Sang Juruk Masak Perusahaan
Jakarta, 3 Januari 1999.
Perjalanan yang panjang dan melelahkan pun ber akhir di terminal Kp. Duku yang ada di pinggiran kota metropolitan, sebuah kota besar dimana setiap orang menaruh mimpi, harapan beserta cita-citanya.
Pejalanan darat yang memakan waktu hampir 1 malam dengan bus gajah putih. Pertama kali nya kaki yang sudah lelah ini memijak aspal di pagi buta, dimana langit nampak temaram jingga penuh pesona. Hiruk pikuk aktifitas terminal mulai nampak riuh, para kondektur bus dan angkutan kota saling bersaut meneriakan kemana rute yang mereka lewati.
Aku masih berdiri di pinggiran jalan. Sambil menyalahkan roko matahari yang sudah penyok karena tertindih dalam tas.
Dalam batin mulai berbicara, otak ini di paksa berbikir keras. Angkutan mana yang akan aku naiki ke alamat tujuan yang tertulis lengkap dalam selembar kertas. hingga akhirnya aku putuskan bertanya pada pedagang asongan.
” Permisi pak, maaf saya mau tanya kalo saya mau ke daerah cipete saya harus naik apa dan turun dimana.? ” tanya ku pada pedagang asongan itu.
” Mas, naik koantas bima 509 turun di trakindo. Dari situ nanti mas naik angkot lagi warna putih jurusan cipete, pd labu. Tapi naik nya jangan dari dalam terminal. Mas jalan kali dulu ajah sampe pintu keluar terminal, terus belok ke kiri sampe agak jauh. Soalnya kalo naik dari sini banyak calo. Nanti malah di sasarin. ”
Ujar sang penyual asongan itu.
Sepertinya masih ada orang baik di kota ini. Tidak seperti yang kawan dan rekan ku di pekerjaan katakan.
” oya pak, terimakasih, ini saya beli roko suriya nya setengah .” Sembali menyodorkan uang 10 ribuan. Kepada penjual roko asongan tersebut.
Akhirnya aku berjalan ke arah yang bapak penjual asongan itu arahkan. Dan tiba lah aku di titik yang di tuju.
Disana aku menunggu bus koantas bima 509 sambil kembali menyalakan roko suriya. Hampir habis satu batang roko di tangan akhirnya angkutan kota yang di nanti pun tiba. Dengan kondisi miring di bagian kirinya. Nampak sesak dan berhimpitan para penumpang itu. Segeralah aku naik di dengan bergelantungan. Aku tak menaruh curiga sedikitpun terhadap para penumpang lain yang berdiri di sebelahku. Pikirku sudah biasa mungkin bis mikrolet ini penuh. Lagi pula ini hari kerja dan pasti nya banyak pegawai kantoran yang hendak berangkat juga. Bis mulai melaju hingga sampai di persimpangan pasar hari. Banyak dari penumpang yang turun. Hingga kondisi di dalam bus pun mulai sengang. Namun masih ramai penumpang. Aku duduk di dekat pintu keluar. Sang kernet pun mulai menagih ongkos.
” Turun mana bang ” tanya sang kernet
” Di trakindo ” jawabku singkat.
Kemudian si kernet dengan teliti nya menarik ongkos dari para penumpang lainya. Hingga di bangku bagian tengah seorang wanita. Nampak seperti bingung dan akhirnya dia bicara.
” Maaf bang, dompet saya hilang ” ujar sang wanita yang nampak menggunakan kerudung warna silver.
” Laah gimana sih neng? Kok bisa ampe dompet nya ilang?. Yadah nanti sebelum masuk tol turun ajah dah. Masih banyak penumpang yang mau bayar. ” sambil dia melotot kepada sang wanita tersebut. Nampak murung dan bingung wanita itu.
Aku yang melihat nya jadi tak tega. Sehingga aku putuskan untuk bicara.
” Oi, tuh si emba biar ongkos nya saya yang bayar. ” teriaku dari bangku belakang.
Sontak sang kernet dan semua penumpang pun menengok ke arahku.
” Tuh masih ada orang bae, yang mau bayarin ongkos lu neng. ” ujar sang kernet.
” Lain kali hati2 mba, kalo baik angkutan, soalnya di terminal duku banyak copet. ” ujar ibu di sebelahnya.
Singkat cerita akhirnya aku sampai di tujuan tempat ku transit. Aku berdiri di atas tortoar dan wanita itu terus saja menatap ku dari jendela.
Batinku.
” aah sialan kenapa tadi aku gak tanya dia mau kemana, dan kerja dimana yah? ” ucapku penuh dengan penyesalan.
Aku kemudian menunggu angkutan putih yang di maksudkan bapak asongan yang aku kumpai di terminal tadi. Dan tak lama akhirnya angkot itu pun muncul.
Okey parah suhu. Itu dulu intronya.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit dari lampu merah trakindo, akhirnya aku tiba di depan perkampungan yang penduduk nya cukup padat. Gang sempit mulai ku telusuri hingga tiba di pinggiran kali dimana itu yang menjadi patokan. Dari alamat yang di tulis oleh Faizin, keponakan dari mendiang ibu.
” Maaf pak, mau tanya, rumah kontrakan nya Faiz yang mana yah? “, tanyaku pada salah seorang bapak bapak yang sedang asik mengerjakan kusen pembuatan pintu dan jendela.
“Faiz? Faiz yang mana ya mas, soalnya deretan sini gak ada yang Faiz. “, Jawaban dari bapak tersebut yang membuatku bingung.
” Faiz/Faizin yang jualan pecel lele di depan apotik mekar pak. ” tutur ku menjelaskan lebih detail lagi.
” Oh kalo itu di sini gak di panggil Faiz, dia mas zain. Itu kontrakan nya yang pintu item, di tengah. Kayak nya orang nya belum bangun apa lagi ke pasar, saya juga belum liat. ” ujar bapak itu.
Aku pun segera menghampiri. Rumah kontrakan yang di tunjukan oleh bapak itu. Setelah di depan pintu akupun mengetuk pintu.
” Assalamualaikum… ” sambil tangan mengtuk pintu.
” Assalamualikum…..! ” kali ini sedikit lebih keras. Dan akhirnya pintu di ketuk. Namun yang membuat ku terkejut bukan Faiz yang membuka kan pintu. Melaikan seorang wanita. Dengan rambut dengan lilitan handuk warna coklat. Nampak seperti habis mandi.
” Maaf cari siapa yah? ” tanya wanita itu.
” Mas faiz nya ada mbak? “, tanyaku.
” Ada barusan bangun tidur, sebentar saya panggilin, ” jawab wanita itu sembari menutup kembali pintunya.
Aku pun menunggu, tak lama akhirnya faiz lah yang membukakan pintu.
” Oi, Zee akhirnya km sampe juga di sini. Dari semalam tak tungguin, yuk masuk. “, ajak faiz.
Aku pun masuk dan ternyata rumah kontrakan itu cukup besar dengan fasilitas yang lumayan mewah.
” Gimana kabar km Ze, sehat? Sampe jam berapa tadi . ” di berondong pertanyaan basa basi yang biasa di lakukan ketika bertemu dengan saudara. Adalah hal yang paling tidak aku sukai.
” ya beginilah keadan aku mas, setelah nenek gak ada ya aku kerja di pabrik keramik. Tapi ya disana bayaran nya kadang cukup buat ngerok sama latihan. Oya ini ada titipan dari pak Kurdi, katanya ini buat mas Faiz, aku sendiri gak boleh tau apa isi nya. ” jawabku sembari memberikan bungkusan plastik hitam.
Faiz pun segera membuka bungkusan tersebut, tapi dia nampak terkejut dengan isinya dan segera berlari ke kamar. Entah apa isi bungkusan tersebut. Hingga akhirnya dia kembali lagi ke arah ruang tamu. Sambil senyum senyum selayak nya orang yang mendapat undian dengan nilai yang sangat besar.
“Zee, Mau kopi apa teh? ” tanya faiz.
” Teh ajah mas. ” jawab ku.
Diapun segera menuju dapur.
Tapi aku masih bingung dengan perilaku Faiz, yang tampak seperti orang kegirangan itu. Tak lama seorang wanita yang tadi aku jumpai di depan pintu muncul dengan mengunakan celana jeans putih dan kaos bernawarna biru army. Dia mebawakan aku teh dan cemilan yang nampak masih panas.
” Silahkan di minum mas teh nya, sama ini ada gorengan ubi, buat ganjel perut. Soalnya belum ke pasar. ” ujar wanita itu.
” Iya makasih mba. ” jawabku.
” Ini mas Naze ya? Keponaian dari mas Zaen.”, tanya wanita yang tampak usia sudah kepala 3 namun dengan tubuh yang nampak sintal dan menggoda.
” Iya, saya Nazze, keponakan nya, Faizin. Kalo mbak namanya siapa ? Dan apa nya Faiz? ” tanyaku pada wanita itu.
” Saya yani, temen nya mas Zain, Saya kerja sama Zain, dan ada karyawan lain juga mas. Tapi mereka tinggal di ruko. Karena mereka itu kan bagian produksi. ” jawan Yani.
Batinku muncul berbagai pertanyaan tapi engan untuk di ucapkan. Ternyata faiz. Sudah menjadi bos pecel lele sekarang dia punya beberapa karyawan. Tapi kenapa Yani ini tinggal serumah dengan wanita ini? Apa dia calon isterinya. Tapi faiz tidak pernah bercerita tentang perempuan ini yah.
-II-
Tak lama faiz muncul dengan pakaian yang rapi. Dan mengajak ku untuk pergi ke pasar untuk membeli keperluan warung pecel lele nya.
Kami pun akhirnya pergi keluar gang sempit hingga sampai di sebuah lapangan bola. Disana faiz menghampiri sebuah mobil kijang panter dan Kami pun masuk kedalam nya. Di dalam perjalanan menuju pasar faiz bercerita banyak tentang bisnis pecel lele nya hingga tiba di sebuah persimpangan arah pasar minggu. Berhenti di lampu merah. Nampak anak kecil mengamen di samping mobil nya. Dan dia mengeluarkan uang 5 rb rupiah dan di berikan ke pada pengamen cilik itu. Merekapun tampak senang sekali di berikan uang sebesar 5 rb. Pada masa itu adalah dimana uang 5 rb sangat lah besar. Dan sesampai nya di pasar mobil ssegera parkir mobil nya. Di samping jejeran angkot.
kami berjalan memasuki pasar dan mulai berbelanja ke butuhan warung.
Hingga salah seorang wanita berteriak.
” Copet…. Copet…. Tolong copet. ” wanita itu pun histeris meminta pertolongan aku yang pada masa itu masih polos tentang kehidupan di kota pun sontak mengejarnya.
Berlarian dI gang gang pasar yang sempit juga becek. Aku kejar sampai di belakang gedung tua bekas bioskop sepertinya. Tanpa sadar ternyata aku hanya seorang diri mengejar copet itu. Dan terjadilah pertikaian.
” Mau cari mati lu ngejar gw sendirian sampe kesini.! ” bentak sang copet dengan wajah garang nya.
” Balik dompet ibu tadi ! ” bentak ku pada sang copet.
Diapun mengeluarkan pisau lipat dalam saku nya dan memasang kuda kuda hendak menyerang. Namun aku yang dari dulu sering berlatih silat dan ilmu kanuragan pun memasang kuda2. Dan bersiap menghalau setiap serangan dan gerakan.
Tak butuh waktu lama sang copet pun berhasil aku kalahkan. Namun seketika pandangan ku kabur dan aku tak ingat sama sekali apa yang teriadi selanjut nya.
Ketika aku sadar aku sudah ber ada di kantor polisi bersama faiz. Dan ibu yang dompet nya di ambil oleh pencopet. Seorang polisi pun menanyai idenditas ku dan aku pun memberikan KTP berserta sim.
Menurut penuturan mereka. Aku di keroyok oleh 7 orang preman pasar. Namun aku melawan mereka dengan tangan kosong hingga mereka semua terjungkal dan Ada beberapa dari mereka yang mengalami patah tangan dan kaki. Faiz datang menghampiri dan berkata,
” Km gak harus ikut campur dalam urusan orang lain. Karena km belum tau persis kota ini sperti apa. Kalo km bertindak gegabah dan sembarangan justru kamu sendiri yang akan celaka Zee. ”
Faiz menasehatiku agar aku tak lagi ikut campur dalam urusan orang lain. Namun aku tak bisa melihat seorang wanita ter aniyaya begitu saja oleh seorang pria.
Salah seorang polisi pun berkata.
” Itu orang ilmu silat nya tinggi juga yah, kalo gue yang tadi di keroyok mungkin dan koit kali ” mereka membicarakan ku yang aku sendiri tidak tau kejadian apa apa. Yang terakhir aku ingat aku hanya mengalahkan satu orang copet.