhan. Ning mulai mengerang, memulai pendakian birahi itu seorang diri. Dewandaru berlari ke rumah dan datang sambil membawa sebatang mentimun. “Ini bu, Pakai ini.” Masih dalam posisinya yang merangkak di depan kandang sapi, Ning mengarahkan sayuran lonjong itu ke dalam belahannya seperti yang biasa dilakukannya di malam-malam ia menjadi janda. Cairan pelicin yang menetes deras memudahkan sayuran loncong itu memasuki himpitan rapat dinding-dinding kewanitaannya yang sudah lama tidak dipenetrasi. “Ssssssssh….. enakh bangeth… Dewandaruuuuh… aaaaah…. aaaaaaaaah….. oooooooh…..” Bagaikan seekor anjing, Ning merangkak sambil mengocok memeknya dengan ketimun, suara kecipak lendir terdengar bersahut-sahutan dengan rintihan cabul yang keluar dari bibirnya terbuka hingga air liurnya menetes-netes. Tubuh montok Ning menungging-nungging, payudaranya berguncang-guncang seiring cepatnya gerakan timun sudah dikilapi cairan pelicinnya sendiri. Cahaya jingga senja jatuh di atas tubuh Ning yang berselimut sabun, dan tatapan sang anak yang tak berkedip memandangi keadaannya yang paling memalukan itu membuat birahinya semakin menggila saja, lalu ketika rasa gatal itu sudah tak tertahankan, Ning pun mencapai puncaknya. Semburan cairan klimaks menyemprot kencang bersama lenguhan orgasmenya. Ning memejam erat karena sekujur tubuhnya serasa meledak berkeping-keping. Terdengar suara lengguhan I Sampi, aroma feromon yang menguar dari tubuh Ning agaknya membuat pejantan itu bereaksi. Partikel kimia yang digunakan sebagai isyarat untuk bersetubuh itu terhirup juga oleh sang pejantan, membuat sapi bali itu mendengus-dengus gelisah, melihat Ning yang merangkak telanjang bulat di sampingnya, dan timun itu masih menancap pula. “Ibuk kan sekarang adalah hewan peliharaan, nah, sekarang kawinlah dengan I Sampi!” “Y-yang benar s-saja kamu Dewandaru!” sergah Ning dengan wajah merah padam, meski diam-diam memeknya yang belum pulih dari orgasme berdesir hebat melihat kejantanan I Sampi yang mulai membesar “Ayolah, Bu?” “Tapi tidak bakalan muat!” “Ujungnya saja!” Ning mendesah putus asa, entah karena bujukan Dewandaru, ataukah dari dalam dirinya menyeruak pula keinginan untuk dipenetrasi. Tujuh tahun menjanda membuat ibu muda itu haus akan kejantanan pria, dan kali ini ia bahkan terlalu birahi untuk memikirkan bahwa yang ia ingini berasal dari spesies yang berbeda. Ning hanya menurut ketika Dewandaru membimbingnya merangkak di bawah tubuh I Sampi, badai orgasmenya yang belum mereda membuatnya bergairah pula. Harus sedikit hati-hati, karena Ning takut I Sampi menyepak, dan tinggi keempat kaki hewan mamalia itu memaksa Ning membungkuk dan mengangkat pantatnya tinggi-tinggi. Dewandaru tersenyum puas dan mengocok kejantanan I Sampi, membuat hewan itu melengguh-lengguh nikmat, lalu ketika batang kontol sebesar botol Baygon itu sudah tegak sepenuhnya dengan hati-hati ia mengarahkan ujung tumpul sebesar tutup gelas itu menuju belahan montok ibunya. Ning memekik pelan, ketika batangan beda spesies itu berusaha memenuhi tubuhnya. Bibirnya termega-megap ketika otot-otot vaginanya bergerak menyesuaikan diri, sesak, tapi nikmat sekali rasanya merasakan batangan raksasa itu menggeseki dinding liang kawinya. Sekujur tubuh montok Ning menggeliat, dan keringat mulai menitik di atas kulitnya, ketika ujung tumpul itu mencium hingga dinding rahim, tak sampai seperempat panjang, tapi itu pun sudah membuat wajah Ning terlihat binal dan merangsang. “Ssssssh…. aduuuuh… pepekna Ibuuuuk…. melaaaarh….,” desah Ning gelisah ketika I Sampi mulai bereaksi dan menggenjot tubuh betinanya yang telanjang. “Kyaaaaaah!!! Aaaaaaah!!!! Aaaaaaaah!!!!” Ning menceracau heboh, ketika batangan berukuran abnormal itu mulai mengocok liang kawinnya yang licin. Tubuh telanjangnya menandak-nandak birahi, dan pinggulnya bergerak menyambut datangnya batang kontol beda spesies itu. Ditambah lagi Dewandaru yang meremas-remas payudaranya membuat Ning semakin menggila dan kehilangan urat malu. “Sssssssh… oooooooh…. ibuuuuuk…. sampeeeeeeeh!!!!!” Sebentar saja, karena desakan nikmat kelenjar-kelenjar kelaminnya membuat tubuh Ning kejang-kejang heboh dan lubang kencingnya kembali menyemprotkan cairan keruh, kali ini lebih banyak dari sebelumnya. Ning ambruk di atas kedua lututnya, dan bersamaan dengan itu I Sampi melengguh dan menyemprotkan satu liter cairan sperma dan memandikan punggung telanjang wanita montok itu dengan cairan kental putih. Kepala Ning terasa ringan, dan ia bahkan tak memikirkan lagi betapa ia telah mempermalukan dirinya sendiri, lubang kawinnya yang masih bedenyut-denyut nikmat, seolah menginginkan kenikmatan yang lebih dan lebih lagi, dan rasanya ia tidak akan cukup hanya dengan satu orgasme….
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Malam menjelang bersama Sandyakala yang membawa Hyang Surya ke dalam peraduannya, Dewandaru sudah membersihkan tubuh ibunya ketika keduanya mandi bersama, dan melakukan percumbuan kecil di alam terbuka. Lalu ketika pelita-pelita kecil itu sudah menyala keduanya berpelukan di atas balai-balai, Ning telanjang bulat, dan Dewandaru yang masih mengenakan kain, saling belai, dan saling peluk sambil menikmati udara pegunungan yang beranjak dingin. Sebuah lampu minyak menyala sebagai pelita bersama sebuah obat nyamuk bakar yang membara di pojokan. “Kalau mau, sentuhlah,” desaunya pelan, tangannya bergerak mengarahkan tangan mungil Dewandaru yang ragu-ragu ke arah bukit kenyalnya yang menunggu. Dewandaru tersenyum canggung, merasakan benda kenyal itu berada dalam genggaman tangannya. Remaja itu awalnya hanya membelai-belai kulit payudara ibunya yang lembut mulus, sambil menekan-nekan bongkahannya yang kenyal seperti seorang anak kecil yang baru saja mendapat mainan baru. “Kau suka dengan susu ibu?” Dewandaru mengangguk cepat. Lalu tajuk-tajuk Ning tak luput dari keusilan Dewandaru, dicubitnya, ditarik-tariknya gemas, sehingga benda kenyal itu mulur dan membuat pemiliknya merintih geli. “Nakal,” rengek Ning manja sambil menepak paha Dewandaru yang hanya tercengir. “Dulu kau rakus sekali kalau menyusu.” “Oh ya?” Ning mengangguk. “Ibu, saya ingin menyusu seperti dulu, boleh?” Ning mengangguk pelan, tatapannya semakin sendu. Dewandaru beringsut mendekat dan membenamkan wajah pada salah satu bukit sintal ibunya, pada salah satu tajuk yang menunggu dan segera ternggelam dalam kehangatan rongga mulutnya. Dewandaru memejam dan mengisap benda kenyal itu, larut dalam kenangan masa lalu. Sepuas hati disedotnya puting susu ibunya, sambil diremas-remasnya gemas. Tangannya mengusap rambut ikal Dewandaru yang meringuk di pangukannya, tampan sekali, dewasa sekali, Ning sama sekali tak menyangka bahwa bayi mungil yang dulu disusuinya kini sudah sebesar ini. Ning memejam. Hisapan Dewandaru pada salah satu bagian tubuhnya yang paling sensitif, membuat desahan-desahan pelan keluar juga dari bibirnya. Tubuh telanjang Ning menggeliat pelan, tangannya bergerak membelai punggung Dewandaru yang telanjang, meremas kepala anaknya yang semakin rakus menyedot dadanya yang tak mengeluarkan susu. Hingga tanpa sadar ia terbaring di atas bale-bale dan dengan tubuh Dewandaru yang semakin bernafsu mencumbui dada ibunya. “Aaaaaah…. aaaaah… aaaaah… Dewandaru Nakalh….” tubuh montok Ning menggeliat nikmat. “Ibuk suka? Saya pernah mengintip Mbok Nengah dan suaminya melakukan ini,” bisik Dewandaru yang tak lagi menghisap, melainkan menjilati dadanya. Bibirnya mengendus rakus, menciumi dada atas, pundak dan menggigiti leher orang yang dahulu melahirkannya. Tubuhnya yang hanya dibalut sehelai kain cawat bergerak mengikuti naluri, memburu rasa nikmat dari batangan perkasa yang sudah megeras di pangkal paha, menggesek pada paha-paha montok Ning seperti naluri seorang pejantan untuk membuahi betinanya. Ning termegap birahi, ia bahkan tak memikirkan lagi bahwa yang sedang mencumbuinya itu adalah darah dagingnya sendiri, paha Dewandaru yang menggeseki tonjolan nikmat kewanitaannya benar-benar membuat janda muda itu menggila. Binal, Ning meremas pantat padat remaja itu dan merenggut kain cawatnya, sehelai kain jarik kumal segera jatuh dan mengungkap tubuh jantan yang lama dirindukannya. Remaja itu duduk di bale-bale, sementara si janda muda berjongkok di antara kedua pahanya yang membuka. Bibirnya yang penuh terbenam di pangkal paha sang anak, bergerak mengulum batang kejantanan yang kini bergerak liar dalam kepalanya yang maju mundur. Bibir Ning yang tebal dan sensual bergerak di sepanjang batangan berurat itu sebelum menjilat ujungnya yang tumpul dan menitikkan setetes cairan asin. Lalu, ketika Dewandaru mengerang, Ning kembali memuaskan hasratnya atas batang kejantanan pria, meremas gemas kejantanan milik anak kandungnya, sambil mengulum buah peler remaja itu, lubang anusnya pun dijilatinya pula, sebelum kembali membenamkan batangan keras itu hingga pangkal tenggorokan. Dewandaru mendesah nikmat, dan memegangi kepala ibunya, senyum manis sang ibu dengan bibir yang dipenuhi batangan keras itu benar-benar membuatnya gila. Wanita bertubuh montok itu telanjang bulat dan berjongkok di bawahnya, mulut Ning disumpal kejantanan yang bergerak tulus memberikan kenikmatan kepada sang anak, sementara sebelah tangannya menjangkau di antara paha, membelai kewanitaannya sendiri. Itilnya yang sudah berkedut-kedut juga menuntut untuk segera diperhatikan. “Mmmmh… mmmmh….” Ning melengguh-lengguh dengan pulut penuh, gerakan masturbasi jari-jarinya pun semakin cepat pula pertanda puncaknya akan tiba tak lama lagi. “Ibuuuuh…. ibuuuuk… enak sekali…. hisapin terus kontolnya Dewandaru…. buuuuuk….” sang anak sudah meracau-racau cabul, dan jemarinya pun mencengkeram kepala ibunya pula. Pinggul Dewandaru yang bergerak liar seperti hendak memperkosa kepala Ning. Bibir-bibir tebal Ning seberti hendak menenggelamkannya ke dalam lubang kenyal yang tak berujung, dan lagi, ekspresi binal ibunya itu, “aduuuuh… Dewandaru… Dewandaru… hampir sampai… Ibu…..” remaja itu menggelinjang erotis, pertanda ia berada di ambang puncak kenikmatan, lalu ketika jari kelingking Ning membelai tepat pada lubang analnya, sekujur tubuhnya, Dewandaru mengejang. Ujung tumpulnya memuntahkan cairan kental putih di dalam mulut ibunya yang segera tersedak, tapi Ning tak berniat mengeluarkan benda itu dari dalam mulutnya, diremasnya kuat-kuat pantat Dewandaru sambil dipijatnya kelenjar prostat sang anak yang berdenyut-denyut, hingga akhirnya gelombang orgasme Dewandaru mereda dan bibir Ning dipenuhi dengan benih milik anak kandungnya sendiri. Lalu, tanpa jijik sama sekali, Ning menelan mani itu seutuhnya. Wanita bertubuh montok itu tersenyum manis dan beringsut naik ke atas bale-bale. “Sini, Dewandaru… sekarang giliran Ibuk,” desah Ning manja dan membuka pahanya lebar-lebar. Tubuh Janda muda itupun terbuka seutuhnya, termasuk lipatan-lipatan segar berwarna merah muda yang sudah menebal dan menampakkan tonjolan daging yang mencuat di atas lubang kencing, tangan Ning bergerak membuka lembaran-demi lembaran basah itu, mengundang lebah madu untuk segera menyerbuki. Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, Dewandaru beringsut ke arah lubang tempatnya dilahirkan dahulu. Ada aroma yang menarik hidungnya mendekat, senyawa kemikal yang memantik sesuatu dalam dirinya untuk mulai menjilat belahan segar yang tampak basah itu. Asin, asam sekali rasanya, dan baunya pun aneh pula. Tapi hanya rasa sayangnya kepada sang ibunda yang membuat Dewandaru mulai mengecup, dan membelai tonjolan itu dengan ujung jarinya. Ning segera mengerang, rasanya bertahun-tahun sudah semenjak orang terakhir yang melakukan ini kepada dirinya, tapi kini wajah anak kandungnya sudah terbenam di anntara kedua pahanya, hanya berbekal naluri, remaja itu mulai bergerak mengecup, menjilat, melakukan apapun yang ada di dalam imajinasinya yang belia, dan apalagi yang lebih merangsang selain melihat anak mencumbui tubuh seorang janda muda. Erangan itu segera berubah menjadi rintihan, dan Ning mulai meremasi payudaranya sendiri. Kakinya yang tadinya terbuka sekarang dinaikan ke atas pundak anaknya, dan direntangkannya lebar-lebar. Karena Dewandaru terlihat semakin lihai mendaratkan kecupan demi kecupan, bahkan gigitan ke arah lapisan lemak perut dan pahanya yang montok. Sebelah tangannya menumpu pada pantat, meremas-remasnya gemas. Sementara sebelahnya lagi mengaduk-aduk liang gairah yang sudah dibanjiri oleh lendir birahi, menimbulkan suara berkecipak mesum setiap kali jari-jari itu mengocok kewanitaan ibunya. Ada sebuah tonjolan daging sebesar biji jagung yang mencuat dan segera dilumat, habis dalam jilatan brutal lidah kecil yang langsung disambut dengan jambakan mesra sang ibu di rambutnya. “Aaaaaaah…. hnnggggh… Dewandaruuuuuhh…. Ibuuuuk…. kamuuuh apaiiinhhhh….aaaaaah!” rintihan cabul keluar tanpa terkendali lagi, dan Ning hanya bisa menegadah dan menggelinjang liar di atas bale-bale. Dadanya berguncang indah, dan napasnya pun mulai terenggah pertanda ambang puncak itu akan tiba tak lama lagi. “Dewandaruuuuh… Ibuk mau pipish…. ibuk mau pipiiish… pipisssh.. pipiiiish… kyaaaaaaaah!” Ning memekik orgasme, belaian Dewandaru di lubang anusnya meledakkan dirinya dalam orgasme yang basah dan membanjir. Ning harus menutup bibir kuat-kuat agar kulminasi kenikmatannya tak bermanifestasi dalam rintihan-rintihan tabu yang tak pantas disuarakan oleh seorang ibu. Wanita bertubuh montok itu kejang-kejang sebentar. Sebelum melemas dengan senyum melebar di wajahnya. Dewandaru ikut tersenyum, pejantan ranum itu merasa bangga telah membahagiakan betinanya. Dia pun beringsut naik dan menciumi wajah sang ibunda yang tersenyum bahagia dipenuhi rona-rona pasca orgasme. Dikecupnya kening, kelopak mata, pipi, sebelum cimuman tiba di atas bibir ibunya yang setengah terbuka. Ning memagut menyambut. Cahaya pelita menyala redup, menerangi sepasang tubuh telanjang yang dipenuhi keringat itu saling pagut. Ning yang montok dan matang, serta tubuh anaknya yang liat dan ranum, terlihat kontras dalam pergelutan itu. Ning merasakan kejantanan Dewandaru yang mengeras, bergerak menggesek di atas paha montonya. Sepasang kaki Ning segera membuka, menyambut tubuh anak kandungnya sendiri ke dalam kehangatan tubuhnya, dan kali ini Dewandaru adalah seorang pejantan yang birahi, dan naluri menggerakkan bibirnya untuk segera melumat bibir sensual ibunya yang membuka menyambut. “Mmmmh….” ibu dan anak itu segera melumat dengan buas, bertahun-tahun sebagai janda kesepian, membuat Ning memuaskan diri melumat dan menyedot bibir ranum anaknya, lidahnya bergerak membelai memasuki rongga mulut anak yang dahulu pernah dilahirkannya itu. Tubuhnya yang montok putih menggelinjang di bawah tubuh kekar Dewandaru yang berwarna kecoklatan, dan kejantanan anaknya sudah mendesak-desak di bawah sana pula. Bibir-bibir kewanitaan Ning yang membasah sempurna membuat batangan berurat itu bergerak leleuasa di antara lembah-lembahnya yang licin. Ujung tumpul Dewandaru berkali-kali mengenai tonjolan daging kecil yang kini mencuat, membuat Ning merintih-rintih nikmat setiap kali titik sensitifnya itu bergesekan dengan kulit kejantanan anaknya. Wajah Ning yang terangsang terlihat semakin menggemaskan, pipinya yang bulat bersemu dengan tetesan keringat di sana sini, dan Dewandaru tidak tahan lagi untuk tidak menciumi wajah ibunya, tangannya bergerak menopang pada siku, mengarahkan ujung tumpul pusakanya ke tempat yang seharusnya, hanya mengikuti naluri barangkali, karena berkali-kali batangan keras itu melesak ke bawah atau ke atas dan Ning hanya menggeliat tak nyaman ketika merasakan ada sesuatu yang mencoba memasuki tempat dahulu ia pernah dilahirkan. “Dewandaru…. tapi saya ibumu…,” desah Ning, geliat tubuhnya makin terasa tak nyaman, sekuat tenaga ia berusaha mendorong tubuh Dewandaru yang semakin bernafsu, menciumi wajahnya. “Saya mohon… Mau ya, Buk…” desau Dewandaru parau, bibirnya menjilati cuping telinga ibunya. “Tapi saya ibumu, dan ini terlarang, Dewandaru,” Ning menggeliat, namun hawa nafsu mulai meraja dalam dirinya pula. “Saya tahu IbuK pun menginginkannya!” Dewandaru mendengus birahi, ujung tumpulnya sudah terbenam di dalam kubangan lendir sang ibu. “Aaaaaah…. ssssssh….” Ning mendesah basah, bibirnya membuka pasrah, desakan kejantanan Dewandaru yang menggeliat mencari jalan masuk membuat berada di tepi jurang “Dan saya sayang ibu… saya cinta ibu… dari dulu…,” bisik Dewandaru, kali ini penuh kasih, sembari mendaratkan kecupan mesra di bibir ibunya, dan apalagi yang bisa dilakukan Ning selain menyambut. Dipagutnya lembut bibir itu, dan dibiarkannya tubuhnya direngkuh oleh tubuh liat anak kandungnya sendiri. Larut. Dalam sebuah persetubuhan terlarang. Dan yang terjadi berikutnya adalah serangkaian koktail kimia yang membajak nalar dan nurani, dan bagai memiliki pikiran sendiri, tangan Ning bergerak menjangkau ke arah batangan sang anak, dan mengarahkan ke tempat yang seharusnya, dan dalam satu gerakan, batangan anak kandungnya sendiri memenuhi tubuhnya. Dewandaru hanya bergerak canggung layaknya seorang perjaka, dan Ning hanya tersenyum sabar, membelai wajah anaknya, dibimbingnya pelan, perlahan, sehingga Dewandaru menemukan ritmenya sendiri. Tubuh montok Ning yang telanjang segera menggelinjang di bawah tubuh Dewandaru yang menandak jantan. Seringai birahi terlihat di wajah Dewandaru betapa pejantan cilik itu tengah berusaha menjadi singa. Diremasnya payudara ibunya, dan ditinggalkannya bekas-bekas cupang di leher sang ibunda. Pinggulnya pun mengayun pula, menimbulkan suara khas persetubuhan ketika dua tulang pinggul itu beradu dan batangan kejantanan itu mengocok liang yang dipenuhi dengan banjiran lendir. Ning hanya bisa merintih-rintih nikmat dan memeluk tubuh anaknya yang liat, tangannya mengusap punggung Dewandaru yang berpeluh, dan sepasang kakinya memeluk pantat Dewandaru yang pada, ketika tubuh remaja itu mendadak menggeliat. Otot-ototnya tiba-tiba mengejang, diikuti semburan hangat yang memenuhi rahim tempatnya dikandung dulu. Bibir Dewandaru terbenam di pangkal lehernya yang basah, mendesahkan puncak kenikmataannya yang prematur. “Ibuuuk… Dewandaru….. keluar di dalaaaaamh…. Aaaakhhhh!!!” Anak itu mengejang tiga kali sebelum melemas dalam pelukan ibunya. Ning mengatur napas, membelai rambut anaknya yang baru saja menyerahkan keperjakaan kepada sang ibunda. Ning tersenyum, meskipun ia belum merasakan puncak yang sama. Dikecupnya kening anaknya pelan, lembut, penuh kasih, lalu leher, dan sepeasang puting mungil Dewandaru yang belum selesai tersengal. Sumbu pelita yang habis terbakar menyala semakin redup, menerangi lelehan putih yang mengalir keluar dari dalam rahim Ning, tapi itu sudah terlambat kini. Malam masih menyisa terlalu panjang untuk dihabiskan hanya dengan satu kali pergumulan. Lalu yang ada hanyalah kabut yang turun bagai selimut, dan sepasang bibir yang saling pagut, sama seperti dahulu ia mengajarinya berjalan dan bicara, Ning dengan penuh kasih mengajari anaknya tentang tubuh seorang wanita, tentang puncak-puncak tabu yang didaki dalam kesunyian, tentang orgasmenya, yang biarlah menjadi rahasia.
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Cahaya yang masuk dari celah-celah kayu jatuh di atas sepasang tubuh telanjang yang saling berpelukan dan membagi peluh. Pergumulan selaman suntuk tak menyisakan apapun selain gula darah yang habis terpakai dan otot-otot yang melunglai. Ibu dan anak itu saling pagut seperti sepasang kekasih, meskipun mereka tahu, betapa salahnya semua ini. Ning dan Dewandaru membersihkan diri dan terlibat percumbuan kecil di pagi itu, dan mengulangi lagi kegiatan mereka semalam dan bercinta dengan berbagai macam gaya, semua lubang tubuh Ning sudah dicicipi oleh anaknya, dan mereka bercinta di berbagai tempat pula, di halaman depan, di halaman belakang, di hutan kecil, bahkan di padang rumput sambil ditonton oleh Kompiang Bagia, dan Ning membiarkan Dewandaru menumpahkan benih di dalam rahimnya, meski ia tahu betapa terlarangnya itu. Hingga hari ketujuh akhirnya liburan Dewandaru berakhir. Ibu dan anak itu menyewa kamar di sebuah hotel melati dan bercinta hingga subuh hari, dan setelah bertahun-tahun itu, akhirnya Ning kembali bisa jatuh cinta, tapi kali ini, kepada anak kandungnya sendiri. Tak lama berselang, Dewandaru lulus dari sekolah pariwisata dan bekerja di sebuah kapal pesiar. Rumah itu mendadak lenggang, dan Ning seolah masih bisa melihat berbagai macam posisi persenggamaan yang jelas terbayang; sepucuk surat yang datang dari sebuah negara di Karibia membuat Ning kembali mengenang percintaan terlarang itu. dan Ning rasanya masih belum ingin mengenakan pakaian sama sekali, dan kalau boleh rasanya ia tak ingin mengenakan pakaian lagi untuk selama-lamanya. Cahaya tungku menyala redup, jatuh di atas wajah Ning yang menatap sayup. Warna jingganya mengilat pada buliran keringat. Sebuah mentimun tertancap dalam liang kawin, sementara jarinya begerak membelai tonjolan yang mencuat. Ning menggelinjang dalam pendakian. Sang Janda mengerang sendirian.
S E K I A N