Neng Mimin

RUANG tamu Aminah penuh sesak oleh ibu-ibu anggota tahlilan mingguan. Sebelum acara dimulai, seperti biasa mereka kasak-kusuk saling berkicau mengobrolkan hal-hal tak penting.

Kali ini pembicaraan mereka terpusat pada Suliha, juragan toko kelontong, yang ditengarai memiliki resep khusus agar cantik mendadak.

Suliha yang jadi bahan kekaguman orang-orang sekitarnya duduk kaku sok melamun, padahal telinganya bergerak-gerak kala menangkap bisik-bisik pujian dari dua ibu di sebelahnya.

Aku sendiri asyik mendengarkan hipotesis Yarni dan Nurtini. Sebagai orang yang tahu keseharian Suliha -keduanya jadi pramuniaga di toko Suliha- mereka berkoar-koar memaparkan resep ajaib kemulusan kulit juragannya. Ibu-ibu yang menyimak -termasuk aku- terbengong-bengong sampai tanpa sadar mulut kami terbuka.

“Dia beli kosmetik racikan dokter. Katanya bisa mencegah kerut, memudarkan flek-flek hitam, melicinkan kulit, dan yang terpenting… bisa jadi.. AWET MUDA!”

Nurtini tak mau kalah bicara. “Iya benar. Sebulan sekali dia ke dokter kulit. Di kota sana. Pulang-pulang bawa segepok printal-printil kosmetik dalam wadah kecil-kecil. Segini,” Nurtini mempertemukan jari telunjuk dan jempol, membentuk lingkaran kecil. “Mahal lho itu. Katanya lima ratus ribu. Juraganku itu emang hebat deh! Kayak artis pokoknya!” sumbar Nurtini pongah.

“Kenapa tiba-tiba Suliha tergerak mendatangi dokter kulit, Nur?” celetukku.

Yarni langsung memotong dengan jawabannya, meski Nurtini sudah siap angkat bicara. “Takut suaminya selingkuh. Kan adik iparnya baru ketahuan selingkuh sama sales kosmetik keliling.

Makanya dia jadi gencar mempercantik diri, takut suaminya ketularan. Sekarang sih, pria gampang cari perempuan cakep. Kosmetik udah banyak macemnya. Makanya kalo punya duit, sebaiknya disisihin buat kecantikan. Biar suami kita ndak neko-neko. Kayak juraganku tuh, suaminya mesra. Makin cinta sama Suliha.”

Aku manggut-manggut membenarkan pernyataan Yarni. Sayangnya tak lama kemudian, Martinah, sang ketua tahlilan, sudah bertepuk tangan mendiamkan pesertanya yang mencicit riuh rendah.

Acara akan dibuka dengan pembacaan Surat Yasin bersama-sama. Pembicaraan mengenai Suliha pun beralih. Aku memancangkan mata pada buku kecil ‘Surat Yasin dan Tahlil’, sementara pikiranku melayang-layang memikirkan ucapan Yarni.

*****​

Sesampai di rumah, kuutarakan niat pada Mas Yanto, suamiku, perihal keinginanku mengunjungi dokter kulit. Bukannya mendukung, Mas Yanto justru menyuguhkan gelagat keberatan, meski responsnya diperhalus.

Kebanyakan pria memang aneh. Jika pasangannya berusaha mempercantik diri, kadang diremehkan atau diabaikan. Namun manakala melihat perempuan yang lebih cantik -entah memang cantik alami atau polesan -, mereka akan terkagum-kagum seakan melihat boneka India.

“Ini kan demi Mas sendiri. Mas pasti seneng dong punya istri cantik,” aku bersikukuh.

“Iya. Tapi uangnya kan sayang. Lima ratus per bulan cuma buat beli dempul wajah, sayang toh?”

Aku terdiam dengan kening mengerut.

“Lagian kamu itu sudah cantik, Min. Kulitmu kuning mulus gitu. Mau diapain lagi?”

“Ya.. kan buat mencegah keriput. Flek hitam. Biar awet muda,” ucapan Yarni kembali kucetuskan.

Mas Yanto menghela napas. Sepertinya dia kebingungan harus menentukan sikap. Aku menunggu, memandangnya dengan intens, mendesak keteguhannya oleh tatapanku. Usahaku berhasil. Mas Yanto mengedikkan bahu.

“Ya sudahlah, terserah. Awas nanti wajahmu rusak,” ujarnya pasrah sekaligus mengingatkan.

Kuraih kedua tangannya, mengecupnya bergantian.

*****​

Genap tiga minggu sudah aku menggunakan paket kosmetik dari dokter Lusi, seorang dokter kulit di kota. Suliha juga menggunakan jasa dokter ini.

Begitulah informasi yang berhasil kukorek dari Nurtini. Aku benar-benar merasa surprise melihat perubahan kulit wajahku. Jadi kelihatan licin, lebih putih, dan halus. Beberapa orang yang menyadari perubahan wajahku pasti memuji. Membuatku jadi salah tingkah seperti seekor kucing dibelai tuannya.

“Astaga! Mimin makin cantik aja! Kulitnya jadi licin begitu!”

“Wah, Yanto pasti tambah seneng kamu makin cantik begitu, Min!”

Saat orang-orang mengomentariku, Mas Yanto justru bersikap tak acuh. Jujur aku jadi sedikit gemas. Jarak 35 km kutempuh, panas-panas naik bis untuk mempercantik diri demi dia, tapi tak sedikitpun Mas Yanto menawarkan komentar walau hanya satu kalimat pendek saja. Aku merasa tak dihargai.

Parahnya lagi akhir-akhir ini dia sering lembur sampai larut malam. Alasannya loading barang mau ekspor. Dia terpaksa bekerja sampai jauh melebihi batas jam pulang karena bertugas sebagai karyawan gudang, bagian yang bertanggung jawab menghitung barang yang dikirim. Suamiku bekerja di pabrik furniture.

Tentu saja aku tak mempercayai ucapannya begitu saja. Setahuku pabrik tempat dia bekerja hanya melakukan ekspor seminggu dua kali. Berbagai prasangka buruk tumpang tindih menguasai akal sehatku. Menjelang subuh kutumpahkan bongkahan kedongkolanku padanya.

“Jangan-jangan ada yang lebih menarik di kantor.”

“Apa sih, Min. Pagi-pagi kok malah nuduh.”

“Iyalah. Udah aku bela-belain ke dokter kulit nguras tabungan demi Mas, taunya yang mau dipamerin malah pulang tengah malam. Aku berbuat begini ini demi Mas. Mas ngerti ndak?”

Mas Yanto masygul menatap lantai.

“Lagian, Mas kan bisa ndak usah lembur. Gantian ama Jatmiko. Orang gudang kan ndak cuma Mas Yanto aja toh?”

Senyap.

“Pokoknya aku ndak mau Mas pulang malem-malem lagi. Nanti ibu-ibu sini pada nanya lagi. Nanti dikiranya Mas sudah ndak sayang lagi sama aku. Malu.”

Mas Yanto bangkit, menyambar handuk yang telah tak jelas warnanya dari jemuran. Tanpa merespon omelanku dia langsung masuk kamar mandi. Aku serasa bicara dengan tembok. Tak ada reaksi balik.

*****​

Masih menyimpan kejengkelan akibat diabaikan suami, aku berangkat ke pasar dengan hati gemas.

 

Di kedai Mak Trisni, penjual gorengan, duduk Nurtini, Yarni, dan Martinah. Mereka memanfaatkan momen antri dengan berdiskusi.

“Eh, Mimin. Seger banget wajahnya,” puji Yarni sambil matanya mengamatiku dari ujung sandal hingga ujung jilbab.

Aku tersenyum. “Lagi ngobrolin apa nih? Kok kayaknya serius amat?”

Seketika nada suara Yarni merendah, nyaris berbisik. “Suami Suliha selingkuh”

Aku terkesiap.

“Mungkin suaminya ndak betah ama Suliha. Dia terlalu galak sih. Siapa juga yang tahan sama orang judes. Meskipun cinta,” Nurtini unjuk komentar.

“Padahal ya.. Suliha sudah cantik begitu, masih saja diduakan. Memang jadi istri itu ndak gampang. Harus bisa memahami suami,” imbuh Martinah.

“Suliha tau dari mana?” tanyaku.

“Suaminya sering pulang malem. Nah, tiga hari yang lalu, Suliha sengaja jemput suaminya pake mobil ke kantor malem-malem. Ketahuan deh,” jelas Yarni.

Pikiranku terbang mengenang kejadian beberapa hari terakhir. Kegelisahan menyergapku menimbulkan sedikit kepanikan. Jangan-jangan Mas Yanto selingkuh di pabrik. Buktinya sekarang dia tak terlalu mempedulikanku. Sering lembur lagi.

Tak mau berlama-lama di situ, aku segera pamit.

Aku tak mau mereka juga menduga hal-hal buruk mengenai suamiku yang juga sering telat pulang.

Setiba di rumah, sayup-sayup terdengar dering handphone. Aku menemukannya di atas meja kamar. Rupanya Mas Yanto lupa membawanya.

Layar handphone hanya menampilkan deretan angka saja. Maka aku pun mengangkatnya. Segera aku mendapat kejutan.

“Siang. Pak Yanto-nya ada?”

Waktu serasa berhenti. Suara perempuan, sedikit centil. “Maaf, ini siapa?” tanyaku kaku.

“Saya Sinta. Kemarin kami sudah janji mau ketemu sepulang kerja nanti…”

Tangan kananku melorot perlahan, kubiarkan lenganku menggantung dengan handphone masih dalam genggaman. Tak sanggup lagi kudengar ucapan lanjutan perempuan yang mengaku Sinta itu.

Astaga! Mas Yanto… benarkah dia?? Tak mampu kuteruskan dugaanku.

*****​

Dadaku menggelegak dihentak emosi tinggi. Tak ada pilihan lain kecuali mendatangi pabrik, menuntut penjelasan Mas Yanto, dan kalau bisa menyeretnya pulang sekalian. Kadangkala suami juga harus diberi pelajaran agar tidak ’nakal’. Aku tak mau tahun pertamaku menduduki singgasana perkawinan koyak moyak gara-gara perselingkuhan.

Segera aku pergi ke kamar untuk ganti baju.

Kulepas daster gombrong yang kukenakan, niatnya ingin kuganti dengan kemeja dan rok panjang saja.

Di depan cermin aku mematut diri. Kupandangi tubuhku yang kini tinggal ber-beha dan bercelana dalam saja.

Kuperhatikan buah dadaku yang terlihat cukup padat dan berisi, tidak tampak turun sama sekali karena aku memang belum pernah menyusui.

Kalau menyusui Mas Yanto sih sudah sering tiap malam. Lalu agak ke bawah, tampak perutku yang masih langsing dan ramping. Di bawah lagi, kulihat pinggulku yang besar seperti bentuk gitar dengan pinggang yang kecil. Kemudian aku menyampingkan tubuhku hingga pantatku terlihat, masih tampak menonjol dengan kencangnya. Yang terakhir paha dan betisku, masih kencang dan berbentuk mirip perut padi, seksi sekali.

“Mas Yanto sudah punya semua ini, tapi masih nyari yang lain.” batinku getir. Tak terasa mataku mulai meneteskan butiran bening. Hatiku sakit sekaligus juga marah.

Disaat aku masih merenung, tiba-tiba kudengar sebuah langkah kaki. Mang Roji, tukang yang sudah dua hari ini bekerja membetulkan tembok di halaman belakang, berteriak memanggilku.

“Neng, Neng Mimin.” Dia ada perlu. Mungkin minta air putih seperti biasanya, aku memang belum ngasih tadi.

“I-iya, Mang.” Tak ingin dia menunggu lama, segera kusambar handuk untuk menutupi tubuh polosku. Kuintip kedatangannya dari celah pintu.

“Ada apa, Mang?” aku bertanya.

Lelaki tua tetanggaku itu tidak langsung menjawab, dia tampak kaget melihatku. Memang tidak biasanya aku berlaku begini. Inilah untuk pertama kalinya ia melihatku tanpa jilbab, dan aku yakin dia juga tahu kalau aku cuma berbalut handuk saja saat ini.

“I-itu, Neng. Semennya habis.” dia berkata dengan terbata.

Aku tersenyum dan menutup pintu sebentar.

Kuambil uang yang ada di laci lemari dan kuangsurkan kepadanya. Sekali lagi, hanya tanganku yang keluar. “Segini cukup?”

Mang Roji mengangguk dan menerimanya, tapi ia tidak langsung pergi.

“Ada lagi, Mang?” aku bertanya heran.

Tidak menjawab, Mang Roji malah melangkah mendekat. “Neng,” ia memanggil dengan sorot mata aneh.

Aku mulai takut. “Mang mau apa?” pekikku tertahan sambil berusaha menutup pintu kamar, tapi aku terlambat, Mang Roji sudah keburu mengganjalnya dengan kaki.

“Neng Mimin cantik sekali,” ia menyeringai mesum, menampakkan gigi-giginya yang ompong dan bau rokok.

Aku berjengit bingung dan kembali berusaha mendorong pintu, tapi tetap saja sia-sia. “Mang Roji jangan macem-macem ya, sana cepet keluar!” bentakku marah.

Tetapi laki-laki itu bukannya mematuhi perintahku, malah kakinya melangkah maju satu demi satu masuk ke dalam kamar tidurku. “Saya cuma mau satu macem aja kok, Neng.” Ia menatap tubuhku dengan lapar. “Ngentot sama Neng Mimin, mumpung suami Neng lagi nggak ada.” katanya berani.

Nyaliku ciut. Terus terang, melawannya hanya akan percuma. Aku sudah pasti kalah. Jadi, apa yang bisa kulakukan?

“Mang, sudah aku bilang… cepat keluar dari sini!” bentakku lagi dengan mata melotot.

“Silakan Neng teriak sekuatnya, tidak akan ada yang dengar!” ucapnya dengan mata menatap tajam padaku. Terutama bulatan payudaraku yang tampak mau tumpah.

Sepintas kulihat celah jendela yang berada di sampingku, apa aku lompat saja dari situ? Ah, sepertinya tidak akan muat. Aku menemui jalan buntu. Betapa malangnya nasibku, sudah ditinggal suami selingkuh, eh sekarang malah mau diperkosa kakek tua.

Detik demi detik berlalu, dan tubuh Mang Roji semakin dekat dan terus melangkah menghampiriku. Terasa jantungku semakin berdetak kencang dan tubuhku semakin menggigil karenanya. Aku pun mulai mundur teratur selangkah demi selangkah, aku tidak tahu harus berbuat apa saat itu sampai akhirnya kakiku terpojok ke bibir ranjang tidurku.

“Mang… jangan!” kataku dengan suara gemetar.

“Huehehe…!” suara tawa laki-laki itu saat melihatku mulai kepepet.

“Jangan, Mang!” jeritku begitu Mang Roji yang sudah berjarak satu meteran dariku, tiba-tiba meloncat menerjang tubuhku hingga aku langsung terpental jatuh di atas ranjang dan dalam beberapa detik kemudian tubuh tukang itu langsung menyusul jatuh menindih tubuhku yang telentang.

“Setan alas! Bangs*t! Lepaskan aku!” aku terus berusaha meronta saat dia mulai menggerayangi tubuhku yang tidak berdaya dalam himpitannya.

Perlawananku yang terus-menerus dengan menggunakan kedua tangan dan kedua kaki lumayan membuatnya kewalahan juga sehingga Mang Roji kesulitan saat berusaha menciumi pipi dan bibirku. Tapi tangannya tetap berhasil menangkup kedua payudaraku dan meremas-remasnya kuat hingga membuatku jadi menjerit kesakitan.

“Auw! Hentikan! Lepaskan aku!” teriakku sambil mendorong lebih keras. Dan tanpa kuduga, berhasil terlepas.

Bersambung​

 

Laki-laki itu segera melepas pakaiannya sendiri, lalu tubuhku dibaliknya hingga telentang. Aku dapat melihat tubuh polosnya saat itu. Bener dia kurus dan dekil, tapi kulihat kontolnya begitu panjang dan besar. Mau tak mau aku harus membandingkan dengan milik suamiku – satu-satunya penis yang pernah kulihat seumur hidupku – dan harus kuakui, Mang Roji lebih unggul. Sangat unggul malah, karena penis suamiku seperti tidak apa-apanya bila dibandingkan dengan miliknya.

“J-jangan, Mang.” aku merengek ketakutan, takut kemaluanku akan robek saat dimasuki kontolnya yang seperti kentongan itu.

Tapi Mang Roji dengan tidak peduli malah menarik kakiku sampai pahaku melekat pada perutku, lalu aku dipangkunya di atas kedua kakinya yang diselonjorkan, mirip anak perempuan yang tubuhnya sedang dipeluk ayahnya. Dan itu memang benar, karena usiaku yang baru 24 tahun memang lebih cocok jadi anaknya.

Tangan kiri Mang Roji menahan pundakku sehingga kepalaku sekarang bersandar pada dadanya yang kurus, sedangkan tangan kanannya meremasi kulit pinggul, paha dan pantatku yang kencang dan putih bersih itu secara bergantian.

“M-Mang… j-jangan, Mang!” ucapku berulang-ulang dengan terbata-bata, mencoba mengingatkan pikirannya untuk yang terakhir kali. Namun Mang Roji dengan senyum terkulum di bibir, terus saja meraba-raba pahaku penuh nafsu.

“Ouh… ssh… euh…” desisku pada akhirnya dengan tubuh menegang menahan geli. Aku seperti terkena setrum saat kurasakan tangannya melintas membelai belahan pahaku. Apalagi telapak dan jemari tangannya sesekali berhenti tepat di tengah-tengah lipatan pahaku dan mengelus lembut disana, membuatku jadi semakin tak tahan.

“Mang… eeh…” rintihku lebih panjang lagi dengan tubuh bergetar sambil memejamkan mata. Entah kenapa aku jadi seperti ini. Aku yang awalnya begitu takut dan menolak, sekarang malah menikmati segala sentuhannya.

Memang masih terbersit rasa jengah di hatiku, tapi itupun dengan cepat terhapus saat kurasakan jemari nakal Mang Roji yang mulai mengusap-usap bibir vaginaku.

Tangannya terus menyentuh dan bergerak dari bawah ke atas, lalu kembali turun lagi dan kembali ke atas lagi dengan perlahan sampai beberapa kali. Sebelum kemudian mulai sedikit menekan-nekan hingga ujung jari telunjuknya tenggelam dalam lipatan bibir vaginaku yang mulai terasa berdenyut-denyut, gatal dan geli.

Apakah ini karena efek perselingkuhan suamiku?

Entahlah. Tapi yang jelas, semakin aku mengingatnya, semakin aku bertambah bergairah.

Segala kelakuan Mang Roji semakin kunikmati.

Jerit penolakanku sudah lama sirna, berganti dengan desahan dan rintihan yang perlahan namun pasti membuat kami jadi semakin terhanyut.

Tangan Mang Roji terus meraba dan menggelitik-gelitik bagian dalam bibir vaginaku, membuat birahiku yang mulai naik jadi terpancing dengan begitu cepatnya. Apalagi sudah cukup lama tubuhku tidak pernah mendapatkan kehangatan dari suamiku yang selalu sibuk dan sibuk. Dan sekarang ditambah dia berselingkuh, aku jadi semakin marah saja.

Biar saja dia bersenang-senang dengan… siapa namanya… ya, Sinta. Benar, Sinta. Peduli setan.

Kalau dia bisa bersenang-senang, aku juga bisa. Daripada diperkosa cuma dapat letih dan sakit, kenapa aku tidak menikmatinya saja? Toh aku tidak rugi-rugi apa. Sambil itung-itung balas dendam juga kepada Mas Yanto, suamiku yang brengsek itu, yang sangat tidak tahu diri. Sudah capek-capek istrinya tampil cantik, eh dianya malah nyari wanita lain di luar.

Rasakan, Mas! Ini istrimu lagi dientot orang lain, dan aku akan menikmatinya.

Memutuskan begitu… entah siapa yang memulai duluan, tiba-tiba saja kurasakan bibirku sudah beradu dengan bibir Mang Roji yang kasar dan bau tembakau. Kami saling berpagut mesra, sama-sama menjilat, mengecup, dan menghisap liur yang keluar dari mulut masing-masing. Tak kusangka orang setua Mang Roji bisa pintar dalam bersilat lidah.

“Ouh… Neng Mimin, wajah cantikmu benar-benar merangsang sekali!” ucapnya dengan napas semakin memburu.

Sungguh tak kusangka, ucapan seperti malah kudapat dari orang lain. Harusnya kan suamiku yang mengatakannya. Bukankah aku tampil cantik juga demi dia… Dengan hati semakin sakit, akupun pasrah saja saat Mang Roji menarik tubuhku hingga kedua buah dadaku yang tumbuh menantang berada tepat di depan mukanya.

Dan kemudian, “Ouh… Mang!” rintihku panjang dengan kepala menengadah ke belakang menahan geli bercampur nikmat yang tiada henti saat mulutnya dengan rakus memagut buah dadaku yang ranum itu. Kurasakan mulut Mang Roji menyedot, memagut, bahkan menggigit-gigit puting susuku sambil sesekali menarik-narik dengan menggunakan giginya.

Entah mengapa ada perasaan nikmat yang luar biasa menyelubungi hatiku saat ia melakukan itu, seakan-akan ada sesuatu yang telah lama hilang kini kembali, datang merasuki tubuhku yang sedang dalam keadaan tidak berdaya dan pasrah ini.

“Bruk…” tiba-tiba Mang Roji melepaskan tubuhku yang sedang asyik-asyiknya menikmati segala sentuhannya. Aku terjatuh di atas ranjang tidurku.

Namun itu tidaklah lama, karena beberapa saat kemudian kurasakan bagian bibir vaginaku dilumat olehnya dengan begitu buas seperti orang yang kelaparan. Mendapat serangan seperti itu kontan tubuhku langsung menggelinjang-gelinjang dan rintihan serta erangan suaraku semakin meninggi akibat menahan geli bercampur nikmat, bahkan sampai-sampai kepalaku bergerak menggeleng ke kanan dan ke kiri secara berulang-ulang.

Cukup lama mulut Mang Roji mencumbu dan melumati bibir vaginaku, terlebih pada bagian atasnya yang paling sensitif itu, tempat dimana klitorisku yang mungil berada. Kini benda itu sudah menebal dan membengkak parah.

“Mang… s-sudah… ouh… ampun!” rintihku panjang dengan tubuh mengejang-ngejang menahan geli yang menggelitik bercampur nikmat yang luar biasa rasanya saat itu. Lalu kurasakan tangan Mang Roji mulai rebutan dengan bibirnya. Kurasakan jarinya dicelup ke dalam lorong kecil kemaluanku untuk mengorek-ngorek segala isi di dalamnya.

“Ouh… Mang!” desisku menikmati alur permainannya yang terus terang belum pernah kudapatkan, bahkan dengan suamiku sendiri.

“Sabar, Neng. Mang suka sekali dengan yang satu ini!” suara Mang Roji yang setengah menggumam karena ia terus menjilat dan menghisap-hisap kemaluanku tanpa henti. Setelah puas, baru mulutnya naik mendekati wajahku sambil meremas-remas buah dadaku yang ranum dan kenyal.

“Neng Mimin… saya entot sekarang ya,” bisiknya lebih pelan lagi dengan nafas mendesah-desah.

Aku tidak menjawab. “Eee…” pekikku begitu kurasakan ada benda yang cukup keras dan besar mendesak-desak setengah memaksa ingin masuk di belahan bibir vaginaku.

“Tahan, Neng… dikit lagi… tahan ya…” bisiknya sabar.

“Aah… s-sakit, Mang!!” jeritku keras-keras menahan.ngilu yang amat sangat, bahkan duburku sampai serasa ikut berdenyut-denyut karena saking ngilunya.

Dengan usaha yang cukup menguras tenaga – akibat kontolnya yang terlalu besar, sedangkan memekku sangat mungil dan sempit– akhirnya batang penis Mang Roji tenggelam seluruhnya.

Beberapa saat lamanya, tukang bangunan tua itu mendiamkannya dengan sengaja. Dia seperti ingin menikmati pijitan-pijitan halus dinding-dinding kemaluanku pada batang penisnya. Dan memang itulah yang terjadi, karena memekku memang selalu bergetar bila dimasuki penis. Suamiku sudah mengakuinya.

Ah, mengingat Mas Yanto membuatku jadi sakit hati kembali. Dan sakit hati itu bermuara menjadi gairah baru yang sangat membutuhkan pelampiasan. Segera aku menggerakkan pinggulku, mengajak Mang Roji untuk mulai memompa dan menggoyangkan kemaluan masing-masing. Dia yang mengerti segera menarik keluar batang penisnya secara perlahan-lahan dan setelah itu didorongnya masuk lagi, juga dengan perlahan-lahan. Seakan-akan ingin menikmati setiap gesekan pada dinding-dinding lorongku yang sangat rapat dan hangat.

“Ahh… Mang!” aku merintih. Dan begitu pula dia.

Kurasakan makin lama gerakan pinggul Mang Roji menjadi semakin cepat dan kuat sehingga tubuhku mulai terguncang-guncang dengan hebatnya. Kami berdua mengerang dengan penuh kenikmatan.

“Ahh… Neng… enak!!” rintihnya sambil mencari kedua putingku yang sudah sangat menegang dan memencetnya keras-keras. Tubuh kami berdua sudah banjir oleh keringat.

“Mhh… awhh… Mang, terus… lebih cepet lagi!” rintihku semakin bernafsu, dan akhirnya menjerit kuat tak lama kemudian tanda sudah mencapai klimaks. Cairanku tumpah ruah memenuhi bantal dan sprei.

Tahu kalau aku sudah lemas, Mang Roji ganti mengarahkan kontolnya ke mulutku. Tampaknya dia tahu diri juga, tidak ingin membuatku hamil.

Tanpa perlu bertanya lagi segera kukulum dan kulumat habis penis yang bau cairan vagina itu maju-mundur. Mang Roji langsung mengerang penuh kenikmatan.

“Ahh… Neng Mimin… saya… saya… oughh!!” dia menjerit saat menyemburkan sperma kental yang sedikit amis di dalam mulutku, dan menyuruhku untuk menelan semuanya.

Segera kulakukan, namun karena terlalu banyak, sebagian tetap ada yang mengalir keluar melalui celah bibirku. Tubuhku terasa lemas bagaikan tanpa tulang. Begitu pula dengan Mang Roji, dia langsung terhempas ke samping tubuhku. Kami tidur secara bersisian.

“Mang Roji gila!” ucapku memecah kesunyian dengan nada manja, sama sekali tidak ada nada marah disana. Beda dengan saat pertama kali tadi.

“Sudah berani memperkosaku,” Kupandangi tubuhnya yang masih terkulai di samping kiriku.

Dia tertawa, “Tapi enak kan? Saya lihat Neng juga menikmatinya.” Tangannya membelai lembut bulatan payudaraku dan memenceti putingnya secara bergantian.

Wajahku langsung merah padam mendengar apa yang baru saja diucapkan olehnya, namun tidak bisa membantah karena itu memang benar.

“Sekarang lepaskan ikatanku,” aku meminta, tanganku sudah pegal dan kaku.

“Maaf ya, Neng. Saya benar-benar tak tahan.” Ia mulai mengurai simpul di tanganku.

“Iya, aku ngerti kok.” Kupandangi, ternyata dia mengikat dengan menggunakan celana dalamku. Sedangkan kakiku dengan memakai robekan handuk.

“Jangan dilaporin ke Den Yanto ya, Neng.” ia memohon, “Nanti saya kasih yang lebih nikmat lagi.”

Aku diam saja, tidak menjawab. Dia benar-benar sudah memegang kartuku, membuatku jadi mati kutu.

Setelah aku terbebas, laki-laki itu kemudian pamit.

Sebelumnya ia terus mengucapkan maaf berkali-kali, dan sempat juga menawariku untuk main lagi satu babak. Tapi langsung kutolak mentah-mentah karena aku masih ada acara. Aku harus pergi ke pabrik Mas Yanto. Ya, aku akan kesana sekarang untuk meminta penjelasan darinya.

Setelah mandi dan ganti pakaian, aku pun berangkat. Mas Yanto seperti tersengat ular kobra begitu melihatku muncul dari pos satpam. Tiba di lobi, dia tampak kikuk. Membuat kecurigaanku jadi kian memuncak.

“Hapenya ketinggalan.” aku mati-matian mengatur napas yang telah disesaki amarah. “Trus ada Sinta telpon. Katanya udah janjian kan?”

“Min, aku minta maaf.”

Makin muntab saja aku. “Siapa dia?”

“Bukan siapa-siapa. Sumpah!”

“Pulang sekarang! Kita selesaikan di rumah!”

“Min, ndak bisa. Aku nanti lembur.”

Arsadi, teman kerja Mas Yanto muncul sambil mengulum senyum. “Tumben, Min? Mau ngecek rumah baru ya?” ujarnya santai.

Dahiku mengerut. “Rumah? Rumah siapa, Mas Arsad?”

“Loh? Yanto mau nyicil rumah toh?”

Aku masih mengarca.

“Dia udah nego ama Bu Sinta kan? Atau justru batal?”

Kupandang Mas Yanto dan Mas Arsadi bergantian.

Mendadak Mas Yanto mendesah panjang, menepuk pundak kananku.

“Maaf, Min. Rencananya aku mau bikin kejutan sama kamu. Aku rencana nyicil rumah. Biar ndak ngontrak lagi. Sore ini mau ketemu sama Bu Sinta di kantor perumahan Griya Asri. Dia marketingnya. Tapi nanti ada stuffing ke Denmark. Batal lagi terpaksa.”

Perutku seakan menggelinjang dilingkupi keterkejutan. Astaga! Aku terpana.

“Kalo jadi, bulan depan ndak usah ke Dokter Lusi ya? Sayang duitnya,” lanjut Mas Yanto.

Jawabanku tertelan oleh rasa malu. Berani-beraninya aku berburuk sangka terhadap suamiku.

Astaghfirullah! Seandainya kami berada dalam situasi sepi, niscaya aku sudah berlutut aku di hadapan Mas Yanto, meminta maaf atas dugaan sintingku. Juga pengkhianatanku tadi.

Pundakku melorot, bibirku bergetar menahan haru. Sungguh kenyataan ini diluar dugaanku. Apa yang bisa kulakukan untuk menebus semua kesalahanku.

Tubuhku sudah kotor. Sudah ada sperma laki-laki lain di dalam diriku!

“Min? Kamu ndak apa-apa kan? Kok jadi pucat begitu?” Mas Yanto mengangkat daguku.

Aku menatapnya dengan mata menggenang.

s e l e s a i