Saat Kereta Terlambat Datang

Cerita ini pernah saya tulis di Blog saya dengan judul yang sama. Hampir tiga jam aku duduk duduk di peron stasiun. Suasana yang tadinya rame ketika aku masuki stasiun Tanjung Barat sudah mulai sepi. Banyak calon penumpang yang memilih pindah naik bis karena jadwal kedatangan kereta yang kacau. Dan ketika kereta menuju Bogor itu datang, banyak yang tidak bisa masuk karena penuhnya. Bahkan kereta express yang harga tiketnya hampir 10 kali lipat harga tiket kereta ekonomipun penuh dijejali penumpang. Aku yang mulai tidak sabar mencoba untuk berdamai dengan keadaan. Karena memang kalau harus pindah naik bis berarti keluar biaya extra yang tidak sedikit. Aku pikir masih ada banyak waktu. Disamping istri tidak sedang dirumah, aku tahu kalau masih ada kereta yang bakal lewat meski jam tanganku menunjuk angka 9 lewat 25 menit. Dan seleksi alam sepertinya berlaku, kedatangan kereta harus diadu dengan kesabaran calon penumpang. Dari puluhan calon penumpang yang nampak tiga jam yang lalu, sekarang bisa dihitung dengan jari yang tersisa. Di antara mereka aku lihat seorang wanita yang duduk gelisah. Aku mencoba tidak peduli, dan asik dengan kubus ajaib yang ingin aku taklukkan misterinya. Tapi ketika aku dengar sapanya, mau tidak mau aku harus sedikit mengalihkan perhatianku. “Mas, sampai jam berapa ya kereta bakal datang?” tanyanya yang ternyata telah duduk di sebelahku. “Perhitunganku masih Mba, sebab biasanya jam segini kalau jadwalnya normal masih ada satu kereta ekonomi, 2 kereta ekonomi AC dan satu Express. Sabar saja mba.” Jawabku mulai menenangkan. “Bukan begitu Mas, dengan jam segini temanku pasti sudah pulang, dan aku harus naik angkot yang belum tentu masih ada.” ia mencoba menjelaskan alasan kegelisahannya. “Lha memang teman mba ngga mau nunggu?” “Dia balik jam sembilan dari taman topi, dan sudah jadi kesepakatan kalau aku belum sampai ya ditinggal saja.” “Yah memang pasti sudah pulang sih. Lha memang pulang ke mana kok angkutan sudah tidak ada.” “Jasinga.” Waduh.. pikirku. itu sih jauh banget, ada kemungkinan memang sudah tidak ada mobil. Kalaupun ada, untuk perempuan cantik macam dia apa aman kalau harus pulang sendirian. Jangan-jangan dikira bukan perempuan baik-baik. Dan dengan dia bertanya padaku tentunya berharap ada solusi. “Kalau hitungan waktusih paling tidak kita sampai stasiun Bogor jam sebelas. Dan belum lagi ke arah Jasinga. Apa tidak sebaiknya mba telelepon teman mba itu untuk njemput di stasiun Bogor?” “Tidak mungkin Mas, tidak enak aku sama istrinya. Dan lagi dia hanya tetangga, bukan saudara.” “Terus bagaimana Mba, apa nanti mba cari penginapan saja di Bogor, besok diteruskan jalan pulangnya.” “Waduh Mas, buat beli susu anakku saja susah, apalagi buat bayar penginapan.” Sudah ada anak, berarti ada suami dong. “Kenapa tidak dijemput suami Mba?” Dia diam tak menjawab, tapi malah menundukkan mukanya. “Eh maaf kalau saya salah ucap.” Saya coba mengkoreksi. “Tidak apa-apa Mas, saya sudah tidak ada suami. Sudah meninggal.” “Oh maaf, ikut berduka cita.” Saya mencoba menghibur. Tiba-tiba saya menjadi bersimpatik, dalam usianya yang masih muda dan cantik dia harus membesarkan anaknya sendiri. “Err… Maaf mba. Mba berharap saya menolong Mba?” “Saya tidak berani meminta mas..” “Begini saja mba, saya tidak mungkin mengajak mba kerumah saya. Tapi kalau mba mau, saya antar saja nanti ke rumah.” “Tapi Mas, rumah saya sangat jauh, memangnya rumah mas di mana?” “Saya di Bojong Gede, tapi sepertinya tidak tega melihat mba ngadepin kesulitan sendirian.” “Tidak Mas, saya tidak mau merepotkan. Saya terima saja saran Mas tadi untuk mencari penginapan. “Gak papa Mba, istri saya juga sedang tidak di rumah, jadi tidak apa-apa kalau pulang terlambat. Baiknya kita ganti saja tiketnya. Kita naik express. Terus turun di Bojong Gede. Motor saya ada di stasiun. Nanti mba saya antar ke rumah. Si Mba hanya diam saja. Tapi bisa aku lihat rasa cemas itu sudah sedikit hilang dari wajahnya.
***​
Tidak sampai satu jam, kita sudah tiba di stasiun Bojong Gede. Ada rasa cemas di hati, takut kalau ada kenalan yang melihat aku pulang dengan seorang wanita. Tapi itu segera aku kesampingkan, aku bisa berdalih kalau ini untuk menolong. Sengaja aku berlama-lama di tempat penintipan motor. Menunggu punumpang kereta express melanjutkan perjalannannya. Dan si Mba sepertinya mengerti maksudku. “Takut ada yang lihat ya Mas?” tanyanya sambil tersenyum. “Saya bukan orang yang terbiasa diledek karena bareng dengan wanita. Apalagi secantik mba.” kilahku “Eh mas bisa saja. Untuk perempuan yang sudah punya 2 anak saya bukan orang yang bisa dibanggakan sebagai penggoda laki-laki.” jawabannya mulai menunjukkan keakaraban. Tapi bagaimanapun harus aku akui, perempuan disampingku ini sangat menggoda, dibalik balutan swetter sangat jelas body yang sempurna. Meski perkiraanku tinggi badannya tidak lebih dari 160, tapi besar badannya sangat proposional. Dengan dada yang membusung dan pantat yang berisi, mau tidak mau aku membayangkan godaan apa yang dia bawa. “Eh ngomong-ngomong kita belum saling tahu nama kita masing-masing. Saya Listanto. Panggil saja Anto.” “Oh iya, aneh ya, sudah sejam lebih ngobrol malah gak tahu nama. Saya Nengsih. Kalau di rumah sering dipanggil Neng, tapi terserah Mas Anto saja.” Aku hanya tersenyum, namanya semanis orangnya. Dan setelah jaket dan helm aku pakai, termasuk helm cadangan yang selalu aku bawa aku serahkan ke Nengsih. Motor yang selalu menemaniku itu berjalan kearah Bogor. Aku lihat isi tangki bensinku ada setengah. Aku rasa masih cukup untuk menempuh perjalanan 50 km. Tapi untuk berjaga-jaga akan aku penuhi dulu bila ketemu pom bensin nanti. Dingin angin malam kota Bogor membuat Nengsih meski sedikit jengah melingkarkan tangannya di pinggangku. Ah ternyata ada imbalannya pertolonganku padanya. Kehangatan pelukannya. Dan makin lama rasa jengah itu makin hilang dan tubuhnya makin rapat kepunggungku. Meski masih terhalang jaket motorku, bisa aku rasakan apa yang menempel di punggungku. Mau tidak mau, teman kecilku menggeliat. Ketika motor yang kupadu memasuki daerah Dermaga, tiba-tiba hujan turun langsung besar. Sigap aku tepikan motorku mencari tempat berteduh di depan area kampus. Beruntung ada kios foto copy yang sudah tutup. Motor segera kuparkirkan dibawah emperan. Dan Nengsih segera turun. “Aduh Mas, pakai acara hujan lagi. Bagaimana ini?” “Ada jas hujan Neng, sebaiknya kamu pakai saja.” Saya tidak lagi memanggilnya Mba, karena memang usaianya lebih muda dari saya dan dia hanya mau dipanggil namanya saja. “Emang ada berapa jas hujan Mas?” “Satu” “Kalau satu mas saja yang pakai. Gak papa aku kehujanan. Kan dibelakang.” “Atau begini saja. Kamu pakai jaket saya, terus saya pakai jas hujan. Dan kepalamu ditutup jas hujan yang saya pakai. Bagaimana?” “Boleh.” Aku segera membuka Jaket motorku dan menyerahkan kepadanya yang segera memakainya. Setelah aku rapi dengan jas hujan, kembali aku naiki motorku. Nengsih tidak mau ketinggalan. Segera saja dia masuk ke jas hujan yang aku pakai. Tapi rupanya Nengsih tidak penuh menutup resleting jaket yang dia pakai, sebab ketika dia menempel di punggunku segera aku rasakan kekenyalan payudaranya. Aku sedikit mendesah. Gejala apa ini. “Neng, kenapa jaketnya tidak ditutup semua.” aku mencoba bersikap sok alim. “Gak papa mas, lebih hangat kan mas kalau begini. Bolehkan aku meluk Mas Anto.” Aku hanya diam saja. Yah siapa yang tidak bakal merasa intim. Pada saat dalam kesulitan, datang malaikat yang tidak terlihat pamrihnya datang menolong. Bukan maksudku untuk memperlambat laju motorku untuk merasakan kemesraan seorang Nengsih lebih lama, tapi karena memang hujan yang begitu lebat menghalangi pandanganku. Dan sepertinya Nengsih mengetahui kesulitanku. “Mas, sebaiknya berhenti saja daripada celaka nantinya.” “Tapi hari sudah malam Neng, aku takut kamu masuk angin.” “Ga papa Mas, berhenti saja.” Akhirnya aku tepikan lagi motorku. Dan perjalanan memang masih jauh. Kembali aku dapatkan tempat berteduh sebuah counter HP yang sudah tidak beraktifitas lagi. “Ini daerah apa namanya Neng?” tanyaku. “Cibatok Mas. Mungkin masih sekitar 25 KM lagi baru sampai Jasinga.” “Kita tunggu hujan reda atau bagaimana Neng?” Nengsih tak menjawab, tapi aku tidak tega melihat bibirnya yang mulai biru. Segera aku dekati dia dan aku rengkuh ke pelukanku. “Maaf Neng, bukannya nyari kesempatan, tapi sepertinya kamu kedinginan.” Nengsih tidak menjawab, malah membalas pelukanku. Kembali aku rasakan hangatnya dadanya. Dan aku harus berjuang untuk tetap berlaku bisasa saja. Dan itu tidak berlaku lama. Lima belas menit kemudian hujan telah benar-benar berhanti. Segera aku lanjutkan perjalananku. Tidak sampai 30 menit aku sudah memasuki rumah sederhana di daerah Jasinga. Nengsih mengenalkan aku kepada seorang perempuan paruh baya yang ia kenalkan sebagai ibu angkatnya sebagai malaikat penolongnya. Karena kondisi badanku yang basah dan dingin meski aku ingin lebih lama tinggal, aku harus pamitan untuk pulang. Tapi Nengsih mencoba menahanku. “Mas baiknya jangan pulang. Saya rebusin air saja terus Mas mandi. Pulangnya besok pagi saja. Besok libur kan Mas?” Sebenarnya batinku bersorak. Tapi ada pertimbangan yang memaksaku harus pulang. “Benar Nak, kalau Nak Anto pulang, sampai rumah bisa jam dua lebih. Sebaiknya menginap di sini saja. Tapi kalau Nak Anto keberatan menginap dirumah yang kecil ini hanya ini yang kami punya.” Ucapan Ibu angkat Nengsih sedikit banyak membuatku jengah. Dan sepertinya tawaran mereka bukan tawaran untuk ditolak. Baru aku mau menolak tawaran mereka tiba-tiba hujan turun lebat. Lebih lebat dari tadi. “Ayo mas masuk saja. Nanti malah masuk angin. Kalau tidak mau menginap ya berteduhlah dulu. Nanti aku buatkan teh hangat.” Nengsih memaksaku masuk sambil menyeret tanganku. Kali ini aku tidak menolak, karena memang jaket motorku basah, sepertinya hujan kali ini tidak bersahabat karena disertai angin. Nengsih segera masuk dan keluar lagi sambil membawa handuk yang diserahkan kepadaku yang aku terima dengan penuh terima kasih. Nengsih kemudian masuk lagi dan disusul Ibu angkatnya yang keluar sambil membawa secangkir teh hangat. Aku tak berfikir bagaimana bisa secepat itu teh yang menyegarkan badanku itu cepat terhidang. Sambil menunggu hujan reda aku keringkan rambutku. Ah ternyata badanku terasa bau asam. Yah memang seharusnya aku sudah mandi. Entah sedah berapa menit aku ditinggal sendiri. Setelah tadi Ibu angkat Nengsih pamit untuk pergi tidur karena besok harus berangkat ke pasar jam empat pagi. Lamunanku dikejutkan oleh kedatangan Nengsih yang ternyata sudah membersihkan badannya. “Mas kalau mau mandi sudah aku rebuskan air, tapi maaf kamar mandinya jelek.” Aku tidak langsung menjawab, tapi terpana dengan sosok indah di depan mataku. Dalam keremangan lampu bisa aku lihat Nengsih yang segar seusai mandi dengan memakai daster tanpa lengan. Ah ada bidadari rupanya. “Mas… Ditawari mandi kok bengong.” Tegur Nengsih mengagetkan keterpanaanku. “Eh iya, percuma kali Neng kalau mandi, aku cuci muka saja.” “Kenapa?” “La kan habis mandi masih pakai baju ini juga.” “Er… maaf mas. Mandi saja mas. Maaf, habis mandi mas pakai sarung saja. Maaf..” kata Nengsih malu-malu. “Kamu suruh aku pulang pakai sarung Neng?” tanyaku pura-pura bingung. “Eh siapa yang nyuruh pulang. Mas nunggu pagi saja disini. Anak-anak sudah aku pindahin ke kamar ibu. Sekali lagi aku hanya bisa diam. Bangkit dan mengikuti Nengsih ke kamar mandi. Ketika Nengsih membukakan pintu kamar mandi, meski sudah menepi, pintu sempit itu tidak memberiku banyak ruang untuk dilewati. Mau tidak mau aku miringkan badanku. Celakanya itu artinya harus berhadapan dengan Nengsih yang masih berdiri di sana. Mau tidak mau dadanya bergesekan dengan dadaku. Seperti ada sengatan listrik disana. Nengsih melengos malu. Aku jengah dan salah tingkah. “Maaf Neng.” kataku lirih. “Gak papa Mas.” jawab Nengsih lirih juga. Celakanya aku tidak segera masuk ke kamar mandi. Dan ketika Nengsih mendongak, bisa aku rasakan nafasnya lebih cepat. “Sebaiknya Mas Anto mandi. Sarung sudah ada di kamar mandi. Nengsih menutup pintu dulu. Motornya sudah dimasukin kan Mas. Nanti istirahatnya di kamar depan.” Ternyata Nengsih lebih bisa menguasai keadaan. “Terima kasih Neng.” jawabku sambil menutup pintu kamar mandi.
***​
Hangat air mandi menurunkan ketegananku. Termasuk teman kecilku. Meski terasa segar aku tak mau berlama-lama di kamar mandi. Segera aku pakai sarung yang dipinjamkan Nengsih dan menuju kamar depan. Aku terkejut, ternyata Nengsih juga terbaring di sana. Ragu-ragu aku untuk masuk kedalam kamar. “Kenapa Mas?” tanya Nengsih melihat keraguanku. “Eh Neng, sebaiknya aku di ruang tamu saja.” “Maaf mas, saya tidak bermaksud menjebak atau yang lain. Tapi sepertinya saya benar-benar menjadi orang yang sangat tidak tahu terima kasih kalau membiarkan Mas Anto tidur di ruang tamu, sementara hujan begitu lebat. Dingin Mas diluar.” “Tapi Neng, aku tidak enak sama Ibu, juga kalau tetangga tahu kalau aku tidur sekamar sama Nengsih. Aku hanya ingin menjaga kehormatan Nengsih.” “Terima kasih Mas, Mas Anto begitu baik. Ibu kok yang menyuruh. Dan kalau masalah tetangga, sebagai janda saya sudah kebal dengan omongan mereka Mas. Yang penting buat saya, saya tahu Mas Anto tidak bermaksud jelek.” Aku ragu-ragu, tapi melihat pandangan Nengsih yang penuh dengan permohonan, aku jadi tidak tega. Segera aku menuju balai yang tidak lebar itu. Dan Nengsih begeser memberiku ruang untuk berbaring. Dipan kecil itu memaksa kami yang berbaring di atasnya untuk saling berhimpitan. Lengan telanjang kami saling bersentuhan. Lama kami berbaring dalam kebisuan. Dan keadaan itu sulit bagi kami untuk segera memejamkan mata. “Mass…”,”Neng..” tegur kami hampir bersamaan… “Eh Neng saja yang bicara.” dapat aku rasakan ketegangan padanya. Seperti juga debaran jantungku yang semakin cepat. “Anu..” ujar Nengsih sambil memiringkan badannya. Celakannya itu artinya lenganku harus bersentuhan dengan dadanya. Tidak seperti ketika di pintu kamar mandi tadi. Kali ini yang aku rasakan adalah daging lembut yang hanya berlapis kain dasternya. Aku benar-benar tidak tahan. “Apa Neng…?” tanyaku dengan nada yang sudah dikuasai nafsu sambil ikut memiringkan badanku ke arahnya. Nengsih tidak menjawat, melainkan langsung memeluk tubuhku. Segera aku cari bibirnya dan tak lama kami sudah saling mencium dengan penuh nafsu. “Neng…, apa yang kita lakukan ini benar?” tanyaku ketika istirahan sejenak karena kehabisan nafas. “Aku tidak tahu massss… Tapi aku menginginkan Mas…” jawab Nengsih sambil mempererat pelukannya, sementara wajahnya dibenamkan di dadaku. Mungkin karena lama tidak bersentuhan dengan lak-laki Nengsih berlaku lebih berani dan mengesampingkan resiko. “Tapi kalau Mas tidak mau, aku juga tidak mamaksa.” kata Nengsih selanjutnya. “Maaf Neng.., sepertinya ini terlalu cepat. Bukan maksudku merendahkan Nengsih, ini karena rasa hormat saya pada Nengsih. Saya tidak ingin memanfaatkan keadaan Neng.” aku mencoba berdiplomasi. “Tidak apa-apa Mas, Nengsih ngerti. Maaf kalau Nengsih kurang ajar.” Aku lihat matanya sedikit berkaca-kaca. Aku menjadi salah tingkah. Segera aku pererat pelukanku. “Neng, aku juga menginginkannya. Bahkan sejak kita berboncengan pas hujan di motor tadi.” “Neng ngerti kok Mas, Mas ragu karena Mas punya istri. Dan itu hak Mas. Dan itu membuat Neng makin hormat sama Mas. Mas bukan orang yang mudah tergoda, bahkan pada keadaan seperti sekarang, ketika tidak ada lagi halangan di antara kita.” “Maafkan aku Neng..” Aku bingung dengan apa yang harus aku katakan. Tapi entah kenapa, bukannya merenggangkan pelukanku, tapi malah merapatkan tubuhku. Dan Nengsihpun demikian. Sejenak kami hanya saling diam. Diam gerak, diam suara.
***​
Terjebak dalam kebisuan, tubuh Nengsih beringsut merapat. Dan yang aku rasakan puncak bukit di dadanya sudah mengeras. Tak sadar aku mengusap dari luar dasternya. “Masssss…” kembali kami terlibat saling mencium. Saling memberi. Dan entah kapan memulainya, tangan kananku sudah parkir di dadanya. Dan Nengsihpun sudah menggenggam erat sahabat kecilku yang sudah ikut bangun dari tadi. “Neng……, mau kita teruskan..?” tanyaku dalam guman. “Terserah Masss……., Nengsih pasrah.” jawab Nengsih sambil mendesah. Aku mencoba membangun kembali kesadaranku. Tapi sepertinya usahaku sia-sia, sebab tak tahan aku untuk segera menindihnya. Ketika aku lihat Nengsih sudah memejamkan matanya, tiba-tiba aku sadar dengan apa yang aku lakukan. “Neng…” Nengsih membuka matanya, “Ada apa Mas..?” “Ini tidak benar Neng. Maafkan aku..” ujarku sambil turun dari tubuhnya. Setengah mati aku menahan gejolak di dada. Aku lihat Nengsih sedikit kecewa. Tapi dia pendam jua. “Iya Mas… Nengsih ngerti. Sebaiknya tidak kita teruskan.” sungguh luar biasa perempuan satu ini. Ketika nafsu ada diubun-ubunnya dia masih bisa berfikiran logis. Aku menarik nafas lega. Meski tahu Nengsih kecewa, paling tidak pikiran sadarku membenarkan hal ini. Aku tatap langit-langit kamar yang sebenarnya tidak bisa aku lihat jelas karena memang kamar ini diterangi hanya dengan lampu 5 watt. Fikiranku mengembara entah kemana. “Mas..” Nengsih mencoba memecah kesunyian. “Ya Neng?” tanyaku. “Kenapa kita bertemu dengan status seperti sekarang ya?” tanya Nengsih menggugat. Ketika aku lihat ke wajahnya, ada air mata yang mengalir di atas telinganya. Aku bangkit dan tengkurap disampingnya. Aku usap air matanya. “Neng, masing-masing dari kita punya jalan sendiri-sendiri. Tidak perlu disesali. Mencobalah mengalir mengikuti arus jalan hidup kita.” Aku berdiplomasi. “Neng gak menyesal Mas. Tapi kalau hanya untuk ini, kenapa kita mesti bertemu.” “Siapa bilang hanya untuk ini Neng.” kataku bergetar. Aku usap bibirnya lembut. “Meski mungkin tidak adil, aku masih ingin bertemu lagi sama Neng.” egoku timbul, karena memang sesungguhnya aku tidak mau berpisah dengan wanita cantik ini. “Maksud Mas?” Nengsih kembali melingkarkan tangannya di pinggangku. “Kamu terlalu indah untuk disia-siakan Neng.” jawabku sambil mengecup lembut bibirnya. “Mas mencintai saya?” “Aku tidak tahu Neng, yang jelas dekat dengamu, apalagi dalam keadaan seperti ini, jiwa kelakianku berkata bahwa kamu harus aku lindungi.” “Terima kasih Mas, sudah berterus terang. Mungkin terlalu cepat Neng bicara ini, tapi ibu tadi juga bicara bahwa Mas bukan tipe laki-laki brengsek, dan dia merestui apapun yang Mas lakukan pada saya.” sungguh satu pernyataan yang emplisit. “Dan aku tidak mau mengecewakan harapan Ibumu dengan memperlihatkan aku sebagai laki-laki brengsek Neng.” “Dan itu sudah Mas buktikan.” “Jadi?” “Terserah Mas. Seperti Ibu, Neng juga rela apapun yang bakal berlaku terhadap Neng dari Mas.” Nengsih mempererat pelukannya. Aku cium lembut lagi bibirnya. Dan untuk sementara yang terdengar hanyalah lenguhan dan dengusan orang berpagut bibir. Teman kecilku kembali bangun. Dengan tanpa menghentikan ciumanku, tanganku membuka simpul dasternya. Dan terbuka dadanya yang membusung. Tak tahan aku bibirku pindah ke payudaranya. “Masss…” Nengsih mendesah. “Neng pasrah Mas…” Di remasnya rambut kepalaku. Aku asik berkecipak dengan payudaranya yang bak payudara perawan. Ketika aku asik mencumbu perempuan indah ini, aku dengar suara pintu dibuka. “Apa itu Neng?” tanyaku berbisik. “Ibu ke kamar mandi. Sebentar lagi ibu harus berangkat ke Pasar.” jelas Nengsih dengan suara berbisik pula. Aku kembali ke alam sadarku. Aku hentikan sejenak aktivitasku. “Neng, apa tidak sebaiknya aku ikut pergi bareng Ibumu? Hujan juga sudah berhenti. Tidak baik kalau aku keluar hari sudah siang dan tetangga melihat.” Aku mencoba berfikir logis. “Mas tidak mau aku layani dulu?” Nengsih tampak kecewa. “Tapi ibumu harus berangkat.” “Kalau ibu Mas antar sampai kepasar, Ibu bisa nunggu Mas.” “Tapi sekarang ibu sudah bangun. Sepertinya tidak etis kalau ibu nungguin aku sementara kita lagi bercumbu.” Nengsih kali ini sepertinya memaksa, ditelentankannya aku kemudian menindihku. Dia lepaskan Dasternya dengan tidak sabar. Segera di pegangnya sahabat kecilku dan diarahkan ke lobang kewanitaannya. Tak lama kemudian terasa hangat disana dan segera di gerakkan pinggulnya. “Stop Neng.” Aku memaksa menghentikan kesenangannya. “Apa lagi Mas, waktu kita tidak banyak.” tangisnya hampir meledak. Aku tarik tubuhnya untuk tengkurap di atasku. “Tidak baik kalau terburu-buru Neng. Aku tidak ingin persetubuhan seperti ini. Aku ingin kita lalui dengan perlahan-lahan dan kita mencapainya secara bersamaan. Tidak terburu-buru seperti ini.” Nengsih mulai sesenggukan. “Tapi Mas, Nengsih sangat ingin. Tolong Nengsih Mas…” “Nengsih harus percaya Mas. Mas janji, ini bukan yang terakhir. Nengsih tahan ya…” Sungguh mati aku pun pengin meneruskan ini. Tapi….. “Bu…. Mas Anto katanya mau bareng..” tiba-tiba Nengsih memanggil ibunya. Aku yakin karena dinding kamar yang terbuat dari bilik sedikit banyak Ibunya mendengar pembicaraan aku dan Nengsih meski telah dilakukan dengan berbisik. “Masih lama ko Neng perginya. Baru jam 3. Ibu hanya pengin ke belakang saja. Habis subuh Ibu pergi.” “Begitu ya Bu, terima kasih Bu.” Nengsih menjawab cerah. “Iya Neng. Teruskan saja tidurnya. Nanti Ibu bangunin.” Sungguh satu isyarat yang bijaksana menurutku. Satu jam sudah cukup untuk bercumbu dengan penuh kasih sayang. “Mass……” Nengsih sepertinya tidak mau menyia-nyiakan waktu yang satu jam. Kembali ia pagut bibirku. Kami berdua sudah sama-sama telanjang. Dan memang dari tadi sahabat kecilku masih bersarang di sana. Aku mencoba mengimbangi hasratnya. Logika yang dari tadi coba aku pertahankan sudah entah aku buang kemana. Nengsih begitu menggebu-gebu melumat bibirku disertai menjulurkan lidahnya ke dalam mulutku dan nafasnya terdengar cepat serta tidak beraturan. Nengsih semakin ganas saja dalam berciuman dan kadang-kadang diselingi dengan menciumi seluruh wajahku dan kugunakan kesempatan yang ada untuk melepas sarung yang menutupi tubuhku. Dengan posisi Nengsih masih tetap di atas badanku, kupeluk badan Nengsih yang kecil mungil itu rapat-rapat sambil kuciumi seluruh wajahnya, demikian juga Nengsih melakukan ciuman yang sama sambil sesekali kudengar suaranya, “aahh.., aahh.., ooh.., Maass”. Nengsih sekarang menciumi leherku dan terus turun ke arah dadaku dan karena terasa geli dan nikmat, tidak terasa aku berdesis, “sshh.., sshh.., Neng.., sshh”. Karena gerakannya, sahabatku otomatis tercabut dari tempat dimana tadi dengan nyaman bersarang. Nengsih meneruskan ciumannya sambil terus menuruni badanku dan ketika sampai di sekitar pusarku, dia menciuminya dengan penuh semangat dan disertai menjilatinya sehingga terasa nikmat sekali dan sahabat kecilku making semangat berdiri di bawah badan Nengsih. “sshh.., Neng.., adduuhh.., aahh”, dan Nengsih secara perlahan-lahan terus turun dan ketika sampai di sekitar sahabat kecilku yang sudah kuyup karena sempat masuk ke sarangnya, Nengsih mengelapnya dengan daster sambil memijit daerah sekelilingnya termasuk buah salaknya sehingga rasa enaknya terasa sampai ke ubun-ubun sambil tangan kanannya memegang sahabat kecilku dan mengocoknya pelan-pelan. “Sshh.., aahh.., aahh.., Nengsih.., oohh.” “Masss…. Nengsih mau ini..” pintanya sambil terus memegangi sahabat kecilku. “Bukannya tadi sempat mampir Neng.” godaku “Lagi…..” Nengsih terus mengurutnya perlahan. “Jangan dulu Neng, kita masih punya waktu lama.” Segera aku balikan tubuhnya sehingga sekarang aku yang menindihnya. “Neng, aku juga sudah tak tahan….” Mulai aku lumat lagi bibir mungilnya. Nengsih dari bawah siap menerima. Pahanya telah direnggakan lebar-lebar, dan sahabat kecilku kembali menempel di pintu sarangnya. Nengsih mempererat pelukannya. “Mas….. ” Aku terus mencumbunya, lehernya aku ciumi dan Nengsih sepertinya sudah demikian terangsangnya. Tangannya sudah mencari-cari sahabat kecilku dan digesek-gesekan ke pintu sarangnya setelah ketemu. Tapi aku masih ingin yang lain. Payudaranya belum puas aku ciumi. Nengsih makin menjadi-jadi dibuatnya. Bahkan lenguhannya bukan lagi bisikan, tapi aku kira sudah bisa terdengan ke luar kamar. “Neng jangan keras-keras..” aku mencoba mengingatkan. “Iya ya Mas… Neng tidak sadar Mas… habis lama banget tidak merasakan ini.” aku mencoba paham, dan mungkin bila Ibu mendengar juga paham. “Neng, masukin ya.. aku sudah tidak tahan..” pintaku ketika merasakan Nengsih masih terus mengusap-usapkan sahabat kecilku ke pintu sarangnya. “Iya Mas, Nengsih juga sudah kepengin..” katanya sambil ia jejalkan sahabat kecilku ke sarangnya. Tidak seperti ketika pertama tadi, sekarang rasanya lain. Lebih nikmat dan penuh kedamaian. Tapi ketika baru setengahnya tubuh sahabat kecilku masuk ke sarangnya Nengsih menjerit agak keras. Aku terkejut dibuatnya. Terlambat untuk menutup mulutnya. “Ah…. Mas……..” “Sssttttt Neng….” “Iya Mas, sekarang masuknya lebih dalam dari yang pertama tadi. Sakit mas….” “Pelan-pelan sayang….” Aku mencoba lebih perlahan lagi menekan pinggangku. Aku lihat Nengsih masih meringis karena ada yang terasa pedih. Dan ketika sahabat kecilku telah terbenam semua, sengaja aku hentikan sejenak gerakanku. “Ah Mas… terima kasih.” Nengsih berkata dengan nafas tersengal-sengal. “Rasanya sampai ke perut punya Mas masuk.” Aku hanya tersenyum. “Sudah Neng, aku gerakin ya..” Aku belum menggerakkan sahabat kecilku rupanya Nengsih punya keahlian sendiri. Dia mempermainkan otot-otot dinding sarangnya sehingga sahabat kecilku terasa seperti terhisap-hisap dengan agak kuat. “Yaang.., teruus.., yaang.., enaakk sekalii.., yaang”, kukatakan kenikmatanku di dekat telinganya, dan karena keenakan ini dengan tanpa sadar aku mulai menggerakkan sahabat kecilku naik turun secara pelan dan teratur, sedangkan Nengsih secara perlahan mulai memutar-mutar pinggulnya. Setiap kali penisku kutekan masuk ke dalam vaginanya, kudengar suaranya, “aahh.., sshh.., Maass.., aaccrrhh”, mungkin karena sahabat kecilku menyentuh bagian sarangnya yang paling dalam. Karena seringnya mendengar suara ini, aku semakin terangsang dan gerakan sahabat kecilku keluar masuk sarangnya semakin cepat dan suara, “aahh.., sshh.., aahh.., oohh.., aahh” dan Nengsih semakin sering dan keras terdengar serta gerakan pinggulnya semakin cepat sehingga penisku terasa semakin nikmat dan nyaman. Aku semakin mempercepat gerakan sahabat kecilku keluar masuk sarangnya dan tiba-tiba Nengsih melepaskan jepitan kakinya di pinggangku dan mengangkatnya lebar-lebar, dan posisi ini mempermudah gerakan sahabat kecilku keluar masuk sarangnya dan terasa sahabat kecilku dapat masuk lebih dalam lagi. Tidak lama kemudian kurasakan pelukan Nengsih semakin kencang di punggungku dan, “aahh.., oohh.., ayoo Maass.., aahh.., akuu.., mauu.., keluaar.., aahh.., maas”. “Tungguu.., yaang.., aahh.., kitaa.., samaa.., samaa”, sahutku sambil mempercepat lagi gerakan sahabat kecilku. “Adduuhh.., Maas.., akuu.., nggaak.., tahaan.., Maas.., ayoo.., se..karaang.., aarrcch”, sambil kembali kedua kakinya dilingkarkan dan dijepitkan di punggungku kuat-kuat. “Yaang.., akuu.., jugaa..”, dan terasa, “Creet.., creet.., crreett”, sahabat kecilku menumpahkan seluruh isinya ke sarangnya sambil kutekan kuat-kuat sahabat kecilku ke sarangnya. Aku jatuhkan badanku ke tubuh hangat Nengsih. Damai sekali rasanya Setelah nafasku agak teratur, kukatakan di dekat telinganya, “Yaang.., terima kasih.., yaang”, sambil kukecup telinganya dan Nengsih tidak menjawab atau berkata apapun dan hanya menciumi wajahku.
***​
Setelah berapa lama, Nengsih bangun dan keluar kamar dengan hanya berlilit handuk. Tak berapa lama dia sudah masuk lagi sambil membawa pakaianku. Melihat Nengsih hanya berlilit handuk, nafsuku bangkit lagi. Segera aku raih pinggangnya dan aku buka handuknya. Aku dudukan tubuh telanjang itu di pangkuanku sambil aku ciumi payudaranya. Seperti ibu yang bijaksana Nengsih mengelus kepalaku. “Sudah Mas.. ibu sudah bangun. Baiknya siap-siap.” “Sebenarnya aku masih ingin lebih lama di tempat tidur Neng. Tapi aku selalu ingin menjaga kehormatanmu Neng.” “Terima kasih Mas, Neng juga tidak mau Mas pulang. Tapi belum waktunya Mas.” Aku mengerti arti ucapannya. Nengsih pengin aku lebih serius membina hubungan dengannya. “Nak Anto sudah siap?” tiba-tiba aku dengar suara Ibu angkat Nengsih dari luar. “Sebentar Bu.” jawab Nengsih. Dia segera turun dari pangkuanku dan menggenakan Daster. Akupun bergegas memakai pakaianku. Setelah rapi, Nengsih kembali mengajaku beradu bibir kembali. Aku melayaninya dengan penuh kasih sayang. Tidak enak ditunggu terlalu lama oleh Ibu aku segera keluar kamar. Segera aku keluarkan motorku. Dan siap aku jalankan. “Neng sebaiknya kamu istirahat saja hari ini. Anak-anak sudah aku masakin. Jadi tinggal ambil saja nanti.” pesan Ibunya pada Nengsih. “Iya bu, terima kasih.” jawab Nengsih. “Mas…” Nengsih berlari menghapiriku ketika aku hendak menaiki motorku. Aku mengengok dan langsung mendapati Nengsih memelukku erat-erat sambil kembali mencium bibirku. Tak lupa tanganku dituntun ke payudaranya. Dia minta diremas. Meski jengah karena dihadapan Ibunya aku turuti juga kemauannya. Dan dalam keremangan pagi itu kembali kami asik beradu bibir. Aku lihat Ibunya tersenyum bijak. “Sudah Neng, Mas mu tidak bakal lama perginya.” tegur ibunya. “Kalau nanti sudah tidak cape, siang nanti nyusul Ibu saja ke Pasar Neng. Anak-anak biar dititipkan ke tetangga.” kembali Ibunya berpesan. “Iya bu, Nengsih pasti menyusul.” Nengsih menjawab tapi tatapannya melihat mataku.
***​
Segera aku susuri jalan Jasinga menuju pasar Leuwiliyang. Beruntung belum ada tetangga yang bangun. Kerena memang udara masih terasa dingin. Sesampainya di Pasar, sebelum ibu masuk tiba-tiba berkata padaku “Nak Anto, saya sangat berharap Nak Anto bisa membahagiakan anakku. Ibu rela kalo Nengsih cuma bisa jadi Madunya Nak Anto. Kalau nanti siang Nak Anto sempat, ibu ingin Nak Anto antar Nengsih.” “Saya tidak berani berjanji bu. Tapi saya akan tetap berusaha menjadi seperti yang ibu harapkan. Untuk nanti siang saya pasti datang.” “Iya Nak, ibu juga tahu kok apa yang berlaku semalam tadi. Ibu bisa menilai Nak Anto tidak mengedepankan Nafsu. Malah Nengsih yang meminta kan Nak? Ibu restui Nak. Tolong malam nanti bahagiakan lagi Nengsih. Ibu sangat menyayanginya Nak.” Aku hanya bisa mengangguk, sambil terbayang semalaman bakal bisa mencurahkan kasih sayangku pada bidadari kaki gunung salak tersebut. “Saya pergi dulu Bu.” Pamitku menyongsong matahari kota Bogor. Aku memang tidak perlu mencari alasan kemana hendak pergi nanti malam. Karena memang istri masih di kampung. Yang aku fikirkan adalah akan aku bawa kemana Nengsih nanti malam.
***​