Pengkhianatan Sahabat

Part 1: Gairah Terpendam

Irfan baru sampai di rumah berdinding putih itu ketika hari sudah menjelang sore. Ia melirik jam di pergelangan tangan kirinya, jarum pendek menunjuk ke arah angka empat. Cuaca tampak mendung, pertanda akan turun hujan. Setelah memarkir motornya di teras depan, ia pun langsung mengetuk pintu.

“Tok, tok, tok …”

“Iya, sebentar.” Dari dalam terdengar suara seorang perempuan menyahut.

Irfan pun menunggu sambil melihat keadaan di sekitar rumah itu. Rumah itu berada di ujung gang yang sangat sepi. Tidak terlihat anak-anak kecil yang sedang bermain atau ibu-ibu yang ngerumpi di teras rumah. Mungkin mereka sudah masuk ke rumah masing-masing karena langit yang kian gelap karena awan hitam yang bergelayut.

“Eh, Irfan. Apa kabar?” Seorang perempuan berjilbab kuning muncul dari balik pintu. Irfan pun berbalik dan langsung menjawab pertanyaan perempuan yang sepertinya baru berusia 24 tahun tersebut.

“Baik, Mil.” Jawab Irfan kepada perempuan yang ternyata bernama Mila tersebut. “Egi sudah datang?”

“Daaarrr …” Tiba-tiba terdengar bunyi petir yang begitu keras. Irfan dan Mila pun sama-sama menutup telinga mereka. Bersamaan dengan itu, turun hujan yang makin lama makin deras.

“Aduh, keras banget yah petirnya.” Ujar Mila setelah suara petir mereda.

“Hee, iya neh. Jadi, Egi sudah datang, Mil?” Tanya Irfan lagi.

“Nah, itu dia. Egi tidak jadi datang karena di rumahnya hujan. Jadi, kita ke mall-nya minggu depan aja. Gak apa-apa kan, Fan?” Jawab Mila dengan senyum yang begitu manis.

“Owh, yaudah gak apa-apa. Ke mall bisa lain waktu. Kalau begitu aku langsung pulang lagi yah.” Ujar Irfan sambil berbalik kembali menuju motornya. Sejenak ia memandang ke arah hujan yang cukup deras.

“Yakin mau pulang, Fan? Hujannya mulai deras lho. Gak mau nunggu sampai hujannya reda dulu?” Tanya Mila yang saat itu memakai kaos berwarna putih yang cukup ketat dibalik jilbab kuningnya.

“Benar juga yah,” pikir Irfan. “Boleh deh, Mil.” Jawab Irfan.

Mila pun mempersilakan Irfan masuk dan duduk di ruang tamu rumahnya. Irfan langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa yang terasa sangat empuk itu. Karena posisi duduknya yang sedemikian rupa, perut buncitnya kini jadi terlihat jelas dari balik kaos.

“Mau minum apa, Fan?”

“Gak usah repot-repot, Mil.”

“Gak ngerepotin koq. Namanya tamu kan harus dijamu,” ujar Mila sedikit memaksa.

“Hmm, apa aja deh, Mil. Yang penting enak, hee.” Jawab Irfan sambil nyengir.

Ketika Mila berjalan ke dapur, Irfan pun bisa melihat jelas bokong perempuan berjilbab tersebut berlenggak-lenggok ke kiri dan kanan. Terlebih Mila hanya mengenakan celana jeans yang juga cukup ketat. Untuk sesaat, Irfan pun seketika lupa kalau Mila adalah pacar Egi, sahabat baiknya. Namun sedetik kemudian, Irfan pun mengingat lagi kenyataan yang ada, dan berusaha menghapus lamunan kotornya.

Hari ini sebenarnya ia, Mila, dan Egi berencana untuk pergi ke mall untuk mencari buku yang sudah lama dicari oleh Egi. Namun seperti apa yang dikatakan Mila, Egi justru tidak datang dan rencana untuk pergi bersama ke mall pun batal.

Tak lama Mila pun kembali sambil membawa dua gelas minuman dingin yang berwarna kuning. Irfan menebak kalau minuman itu pasti sirup jeruk. Ketika Mila meletakkan minuman di meja, ia kembali melihat pemandangan yang menggiurkan. Payudara Mila tercetak jelas di kaosnya yang ketat. Sepertinya ia masih memakai bra, karena putingnya tidak tampak menonjol juga. Irfan pun sedikit tercekat. Ia kesulitan menelan ludahnya sendiri.

“Ada apa, Fan?” Tanya Mila.

“Ahh, Tidak ada apa-apa. Terima kasih minumannya, Mil.” Jawab Irfan sambil menutupi kenyataan kalau adik kecilnya sudah mulai memberontak tidak karuan.

Mila pun duduk di hadapan Irfan sambil menyilangkan kakinya. Posisi tersebut makin membuat Irfan deg-degan.

“Kamu sendiri saja di rumah, Mil? Koq sepi banget?” Tanya Irfan.

“Iya neh. Papa masih di kios, sedangkan adikku lagi main ke luar. Paling jam tujuh baru pada pulang,” ujar Mila.

Mila memang hanya tinggal bertiga di rumah tersebut, bersama papa dan adiknya. Ibu Mila sudah meninggal sekitar dua tahun yang lalu karena sakit.

Irfan pun mulai mengambil minumannya dan menengguk sedikit. Ini adalah pertama kalinya ia datang ke rumah Mila, karena itu ia pun mencoba melihat kondisi di rumah tersebut. Di ruang tamu terdapat beberapa foto Mila bersama adik dan papanya. Di foto tersebut Mila menggunakan kebaya ketat dan hijab berwarna krem, terlihat anggun dan cantik sekali. Di sebelah foto tersebut pun ada foto mendiang ibu Mila. Tidak banyak perabotan di rumah yang terkesan minimalis tersebut.

“Bagaimana kerjaan kamu di kantor, Fan?” Tanya Mila sambil meminum sirup jeruknya.

“Masih gitu-gitu aja, Mil. Maklum, posisi juga masih bawahan,” ujar Irfan yang sehari-hari bekerja sebagai pegawai administrasi di sebuah perusahaan leasing motor.

“Ya, disyukuri saja, Fan. Siapa tahu bisa berkembang lebih baik lagi nantinya.”

“Kamu sendiri bagaimana, Mil?”

“Ya, kamu sudah tahu kan aku sudah resign dari perusahaan konsultan yang kemarin. Jam kerjanya kadang gak masuk di akal. Makanya aku lebih milih buat fokus bantuin papa di kios. Hitung-hitung meneruskan usaha keluarga,” ujar Mila.

Keluarga Mila memang mempunyai sebuah kios pakaian di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. Usahanya sudah lumayan besar. Tidak jarang mereka harus mengirim barang jualan mereka dalam jumlah yang banyak ke Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

“Kalau pacar gmana, Fan? Sudah dapat?” Tanya Mila.

“Tampang begini mah susah cari pacar, Mil,” ujar Irfan sambil tertawa.

“Jangan begitu, kalau sudah jodoh mah gak akan kemana-mana,” ujar Mila bijak. Sesaat Mila membetulkan posisi jilbabnya, yang langsung menarik perhatian Irfan. Mata Irfan pun sesaat fokus ke wajah cantik Mila, dan kemudian beralih ke payudara Mila yang membusung.

Irfan pun menyadari bahwa kemaluannya sudah mulai tidak bisa dikontrol. Hari ini ia hanya mengenakan celana panjang dengan celana boxer di baliknya, tanpa celana dalam. Itulah mengapa kemaluannya bisa terlihat jelas dari luar. Ia pun memutuskan untuk pergi ke toilet sebelum Mila melihat hal tersebut.

“Mil, boleh pinjam toilet?”

“Boleh, kamu lurus saja ke arah belakang, toiletnya ada di sebelah kiri,” tunjuk Mila.

Di dalam toilet, Irfan langsung membetulkan posisi ‘adik’-nya. Namun ia baru menyadari bahwa toilet tersebut masih berbau sabun yang segar, tanda baru saja ada orang yang mandi di situ. Bau sabun tersebut serupa dengan aroma yang ia hirup ketika Mila keluar dari pintu tadi. Artinya, toilet tersebut baru saja digunakan oleh Mila untuk mandi.

Irfan pun langsung membayangkan yang tidak-tidak. Bukannya mengecil, kemaluan Irfan justru makin membesar. Ia pun tidak bisa lama-lama di toilet tersebut, karena nanti Mila pasti curiga. Ia pun memberanikan diri untuk keluar, sambil berharap Mila tidak menyadari perubahan yang terjadi pada dirinya.

Ketika keluar, Irfan melihat Mila tengah berdiri di depan jendela dan menghadap ke luar rumah. Ia kembali disajikan dengan pemandangan tubuh Mila yang begitu seksi dari belakang. Postur tubuh bagian atas hingga bokong Mila benar-benar sempurna di mata Irfan. Kalau tidak sadar bahwa perempuan di depannya adalah pacar sahabatnya sendiri, Irfan pasti sudah langsung memeluk dan mencium tengkuk perempuan tersebut dari belakang.

“Hujannya sudah reda ya Mil?”

Mila pun membalikkan badan dan menghadap Irfan. Tampak ia tertegun sejenak.

“Mil?” Tanya Irfan lagi.

“Eh, iya Fan. Sudah sedikit reda.”

“Oke, aku langsung pulang deh kalau begitu.”

“Loh, buru-buru?” Tanya Mila dengan tatapan yang seperti kecewa.

“Iya, takut nanti hujan lagi,” jawab Irfan.

“Baiklah kalau begitu. Hati-hati yah.”

Irfan pun langsung menghampiri motornya dan menyalakan mesin. Dalam waktu beberapa detik, ia sudah melajukan motor tersebut. Ia melirik ke arah spion, dan dilihatnya sang perempuan cantik tersebut masih berdiri di depan rumahnya.

“Ahh, Mila …” Gumam Irfan dalam hati.