Pertama kali merasakan nikmatnya bercinta dengan wanita paruh baya
Kata-kata itu selalu terlintas dalam pikiranku setiap kali aku teringat dengan Diana, selingkuhanku. Kata-kata yang secara spontan dia ucapkan ketika kami bercinta, memadu kasih di dalam mobil yang kuparkir di basement sebuah mall. Di antara desahan yang tiada berkesudahan, dia sesekali meracau, menikmati setiap hentakan penisku.
Kisah ini berawal beberapa bulan sebelum pergantian tahun 2023-2024, ketika aku sedang merasa bosan. Pekerjaan rutin di kantor saat itu tidak terlalu banyak, dan sudah ku selesaikan sebelum jam istirahat siang. Saat itu aku juga sedang ada masalah rumah tangga. Hubunganku dengan istri sedang tidak baik-baik saja, dan berimbas pada kehidupan seks kami. Dalam satu minggu, kadang cuma satu kali kami melakukan hubungan suami istri. Kadang malah tidak sama sekali. Sedangkan aku merupakan tipe yang gampang naik nafsu birahinya, dan butuh disalurkan hampir setiap hari.
Kebosanan dan kepenatan membuatku berpikir untuk mencari teman ngobrol di platform anonymous chat secara online. Aku buka salah satu website yg menyediakan layanan tersebut, dan aku mulai mencari user yang sekiranya bisa kujadikan “teman”. Kebetulan di website itu aku bisa melihat profil usia, kewarganegaraan dan jenis kelamin jadi aku bisa menyaring user-user yang potensial. Meskipun sebenarnya profil tersebut tidaklah akurat, bisa saja orang memalsukan profil mereka di sana.
Singkat cerita, aku menyapa seorang pengguna dengan username Diana, dengan usia 31 tahun, sama dengan usiaku saat ini. Aku pikir akan lebih nyambung ngobrolnya jika dengan wanita yang satu generasi denganku.
“Hi there, wanna talk?”, sapa ku memulai percakapan. Aku pakai bahasa Inggris karena memang ini platform worldwide, usernya dari banyak negara. Dan sekalian sedikit show off, biar terlihat sedikit keren.
“Sure”, jawab dia singkat, tak lama setelah aku membuka percakapan.
“Clean or not?”, aku tanya apakah dia menginginkan percakapan yg sopan, atau obrolan nakal.
“Clean please” jawabnya.
“Cool. Diana lagi kerja atau atau apa nih?”, aku mulai melancarkan jurus pendekatan yang sebenarnya biasa saja.
Aku hanya berusaha berkomunikasi sesopan mungkin, seperti yang dia inginkan. Cukup lama kami ngobrol di web itu. Dia terkesan karena menurut dia aku orang baik, sopan, tidak vulgar seperti pria lain yg berusaha mangajak dia chatting dengan bahasa yang kurang sopan menurut dia. Dan karena sudah merasa nyaman dan nyambung, sore hari sebelum aku pulang kerja, kami memutuskan untuk bertukar nomor whatsapp agar bisa lanjut mengobrol.
Mulai hari itu, kami chat cukup intens. Pagi, siang, sore, sampai malam sebelum dia tidur. Dia sudah resign dari pekerjaannya, dan sekarang menjadi seorang ibu rumah tangga, jadi banyak waktu luang yang dia bisa gunakan untuk chatting. Sementara aku yang masih budak korporat, sengaja “mencuri-curi” waktu di antara kesibukan di kantor, dan tugas di rumah sebagai seorang ayah. Untung saja dia paham dengan kondisiku, jadi tidak masalah baginya jika aku terkadang lama membalas chat dia.
Seminggu sudah berlalu. Dari rentang waktu itu, sudah banyak informasi tentang kami berdua yang kami saling bagikan satu sama lain. Dari siitu aku tahu kalau umur dia sebenarnya adalah 45 tahun, 14 tahun lebih tua dari aku. Aku sempat kaget, karna di awal berkenalan aku yakin kalau dia menulis umur di profil dia sama dengan usiaku. Rupanya dia waktu itu cuma asal-asalan mengisinya, karena dia juga sedang penat dengan masalah rumah tangga dia. Entah suatu kebetulan, atau memang sudah ditakdirkan, kami dipertemukan satu sama lain.
Sejujurnya aku sempat ragu untuk melanjutkan hubungan ini, mengingat perbedaan usia yang cukup jauh. Namun ketika dia mengirimkan foto-foto dia, keraguan itu hilang begitu saja. Dengan usia 45, kulitnya masih bisa dibilang mulus terawat, meskipun jelas masih kalah jika dibandingkan dengan wanita usia 20an. Tubuhnya juga tidak tampak melebar seperti ibu-ibu seumuran dia. Dalam fotonya, dia selalu menggunakan gamis, jadi tidak terlalu nampak lekuk tubuhnya. Payudaranya juga tidak terlihat besar, aku menaksir ukurannya mungkin 32a atau 34a. Tidak masalah buatku, karna aku memang lebih menyukai ukuran payudara yang tidak terlalu besar.
Setelah sebulan kami bercerita dari a sampai z melalui chat, kami memutuskan untuk bertemu secara langsung. Kebetulan waktu itu sedang tayang film bergenre thriller yang ingin dia tonton, jadi aku berinisiatif untuk menawarkan diri menemani dia nonton di bioskop. Kami pun janjian untuk bertemu di sebuah mall di daurah Serpong, karna hanya di sana film itu ditayangkan.
Singkat cerita, kami pun bertemu pada waktu dan lokasi yang telah disepakati, dan kemudian menuju ke bioskop untuk menonton film. Saat film sudah mulai diputar, aku mulai bergerilya. Pertama-tama aku hanya memegang tangannya, agar tidak terkesan agresif dan terburu-buru. Melihat respon Diana yang tidak ada penolakan, aku mulai memberanikan diri mengusap dan mencium punggung tangannya. Lagi-lagi tidak ada penolakan darinya. Aku pun mulai menambah agresivitas dengan mengelus paha dibalik gamis yang dia pakai.
“Aku sayang kamu”,
Aku membisikkan kalimat itu di telinga kanannya, kemudian aku mencium telinganya dari luar jilbab yang ia kenakan. Terdengar dia sedikit mendesah yang terkesan seperti ditahan. Aku tak menduga dia akan merespon seperti itu. Tiba-tiba saja aku seperti menyadari bahwa telinga itu adalah salah satu titik lemah Diana. Aku coba membuktikan dugaan tersebut dengan memasukkan tanganku ke dalam jilbab Diana, lalu mengusap daun telinganya secara langsung.
“Ahh, mas…jangan di situ”, kali ini terdengar jelas olehku desahan itu.
Aku pun tak menghiraukan kata-katanya yang melarangku menyentuh telinganya. Tak hanya telinga kanan, aku pun menstimulasi kedua telinganya, kanan dan kiri secara bergantian.
“Aduuh, Diana gak kuat mas”,
berkali-kali dia merengek memintaku berhenti, tapi tubuhnya berkata lain. Aku memberanikan diri menyikap sedikit gamis yang menutupi kakinya, kemudian aku arahkan tanganku menuju area intim Diana. Saat aku menyentuh celana dalamnya, terasa jelas dia sudah sangat basah, hanya dengan rangsangan di telinganya. Lalu aku menambah rangsangan itu dengan mengelus vagina Diana dari luar celana dalam, karena sedikit agak susah untuk memasukkan jariku ke dalam celana dalam.
“Aahh…mas, enakk sayang”,
Desahan dan erangan Diana semakin tak terbendung. Untung saja saat itu kondisi bioskop tidak terlalu ramai, malah bisa dibilang sepi.
Beberapa menit sudah aku menggesek vaginanya, dia sepertinya sudah tidak tahan lagi.
“Mas, aku gak tahan lagi mas. Pengen dimasukin”, kata Diana.
“Mau dimasukin jari mas?”, tanyaku.
“Bukan. Mau dimasukin burung mas”, katanya sambil tiba-tiba tangannya menggapai batang penisku yang memang sudah tegang sedari tadi.
“Ayok mas, kita ke mana gitu, jangan di sini”, kata Diana sambal mengelus penisku dari luar celana.
“Yaudah, ayok”.
Kami pun meninggalkan bioskop, meskipun film yang kami tonton baru berjalan kira-kira setengah durasi. Kami bergegas menuju mobilku yang kuparkir di basement mall. Aku yang masuk lebih dulu ke mobil langsung menyalakan mobil dan AC.
“Mau ke mana mas?”, tanya Diana setelah kami berdua berada di dalam mobil.
Alih-alih menjawab pertanyaan itu, aku malah menyergap bibir Diana. Aku cium bibirnya, dan dia pun membalas dengan liar. Tanganku tak tinggal diam. Aku remas dadanya yang tak terlalu besar itu sambil berciuman.
Tak lama aku melakukan hal tersebut. Aku kemudian mengarahkan tangaku ke vaginanya. Kali ini aku melorotkan celana dalamnya terlebih dahulu agar lebih leluasa bagiku melakukan fingering. Aku elus dan aku gesek pelan pelan vaginanya. Aku lakukan Gerakan memutar di area klitorisnya, dan sesekali aku masukkan jariku ke dalam lubang kenikmatan yang sudah banjir oleh cairan.
“Ahh… Mass, udah dong. Mau dimasukkin burungnya”, pinta dia merengek.
Kami pun pindah ke kursi belakang yang lebih lega dibanding kursi depan. Bagitu selesai pindah posisi, aku langsung membimbing dia untuk memposisikan dirinya agar aku bisa menusuk dari belakang. Tubuh mungilnya sekarang berada di antara dua kursi depan. Badannya membungkuk, wajahnya tepat menghadap tuas persneling mobil. Sementara lututnya berada di lantai baris kedua, membuat pantatnya berada pada posisi yang cukup strategis untuk disodok dari belakang.
Aku segera melepas celana, membebaskan penisku yang sudah berdiri tegang. Aku singkap gamis yang menutupi pantat Diana. Aku lakukan lagi sedikit fingering dari posisi belakang, yang membuat dia melenguh merasakan tarian jemariku.
Akhirnya, yang sedari tadi aku inginkan terjadi juga. Penisku aku arahkan ke lubang kenikmatan. Aku usapkan kepalanya sebentar di mulut vaginanya yang sangat basah itu. Lalu aku dorong masuk ke dalam. Ah, nikmat sekali rasanya.
Terus terang aku tak menyangka bahwa vagina Wanita seumuran Diana akan terasa senikmat ini. Sebelumnya aku berfikir bahwa bercinta dengan vagina yang sudah longgar itu tidak ada enak-enaknya. Ternyata aku salah. Walaupun sudah tidak kencang lagi, namun sensasi penisku yang bisa keluar masuk dengan mulus, memberikan sensasi tersendiri, sensasi yang berbeda dari vagina Wanita-wanita muda yang umumnya memberikan cengkeraman yang lebih kuat.
Aku sangat menikmati momen tersebut. Aku menggenjot Diana dari pelan, kemudian berangsur lebih cepat. Tak lama setelah aku genjot dengan kecepatan tinggi, dia pun sampai pada puncaknya.
“Aaaahhhhh…mas, aku keluar masss”, katanya sambil bergetar saat dia mencapai orgasme.
Aku berhenti sejenak, memberikan waktu kepadanya untuk menikmati momen tersebut sekaligus membiarkan dia sedikit beristirahat, dengan posisi penisku masih menancap di vaginanya yang semakin basah.
“Ahhh… enak banget mas. Baru pertama kali Diana diginiin”, katanya setelah dia mencapai puncak kenikmatan dari penisku. Menurut pengakuan dia, memang baru pertama kali ini dia digarap di dalam mobil, di tempat umum.
Mungkin sekitar satu menit telah berlalu, aku kembali menggenjot Diana, masih dalam posisi doggy style. Tak lama kemudian, aku pun sudah mencapai batas.
“Ahh, sayang….aku mau keluar”, ucapku.
“Jangan di dalam Mas”, pinta dia agar aku tidak memuntahkan spermaku di dalam vaginanya. Padahal ingin sekali aku melakukannya. Tapi aku tak tega, aku pun menuruti permintaannya. Aku segera mencabut penisku, dan memuntahkan lahar putih di pantat Diana.
Setelah kami merasakan kenikmatan bercinta, kami membersihkan diri sekedarnya menggunakan tissue yang ada di dalam mobil. Kami mengistirahatkan diri sebentar, lalu kami pulang ke rumah masing-masing.