Nikahi Tantemu, Timo

Nikahi Tantemu, Timo

Aku sudah dua malam membantu Tante Nerah menjaga suaminya, Om Harja di rumah sakit. Karena pihak rumah sakit tidak mengizinkan lebih dari satu orang untuk menjaga pasien di ruang rawat inap, maka pihak rumah sakit menyediakan ruang tunggu untuk keluarga pasien.

Di ruang tunggu itu keluarga pasien boleh tidur dengan membawa peralatan tidur mereka masing-masing, sedangkan pihak rumah sakit hanya menyediakan ruangan ber-AC. Aku tidur di ruang tunggu itu.

Ruang tunggu berukuran 3 x 4 meter di malam kedua ini terasa penuh dibandingkan dengan semalam. Aku dari semalam sudah tidur di pojok ruangan di atas selembar kasur tipis berukuran 90 x 180 sentimeter yang dibawa dari rumah Tante Nerah.

Malam ini Tante Nerah ikut menginap di ruangan itu, tidak menemani suaminya di ruang rawat inap. Tante Nerah memilih tidur di pojok bersebelahan dengan dinding, sedangkan aku di sebelah Tante Nerah.

Di sebelahku berjarak sekitar 50 sentimeter dari tempat tidurku berbaring seorang wanita berumur sekitar 40-an dengan seorang laki-laki berumur sekitar 30-an. Dilihat dari barang-barang yang dibawa mereka, kemungkinan keduanya berasal dari kampung.

Aku berbaring hanya dengan selembar kaos oblong, celana pendek dan selembar sarung, sedangkan Tante Nerah memakai mantel dilengkapi dengan kain batik yang dililitkan ke pinggangnya karena di ruang tunggu itu penyejuk ruangannya cukup dingin bagi mereka yang tidak tahan dengan udara dingin.

Tante Nerah sudah tidur dengan nyenyaknya sambil berbaring meringkuk menghadap ke dinding. Aku melihat para penunggu pasien lainnya juga sudah tidur nyenyak. Ruangan sangat tenang. Sementara aku masih nonton video menggunakan headset yang kupasang di kuping.

Tiba-tiba Tante Nerah membalik tubuhnya miring ke arahku. Ia mencopot satu headset dari kupingku dan bertanya pelan padaku, “Ommu hidupnya masih panjang nggak ya, Timo?” Nada suara Tante Nerah terdengar sedih.

Lalu bagaimana aku menjawab pertanyaan Tante Nerah, karena panjang tidaknya umur seseorang bukan terletak di tanganku, aku juga tidak boleh menebak-nebak berapa panjang umur seseorang. Itu bukan hakku.

Aku memeluk saja Tante Nerah dan entah kenapa aku berani mencium bibir Tante Nerah. Kemungkinan aku ingin Tante Nerah supaya tenang dan pasrah. Persoalan penyakit jantung Om Harja biarlah diserahkan saja pada dokter yang menanganinya. Rencananya besok jantung Om Harja akan di operasi bypass oleh dokter.

Kemarin pagi di rumah, Om Harja sempat sesak napas dan pingsan. Untung tetangganya cepat melarikan Om Harja ke rumah sakit. Kalau tidak, kemungkinan besar nyawa Om Harja tidak tertolong.

Om Harja berumur 53 tahun, sedangkan Tante Nerah berumur 50 tahun. Tante Nerah cantik? Ah… tidak juga, tubuhnya sama saja dengan wanita-wanita yang sudah berumur paruh baya lainnya. Cuma ia kelihatan lebih muda dari umurnya dan susunya besar.

Kalau dilihat sepintas, kakak dari mamaku ini, orang akan mengatakan ia baru berumur 40 tahun.

Aku…?

Aku sedang menyusun skripsi. Umurku 23 tahun. Om Harja dan Tante Nerah mempunyai satu orang anak laki-laki yang sudah selesai kuliah dan sekarang sedang bekerja di pengeboran minyak lepas pantai. Maka itu, Tante Nerah tau aku mempunyai waktu, ia lalu minta tolong aku untuk membantunya menjaga Om Harja.

Kemarin malam Tante Nerah tidak ikut menjaga, karena ia sudah terlalu capek seharian mengurus Om Harja di rumah sakit, ia pulang tidur di rumah. Malam ini Tante Nerah baru ikut menjaga dengan aku.

Aku tidak tau kalau Tante Nerah lagi bernapsu. Kemungkinan sudah lama vaginanya tidak disodok oleh penis Om Harja. Bibirnya langsung menancap di bibirku dan melumat bibirku yang tidak siap. Kelabakan aku dibuatnya.

Tetapi aku bukan laki-laki yang baru kenal seks kemarin sore. Di semester 4 aku pernah punya pacar seorang gadis yang kuliah satu kampus denganku, tetapi beda jurusan. Mula-mula aku menganggapnya masih gadis.

Setelah berjalan hampir 1 tahun hubungan kami, di pertengahan semester 6, di kostnya pacarku, aku dengannya melakukan hubungan terlarang. Ternyata ia sudah tidak gadis. Aku sih bisa menerimanya sudah tidak perawan, tetapi memasuki semester 7, kami putus hubungan secara baik-baik.

Terjadilah pergulatan yang sengit antara bibir aku dengan bibir Tante Nerah sampai aku menelan beberapa teguk ludahnya hingga ia melepaskan diri sendiri dari ciumanku dengan napas tidak teratur. Terus terang, aku sih tidak mau melepaskannya.

Kemudian ia membalik menghadap ke dinding sembari menarik tanganku ke perutnya. Tadi sudah aku katakan bahwa aku bukan baru mengenal seks kemarin sore, sehingga tangankupun menyusup masuk ke dalam kaos yang dipakai Tante Nerah memegang dan mengelus perutnya yang telanjang sebelum tanganku menuju ke BH yang dipakainya.

Setelah beberapa saat aku mengelus-elus dan mengusap-usap perut Tante Nerah dan merasa Tante Nerah sudah jinak, tidak melawan dan terserah padaku, tangankupun menuju ke BH yang dipakainya dan BH-nya yang lumayan besar itu kudorong ke atas, sehingga keluarlah payudara Tante Nerah yang lumayan besar dari BH-nya, bisa jadi ukurannya nomor 38B.

Kuremas-remas bongkahan kenyal tapi lembut itu dengan telapak tanganku. Dari meremas, kemudian kupelintir putingnya yang besar dengan jariku.

“Ouuhhh…” desah Tante Nerah pelan. “Tee… terusss… Timoo..oohhh… oohhh… bantu aku keluarin…”

“Ya Tante…” bisikku. “Tante tenang aja, nggak usah mikirin Om bisa panjang umur atau nggak, Tante nikmati aja… mana memeknya, Tante…?” tanyaku memindahkan tanganku dari payudara Tante Nerah memasukkan tanganku ke dalam celana legging Tante Nerah mencari vaginanya.

Setelah kudapatkan vagina Tante Nerah yang hanya ditumbuhi sedikit bulu jembut itu, mulai kukorek-korek lubang vaginanya dengan jariku hingga akhirnya kumasukkan jari tengahku ke lubang vagina Tante Nerah yang kering. Kutusuk dalam-dalam jariku sampai Tante Nerah kejang-kejang.

“Ohh… Timooo… aku keluar…” kata Tante Nerah berbaring terlentang di kasur memejamkan mata.

Aku membiarkan Tante Narah menikmati orgasmenya untuk beberapa saat.

Setelah itu aku benar-benar khilaf. Di tempat yang ramai dan terang benderang begitu, aku berani ngentot Tante Nerah.

Tante Nerah melepaskan celana legging dan celana dalamnya. Aku cukup mengeluarkan penisku yang tegang dari celana pendekku dengan menurunkan sedikit celana pendekku.

Lalu kuturunkan kain batik Tante Nerah sampai aku bisa memasukkan penisku ke lubang vaginanya lewat belahan pantatnya dan dengan posisi Tante Nerah berbaring miring menghadap ke dinding, Tante Nerah mengangkat pahanya.

Setelah itu kuposisikan penisku di lubang vagina Tante Nerah dengan tangan, kemudian kusodok lubang vagina Tante Nerah, bleessssss…. masuk semua batang kontolku di dalam lubang vagina Tante Nerah yang kering dan seret, tetapi sangat nikmat karena lubang itu menjepit kontolku dengan kuat.

Kutarik-dorong segera kontolku keluar-masuk sambil kututupi bagian bawah tubuhku dengan sarung supaya kalau ada orang melihat, mereka tidak tau aku sedang ngentot.

Tidak sampai 10 menit kukocok kontolku di lubang vagina Tante Nerah, air manikupun keluar dan kukeluarkan air maniku di dalam lubang vagina Tante Nerah.

Croottt… croottt… croottt… croottt… croottt… croottt… croottt…

Di ruang tunggu itu, tidak ada satupun penghuninya yang tau aku bersetubuh dengan tanteku. Mereka tidur nyenyak semuanya seperti aku menghipnotis mereka.

Tante Narah membersihkan vaginanya dengan tissu. Tanpa memakai kembali celana dalam dan celana leggingnya ia tidur. Aku juga tidak ke kamar mandi membersihkan penisku yang bau vagina Tante Nerah. Aku merapikan celana pendekku saja, lalu tidur seperti tidak terjadi apa-apa.​

 

Pagi harinya, pulang ke rumah Tante Nerah, aku dan Tante Nerah baru melakukan hubungan intim yang sebenarnya.

Di tempat tidur di kamarnya, Tante Nerah berbaring telanjang bulat menyerahkan vaginanya untuk kujilat. Aku tidak berpikir lagi kalau vagina yang kujilat itu adalah milik dari kakak kandung mamaku.

Malahan kudorong masuk dua jariku ke dalam lubang vagina Tante Nerah yang sudah kubasahi dengan ludah sambil kelentitnya kujilat dan kuhisap. Tante Nerah tidak bisa berbaring diam lagi saat kedua jariku di dalam lubang vaginanya merogoh rahimnya.

Akhirnya tubuh Tante Nerah bergetar hebat sampai ia menjerit cukup keras, “Aaaaggghhhhhhhhh…..” saat ia orgasme.

“Tante bersamamu baru bisa keluar, Timo.” kata Tante Nerah senang, tetapi napasnya senin kamis.

“Sudah berapa lama Tante tidak keluar?” tanyaku.

“Sejak Ommu sakit jantung, sudah berapa tahun ya lubang Tante nggak dicharge…?” jawab Tante Nerah mengajak aku berkata jorok, “Semalam dicharge sama kontol besarmu ini… emmmhh…”

Tante Nerah memasukkan penisku ke dalam mulutnya dan dikulumnya, kemudian dikocok-kocoknya sambil menggenggam pangkal penisku.

Hmmm… nikmatnya… tak terkatakan, lalu kupegang bagian belakang kepala Tante Nerah seraya kusetubuhi mulut Tante Nerah dengan mengocok-ngocok penisku di mulutnya.

Tak berapa lama kemudian tubuhkupun mengejang. “Huu…uufff…” erangku sembari menyemburkan air maniku di dalam mulut Tante Nerah.

Crooottt… crroottt… crroottt… crroottt… crroottt… crroottt… crroottt… crroottt… crroottt…

Tante Nerah menelan semua air maniku yang kukeluarkan di dalam mulutnya. Glekk… tidak ia memikirkan lagi suaminya dirawat di rumah sakit dan besok pagi akan menjalani operasi bypass jantung, kembali ia mengulum penisku untuk menegangkannya lagi.

Diremas-remasnya kantong kedua biji pelerku, dijilatnya dan dikulumnya. Bagaimana tidak membuat penisku segera kembali tegang?

Tante Nerahpun berbaring mengangkang minta lubang vagina dicharge oleh penisku. Segera kudorong masuk batang penisku ke lubang vagina Tante Nerah, bleessss…. kemudian baru aku menindihnya sambil menghisap puting payudaranya kugenjot lubang vagina Tante Nerah yang kering dan seret itu keluar-masuk.

“Ahhh… ahhh… ahhh…” desah Tante Nerah sambil matanya merem melek.

“Enak apa nikmat, Nerahku sayang…” tanyaku.

“Dua-duanya, suamiku… ahh… ahh.. ahh… kamu luar biasa, sayang… bikin aku lupa segalanya kalau sudah di ranjang bersamamu, tak terasa aku sudah tua… he..he..” ujar Tante Nerah.

Plokk… plok… plokk… plokk… plokk…

“Agghh… truusss… sayang…. aahh… ahh… ahhh… setubuhi aku truss… ooh, sayang… oohh… enak sekali, sayang…” racau Tante Nerah.

“Sekarang, nunging, Tante…” kataku mencabut penisku, lalu aku memberi kesempatan pada Tante Nerah untuk nungging.

Setelah Tante Nerah nungging, kumasukkan penisku ke lubang vaginanya dari belakang, kemudian kugenjot lagi lubang vagina Tante Nerah sambil memegang pinggulnya. Pantatku maju-mundur, penisku yang tegang keluar-masuk di lubang vagina Tante Nerah.

Nikmatnya sampai merasuk ke tulang sumsumku, sehingga setelah beberapa saat kugenjot, air manikupun terasa mau keluar. Kutekan dalam-dalam penisku, kemudian kulepaskan air maniku di dalam lubang vagina Tante Nerah.

Croottt… croottt… crroottt… crroottt… crroottt… crroottt… crroottt… crroottt… crroottt…

Aaahhhh….

Tubuhku lemas seketika. Demikian pula dengan Tante Nerah, hingga ia tidak kuat nungging lalu jatuh tertelungkup di tempat tidur bersamaku dengan posisi aku menindihnya dari belakang dan penisku masih menancap di lubang vaginanya, lalu terkulai layu perlahan-lahan.

Kami mandi bersama, lalu sarapan. Istirahat sejenak, kemudian aku dan Tante Nerah mulai bercumbu rayu lagi di tempat tidur dengan posisi 69 kami saling menjilat dan menghisap kelamin.

Selesai jam 12 siang kami mandi sekali lagi.

Selesai mandi dan berberes-beres, kami mencari makan siang di luar. Setelah itu, aku akan mengantar Tante Nerah ke rumah sakit.

Sebelum pergi dari rumah Tante Nerah tadi, Tante Nerah membekali aku dengan uang tunai sebanyak 3 juta rupiah. Bagaimana perasaanku memegang uang tunai sebanyak itu?

Aku mengantar Tante Nerah ke rumah sakit selesai makan siang, kemudian aku pulang ke rumah.

●●●●●

Setelah dirawat selama 1 minggu pasca operasi, Om Harja diizinkan pulang ke rumah oleh dokter.​

Di rumah, Om Harja minta tidur di kamar depan. Jadilah aku tidur satu ranjang dengan Tante Nerah setiap malam.

Mula-mula Om Harja tidak tau. Tapi serapat-rapatnya bangkai dibungkus, akhirnya tercium juga bau busuknya. Tapi apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur… hubunganku dengan Tante Nerah bukan lagi hanya sekadar kepuasan seksual lagi, melainkan kami sudah saling jatuh cinta antara bibi dan keponakan…

Om Harja mau menceraikan Tante Nerah juga sudah tanggung. Ia sudah sakit-sakitan, kalau ia menceraikan Tante Nerah, siapa yang akan mengurus dirinya nanti, Om Harja akan hidup sendirian dalam kesepiannya yang mencekam… beranikah Om Harja menceraikan Tante Nerah…??

Kita tunggu saja waktunya…