Rasa untuk Tania Part 1

Rasa untuk Tania Part 1 – Cerita Porno ♥

Perempuan yang sudah lama kusukai bernama Tania, ia adalah teman kuliahku. Orangnya ramah, sangat enerjik, dan bisa dibilang tomboy. Ia adalah salah satu di antara empat orang teman dekatku di kampus, yang lain adalah Galih (si anak orang kaya), Rian (si gendut), dan Santi (teman akrab Tania yang kemana-mana selalu bersama). Sementara namaku adalah Adi, seorang lelaki 20 tahun biasa-biasa saja, yang paling pemalu di antara kami berlima.

Pada malam ini, kami berempat janjian untuk bertemu di sebuah kafe di tengah kota untuk merayakan selesainya masa ujian semester dan tibanya masa liburan. Aku datang ke kafe bersama dengan Gilang, menumpang di mobilnya. Bukan berarti aku tidak mau mengeluarkan uang untuk ongkos, hanya saja Gilang menawari aku untuk pergi bersamanya, jadi aku tak bisa menolak.

Tiba di kafe, Rian sudah memesan tempat. Ia duduk di salah satu sofa di pojok ruangan yang memang sudah disetting untuk empat orang. Mata Rian tak henti menatap monitor laptop di hadapannya, sehingga ia tak sadar kalau kami sudah ada di belakangnya.

“Hey!” Galih menepuk pundak Rian, membuat pria gemuk itu terhenyak kaget.

“Baru sendirian?” tanyaku sambil duduk.

“Iya nih. Parah dah, cuma gue aja yang nggak ngaret,” jawab Rian.

“Lah, Si Tania sama Santi belom dateng?” tanya Galih yang kemudian duduk di sebelah Rian, lalu melongok ke arah monitor laptop.

“Mana gue tau? Biasalah, cewek-cewek itu. Padahal tempat kost mereka paling deket dari sini,” jawab Rian.

Di samping laptop, terdapat sepiring roti bakar isi coklat keju yang tampak masih hangat. Tanpa minta izin, Galih segera mengambil sepotong roti dan melahapnya. Rian menatap Galih sambil menyindir, tapi Galih hanya membalasnya dengan menaikkan alis. Selama setengah jam, kami mengobrol hal-hal ringan seperti film yang sedang diputar di bioskop dan game-game baru.

Saat kami masih asyik mengobrol, Tania dan Santi tiba di kafe. Tania datang mengenakan kaos lengan pendek berwarna putih dengan logo The Rolling Stones di bagian dadanya. Untuk sekilas, perhatianku terhenti pada bagian itu. Tidak, dia bukan wanita berdada besar seperti yang banyak dipikirkan lelaki hidung belang.

Dadanya relatif kecil, namun tonjolan mungil dan menggemaskan itu terlihat samar-samar dari balik kaosnya, membuatku tak henti merasa penasaran. Begitu pula dengan bokongnya. Bahkan pada saat ia memakai celana jeans ketat seperti sekarang pun, pantatnya cenderung rata. Ia memang kurus, tapi kakinya jenjang dan pinggangnya membentuk kurva yang menarik. Selain tentu saja, wajah dan senyumnya yang sangat manis.

“Guys, sori…, sori, tadi gue ada urusan sebentar,” ujar Tania sambil merapikan rambutnya yang lurus dan panjang sebahu.

“Iya, lagian tadi angkotnya ngetem lama banget,” tambah Santi. Santi memiliki wajah yang kurang menarik, badannya juga pendek dan agak gendut, tapi ia adalah orang yang sangat setia kawan, terutama pada Tania.

“Yaudah, duduk dulu. Nanti habis ini baru kita nonton,” ujar Galih.

Santi duduk di sebelah Galih, sementara Tania duduk tepat di sebelahku. Sudah tiga bulan ini aku merasakan gelora yang luar biasa terhadap Tania. Aku sendiri pun tidak mengerti, kenapa baru belakangan ini aku jatuh cinta kepadanya, padahal kami sudah saling kenal selama dua tahun lebih. Tania meletakkan tas kecilnya di atas pangkuan sambil menyikut lenganku, lalu ia tersenyum manis. Gaya sapaannya yang seperti itu malah membuat jantungku berdetak semakin kencang.

“Rapi banget lo. Mau nonton apa kondangan?” sindir Tania sambil menunjuk kemeja formal yang kukenakan, lalu tertawa. Sebenarnya aku memakai kemeja ini karena pakaianku yang lain masih di laundry.

Kami berlima menghabiskan waktu di kafe sambil minum kopi dan makan kue-kue ringan. Banyak orang yang menjuluki kami sebagai Power Rangers, karena komposisi geng kami yang terdiri dari tiga pria dan dua wanita. Bagiku, kalau memang itu benar, maka Galih adalah ranger merah, Rian adalah ranger hitam (karena kulitnya hitam), Santi adalah ranger kuning, Tania adalah ranger pink, sementara aku adalah ranger biru (karena seingatku ranger biru biasanya yang paling kalem dan pemalu).

Setelah selesai di kafe, kami pun segera beranjak ke bioskop yang letaknya tak jauh dari situ. Tiket sudah dibeli sebelumnya, sehingga kami tak perlu khawatir kehabisan tempat. Kebetulan saat kami datang filmnya sudah hampir diputar, sehingga kami segera masuk ke dalam studio tanpa menunggu lagi.

Tiket yang kubeli kemarin memiliki nomor 26, 27, 28, 29, dan 30; letaknya di pojok sebelah atas. Dan entah kenapa, mungkin ini memang sudah takdir, aku duduk bersebelahan dengan Tania. Aku duduk di kursi paling pojok, di sebelah kananku Tania, dan Santi di sebelahnya lagi.

“Anjrit, iklannya lama banget! Tau gini tadi mending gue beli popcorn dulu!” ujar Tania kesal.

“Lah, bukannya tadi kita bawa kacang atom ya?” ucap Santi sambil membuka restleting tasnya.

“Oiya, lupa gue!” Tania akhirnya menemukan sebungkus kacang atom dari tas Santi.

Tania langsung membuka bungkus kacang, meraup segenggam, lalu memasukkannya sekaligus ke dalam mulut.

“Di, mau?” ucap Tania padaku, mulutnya masih penuh dan terus mengunyah. Kupikir-pikir, cewek yang tidak anggun ini sepertinya tak pantas jadi ranger pink.

“Nanti aja deh, filmnya juga belum mulai,” ucapku.

“Yaudah, ntar kalau mau, bilang ya,” ucapnya.

Tak lama kemudian, film langsung dimulai dan lampu dimatikan. Film yang kami tonton adalah sebuah film misteri yang berjudul Fog Hill. Ceritanya tentang sekelompok orang yang tersesat di bukit misterius yang aneh. Selama setengah jam kami serius menonton dan tak banyak bicara, kecuali Tania dan Santi yang sesekali bergumam.

“Masih ada nggak kacangnya?” tanyaku pada Tania.

“Oh iya, masih ada nih, dikit lagi. Hehe,” ucap Tania sambil nyengir dan menyerahkan bungkusan kacang. Gila, kayanya dia lagi kelaparan, cepat amat makannya.

Aku mengambil segenggam kacang dan memasukkannya ke dalam mulut ketika adegan film yang menegangkan dimulai. Tokoh utama di film itu sedang dikejar-kejar oleh pembunuh kejam, dan ia harus bersembunyi demi keselamatan nyawanya. Aku menyodorkan bungkus kacang ke arah Tania tanpa menolehkan wajahku dari film.

Tania tidak langsung mengambil bungkus kacang itu, mungkin ia tidak ngeh karena gelap. Lalu aku majukan sedikit lagi tanganku dengan tujuan agar lebih dekat ke mukanya. Namun tanpa sengaja, punggung tanganku malah menyentuh sesuatu yang aneh, sesuatu yang empuk dan agak kenyal.

Entah karena sedang terfokus pada film atau apa, aku tidak langsung menarik tanganku dan malah menekan-nekan benda empuk itu dengan tangan yang sedang memegang bungkus kacang. Baru beberapa detik kemudian aku sadar dan menoleh, dan pada saat itulah aku baru tahu kalau tanganku sedang menyentuh buah dada Tania yang mungil itu, meskipun terhalang kaos.

Nafasku tertahan dan rasa takut sekaligus malu memenuhi kepalaku. Di antara kegelapan bioskop, aku mencoba melihat ekspresi wajah Tania. Ia sedang menatapku dengan tatapan yang canggung dan tampak seperti sedang menahan nafas. Oh tidak! Aku langsung menarik tanganku secara terburu-buru, akibatnya bungkus kacang itu malah jatuh dan menumpahkan sebagian isinya. Beberapa butir kacang berserakan di kolong kursi.

“Aduh! Maaf, maaf! Nggak sengaja!” ujarku panik. Entah aku minta maaf untuk kesalahan yang mana.

“Gapapa, santai aja kali, cuma dikit kok,” jawab Tania dengan kalimat yang kurasa agak ambigu. Ia mengucapkannya dengan senyum yang tampak dipaksakan. Mudah-mudahan ia tidak marah.

Setelah itu, sepanjang sisa film aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Pikiranku selalu tertuju pada benda empuk yang baru saja kusentuh tanpa sengaja. Sejujurnya, ini adalah pertama kalinya aku menyentuh buah dada perempuan dengan sefrontal itu. Yah, aku memang cowok yang agak kuper, jadi maklumi saja.

Dan sekarang penisku jadi sedikit tegang, membayangkan kalau seandainya aku bisa meremasnya tadi. Tapi di sisi lain, aku juga takut kalau Tania marah padaku, bisa saja ia mengira aku sengaja melakukannya.

Setelah selesai nonton, aku dan Tania tidak banyak bicara. Aku juga tidak berani mengajak bicara lebih dulu, karena aku sendiri masih merasa malu. Kami pulang dengan menumpang mobilnya Galih, aku duduk di sebelah depan, sementara Tania, Santi, dan Rian di kursi belakang.

Sesampainya di rumah, aku segera mengirim SMS ke ponsel Tania. Aku memang tidak berani meminta maaf secara langsung, dan aku juga tidak mau hubungan persahabatan kami jadi renggang gara-gara masalah kecil.

“Tan, sori ya yg tadi. Sumpah, gue ga sengaja,” ucapku dalam SMS.

Tak lama kemudian, ia membalas SMS-ku.

“Iya, gue tau kok. Cuma tadi gue speechless aja, kaget gue. Geli. :p “

Entah karena kalimat yang mana, penisku menjadi tegang lagi. Karena di rumah sendiri, aku tidak ragu-ragu untuk melakukan onani sambil memandangi foto Tania. Wajahnya, senyumnya, tubuhnya, rambutnya. Seandainya saja aku bisa mengulang kejadian tadi seratus kali. Oh, seandainya saja aku bisa bercinta dengannya.

Esok paginya, untuk memastikan bahwa hubunganku dengan Tania baik-baik saja, aku memberanikan diri mampir ke tempat kost Tania, dengan alasan ingin mengembalikan buku yang pernah kupinjam. Aku mengetuk pintu kamarnya, lalu tak lama kemudian ia pun membuka pintu.

Selama beberapa detik, kami bertatapan tanpa suara. Wajah manisnya tampak begitu alami karena ia tidak mengenakan make up. Ia memakai kaos putih polos dan celana legging warna hitam. Sepertinya ia sedang bermalas-malasan di kamar.

“Eh, Di? Kok nggak bilang mau kesini?” tanyanya sambil tersenyum. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat.

“Iya, gue kebetulan lewat sini dan inget mau ngembaliin buku,” ucapku canggung.

“Oh iya, yuk masuk dulu. Sori agak berantakan,” ucapnya sambil mempersilakan aku masuk ke dalam kamar.

Aku mengeluarkan buku dari dalam tas dan masuk ke dalam kamarnya. Meskipun ia bilang berantakan, tapi bagiku kamarnya tampak rapi. Ada boneka kucing cukup besar di sudut kamar, yang menandakan bahwa ia tidak setomboy yang orang pikir.

Tania mengambil buku yang aku berikan, lalu menyimpannya di dalam lemari. Ketika ia sedang menyimpan buku dan membelakangiku, timbul suatu keinginan yang amat besar untuk memeluknya dari belakang, lalu mencium lehernya, dan meremas buah dadanya. Tapi tentu saja aku tidak berani melakukan hal itu. Aku sangat menghargai dia sebagai temanku, terlebih lagi aku menyukainya sebagai perempuan yang menyenangkan.

“Adi, lain kali lo kalau nonton di bioskop deket gue, hati-hati dong. Mentang-mentang gelap, lo seenaknya aja grepe-grepe gue. Pelecehan tau!”

Dadaku serasa tertusuk mendengar ucapannya yang tiba-tiba itu. Tapi kemudian ia menoleh ke arahku dan tertawa lepas.

“Haha. Becanda ih. Muka lo pucat banget sih?”

“Iya. Abisnya gue keasyikan nonton film, lagi seru-serunya. Murni kecelakan kok, Tan,” jawabku membela diri.

“Baru pertama kalinya ‘itu’ gue dipegang cowo. Kanget banget gue waktu itu,” ucapnya sambil tersenyum. Kok rasanya pembicaraan ini jadi agak gimana gitu.

Aku tahu, di luar sifatnya yang suka seenaknya, Tania adalah gadis yang baik-baik. Setidaknya ia bukan penganut pergaulan bebas seperti perempuan perkotaan yang lain. Tapi tetap saja, dia adalah perempuan dewasa yang tidak naif lagi.

“Apalagi gue, Tan,” ucapku menimpali.

Setelah itu kami berdua saling bertatapan, cukup lama, sampai akhirnya aku berpikir untuk segera pulang saja. Namun belum sempat aku pamit, Tania membuka mulutnya dan berbicara.

“ehm, Di….”

“Ya?” tanyaku.

“Ngg… gimana ya bilangnya… bingung,” Tania tersipu.

“Apaan sih?” ucapku, berlagak santai.

“Hmm… boleh nggak? Ngg…, tapi jangan bilang siapa-siapa, yah?”

“Maksudnya?”

“Lo janji dulu, jangan bilang siapa-siapa. Please…,” ucap Tania dengan senyum malu-malu.

“Iya, gue janji kok. Ada apa?”

Tania menunduk, kedua tangannya bertautan di belakang punggung, “Lo…, lo mau nggak megang ini gue lagi? Sejak semalem gue penasaran banget, pengen ngerasain. Bagian yang lo sentuh kemarin rasanya jadi gatel terus, gimana gitu.”

“Tan, lo nggak lagi ngerjain gue kan?” nafasku serasa berhenti selama beberapa detik, sementara penisku perlahan-lahan menegang.

“Terserah elo mau nganggepnya gimana. Gue malu banget sebenernya, tapi gue percaya sama lo,” ucap Tania sambil terus menunduk.

Aku mencubit pipiku, meyakinkan diriku sendiri bahwa ini bukan sekedar mimpi basah di tengah malam. Ini sungguhan. Terdengar konyol dan kekanak-kanakan memang, tapi aku kenal Tania, dia bisa saja seperti itu. Mungkin ini hanyalah nafsu sesaatnya. Mungkin ia tak punya perasaan apa-apa padaku, dan dia, di luar dugaanku, mungkin memang agak naif dalam urusan semacam ini.

“Yaudah, gue cuma bercanda kok! Nggak juga nggak apa-apa. Tapi lo udah janji ya nggak akan bilang siapa-siapa,” ucap Tania tiba-tiba, sambil tertawa yang dipaksakan, tapi ada sorot kecewa dari matanya.

Aku tak tahan lagi, aku tak mau bersikap munafik. Aku langsung melangkah maju dan memeluk tubuh Tania. Tubuhnya yang langsing dan tinggi sekarang berada di dalam dekapanku. Aku dapat merasakan kehangatannya, kelembutan dan kerapuhannya, begitu juga dengan wangi rambutnya yang membuatku melayang. Lalu kutatap matanya, dan kukecup bibirnya dengan lembut. Kecupan itu berubah jadi lumatan, lalu hisapan, bahkan sesekali ia memainkan lidahnya.

“Mmmhh…”

Hanya suara lenguhan pelan yang terdengar di antara kami. Bibirnya terasa manis dan lembut, seperti mengirimkan sensasi luar biasa di seluruh mulutku. Tak lama kemudian, ia memaksaku melepaskan ciuman.

“Bego dasar! Gue nggak minta dicium, tapi gue minta lo remesin toket gue!” ucapnya sambil menahan tawa.

Lalu kami berdua tertawa terbahak-bahak. Kedengaran seperti lelucon yang sangat konyol.

Aku duduk di atas kasurnya, “Tania, sini duduk, gue pangku.”

Tania melangkah sambil tersenyum malu-malu, lalu duduk di pangkuanku dengan posisi menghadap belakang. Aku dapat merasakan pinggul dan pahanya yang hanya dibalut legging tipis. Dan aku menduga ia juga bisa merasakan tonjolan penisku di pantatnya, tapi ia tak bilang apa-apa.

“Oh iya, Di. Lo jangan macem-macem ya. Kita masih tetep temenan, jadi lo jangan ngelakuin hal yang lebih ya,” ucap Tania.

“Iya, gue ngerti kok. Gue nggak akan ngelakuin yang nggak lo minta,”

Aku melingkarkan tanganku di pinggang Tania, lalu mulai meraba perutnya yang rata dari luar kaos.

“Perut lo six pack ya?” tanyaku, bercanda. Ia hanya tertawa.

Lalu rabaan kedua tanganku naik ke atas, ke arah dua tonjolan di dadanya, namun sebelum menyentuh bagian itu, segera kubelokkan ke arah ketiak.

“Duuh Adi… Please dong. Lo lebih suka megang ketek daripada toket ya?” Tania meledek.

“Haha. Iya, iya.”

Kugunakan jari-jemariku untuk menyentuh buah dada Tania, kutelusuri permukaanya, lalu kutekan-tekan sedikit. Rasanya lembut dan kenyal, jauh lebih intens dari yang aku rasakan waktu di bioskop. Dan ternyata ia tidak memakai bra, mungkin karena tadi sedang bersantai di kamar.

“Mmmh…,” Tania melenguh pelan, seperti ditahan.

Lalu kupijat lembut kedua payudaranya dari luar kaos. Kuremas-remas pelan. Ternyata ukurannya tidak sekecil yang terlihat dari luar kaos, bahkan gunungnya masih cukup memenuhi telapak tanganku. Selain itu, bentuknya juga bulat dan kencang, sama sekali tidak kendor atau menggantung. Semakin lama pijatanku semakin kuat, kuremas dari bagian pangkal hingga ke putingnya. Samar-samar aku dapat merasakan putingnya yang sudah sangat keras. Langsung saja kuelus-elus menggunakan jari.

“Haaaah… Di, pelan-pelan dong,” ucap Tania dengan nafas yang penuh desahan.

Mendengar suara desahannya, penisku menjadi tegang dengan sempurna, mendesak ke arah pantat Tania.

“Gue nggak ngerti nih, rasanya gue udah gila deh. Bisa-bisanya sekarang toket gue diremes-remes sama sahabat gue sendiri…, dan sekarang, tongkol sahabat gue itu ngaceng di pantat gue,” ujar Tania di sela desahan nafasnya, dan berusaha untuk tertawa.

“Gue juga ngerasa ini bener-bener aneh,” ucapku sambil terus meremas buah dadanya.

“Iya, aneh. Tapi enak. Ahhh…,” Tania mendesah panjang ketika kuremas bagian putingnya.

Perlahan-lahan, Tania menggerakkan pinggulnya, memberikan gesekan pada penisku.

“Uhhh… gila, enak rasanya,” ujarku.

“Gue kasih bonus tuh dikit, hihi,” ucap Tania.

“Mau gue isep pake mulut ga?” tanyaku padanya. Sekarang rasa malu dan canggungku kepadanya sudah hilang entah kemana. Mungkin tenggelam di lautan nafsu.

“Mmmmh… Iyah… mau,” ucap Tania. Kemudian ia langsung berdiri dan membalikkan badan. Lalu ia duduk lagi di pangkuanku, kali ini saling berhadapan.

“Kaosnya buka dulu dong,” ucapku sambil menunjuk kaos putihnya yang sudah lecek di bagian dada.

“Nggak ah…! Nggak mau!” tolaknya sigap.

“Lah, katanya mau diisep?” tanyaku.

“Ya lo isep dari luar kaos aja, gimana?”

“Susah dong….”

“Pokoknya gue nggak mau buka baju, gue takut kebablasan ntar. Bahaya Di, kita kan cuma temenan. Lagian gue masih perawan gitu lho.”

Mr Sange – Cerita Dewasa Terbaru Mahasiswa

Dasar aneh, gumamku dalam hati. Namun aku tetap menghargainya, bisa begini saja sudah merupakan mukjizat bagiku. Langsung kudekatkan kepalaku ke arah dadanya, lalu kuciumi buah dadanya dari luar kaos. Kucoba untuk menghisapnya. Rasanya pahit, kaos ini rasanya tidak enak.

“Yaudah, gue kasih bonus lagi,” ucap Tania sambil menggoyangkan pinggulnya lagi. Kali ini penisku bergesek-gesekan dengan vaginanya secara tidak langsung. Rasanya membuatku kembali bergairah. Kugigit-gigit buah dadanya yang kanan, sementara yang kiri aku remas-remas.

“Mmmmhh… Di… this is… our dirty little secret,” ucap Tania.

Tiba-tiba saja ponsel Tania berdering. Merasa terganggu, aku menghentikan aktivitasku. Tania menoleh ke arah ponselnya, lalu segera meraihnya sambil tetap duduk di pangkuanku.

“Cuma SMS,” kata Tania.

“Siapa?” tanyaku.

“Dari Santi. Dia bilang… dia lagi di jalan mau ke sini, lima belas menit lagi sampe,” jawab Tania sambi mengerutkan dahi.

“Wah gawat, berarti kita harus udahan nih,” ucapku. Aku mulai panik, akan jadi bencana kalau sampai salah satu dari rangers lain mengetahui perbuatan kami.

“Sebentar, jangan dulu,” ucap Tania.

“Tapi sebentar lagi Santi mau kesini kan? Lo nggak mau kan kalau Santi sampe tau atau curiga?” tanyaku.

“Iya, gue ngerti kok. Tapi masih ada lima belas menit. Please,”

Tiba-tiba Tania menyentuh penisku dari luar celana, lalu membuka restletingnya. Ia menatapku dan tersenyum, “Gue kocokin deh, yah?”

Aku tak sanggup menolak.

 

Tania umurnya sedikit lebih muda dariku, tapi meski begitu ia adalah orang yang cerdas, terutama dalam masalah pelajaran. Aku pertama kali mengenalnya saat kami satu kelas dalam sebuah mata kuliah. Waktu itu aku sudah akrab dengan Galih dan Rian, Tania juga sudah akrab dengan Santi. Lalu kami berkenalan, dan mungkin itulah awal mulanya geng Power Rangers terbentuk.

Aku ingat bagaimana aku adalah orang yang paling canggung di hadapan perempuan, bahkan terhadap Tania. Karena ia memang supel dan ramah, ia yang selalu mendekatiku lebih dulu, hingga aku akhirnya bisa mengenal dia lebih akrab. Dia yang selalu aktif memulai candaan saat kami sedang nongkrong, lalu biasanya akan ditimpali oleh Santi dan Galih dengan cara yang konyol, bahkan cenderung gila. Rian cenderung waras, dan aku lebih waras lagi.

Bukan rahasia lagi kalau banyak cowok di kampus yang naksir pada Tania, baik senior ataupun junior. Namun Tania tampaknya tidak punya keinginan untuk pacaran dan hanya senang berteman. Dia pernah curhat bahwa dulu ia pernah disakiti seorang cowok, dan itu membuat dia jadi anti terhadap status pacaran. Lagipula, semua orang setuju kalau Tani adalah tipe cewek yang asik dijadikan teman, dan tidak cocok dijadikan kekasih.

Tapi aku berbeda. Aku punya perasaan yang lebih dari sekedar teman. Dan lucunya, cewek yang kusukai secara diam-diam itu kini sedang duduk di sampingku, tangannya pelan-pelan membuka restleting celanaku, sementara bibirnya tersenyum antusias.

“Gapapa kan, kalo gue pegang barang lo?” tanya Tania.

Aku hanya mengangguk. Mana mungkin aku menolak.

Setelah restleting celanaku terbuka, terlihatlah celana dalam coklatku yang sudah menonjol menahan desakan penis. Ujung jari telujuk Tania yang lentik itu pelan-pelan mengelus penisku dari luar CD. Aku benar-benar sulit percaya, jari-jemari yang lentik dan indah itu sekarang mulai memijit-mijit kelaminku.

“Geli, Tan…” aku meringis.

“Waw, ternyata kaya begini ya. Gue baru pertama kali megang barang cowo,” ucap Tania.

“Gue juga baru pertama kali diginiin.”

“Emang ga sakit ya, ketahan celana kaya gini?” tanya Tania.

“Yah, sedikit sakit sih.”

“Keluarin aja ya?”

“Iya deh.”

Pelan-pelan, Tania menarik ke bawah ujung celana dalamku, dan seketika itu juga penisku yang sudah tegak langsung mencuat keluar. Melihat benda keras dan panjang itu tiba-tiba berdiri di hadapannya, Tania tampak kaget.

“Buset! Kaget gue. Hmmm… bentuknya gini ya,” ucap Tania. Sekarang jari-jemarinya meraba-raba batang penisku.

“Uhhh… emangnya lo baru pertama liat?” tanyaku sambil menahan desahan.

“Gue pernah liat lah, di film bokep. Tapi agak beda…” jawab Tania sambil mengelus-elus kepala penisku yang terlihat seperti topi tentara.

“Beda? Masa sih?”

“Iya, kalo di film sih, agak… lebih gede gitu,” Tania tertawa pelan. Sialan, aku diledek. Inilah akibatnya kalau cewek suka nonton bokep bule. Membandingkan seenaknya.

“Huh.”

“Becanda ih… haha…” Tania menjulurkan lidah. Oh seandainya saja lidah itu mau bergesekan dengan kulit penisku. Tapi aku tak berani meminta, “menurut gue punya lo pas banget di tangan,” ucap Tania.

Sekarang Tania menggenggam batang penisku dengan telapak tangannya. Rasanya ada sensasi dingin dan hangat sekaligus. Lalu ia mulai menggerakkannya naik turun. Oh, nikmatnya, dia mulai mengocok. Tapi tiba-tiba ia melepaskan lagi genggamannya. Lho, kenapa?

“Sebentar ya,” ucap Tania sambil beranjak berdiri.

Aku hanya mengangguk bingung. Ternyata ia berjalan ke arah lemari dan mengambil sebotol body lotion.

“Kasian kalau anak orang sampe gue bikin lecet. hehe,” ucapnya.

Ia meneluarkan lotion pemutuh kulit itu, lalu mengoleskannya di batang penisku. Lalu ia mulai mengocoknya lagi, perlahan, namun semakin cepat. Ohh, sekarang rasanya lebih lancar dan lebih nikmat.

“Awhhh…” aku tak kuasa menahan nafas yang semakin memburu.

“Enak ya, Di?” tanya Tania sambil menatap ekspresi wajahku.

“Enak,” jawabku.

“Enak banget?” tanyanya lagi.

“Iya, enak banget.”

“Enak sih enak, tapi tangan lo jangan diem aja dong…,” ia protes.

“Oh iya, hehe, sori.”

Aku langsung menggunakan kedua tanganku untuk meremas-remas buah dadanya dari luar kaos. Remasanku kini lebih liar karena aku terasa semakin menikmati kegiatan ini. Lalu kami berciuman, ciuman yang penuh nafsu antar dua orang sahabat. Lidah kami bertautan dan saling jilat. Samar-samar terdengar suara gesekan tangan Tania dengan penisku yang sudah diolesi lotion.

Tanpa meminta izin, tanganku menyusup ke balik kaosnya. Dia kan cuma bilang tidak boleh buka baju, kalau menyelipkan tangan kan dia tidak melarang. Langsung saja kuremas buah dada kanannya. Uhh, sensasinya berbeda. Sekarang kulit tanganku bergesekan langsung dengan kulit payudaranya, rasa kenyal dan lembutnya benar-benar terasa.

“Mmmmhh… ahh.. nakal ya…,” gumam Tania. Tapi ia tidak membuat perlawanan.

Tanganku sekarang memilin-milin puting susunya, membuat puting yang sudah keras itu menjadi semakin keras. Sesekali kupencet lembut, dan itu membuat Tania menarik nafas dalam.

“Di… mmmhhh…. terus Di, enak,” merasakan kenikmatan yang lebih, Tania semakin mempercepat kocokannya. Aku jadi semakin ingin ejakulasi, tapi kutahan dulu.

Leher Tania yang jenjang dan mulus itu kucium dan kujilat-jilat. Wangi badan dan rambutnya membuatku merasa semakin nyaman. Selain itu lehernya benar-benar bersih, tak ada cacat sedikitpun.

“Adi… mmmhh… ini cuma sekali ini aja ya. Kita akan tetep jadi temen dan sahabat. Mmmhh… jangan sampe ada yang tau, ya?” ucap Tania di sela-sela desahannya.

Aku tidak menjawab, dan malah menggigit pelan leher Tania. Lalu aku menarik ke atas kaos yang dikenakan Tania. Aku tarik terus hingga ke dekat leher, sekarang kedua payudaranya terlihat jelas di hadapanku. Bentuknya sungguh indah, bulat dan putih bersih, putingnya berwarna coklat agak pink.

“Gue jadi malu…,” ucap Tania sambil tersipu.

“Toket lo bikin gemes,” ucapku.

Perlahan-lahan kujilat ujung puting Tania, kubelai-belai dengan lidahku.

“Aaaahhh! Geli!” Tania berteriak.

Setelah itu kubuka mulutku dan kulahap buah dada itu. Aku hisap, buah dada yang sebelah kanan, bergantian dengan yang sebelah kiri. Sesekali kujilat permukaan gunungnya.

“Oooh… terus Di, kenyot terus, sedot Di… Mmmmhhh…”

Benar-benar luar biasa. Kemarin malam aku merasa senang hanya dengan menyenggol benda ini, tapi sekarang, aku bisa menjilat dan menghisap-hisapnya.

“Putingya, Di… Akhhh…, iyah, kaya gitu… ahhh….”

Setelah menjilat dan menghisap kedua bukit kembar itu terus menerus, aku berinisiatif untuk menggigit putingnya, pelan-pelan.

“Aw!” jerit Tania.

Kocokan Tania di penisku semakin cepat dan rapat. Mendengar suara desahannya yang seksi serta merasakan payudaranya yang kenyal membuat aku benar-benar tidak tahan lagi sekarang. Aku ingin lebih. Aku ingin percumbuan ini berlangsung hingga klimaks. Aku ingin….

Tok! Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu kamar Tania dari luar. Lalu sebuah suara terdengar.

“Tan…, Tania…,” itu suara Santi!

Kami terhenyak. Rupanya karena keasyikan, kami sampai lupa batas waktu lima belas menit tadi. Bagaimana ini? Tania tampak kaget dan wajahnya pucat. Kalau sampai skandal ini ketahuan, habislah riwayat kami. Bisa-bisa persahabatan geng Power Rangers bisa berantakan.

Mungkin karena panik atau bingung, Tania bukannya buru-buru mengakhiri permainan ini, ia malah terus mengocok penisku. Aku sudah tak sanggup mengendalikan diri lagi.

“Tan, gue… mau ke… keluar….”

“Hah?!” Tania kaget, mulutnya menganga.

Seketika itu juga penisku berdenyut-denyut dan muncratlah cairan sperma berkali-kali. Tania secara refleks menjauhkan penisku dari tubuhnya, dan itu malah membuat spermaku muncrat kemana-mana. Sebagian ada yang tumpah di kaos Tania, di tangannya, dan sebagian lagi ada yang muncrat ke lantai dan dinding. Gila, rasanya sungguh nikmat.

“Tania…. ini gue Santi. Lagi ngapain sih lo? Tidur ya?” suara Santi terdengar menggumam dari balik pintu.

“Aduh, gimana ini?” Tani berbisik sambil memperhatikan tangan kirinya yang belepotan spermaku.

“Bersihin dulu!” bisikku padanya.

“Iya, sebentar San! Gue lagi ganti baju nih, abis mandi!” ucap Tania, setengah berteriak.

Dengan gerakan cepat, Tania mengambil tissue dan mengelap spermaku yang menempel di tangan dan kaosnya. Lalu ia mengambil kain lap dan membersihkan spermaku yang menempel di lantai dan dinding.

“Cepetan dong, Tan… Ganti baju aja lama banget sih lo?” ucap Santi dengan tidak sabar.

Tania mengambil air minum dari galon, lalu membasahi rambutnya sendiri. Mungkin agar terlihat seperti habis mandi.

Lalu ia melotot padaku dan berbisik, “Di, ngumpet di kolong tempat tidur! Cepet!”

Aku terkejut. Tampaknya tak ada tempat bersembunyi lain, jadi aku langsung menuruti perintahnya.

Kira-kira tiga menit kemudian, persiapan sudah selesai. Aku sudah bersembunyi di kolong tempat tidur dan hanya bisa mendenga suara mereka. Untunglah seprei tempat tidur ini panjang sampai ke lantai, jadi sepertinya Santi tidak menyadari keberadaanku.

“Duh, lama amat sih lo, baru dibukai sekarang,” terdengar suara Santi.

“Sori, sori, tadi gue lagi pake handuk,” jawab Tania.

Setelah itu aku dengar mereka mengobrol dengan suara yang kurang jelas. Mungkin Santi sedang menggumam. Lalu tak lama kemudian, aku merasakan ada yang duduk di atas tempat tidur.

“Ihh… ini apaan Tan ?” suara Santi terdengar dari atasku.

“Hah? Apaan?” suara Tania.

“Ini, gue kan meluk boneka kucing lo, tapi kok ada lendir lengket gini ya? Idiih… apaan nih…?” ujar Santi.

DEG! Jantungku serasa berhenti berdetak. Gawat. Sepertinya ada yang kelewatan waktu proses bersih-bersih tadi!

Selama beberapa detik, suasana menjadi hening. Entah apa yang terjadi di luar sana.

Namun tiba-tiba Tania bersin, “hachiiii!!!”

“Woooaaahh…! Hiiiiiiiyyyy! Jadi ini ingus lu? Jorok banget sih lu, cewek macem apa sih lu, ga nyangka gue punya temen jorok kaya lo. Idiiih,” ucap Santi beruntun.

“Ya… abisnya… gue lagi pilek banget nih, sori…” ucap Tania dengan suara yang dibuat lesu.

“Pilek sih pilek, tapi ingusnya jangan dilap ke boneka dong,” ucap Santi menggerutu.

Perasaanku menjadi lega. Untunglah, sepertinya Santi percaya. Selama setengah jam kemudian, mereka berdua mengobrol panjang lebar, khas anak cewek. Dan setelah itu, aku dengar bahwa Santi tidak bisa berlama-lama, karena ia ada urusan lain dan juga agar Tania yang sedang “pilek” bisa beristirahat.

“Yaudah, Tan. Lo istirahat dulu ya. Besok pagi gue mampir ke sini lagi deh. Cepet sembuh ya!” ucap Santi.

“Iya, thanks ya.”

Suara pintu ditutup. Sepertinya Santi sudah keluar. Tak lama kemudian, seprei kasur disibak oleh seseorang, dan Tania melongok ke kolong kasur, ke arahku yang sedang merayap seperti cicak.

“Huff… Hampir aja kita mampus….” ujar Tania.

Aku membuang nafas lega. Untungnya aku membuat skandal dengan perempuan yang kreatif.

Mister Sange

Setelah Santi pergi, sebenarnya aku sempat berharap agar permainan kami dilanjutkan. Tapi Tania ternyata menolak, mungkin peristiwa menegangkan tadi sudah membuat mood-nya turun, atau malah membuat dia kapok. Aku tidak bisa memaksa, sebab semua ini memang dia yang memulai. Tapi aku tidak terlalu kecewa,setidaknya aku sempat mengalami ejakulasi tadi, jadi nafsuku lumayan bisa dikendalikan.

“Di, lo inget ya…, besok kita ketemu di kampus, lo anggep semua ini ngga pernah terjadi,” ucap Tania saat aku pamit. Aku mengangguk saja sambil tersenyum, padahal mana mungkin aku bisa melupakan kejadian tadi. Mustahil.

————————————————————

Esok paginya, aku pergi ke kampus seperti biasa, kebetulan pagi ini mata kuliahku tidak ada yang satu kelas dengan geng Power Rangers, jadi aku tak terlalu khawatir. Dosen memberikan materi panjang lebar hingga membuatku mengantuk, untungnya bel segera berbunyi.

Ghea

Saat keluar beberapa langkah dari ruangan kelas, tak sengaja aku menabrak seseorang. Ia tidak terjatuh, tapi sebuah majalah yang ada di tangannya yang jatuh. Aku memperhatikan orang yang kutabrak itu. Seorang mahasiswi, lebih tepatnya adik kelas. Aku tidak kenal dekat dengannya, tapi kami saling tahu nama.

Namanya adalah Ghea, satu tingkat di bawahku. Ia cukup populer di kampus karena wajahnya yang cantik dan pandai bergaul. Tubuhnya lebih mungil dan lebih kecil dari Tania, tapi wajahnya tak kalah manis, aku menebak dia ada keturunan cina karena kulitnya putih mulus dan matanya agak sipit.

Ia memakai kemeja kotak-kotak yang tampak kebesaran dan mengenakan kacamata berframe warna maroon, namun sama sekali tidak membuat dia terlihat kutu buku. Terlebih lagi, ia adalah seorang vokalis band yang cukup sering manggung di acara-acara kampus.

“Eh sori, ngga sengaja,” ucapku.

“Ngga papa Kak, saya yang ngga liat,” jawabnya sambil memungut majalah yang jatuh.

Selama beberapa detik kami bertatapan. Aku merasa ada yang aneh dengan tatapannya, hingga kemudian aku sadar kalau geng Power Rangers sudah menungguku di seberang sana. Ada Tania juga yang sedang menatapku. Apa ya yang dia pikirkan?

“Woy, sini!” ucap Rian sambil melambaikan tangan.

Sambil mengangguk pelan aku meninggalkan Ghea dan bergegas ke tempat mereka. Semua anggota geng berkumpul, kecuali Galih. Santi sedang asik mengunyah biskuit dan Tania tampak serius mengetik di handphonenya. Aku melirik sekilas, dan Tania ikut menoleh, tapi ia cepat-cepat kembali menatap layar handphonenya. Jantungku berdetak kencang, dan bersamaan dengan itu penisku mengeras sedikit. Tapi kenapa dia tidak tersenyum? Apakah dia juga sama canggungnya denganku?

“Gimana, sore ini ada acara nggak?” Rian bertanya sambil menepuk pundakku.

“Ada apa Yan?”

“Kok ada apa? Kan tiga hari lagi UAS, kita belajar bareng dong. Kan mata kuliah kita banyak yang sama. Gimana?” jawab Rian.

“Kok tumben?” balasku.

“Tau nih, anak ini tiba-tiba sok rajin gitu. Paling-paling dia ga punya catetan dan males baca buku,” ujar Santi.

“Ayolah… Si Galih udah setuju, dia nyediain tempat dan konsumsi gratis. Oke kan?” ucap Rian. Aku dan Santi mengangguk setelah mendengar kata konsumsi gratis.

“Lo gimana Tan, bisa?” tanya Santi.

Tania agak terkejut dan menoleh dengan tiba-tiba, “Oh bisa kok bisa, ngga masalah.”

Singkat cerita, setengah jam kemudian kami pun berangkat ke rumah Galih menggunakan mobilnya. Rian duduk di depan bersama Galih, sementara aku, Tania, dan Santi duduk di belakang. Santi di kiri, Tania di tengah, dan aku di kanan. Berada dalam jarak dekat dengan Tania membuatku sangat canggung, apalagi kalau mengingat kejadian kemarin. Mungkin karena merasa tidak enak, Tania akhirnya membuka pembicaraan.

“Eh lo udah ngerjain tugasnya Pak Johan belum?” ucap Tania menyebutkan nama seorang dosen.

“Oh, belum tuh,” jawabku.

“Yah, tadinya gue mau nyontek. haha,” ia tertawa.

“Huh, kenapa sih hari ini orang-orang pada seneng ngomongin pelajaran? Mendadak rajin ya?” gerutu Santi, dibalas cubitan dari Tania, lalu mereka bercanda seperti biasa. Perasaanku sedikit lega.

Tak sampai setengah jam, kami pun tiba di rumah Galih. Rumahnya besar dan mewah, di garasi berderet dua buah mobil milik orangtuanya.Saat kami masuk ke ruang tamu, Sherly, adiknya Galih sedang duduk di sofa sambil membaca majalah. Sherly masih duduk di bangku SMA, rambutnya bergelombang, dan wajahnya imut. Ia duduk menyamping dan memperlihatkan pahanya yang putih mulus karena memakai hotpants.

“Baca majalah jangan di ruang tamu,” ucap Galih ketus.

“Emang napa? Suka-suka gue dong!” balas Sherly.

“Nanti ngga ada orang yang mau bertamu ke rumah kita!”

Plak! Majalah itu melayang dan menghantam wajah Galih. Kakak-adik ini memang senang bertengkar sejak dulu, tapi kami tahu mereka sebenarnya akur. Tanpa memperpanjang pertengkaran itu, kami beranjak ke kamar Galih. Kamar yang nyaman, sejuk karena ber-AC, dan untuk ukuran kamar cowok lumayan rapi. Kami pun memulai acara belajar kelompok.

Ketika kami sedang membolak-balik buku pelajaran dan bertukar catatan, tiba-tiba saja Rian berteriak.

“Apaan tuh!” teriak Rian sambil menunjuk-nunjuk.

“Kenapa sih lo, kaya Jaja Miharja aja,” umpat Santi.

Rian segera merangkak ke kolong tempat tidur Galih dan mengambil sesuatu dari dalam sana.

“Bokep coy!” ucap Rian sambil memperlihatkan sebuah kotak DVD bergambar perempuan Jepang tanpa busana. Kami semua tertawa terbahak-bahak.

“Kaya anak SMP aja lo, masih ngumpetin kaya gituan,” Tania tertawa.

“Masih jaman ya, nonton bokep pake DVD?” aku ikut menimpali.

“Itu DVD original import dari Jepang langsung. Ngiri ya lo semua? Bisanya cuma download bajakan kan?” ucap Galih sambil berusaha merebut DVD itu.

“Ah bokep ya bokep, apa bedanya bajakan atau original? Coba nyalain,” balas Rian.

Rian segera memasukkan DVD itu ke dalam laptopnya yang kebetulan sudah dinyalakan. Hanya dalam beberapa detik, terpampanglah adegan wanita Jepang yang cantik sedang berciuman dengan seorang lelaki. Payudara wanita itu berukuran besar, diremas-remas dan dihisap-hisap oleh aktor lelaki. Kami semua fokus menonton adegan itu.

“Buset, gede ya toketnya. Kayanya enak tuh,” ucap Rian agak berbisik.

“Iya, nggak kaya cewe-cewe di kelompok kita, rata semua kaya triplek!” ujar Galih. Kami melirik pada Tania dan Santi.

“Sialan lo!” ucap Tania sambil memukul pundak Galih menggunakan kertas.

“Tapi punya gue masih lebih gede daripada punya Tania, tau…,” ucap Santi pelan.

Galih dan Rian tertawa terbahak-bahak, sementara Tania melotot dan mulai mencubiti Santi.

Aku refleks bergumam, “Hehehe, tapi yg kecil-kecil tu bikin gemes.”

Tania melirik ke arahku dan menjulurkan lidah, sementara anak-anak yang lain sepertinya tidak mendengar gumamanku.

Acara ‘belajar kelompok’ masih terus dilanjutkan. Adegan-adegan di monitor semakin hot, dan harus kuakui kalau penisku sudah menegang di balik celana. Tania kebetulan duduk di sebelahku, ia merapatkan posisi duduknya agar bisa melihat laptop dengan jelas. Saat ia merapat, dadanya berada di belakang siku tanganku, dan entah disengaja atau tidak, ia mulai menggesek-gesekkannya. Penisku semakin keras.

Pelan-pelan aku ikut menggerakkan siku tanganku, misalnya dengan pura-pura menggaruk leher. Kenyalnya payudara Tania bisa kurasakan samar-samar, sementara itu hembusan nafasnya menjalar di leherku. Untung anak-anak yang lain tidak ada yang sadar.

Saat suasana semakin hot, tiba-tiba pintu kamar diketuk, Rian yang kaget segera menutup laptopnya. Ternyata pembantu Galih membawakan minuman. Aku menghela nafas, Tania juga menggeser duduknya lebih menjauh. Aku dapat melihat wajahnya yang merona merah.

Setelah itu, acara belajar kelompok dilanjutkan secara normal. Kira-kira satu jam kemudian, kami pun memutuskan untuk pulang. Sayangnya, mobil Galih sedang dipakai, jadi kami harus pulang menggunakan kendaraan umum. Hampir lima belas menit di dalam bus, Rian dan Santi turun lebih dulu, sebab rumah mereka memang lebih dekat.

Tinggal aku dan Tania yang tersisa di bus, aku pindah duduk ke sebelahnya. Bus yang kami naiki kebetulan sedang sepi, mungkin karena sekarang sudah lewat jam pulang kantor. Duduk bersebelahan dengan Tania tanpa ada orang lain di sekitar, membuatku merasa agak aneh.

“Kenapa Di, diem aja?” ucap Tania. Ia duduk di samping jendela, tirainya ditutup karena silau.

“Ngga kok, ngerasa aneh aja,” aku tertawa.

“Biasa aja lagi.”

Selama beberapa menit, kami terdiam. Mungkin Tania juga merasa tidak enak karena aku tidak menimpali obrolannya. Tapi jantungku berdebar kencang ketika membayangkan kejadian kemarin. Rasanya ada yang masih mengganjal. Pelan-pelan aku menggerakkan tanganku ke pundak Tania, aku ingin merangkulnya, aku ingin memeluknya, ingin merasakan kehangatan tubuhnya lagi.

Tania hanya diam, ia menatap ke jendela meskipun tidak terlihat apa-apa. Jantungku berdetak semakin kencang. Entah karena gugup atau merasa tertantang karena kami sedang berada di dalam bus. Perlahan-lahan tanganku turun ke pinggangnya. Aku dapat merasakan pinggangnya yang ramping dibalik balutan kaosnya yang sempit. Setelah memastikan tak ada orang yang melihat, kudekatkan wajahku ke pipinya.

Plak!

Ia menamparku. Keras sekali, bahkan bunyinya terdengar jelas. Aku kaget bukan main, segera kutarik tanganku menjauh darinya.

Sambil menatapku, Tania berbisik kesal, “Kan gue udah bilang kemarin, cuma sekali itu aja! Kalo kita ketemu lagi, gue minta lo anggap yg kemarin itu ga pernah terjadi, ngerti kan?”

Nyaliku langsut ciut diomeli seperti itu. Perasaan kecewa dan malu bercampur aduk di dalam kepala, betapa bodohnya aku. Kalau memang aku mencintainya, seharusnya aku bisa memahami perasaannya.

Aku kecewa pada diriku sendiri, jangan-jangan perasaan ini sudah berubah menjadi nafsu mesum semata. Sepanjang perjalanan hingga Tania turun terlebih dulu, aku hanya menundukkan kepala. Kami tidak berbicara sepatah kata pun.

Aku tiba di kostan dengan perasaan sedih. Aku tidur-tiduran di atas kasur sambil memikirkan apa yang harus aku lakukan sekarang. Apakah persahabatanku dengan Tania akan berakhir karena masalah ini? Tidak mungkin. Aku mengambil HP dan mengirim SMS ke Tania.

‘Tan, maaf ya, tadi gw khilaf’

Aku diam menunggu balasan, tapi tak juga ada SMS yang masuk. Selama beberapa menit perasaanku terus gelisah hingga tiba-tiba saja handphoneku berbunyi, aku melonjak kaget. Telepon, dari Tania.

“Di, lo lagi di kostan?” tanya Tania.

“Iya.” jawabku.

“Gue ke sana ya sekarang!”

“Eh, tapi, tapi….”

Tania menutup teleponnya. Sebenarnya aku ingin bilang kalau aku ingin meminta maaf soal kejadian tadi, tapi ia tampak terburu-buru. Untuk apa ia datang ke sini? Aku menunggu dengan jantung berdebar.

Tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku tahu siapa dia. Aku bergegas berjalan ke arah pintu dan membukanya. Di balik pintu ada Tania yang berdiri sambil tersenyum. Ia mengenakan kaos biru bergaris dan celana jeans. Aku sadar, senyumnya padaku menandakan bahwa ia sudah tidak marah lagi. Aku langsung mempersilahkannya masuk ke dalam kamar.

“Di, sori ya soal yang tadi. Gue sebenernya gugup, jadi kebawa emosi. Gue ngeri soalnya kita lagi di bus. Suer, ngga ada maksud kasar kok,” ujar Tania sambil duduk di atas tempat tidurku.

“Ngga, Tan, harusnya gue yang minta maaf. Gue yang salah, ngga inget janji gue sendiri” ucapku.

“Sebenernya gue juga melanggar janji kok waktu di rumah Galih tadi.” Tania tersenyum.

“Waktu nonton bokep tadi ya? Itu emang sengaja ngegesek-gesekin?” tanyaku. Tania mengangguk, lalu kami berdua tertawa.

“Liat sini deh,” ucapnya tiba-tiba.

Aku menoleh ke arah Tania dan menatap matanya. Matanya yang indah membuatku terhipnotis. Pelan-pelan ia menyentuh pipiku dan mengelus-elusnya.

“Masih sakit bekas tamparan gue tadi?”

“Masih. Tenaga lo kaya babon sih.”

“Sialan lo! Mau gue tabok lagi?” ujar Tania sambil tertawa.

Dengan gerakan cepat, ia mengecup pipiku. Aku menahan nafas karena kaget.

“Udah? Udah ngga sakit kan?”

Aku tersenyum, membalas senyumannya. Hatiku sekarang terasa tentram dan damai. Rasanya aku jatuh cinta kepadanya, aku benar-benar jatuh cinta. Lalu kami bertatapan tanpa bicara, diam dan hening. Lalu bibirnya bergerak mendekat dan mencium bibirku. Bibirnya lembut dan hangat. Aku tak bisa tinggal diam, aku membalasnya, mencium bibirnya dengan penuh nafsu.

“Mmmh… Di… Mmm..,” desahan Tania terdengar di antara ciuman.

Sambil terus melumat bibirnya, aku mendorong dia ke tempat tidur. Ia jatuh terlentang. Aku cium lehernya pelan-pelan, lalu aku jilati lehernya hingga ke dagu. Ia mendesah agak keras.

“Geli…”

Setelah puas menyantap lehernya, aku kembali menatap wajahnya, dan kami tersenyum.

“Kemarin gue pikir, itu untuk yang pertama dan terakhir. Tapi ternyata… kemarin kan cuma lo aja yg dapet kenikmatan… lo masih utang satu sama gua, Di….” ucap Tania.

“Mau kaya kemarin lagi?” aku memijat-mijat payudaranya dari luar kaos dengan perlahan. Ternyata ia tidak memakai bra.

“Ahhh…. Buka aja kaos gue, ngga apa-apa lah,” ucap Tania.

Aku menarik kaosnya ke atas, dan ia juga membantu melepaskannya. Terlihatlah di hadapanku tubuhnya yang topless. Perutnya langsing dan rata, kulitnya mulus, dan dua buah payudara yang berukuran kecil namun bulat sempurna dan proporsional.

“Mmm.. toket gue ngga segede yang di film tadi ya?” ia memanyunkan wajahnya.

“Kan gue udah bilang, yg kecil tu bikin gemes.”

Tania tersenyum, memperlihatkan gigi-giginya yang putih. Aku mencium keningnya.

“Terus, lo pengen diapain nih?” ucapku menggoda.

“Terserah lo mau ngapain aja sekarang, tapi kalo gue bilang stop, lo mesti berenti ya?” ucap Tania sambil mengusap rambutku.

“Tenang aja,” ucapku. Sepertinya Tania sudah tidak segugup kemarin. Mungkin karena ini sudah bukan yg pertama.

Aku mulai membelai payudaranya dengan kedua tangan. Dengan perlahan aku mengelus daerah seputar putingnya, lalu kujilat dengan ujung lidah. Ia mengerang. Lalu aku mulai menyedotnya, aku hisap puting kanannya yang sudah menegang.

“Gila.. nikmat banget…, yang kiri juga Di… isep juga…. ahhh”

“Sabar dong, gue ngga kaya lo, mulut gue cuma satu.”

“Sial, dasar,” ia tertawa.

Aku meremas-remas payudara kanannya, lalu yang sebelah kiri kujilat-jilat dan kuhisap. Ia kembali mendesah. Aku gigit pelan putingnya, ia menjerit kecil. Lalu kujilati lagi sampai basah.

“Uhh… untung sekarang di tempat lo, jadi ngga akan digangguin Santi lagi,” ucapnya sambil mendesah, “handphone juga gue matiin.”

“Bener juga ya, untung kamar sebelah lagi pada pulang kampung,” aku memijat-mijat kedua payudaranya.

Ciumanku turun ke perutnya. Perut yang rata dan halus, wangi parfum perempuan yang manis. Aku memainkan lidahku di daerah pusarnya, ia menggelinjang.

Tanpa minta izin, aku membuka kancing celana jeansnya dan menariknya ke bawah. Tania tidak menolak, ia malah membantu mengangkat pinggulnya. Setelah celana itu berhasil dilepas, aku dapat melihat celana dalam warna hijau muda yang ia kenakan yang tampak agak basah. Pahanya sangat mulus, membuatku langsung mengelus dan menciuminya.

“Hahhh… Di… Mmhh,”

“Kenapa?”

“Mem3k gue blum pernah disentuh cowo…”

“Gue juga blum pernah nyentuh punya cewe… Mau stop aja?”

“Mmmh… Dikit aja deh..,” ucapnya dengan wajah yang sayu.

Dengan gerakan yang lembut, aku menggesek-gesek ujung jariku ke celana dalamnya, tepat di bagian vagina.

“Gimana rasanya?” tanyaku.

“Aaahh.. enakk… terus Di,”

Aku menjilati pahanya yang mulus, dan kemudian naik ke arah selangkangannya. Dapat kurasakan kakinya menegang karena keenakan, lalu tanpa memberitahunya terlebih dahulu aku melepaskan celanaku.

“Ngapain lo buka celana?” ia memperhatikan penisku yang sudah berdiri tegak dihadapannya.

“Ngga ngapa-ngapain, soalnya sesak udah tegang banget.”

“Sabar, ntar gue kocokin lagi kaya kemarin. Tapi lo bantuin gue dulu ya…,” pintanya.

Dalam hati, sebenarnya aku sangat ingin memuaskan hasrat Tania. Aku ingin melihat ia tersenyum lega, aku ingin ia mendapat kepuasan dariku. Mungkin hanya dengan itu, suatu saat ia akan menyadari perasaanku yang sebenarnya.

Aku menarik celana dalamnya sampai ke lutut, ia tampak terkejut. Tapi tanpa buang-buang waktu, aku segera menciumi kemaluannya. Aku jilati bibir vaginanya yang sudah lembab itu. Aku cium, aku hisap, aku jilat klitorisnya.

Tania menjerit.

“Adiii… ahhh gila lo… lo apain mem3k gue… aaaggghhh…”

Sambil mengelus-elus pahanya, aku terus menjilati bibir vaginanya sampai beberapa menit, dan dengan jilatan yang semakin cepat, tiba-tiba saja tubuhnya melengkung dan pahanya menegang, menjepit kepalaku hingga aku sulit bernafas.

“Aaaaahhhh! Gue sampeee… uuh…”

Beberapa detik kemudian ia telentang lemas dengan nafas yang tersengal-sengal. Ia tersenyum padaku, dadaku terasa hangat. Bersamaan dengan itu nafsuku semakin meledak-ledak.

Kudekatkan penisku ke vaginanya, lalu kugesek-gesek pelan. Ia kembali mendesah. Lalu kucium bibirnya sambil kuremas kedua payudaranya.

“Tan… gue pengen coba masukin… boleh ya?” ucapku dengan nafas memburu.

“Jangan Di, gue masih virgin, gue ngga mau.”

“Pliis Tan, gue ngga tahan…,” aku masih menggesek-gesekkan penisku di bibir vaginanya.

“Jangan Di, jangan. Lo sahabat gue, makanya gue percaya sama lo, lo kan udah janji. Stop ya, plis…”

Aku menatap matanya dengan wajah memelas, “Tan… sebenarnya gue….”

“Gini aja, lo boleh minta apa aja sama gue. Tapi jangan yang satu itu ya? Itu mau gue jaga untuk seseorang yang spesial buat gue, buat cowo yg benar-benar gue sayang. Maaf banget, lo ngerti kan?”

Deg! Ada sesuatu yang menyesak di dadaku. Apa maksudnya dengan perkataan tadi? Apa baginya aku bukan orang yang spesial? Bukan orang yang dia sayangi? Apakah ada lelaki lain yang ia sukai? Bodoh, apa yang aku pikirkan? Sejak awal ia memang tidak punya perasaan apa-apa padaku, dan aku belum pernah mengungkapkan apa-apa.

Tiba-tiba saja aku patah hati. Apakah perasaanku bertepuk sebelah tangan? Tapi aku tetap menghargainya, aku tak ingin menyakitinya.

“Kalo… kalo pake mulut mau ngga Tan?” ucapku.

Ia terdiam sejenak, namun dengan sedikit ragu-ragu ia mengangguk.

“Iya…, tapi keluarin di luar ya…”

Aku mengangguk.

Tania bangkit dari posisi tidurnya, lalu ia meraih penisku yang masih tegang. Tangannya yang halus dan jari-jarinya yang lentik mulai mengocok batang kemaluanku. Aku mendesah pelan.

“Gue coba praktekin yang di film tadi ya, hehe,” iya tersenyum.

Pelan-pelan bibirnya mendekat ke ujung penisku, lalu ia mengecupnya pelan. Lidahnya ia gunakan utuk menjilat bijik kemaluanku. Lalu dengan agak canggung ia mulai memasukkan penisku ke mulutnya. Ia menyedot pelan, bibirnya terlihat monyong.

“Mmmm.. Slrppp… Sruupp”

Tubuhku gemetar merasakan nikmat, sekarang gadis yang kusukai ini sedang duduk di hadapanku dan menghisap penisku dengan mulutnya.

Tapi perasaan getir karena patah hati itu juga menodai pikiranku.

Dengan nafsu dan kekecewaan yang membara, aku memegang kepala Tania, kutahan agar kepalanya tak bergerak. Lalu aku memompa pinggulku hingga penisku keluar masuk di mulutnya. Ah, maafkan aku Tania, tapi aku benar-benar tidak tahan.

“Mmmm Mmppppp!!!” Tania berusaha berontak dan mendorong pinggangku. tapi tenagaku lebih kuat.

Kupercepat genjotanku, untungnya penisku tak terlalu panjang, jadi mudah-mudahan tidak membuat ia terlalu mual.

Dari bawah, tania mendongak dan menatapku tajam. Sepertinya ia kesal. Tapi aku tak bisa menghentikan ini, terus saja kugenjot mulutnya. Rasa nikmat menjalar dari penisku sampai ke tulang belakang, dan pada satu titik aku merasa akan meledak.

Kutekan kepalanya ke arah penisku, dan saat itu juga aku mengalami ejakulasi.

“Aaaaah….!” Crot! Crot! Crot! Spermaku muncrat ke dalam mulut dan tenggorokan Tania.

Aku terduduk lemas di atas tempat tidur. Kusaksikan Tania yang sedang terbatuk-batuk, mulutnya penuh dengan spermaku.

“Sori.. sori banget Tan. Gue ngga tahan,” ucapku.

“Sialan! Masih untung ngga gue gigit kont0l lo itu, kalo gue gigit sampe putus baru tau rasa lo….” ujar Tania, sambil mencoba mengeluarkan sisa sperma dari mulutnya.

Aku mengambil tisu di samping tempat tidur dan membantu mengelap sperma di mulut Tania. Aku berusaha tersenyum untuk meredakan amarahnya.

“Gue kelepasan tadi…”

“Kan udah gue bilang, keluarinnya di luar…,” ia mencubit perutku, “…tapi rasanya aneh banget ya? Lengket lagi…”

“Mana gue tau,” aku tertawa.

Tubuh kami terasa lemas. Setelah emosinya reda, kami kembali dapat bercanda dengan normal. Malam itu ia tidur di kamarku, tanpa busana, hingga pagi menjelang. Aku mulai mempertimbangkan perasaanku sendiri.

Besok paginya, ia terbangun lebih dulu dan membangunkanku dengan sebuah pertanyaan.

“Adi, kita masih temenan kan?”

Aku mengangguk. Aku tak tahu harus menjawab apa.

“TTM,” ucapku singkat.

“Teman Tapi Mesum?” balasnya sambil tertawa. Aku ikut tertawa.