Rumah Pantai

Rasanya seperti menari sambil duduk. Segala sesuatunya terjadi dalam urutan dan irama yang sempurna. Setiap kali tuas gas kupuntir ke belakang, sepeda motorku langsung melonjak dan menderu maju bagai seekor kuda balap terlecut cambuk. Begitu mengasyikkan. Hari itu Sabtu malam, lima belas menit sebelum dimulainya sebuah pesta. Dan bukan sekedar pesta biasa. Pesta ini, adalah sebuah pesta intim senilai 2 milyar rupiah yang diselenggarakan oleh Barry Nugroho dan istrinya, Annisa, salah satu dari banyak pasangan konglomerat di negeri ini. Tempatnya di sebuah Rumah Pantai besar seharga 40 milyar milik mereka. Dan aku terlambat! Kuinjak persneling ke gigi lima, sekali lagi menyentak gas, dan membiarkan sepeda motorku melesat membawaku membelah lalu lintas yang untungnya malam ini tidak begitu ramai. Bagiku, sepeda motor adalah tempat berpikir yang paling tenang. Ini kuketahui dari kakakku, Jack, si mahasiswa hukum semester akhir. Biasanya dia yang sering melakukannya. Tapi akhir-akhir ini aku juga ikutan, sambil meliuk-liuk menghindari mobil aku memikirkan kelakuanku. Aku sadar, di usiaku yang sudah 25 tahun, aku tidak tumbuh dengan baik dan benar. Dua ratus meter mendekati rumah itu, aku sudah bisa melihat gemerlapnya lampu pesta menerangi halamannya. Aroma garam dan wangi bunga bakung perlahan mengisi hidungku. Seorang satpam gendut bersetelan putih menyeringai lebar dan melambai padaku, mengijinkanku masuk melewati pintu gerbang. Aku melaju pelan memasuki halaman depan yang luas. Kupandangi rumah besar di depanku. Meski sudah sering kemari, aku masih tetap terkagum-kagum setiap kali melihatnya. Berdiri di atas lahan seluas 45.500 meter persegi, rumah itu nampak mewah, gagah, berlebihan, serasi dengan tamannya yang luas dan indah, yang penuh dengan deretan semak dan bunga yang melandai langsung ke pantai berpasir putih alami.

Di sepanjang jalan masuk yang bertabur kerikil putih, tampak beberapa mobil di parkir sembarangan, semuanya mobil mahal keluaran terbaru. Aku tersenyum, tampaknya aku belum begitu terlambat. Pesta malam ini termasuk kecil, kurang dari 40 orang, tapi semuanya termasuk pesohor di negeri ini. Ada pengacara, pengusaha, miliarder, hingga anggota DPR. Tersebar sebagai penggembira pesta, tampak beberapa artis, penyanyi, hingga host dan penyiar berita yang semuanya cewek. Tapi jangan keburu iri dulu. Aku juga tidak tercatat dalam daftar tamu. Aku disini untuk memarkir mobil!! Pelanggan pertamaku datang 2 menit kemudian, seorang pengacara senior yang sering muncul di TV. Disampingnya, menggelayut manja layaknya kekasih, seorang gadis muda yang sangat cantik. Pakaiannya sudah awut-awutan. Dia berusaha menutupi pahanya saat aku mengambil alih mobil. Aku cuma tersenyum. Aku sudah biasa melihat pemandangan seperti itu. Dalam waktu 10 menit, aku sudah mengisi pelataran parkir dengan empat sedan Eropa tipe terbaru. Di bawah cahaya bulan,sedan-sedan itu berkilau bagai tanaman metalik. Aku suka menjadi tukang parkir, hanya sibuk di awal dan akhir acara, selebihnya bisa nyantai. Mobil terbaik datang saat pesta sudah dimulai, sebuah Ferrari merah hati yang dikendarai seorang artis muda yang cantik.

“Perlakukan dengan lembut, ya.” Dia berbisik mesra di telingaku dan menekan 200 ribu rupiah ke telapak tanganku.

Periode awal yang sibuk pun berlalu. Aku mengambil sekaleng minuman soda dan sepiring nasi jatah. Duduk di rerumputan di samping jalan masuk, kunikmati makan malamku. Dari situ, aku bisa mendengar apa yang terjadi di dalam rumah. Teriakan, jeritan, desis dan bisikan, tercampur menjadi satu, bersahut-sahutan dengan suara tawa dan umpatan-umpatan kotor yang seharusnya tidak mungkin keluar dari orang-orang seperti mereka. Aku cuma menghela nafas. Yah, inilah dunia. Apa yang terlihat baik di luar, belum tentu sama dengan kenyataan sebenarnya. Awalnya aku juga kaget saat pertama kali bekerja di rumah ini, 5 tahun yang lalu.  Tapi setelah sering melihat, dan kadang-kadang merasakan juga –kalau lagi beruntung- aku jadi maklum. Seks kan merupakan kebutuhan dasar manusia, tak peduli dia berasal dari mana.

Aku sedang menikmati brownies gulung sewaktu seorang pramusaji berjas hitam bergegas mendekat. Sambil memberikan senyum yang penuh arti, ia menjejalkan sepotong kertas merah darah ke dalam saku kemejaku. Kertas itu pasti sudah disemprot parfum. Aroma tajamnya menusuk hidungku sewaktu aku membukanya.

Isinya singkat dan jelas, tiga huruf, tiga angka: IZD235. Aku memandang pria itu untuk meminta penjelasan, tapi dia cuma nyengir dan berlalu meninggalkanku. Aku berpikir, apa maksud ini semua? Aku menyelinap menjauhi rumah dan berjalan melintasi deretan mobil-mobil mahal yang tadi kuparkir. Sepertinya aku melihat tulisan itu di salah satunya. Dan benar, aku menemukannya tertempel di kaca belakang sebuah Mercedes Benz hijau tua. Kucoba untuk membuka pintunya, ternyata tidak terkunci, padahal aku yakin sekali kalo sudah mengincinya tadi. Tanpa curiga sedikitpun, aku masuk dan duduk di kursi penumpang depan. Dengan teliti, kuperiksa mobil itu. Di balik penghalang matahari, tidak ada apa-apa. Kuaduk-aduk kompartemen yang ada disebelahku, di dalam kotak kacamata, kutemukan sebatang rokok ganja berhiaskan pita merah. Kusulut rokok itu setelah terlebih dahulu membuang pitanya. Kulihat lagi barang-barang yang lain, tidak ada yang penting, ataupun berbahaya. Kuhembuskan asap kekuningan melintasi jendela. Aku mulai berpikir kalau ini tidaklah terlalu buruk. Aku mulai merasa gerah ketika rokok ganjaku sudah hampir habis. Saat akan membuangnya, saat itulah ada tangan besar mencengkeram bahuku.

“Hai, Fer,” sapaku tanpa perlu melihat siapa orangnya.

“Halo, Rabbit.” Feri memanggil menggunakan nama kecilku, lalu menjulurkan tangannya dan mengambil sisa rokokku. “Sudah ada yang kau tiduri?” dia bertanya.

Ferdiansyah nama lengkapnya. Seorang anggota polisi yang tidak begitu jujur. Kalau melihat sepak terjangnya selama ini, sudah untung dia bisa duduk di posisinya yang sekarang.

“Kau tahu aku, Fer. Aku tidak pilih sembarang perempuan.”

“Sejak kapan.” Dia tertawa.

“Hm, mungkin sejak sore tadi, dengan istrimu.”

Dia berhenti tertawa dan meninju bahuku. “Dasar bajingan. Gimana, kau puas?”

Aku mengangkat dua jempol dan mengarahkan ke mukanya, “Sip!!” Dan dia kembali memukulku. Tapi tidak terasa sakit sama sekali.

Percakapan ini jelas hanya bisa dilakukan oleh dua orang yang sudah benar-benar akrab, semacam sahabat atau teman sejak kecil.  Aku dan Feri sudah termasuk kategori itu. Kami teman sejak mulai dari TK hingga SMA. Baru saat kuliah kami berpisah, Feri masuk ke kepolisian, sementara aku, kuliah sambil malas-malasan. Beberapa bulan lalu kami bertemu kembali, itu pun secara tidak sengaja. Saat itu Feri sedang patroli rutin ketika melihatku di kejar-kejar massa. Dengan sigap, dia menyelamatkanku. Dan bukannya membawaku ke kantor, dia malah mengajakku mampir ke rumahnya, dan memperkenalkan aku pada istrinya yang cantik. Dia tidak menanyai aku macam-macam, dia sepertinya lupa kalau tadi aku sempat di uber-uber massa, feri tidak menanyakan alasannya. Dia malah sibuk bernostalgia tentang kenakalan kami waktu kecil dulu. Aku sih senang saja diperlakukan seperti itu. Malam itu, aku menginap di rumahnya. Besok paginya, aku pamit. Sebelum pergi, aku sempat berjanji, aku siap menolong kapan saja kalau dia butuh bantuan. Saat itu, niatku cuma basa-basi saja, mana ada sih polisi minta tolong pada penjahat jalanan kaya aku. Tapi ternyata aku keliru. Satu minggu yang lalu, ponselku berbunyi. Dari Feri. Tumben dia telepon, batinku. Kukira dia mau mengajak makan atau apalah, tapi ternyata tidak. Dia mengajakku ketemuan untuk membahas hal yang sangat penting. Ini menyangkut karir dan nasib keluarganya, begitu katanya. Akhirnya.. di sebuah kafe sepi di pinggiran kota, kami bertemu. Di situ, Feri menumpahkan segala uneg-unegnya.

“Tolong aku, Pitt. Cuma kamu yang bisa melakukan ini.” Dia memohon dengan muka merah menahan tangis. Sepertinya persoalan ini begitu berat hingga membuat seorang Ferdiansyah yang biasanya kejam menjadi seperti ini.

“Ceritakanlah, aku akan berusaha membantu semampuku.”

Dia pun berbicara, dan memang benar, masalahnya begitu rumit. Feri baru saja kehilangan pistol dinasnya. Dia diserang di dekat rumahnya saat pulang dalam keadaan mabuk. Pemuda berandalan itu mengambil pistolnya dan menggunakannya untuk merampok toko emas. Dia menembak mati dua penjaga toko dan melukai 3 lainnya. Feri benar-benar terpojok sekarang. Dia memang tidak melaporkan telah kehilangan pistol itu, Feri belum siap menerima sanksinya: 2 tahun tidak diperkenankan memegang senjata. Apa artinya seorang Polisi kalau tidak pegang senjata, padahal dia bertugas di lapangan. Jadi Feri berniat untuk menemukan pistol itu dengan usahanya sendiri. Tapi dengan adanya peristiwa perampokan itu, semuanya jadi tidak berjalan sesuai rencana. Dia harus cepat menemukan pistol itu sebelum hasil Labort keluar. Kalau sampai diketahui kalau peluru yang bersarang di tubuh korban berasal dari pistolnya, dia bisa didakwa melakukan perampokan dan pembunuhan. Selain dipecat, dia juga bisa dihukum mati. Dan Feri tidak mau itu terjadi. Jadi dia menghubungiku. Sebagai orang yang besar di jalan, dan kenal banyak pelaku kriminal, mudah saja bagiku untuk melakukannya. Kujanjikan padanya waktu 3 hari. Feri langsung memelukku.

“Terima kasih kawan, aku tahu kau bisa diandalkan.”

Aku cuma mengangguk dan mengelus punggungnya, menenangkan. “Bukan masalah, ini sudah kewajibanku. Sebagai teman, kita harus selalu tolong menolong.”

“Apa yang bisa kuberikan sebagai rasa terima kasih?” dia bertanya.

“Tidak usah, ini murni bantuan dariku.”

“Tidak, katakan saja. Pasti kuusahakan.”

“Tidak perlu repot-repot seperti itu.”

“Aku memaksa.”

“Hhmm, gimana ya? Begini saja, urusan itu kita bicarakan belakangan saja, kalau barang sudah kudapat. Untuk saat ini, berpikirlah untuk merawat dirimu. Lihat, penampilanmu kaya orang gila!” aku tertawa.

Feri memperhatikan dirinya, dan tersenyum. “Kamu benar.” Itulah untuk pertama kalinya hari itu kulihat Feri tertawa, aku menjadi sedikit lega. Akhirnya, kamipun berpisah. Tanpa perlu usaha keras, aku berhasil melacak jejak pistol itu. Yang memegangnya ternyata si Udin Rompal, sang spesialis perampok toko emas. Dia orang yang sadis tapi bodoh. Dengan sedikit trik dan tipu muslihat, aku berhasil mendapatkan pistol itu. Aku menukarnya dengan besi batangan. Aku tahu dia bakal marah besar kalau sampai tahu, tapi itu masih berbulan-bulan lagi. Aku segera menelepon Feri untuk mengabarkan berita baik ini. Dia tampak begitu gembira saat mendengarnya, dia tertawa-tawa sampai bikin kupingku sakit. Tapi tawanya langsung berhenti saat kubilang imbalan apa yang kuinginkan.

“Kau serius?” dia bertanya, berusaha meyakinkan.

“Sangat serius.” Jawabku santai.

“Tidak ingin yang lain?”

“Tidak.”

Feri terdiam sejenak, sepertinya sedang berpikir keras. “Aku tidak bisa memberi keputusan sekarang, harus kubicarakan dulu dengan istriku.”

“Tidak apa, aku bisa menunggu.” Pembicaraan pun berakhir di situ.

Aku sudah memikirkan soal imbalan ini sejak pulang dari rumah Feri. Dengan beberapa pertimbangan, aku menganggap ini keputusan yang terbaik. Dan aku yakin Feri tidak akan menolaknya. Dia tidak dalam posisi yang bisa menawar sekarang, kendali permainan ada di tanganku. Sambil tersenyum licik, aku memejamkan mata, dan tertidur pulas. Salah sendiri kenapa menjanjikan imbalan kepada orang seperti aku. Keesokan paginya, ponselku berbunyi saat aku sedang menikmati sarapan di dapur. Kulihat nama yang tertera di layarnya, dari Feri.

“Bagaimana?” aku langsung bertanya tanpa basa-basi.

“Ok, istriku setuju. Nanti sore datanglah ke rumah.” Tampak ada sedikit nada kesal dalam suaranya.

“Jam tiga.” Aku menyanggupi.

“Terserah. Jangan lupa barang pesananku.”

“Beres.” Pembicaraan pun berakhir. Kuteruskan sarapanku yang sudah tinggal sedikit, kemudian mandi dan pergi ke mini market untuk belanja bulanan.

Jam 14:35, sambil menenteng tas kecil, aku pergi ke rumah Feri. Dia sudah menungguku di teras depan saat aku tiba.

“Mana pistolku, ada?” dia bergerak menghampiri.

Aku menahan tubuhnya,  “Sebentar, sebaiknya kita masuk dulu ke dalam.”

Dengan bersungut-sungut, Feri mengikutiku masuk ke dalam rumah. Dia langsung menyambar tas kecilku begitu kami sudah berada di ruang tamu. Feri tersenyum saat melihat isinya.

“Tepat seperti yang kau minta.” Aku menambahkan.

“Terima kasih, sobat.” Dia menepuk bahuku.

“Aku kesini bukan untuk mendengar ucapan terima kasih darimu. Aku kesini untuk mengambil hadiahku.”

Feri langsung menarik tangannya, tampangnya kembali jutek lagi kaya tadi. “Pergi dari sini. Dasar kau bajingan sialan.” Dia berusaha mendorongku keluar.

“Kau yakin?” tapi aku tetap bersikap tenang. Aku tahu pasti akan diperlakukan seperti ini.

“Pergi, sebelum aku membunuhmu.”

“Apa yang akan kau gunakan? Pistolmu?”

Feri menarik keluar logam dingin itu dan membidikkannya padaku. “Ya, kalau itu memang harus kulakukan.” Saat itulah dia melihatnya. Pistol itu tidak utuh, tempat pelurunya tidak ada.

“Apa ini?” Feri bertanya kebingungan.

Aku tersenyum, “Berikan hadiahku, maka pistolmu akan kembali utuh.”

Feri mengumpat dan membanting pistolnya. “Dasar licik. Kau…” dia sudah akan memukulku saat tiba-tiba terdengar tangis bayi dari dalam kamar.

“Jangan berteriak. Kau membangunkan bayimu.”

Feri menarik tangannya. Mukanya masih merah dan nafasnya masih ngos-ngosan saat dia berbalik dan menghempaskan tubuh di kursi. Dia menendang pot bunga keramik yang ada di sebelahnya untuk melampiaskan amarah.

Aku diam saja saat melihat pot malang itu pecah berantakan. Sengaja kubiarkan dia berpikir agar bisa mengerti siapa yang berkuasa disini. Detik detik penuh kesunyian itu berjalan begitu lambat. Aku sudah hampir meninggalkan tempat itu saat Feri tiba-tiba mendongakkan kepala dan berbisik,

“Baiklah, kau menang. Tapi kapan akan kuperoleh magazine-ku kalau kuberikan hadiahmu?”

“Malam ini. Temui aku di tempat kerja.” Aku tahu dia mengerti tempat mana yang aku maksud.

Feri mengangguk. “Dia ada di kamar. Langsung saja kesana.”

Tanpa permisi atau mengucapkan terima kasih, aku langsung meluncur ke belakang. Di situ terlihat dua kamar. Aku pilih yang sebelah kiri karena kamar itu yang lampunya menyala. Dan lagi, tangis bayi tadi sepertinya berasal dari situ. Aku mengetuk pintunya pelan tiga kali.

“Masuk saja, tidak dikunci.” Terdengar lembut suara wanita dari dalam.

Aku membuka pintu dan melangkah masuk. Kamar itu tidak begitu besar. Cat biru mudanya sudah mulai kusam. Tidak ada hiasan atau lukisan di dindingnya. Lantainya yang gelap ditutupi semacam karpet berenda. Semuanya tampak begitu sederhana. Lemari besar yang sudah ketinggalan jaman berdiam sendirian di sudut, berdampingan dengan ranjang besar yang berseprei putih bersih. Di atasnya, terlihat Marissa, istri Feri, yang sedang menyusui bayinya. Wanita cantik itu tersenyum saat melihatku.

“Maaf, aku harus menidurkan si kecil dulu.” Dia memandangi bayi mungilnya.

“Tidak apa-apa. Teruskan saja.” Aku mendekat dan duduk di sebelahnya. “Berapa umurnya?”

“Minggu depan tepat tiga bulan.” Marissa menggeser tubuhnya. Dia membiarkan aku memandangi payudaranya yang menyembul keluar. “Kau menyukainya?” dia bertanya.

 

“Iya, dia lucu sekali.” Kuelus pipi bayi itu. Kulihat mulut mungilnya yang kenyot-kenyot menyedot puting payudara Marissa. Puting itu berwarna merah kecoklatan.

“Bukan. Maksudku, kau menyukai dadaku?”

Aku tidak bisa menjawab. Aku benar-benar tidak menyangka kalau dia akan bertanya langsung seperti itu. “Indah..” hanya kata itu yang keluar dari mulutku. Dan itu memang benar. Payudara Marissa memang benar-benar indah. Bentuknya bulat sempurna, dengan ukuran yang besar karena berisi air susu. Permukaannya yang putih mulus tampak seperti kulit bayi. Begitu menggoda hingga membuatku tak rela untuk mengedipkan mata.

“Kamu tidak ingin melihat yang satunya?” Marissa mengagetkanku.

“Tentu saja.” Aku menyahut cepat. Memang saat itu, cuma bulatan kiri saja yang dikeluarkan. Yang kanan masih berada di dalam, tertutup BH dan daster putih tipis.

“Kalau begitu, lakukan. Tunggu apa lagi.” Dia berkata.

Akupun beraksi. Dengan pelan, kuturunkan tali dasternya ke bawah. Kini tubuh atas wanita cantik itu sudah setengah telanjang.

“Sepertinya, kamu sudah tidak sabar.” Gumamnya saat merasakan aku menarik payudaranya yang kanan dengan kasar.

“Memang. Siapa juga yang tahan kalau lihat pemandangan seperti ini.” Aku meremas-remas bulatan daging itu. Kupijit perlahan-lahan hingga putingnya mengeluarkan air susu.

“Terserah, itu memang jatahmu. Tapi jangan pegang yang kiri selama bayiku belum tidur. Ok?” dia memperingatkan.

Aku cuma mengangguk. Aku tidak bisa menjawab karena sekarang mulutku asyik menempel di putingnya. Aku menjelajah, menjilat kecil, dan mencucupnya berkali-kali. Hingga tak lama, benda bulat mungil itupun berdiri tegak.

“Kau terangsang.” Aku mengatakan sesuatu yang sudah jelas.

“Memangnya kamu tidak?” dengan isyarat mata, Marissa menunjuk selangkanganku yang kini sudah tampak menggembung. Apapun yang ada di dalamnya, kini sudah menggeliat bangun.

Aku tersenyum, dan kembali mencucup puting itu. Sambil menghisap, aku juga meremas-remasnya pelan. Rasanya begitu nikmat. Empuk, hangat, dan kenyal bercampur menjadi satu. Permukaannya yang halus juga hampir membuatku tergelincir beberapa kali. Benar-benar mainan yang sempurna. Aku menyukainya.

Disaat aku sedang asyik itulah, Marissa tiba-tiba berbisik, “Bayiku sudah tidur.”

“Terus?” aku bertanya bodoh, inilah akibatnya kalau mikir pake nafsu.

“Berhenti sebentar, aku mau menaruhnya dulu.”

“Oh, iya. Iya.” Aku baru mengerti.

Dengan santai Marissa berdiri dan berjalan menuju Box bayi besar yang ada di seberang ranjang. Saat itulah, tanpa bisa dicegah, tanganku menepuk bokong bulatnya, PLAK!

“Auw, nakal ya.” Dia menoleh. Tapi tidak ada nada marah dalam suaranya. Dia juga tidak protes saat aku bangkit mengikutinya.

“Kenapa kamu mau melakukan ini?” aku bertanya.

“Kamu perlu alasan?”

“Tidak juga sih. Cuma penasaran saja.”

“Begini, kalau kamu jadi aku, apa yang akan kau lakukan?”

Aku berpikir sebentar, “Hhmm, mungkin juga sama.”

“Ya, itulah alasannya.” Marissa meletakkan bayinya. Karena dia menunduk, kedua payudaranya yang besar jadi menggelantung ke bawah. Aku segera menangkap keduanya dari belakang.

“Tapi sepertinya kamu tidak keberatan sama sekali untuk melakukan ini. Aneh!”

“Apanya?” dia berbalik.

“Kukira aku harus memperkosa dulu untuk mendapatkan tubuhmu. Tidak mudah dan gampang seperti saat ini.”

“Kamu ingin yang sulit?”

“Tidak juga sih, tapi…”

“Sudahlah. Jangan cerewet. Nikmati saja malam ini. Daripada ribut soal itu, mending segera saja kau nikmati tubuhku. Sebelum aku berubah pikiran.”

Aku mengangguk. Tentu saja aku tidak mau menyia-nyiakannya. Setelah dengan susah payah mendapatkannya, masa aku mau melewatkannya begitu saja. Segera kuajak Marissa untuk kembali ke ranjang. Kurebahkan tubuh sintal menggoda itu di bawah tubuhku.

“Kamu cantik.” Bisikku sebelum mulutku turun dan melumat habis bibir merahnya.

Marissa mengimbangi dengan menyedot dan menggigit bibirku berkali-kali. Lidah kami yang basah saling membelit dan menghisap. Dia mendesis saat aku juga menjelajahi pipi dan lehernya yang jenjang. Wanita itu tampak sangat menikmati setiap sentuhanku.

“Turun. Hisap payudaraku.” Dia mendorong kepalaku agar menuju ke dadanya. Tanpa disuruh pun aku pasti akan menuju tempat itu. Benda itulah yang sudah membuatku tergila-gila dari tadi.

Tapi aku tidak langsung melakukannya. Aku ingin memandangi dulu bukit kembar itu sebentar. Kembali mengagumi keindahannya. Baru kali ini aku melihat payudara yang begitu sempurna. Baik itu ukuran, bentuk, maupun rasanya. Marissa yang melihat kelakuanku, tersenyum dengan bangga. Sebagai wanita, tentu saja dia senang kalau ada lelaki lain yang memandang tubuhnya seperti itu. Berarti dia masih menarik. Dan ngomong-ngomong soal menarik, sekarang Marissa sudah menarik celanaku ke bawah. Dengan lihai dia mempreteli sabuk dan celana dalamku. Saat kemaluanku sudah kelihatan, dia segera menggenggamnya dengan erat.

“Besar sekali.” Dia berbisik di telingaku. Aku cuma tersenyum, bukan cuma dia yang pernah bilang seperti itu.

Sementara dia mengocok-ngocok penisku, aku berusaha untuk menyingkap celana dalam tipisnya. Aku menariknya ke bawah, tapi sulit sekali. Kusingkirkan ke samping juga tidak bisa. Daripada sulit-sulit dan menghabiskan waktu, aku langsung saja merobeknya jadi dua. Marissa memekik lirih saat tau apa yang kulakukan.

“Sudah tidak tahan, ya?” tanyanya sambil membuka kakinya lebar-lebar. Kini kami berdua sudah sama-sama telanjang.

Aku meringis, “Iya, maaf.”

“Sudahlah. Cepat lakukan.”

Kupegang penisku dan kuarahkan tepat ke lubang vaginanya. Wanita itu menjerit tertahan saat perlahan burungku menembus masuk dan memenuhi seluruh kemaluannya.

“Hhhggh, tahan dulu.” Dia mengerang. Meski sudah tiga bulan berlalu, ternyata luka bekas melahirkan dibibir vaginanya masih belum sembuh benar.

“Sakit?” aku bertanya.

Marissa cuma mengangguk, dua bulir air mata tampak merembes keluar dari matanya yang sayu. Aku jadi tidak tega untuk meneruskan, padahal aku sudah sangat bernafsu sekali saat itu.

“Gak jadi aja, ya?” aku bertanya.

“Tidak apa-apa, ini cuma sakit diawal saja. Nanti kalau sudah terbiasa juga bakal enak sendiri.”

“Nggak ah, aku gak tega.” Aku sudah akan mencabut penisku, tapi Marissa menahan pinggulku.

“Jangan. Aku sudah lama ingin merasakan penis besar seperti punyamu.”

“Memang punya Feri seberapa?”

“Masih kalah pokoknya.”

“Tapi kamu kesakitan.”

“Gak pa-pa. Percayalah padaku.”

“Beneran?”

Marissa mengangguk sungguh-sungguh, “Tapi tunggu sampai kemaluanku melar dulu.” Dia menambahkan.

Sambil menunggu, aku bermain-main dengan dada Marissa yang besar. Aku meremas dan menciumi daging bulat itu bergantian. Kuhisap putingnya dan kupilin-pilin dengan ujung jariku. Marissa melotot saat aku mencucup dan meminum air susunya yang merembes keluar.

“Eh, jangan dihabiskan. Nanti anakku minum apa?” dia menegurku sambil tertawa.

Kurasakan kemaluan Marissa menjadi sedikit lebih longgar sekarang. Cairan kewanitaannya juga semakin banyak menetes keluar. Mungkin ini sudah saatnya. “Bagaimana?” aku menunjuk penisku yang masih terdiam di bawah sana.

“Oh iya, tapi pelan-pelan ya.” Bisiknya.

“Nanti bilang kalau sakit.” Aku menarik pinggulku pelan. Marissa cuma merintih saat penisku ikut tertarik keluar. Tapi saat aku mendorongnya kembali, dia menjerit.

Tapi sebelum aku sempat bertanya, Marissa sudah berbisik, “Teruskan, tidak apa-apa.” Dia menggigit bibirnya untuk menahan sakit.

Aku menggerakkan pinggulku sekali lagi. Kali ini Marissa sudah tidak berteriak, dia cuma merintih lirih. Suatu kemajuan yang sangat berarti buatku. Kutarik lagi pinggulku, lalu mendorongnya. Tarik lagi. Dorong lagi. Tarik. Dorong. Tarik. Dorong. Tarik. Dorong. Dan setelah goyangan yang kesekian, rintihan Marissa yang tadinya penuh kesakitan, sekarang sudah berubah jadi rintihan penuh kenikmatan. Aku berhasil. Marissa sudah melewati masa penyesuaian. Kini aku jadi makin bersemangat. Dengan mantab dan kecepatan konstan, kusetubuhi wanita cantik itu. Berbagai gaya dan variasi kami coba. Mulai dari yang normal sampai yang aneh-aneh. Kalau tidak kesakitan gini, Marissa adalah pasangan tidur yang sempurna. Disaat kami sedang asyik itulah, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Feri masuk untuk mengambil lencana polisinya yang tergantung di dalam lemari.

“Teruskan saja. Aku cuma mau mengambil ini.” Dia memasukkan lempengan logam mengkilat itu ke dalam dompetnya.

Aku sempat berpikir untuk menghentikan permainan. Sungkan juga kan kalau menyetubuhi seorang wanita sedangkan suaminya berada sekamar bersama kita. Tapi Marissa menahan tubuhku.

“Biarkan saja.” Dia berkata. Dan terus menggoyang tubuhnya.

Aku yang berada di bawah cuma bisa pasrah karena saat itu Marissa lah yang memegang kendali permainan. Wanita itu seperti tidak peduli lagi dengan keberadaan suaminya. Dia sudah sangat dipengaruhi nafsu. Posisi kami memang sudah nanggung saat itu. Kami sudah sama-sama hampir mencapai orgasme. Jadi eman-eman kalau diputus sekarang, mungkin begitu pikir Marissa.

“Aku pergi dulu, ada panggilan mendadak dari kantor.” Feri berpamitan pada istrinya.

Tapi bukannya menyahut, Marissa malah menjerit keras dan roboh menimpa tubuhku. Wanita itu orgasme. Kurasakan cairan hangat menyiram dan menyemprot memenuhi vaginanya. Kami tidak bergerak untuk beberapa saat. Penisku yang masih tegak berdiri, kubiarkan terus menancap. Aku ingin memberi waktu bagi Marissa untuk menikmati orgasmenya. Feri sudah tidak terlihat lagi di kamar. Aku tidak tahu kapan dia keluar. Tapi aku juga tidak peduli. Aku lebih senang dia tidak ada, jadi aku bisa lebih puas menikmati tubuh istrinya. Kugeser tubuh sintal Marissa saat kurasakan dia sudah tidak gemeteran lagi. Kuminta dia untuk telentang. Marissa yang yang sudah kecapekan menurut tanpa membantah. Dia sekarang pasrah saja dengan apa yang kulakukan pada tubuhnya. Orgasmenya barusan telah menguras sisa-sisa tenaga wanita itu hingga tak tersisa.

“Bertahanlah, sudah tidak lama lagi.” Aku berbisik menyemangatinya.

Tapi Marissa tidak merespon sama sekali. Dia cuma memejamkan mata dan membiarkan aku bergerak sendirian menikmati vaginanya yang lezat. Dalam waktu tak sampai satu menit, aku pun menyusul. Spermaku berhamburan keluar, memenuhi vagina Marissa, bercampur dengan cairan kewanitaannya yang membanjir tadi, hingga membuat vagina wanita itu seperti gua lengket jaman purba. Saat aku menarik penisku, sebagian ikut merembes keluar membasahi sprei putih yang sekarang sudah basah oleh keringat. Marissa membuka matanya dan tersenyum.

“Kau puas?” dia bertanya.

“Lebih dari yang aku bayangakan.” Kucium bibirnya yang merekah manis di depanku. Marissa menyambutnya pelan.

“Kau akan pergi sekarang?” dia tampak berat untuk melepasku.

“Perjanjiannya cuma satu kali.”

“Tapi sekarang Suamiku sudah tidak ada. Kau bebas tinggal sampai kapanpun.”

“Tidak. Sebentar lagi aku harus bekerja.”

“Kumohon.”

Aku paling tidak bisa mengecewakan seorang wanita, apalagi yang cantik, dan pake memohon segala.

“Jam berapa sekarang?” aku bertanya.

Marissa mengambil HP-nya, “19:32!”

“Kamu punya waktu 30 menit.”

“Akan kumanfaatkan dengan baik.” Marissa merosot turun menuju penisku.

Dia memasukkan benda hitam yang setengah lemas itu ke dalam mulutnya. Marissa menjilat dan mengulumnya agar segera siap untuk babak kedua. Inilah alasan kenapa aku datang telat ke pesta. Waktu 30 menit yang kusediakan ternyata molor menjadi 1 jam. Selain Marissa yang terus merengek minta tambah, aku juga tidak tega untuk meninggalkannya. Siapa juga yang mau berpisah dengan wanita secantik dia. Jadi kami mengulanginya lagi dan lagi. Feri tidak tahu hal ini. Dia tetap mengira satu kali, sesuai perjanjian awal. Tapi mana ada sih penjahat yang menepati janji, iya nggak? Setelah berbasa-basi sebentar, aku segera menyerahkan sisa hutangku. Kuberikan magazine itu. Feri memeriksanya sebentar. Setelah yakin kalau itu asli, dia menepuk pundakku.

“Ok, sampai jumpa lagi.” Dengan terhuyung-huyung, Feri berjalan pergi menembus malam yang dingin ini.

Aku tetap duduk di dalam mobil, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tiba-tiba saja telepon berdering dari bangku belakang. Aku sempat melonjak dan terbentur pintu karena kaget.

“Sialan!” kuambil telepon itu. “Halo?” aku menerimanya.

Ternyata dari seorang wanita. Ia berbisik,”Peter, kau menikmati hadiahmu?”

“Lumayan, sesuai dengan anjuran dokter. Terima kasih.” Aku balas berbisik.

“Aku lebih senang kau berterima kasih padaku secara langsung di pantai.”

“Banyak orang disini, bagaimana aku tahu yang mana dirimu?”

“Coba saja. Kau akan tahu sewaktu melihatku.” Dan dia mematikan telepon. Aku mencoba menghubungi balik, tapi ternyata tidak ada pulsa dalam ponsel itu.

Aku turun dari mobil dan berjalan perlahan menuju pantai. Aku bertanya-tanya, siapa yang mungkin menantiku. Yang seru dari Rumah Pantai adalah kejutannya. Wanita tadi bisa saja 15 atau 55 tahun. Bisa juga cantik dan menggairahkan, tapi tak jarang juga gendut dan keriput. Ia mungkin datang seorang diri atau bersama teman, bahkan malah suaminya? Aku juga tidak tahu. Aku cuma bisa menebak-nebak. Aku duduk di pasir, sekitar 18 meter dari karang yang paling ujung. Ombak begitu keras malam ini, sisa-sisa dari badai minggu kemarin. Suaranya yang bergemuruh membuatku terlena hingga aku tidak mendengar ketika mereka datang mendekat. Tiga orang, dengan jas hitam dan badan kekar. Yang terpendek, dengan kepala dicukur plontos, langsung menendangku tepat di dada. Aku terjerembab. Nafasku sesak, dan kurasa beberapa tulang rusukku ada yang patah. Aku semakin panik saat mereka bertiga mulai mengeroyokku. Mereka dikirim kesini bukan cuma untuk memberiku pelajaran. Ini jauh lebih serius. Sia-sia aku melawan. Mereka terus menghujaniku dengan pukulan dan tendangan. Tanpa berhenti, salah satu dari mereka berkata,

“Rasakan ini, Peter Rabbit sialan!”

Aku mendengar suara derak tulang patah –tulangku. Tapi aku tidak merasakan sakit. Saat itulah aku tahu aku akan mati. Mungkin ini tidak penting lagi, tapi aku tahu siapa yang membunuhku!

By: Ikan Asin