Santri dan Syahwat

Ini bukanlah karya pertama ane, sebelumnya ane sudah beberapa kali bikin cerita di forum ini sebagai hobi. Nama akun ane satria73, ane lupa password akun dan password email sehingga nggak bisa masuk dan melanjutkan cerita ane Preman Masuk Pesantren dan Karma Masa Lalu. Mohon maaf yang pernah baca cerita tersebut karena nggak bisa sampai tamat.
BAGIAN 1 : Cintaku Bersemi Di Pesantren

Aku Baharuddin, tapi orang lebih mengenalku sebagai Udin si Santri Mbeling yang terpaksa nyantri karena paksaan orang tuaku yang petani.

“Din, Bapak dan Ibu ingin kamu memperdalam ilmu agama di Pesantren.” Kata Bapak seperti suara petir, tanpa diiringi angin dan hujan.

“Pesantren..?” Tanyaku kaget, cita citaku ingin jadi seorang tentara dan Bapak sudah tahu sejak lama. Bapak juga yang menyuruhku rajin berolah raga agar bisa diterima saat lulus sekolah nanti dan olah raga murah meriah yang juga menghasilkan adalah olah raga di sawah dan kebun, tapi kenapa bapak seperti ingkar janji dengan menyuruhku jadi santri.

“Iya Din, Bapak dan Ibu ingin kamu jadi seorang Kyai. Bapak sudah menyiapkan kebun seluas 1 hektar untuk dijadikan pesantren setelah kamu lulus nanti.” Jawab Ibu meneruskan perkataan Bapak.

“Tapi Udin ingin jadi tentara, Bapak sudah janji.” Jawabku mengingatkan janji Bapak yang tidak pernah diucapkan olehnya.

“Bapak tidak pernah janji untuk menjadikanmu sebagai tentara, Bapak cuma bilang kalau pengen jadi Tentara harus sehat fisik dan jasmani. Makanya Bapak suruh kamu rajin ngaji agar menjadi sehat rohani, Bapak suruh kamu olah raga di sawah dan kebun agar fisikmu sehat dan kuat.” Jawab Bapak diplomatis, seperti seorang politikus.

“Pikirkan Din, kalau kamu menuntut ilmu agama dan menjadi seorang Kyai, maka kamu akan mendapatkan kehidupan dunia dan akhirat. Kalau kamu mengejar cita citamu jadi Tentara, belum tentu kamu mendapatkan akhirat.” Jawab Ibu, harus aku akui keputusan bapak adalah keputusan ibu, begitu juga sebaliknya.

“Kalau kamu jadi Kyai, Bapak dan Ibu punya tabungan untuk dibawa mati.” Jawab Bapak menohok hatiku, dia sering membawa urusan mati dalam setiap percakapan kami dan selalu berhasil membuat hatiku luluh.

Singkat cerita, aku akhirnya masuk pesantren setelah lulus SMP. Di Pesantren aku lebih banyak bergaul dengan para santri nakal atau menjadi nakal karena merasa terpaksa masuk pesantren atas desakan ke dua orang tuanya sama seperti yang aku alami. Maka kami dikenal sebagai santri Mbeling

Hingga akhirnya datang seorang tamu yang sangat dimuliakan oleh guru kami dan sekaligus pimpinan pondok pesantren K.H. Hasan atau kami memanggilnya Abah Hasan, tamu itu K.H. Muntaha al-Hafizsl dari daerah Jawa Timur. Dari gelarnya Al-Hafiz, aku tahu dia orang yang hafal Al-Qur’an berikut tafsirnya. Abah Hasan menugaskannya untuk menjemput K.H. Muntaha al-Hafizsl di terminal.

“Di terminal, Abah?” Tanyaku heran, dari nama dan gelarnya K.H. Muntaha al-Hafizsl adalah ulama besar, Abah Hasan sering bercerita tentang beliau dengan perasaan hormat dan kagum akan ilmu dan pemahaman K.H. Muntaha al-Hafizsl.

Aneh kalau aku harus menjemputnya di terminal, itu artinya K.H. Muntaha datang dengan menggunakan Bus Malam. Jauh dari kebiasaan para Kyai besar yang punya pondok pesantren, mereka biasanya selalu menggunakan kendaraan pribadi.

“Itulah keutamaan K.H. Muntaha al-Hafizsl, dia tidak terlena dengan kemawahan dunia yang memabukkan ini.” Kata Abah Hasan seperti tahu apa yang sedang kupikirkan.

“Iya Bah, saya pamit.” Aku berpamitan untuk menjemput K.H. Muntaha dengan dua orang temanku kami memakai tiga motor untuk menjemput K.H. Muntaha al-Hafizsl, menurut Abah Hasan K.H. Muntaha al-Hafizsl datang dengan dua orang santri kesayangan nya.

Dan sejak itu pandangan hidupku perlahan berubah, sosok dan wajangan K.H. Muntaha al-Hafizsl begitu membekas di hatiku. Salah satu wejangannya yang merubah hidupku adalah :

Tubuh yang kita gunakan untuk beribadah dan berjuang pasti akan rusak, begitu pula saat tubuh kita tidak digunakan untuk berjuang dan beribadah juga akan rusak. Sama-sama rusak, tapi lebih baik’kita gunakan untuk beribadah dan berjuang sehingga hidup kita tidak dia sia. Begitu pesan K.H. Muntaha Al-Hafiz begitu membekas di hatiku, beliau.

Kalimat itu berhasil merubahku yang selama ini mondok di pesantren karena desakan orang tua yang ingin melihatku menjadi seorang ulama, memberikan energi positif kepadaku dan merubah niatku yang selama ini merasa terpaksa menuntut ilmu. Kalimat yang membuatku mulai merasakan nikmatnya menuntut ilmu agama, nikmatnya beribadah saat para santri lain masih terlelap dalam mimpinya. Ya, aku akan selalu berjuang memoerdalam ilmu agamaku dan mencari berkah Kyai. Ternyata menuju jalan kebaikan tidak pernah semudah yang kubayangkan, banyak onak dan duri yang menghadang langkahku, karena tujuan dan tekadku sudah bulat aku memutuskan meninggalkan pesantren tempat yang sudah menggosoknya selama tiga tahun ini. Tujuanku adalah salah satu pesantren di Kota X Utara seperti yang dianjurkan oleh Abah Hasan, Kyai pengasuh pondok pesantren Ar-Roudloh adalah salah satu sahabat Abah Hasan. Di sini aku menghadapi ujian terhebat dalam hidupku, aku terjebak dalam urusan hati yang pelik bernama cinta. Seorang gadis berparas ayu dan berkulit putih bernama Sarah Al-Hana telah menyita perhatianku sejak pertama kali aku datang untuk nyantri di Ar-Roudloh.

***

Ning Sarah Dan Nyai Aisyah

Aku terpana melihat seorang gadis cantik berjalan sambil memeluk tumpukkan kitab yang cukup banyak, langkahnya pelan dan berhati hati agar tumpukan kitab kuning yang dibawanya tidak jatuh tercecer. Mataku tidak beranjak dari wajahnya yang cantik dan berkulit putih bersih, pipinya merona merah berseri seri. Ya Allah, di Pesantren yang terletak di Kota kecil ini ternyata ada bidadari yang membuat mataku tidak mampu berkedip.

“Innalilahi….!” Seru gadis itu membuatku sadar dengan apa yang terjadi, gadis itu tersandung dan tubuhnya terhuyung berusaha menjaga keseimbangannya. Tumpukan kitab yang dipeluknya jatuh berceceran tanpa dapat dicegah ya, gadis itu fokus menjaga keseimbangan tubuhnya dan melepaskan kitab kuning dalam pelukannya.

Aku terpaku menatap adegan yang terjadi di depanku, seperti patung.

“Ning Sarah,…!” Seru tiga gadis yang berhamburan menghampiri gadis cantik itu, mereka berebutan menolong gadis cantik itu dan tidak ada satupun yang berusaha memungut kitab kuning yang berhamburan di lantai.

“Astaghfirullah..!” Gumamku tersadar dari pesona kecantikan sang bidadari, aku bergerak cepat memungut kembar demi lembar kitab kuning yang berserakan. Menyusunnya tanpa memperhatikan urutannnya yang benar [ Kitab kuning biasanya terdiri dari lembar demi lembar yang tidak dibundel seperti halnya buku ], niatku hanya menjaga kitab kuning tersebut terinjak injak oleh para gadis yang sibuk memegang sang bidadari Ning Sarah itu nama yang sempat aku dengar. Itu artinya, gadis itu adalah putri Pak Kyai, nama yang sering aku dengar dari para santri yang memuji kecantikannya setinggi langit.

“Sudah, aku tidak apa apa. Kitabnya..!” Seru Ning Ishma menyadarkan ke tiga gadis yang berusaha menolongnya, sehingga mereka mengabaikan kitab yang berhamburan di lantai.

“Ini kitabnya, Ning..!” Aku segera mengantarkan kitab yang berhasil kumpulkan asal asalan, aku yakin posisinya tidak beraturan.

Ning Sarah menerima kitab yang aku angsurkan padanya, dengan cepat dia memeriksa urutan kitab kuning. Dahinya berkerut membuatnya terlihat semakin cantik. Ke tiga gadis itu merubah posisinya, mereka berjajar di belakang Ning Sarah.

“Urutannnya berantakan, harus disusun ulang.” Gumam Ning Sarah, berbalik melihat ke arah tiga gadis yang berdiri di belakangnya.

“Maaf Ning, saya disuruh Nyai untuk menyiapkan jamuan untuk tamu Pak Yai. ” Jawab salah seorang gadis, dia segera berbalik dan meninggalkan Ning Sarah yang belum sempat bicara mengutarakan niatnya, gadis itu sudah tahu apa yang diinginkan Ning Sarah.

“Iya, kami memang ditugaskan Nyai untuk menyiapkan jamuan.” Jawab dua gadis lainnya, menyusun kitab pada tempatnya bukanlah pekerjaan yang menyenangkan apa lagi untuk para santriwati yang baru beberapa bulan mondok.

“Kamu..!” Seru Ning Sarah berbalik menatapku, jantungku serasa berhenti berdetak saat melihat matanya yang berbinar seperti bintang menatapku.

“A…a….kuuuu…!” Jawabku terbata bata, tahu apa yang dimaksudnya. Menyusun kitab kembali pada urutannnya yang benar, bukan perkara yang sulit untukku. Ini seperti kejatuhan durian runtuh, aku dan Ning Sarah akan menyusunnya bersama sama. Terima kasih Tuhan, Kau telah mengirimkan bidadari cantik atas semua jerih payahnya berjalan di jalanMu.

“Ya kamu, siapa namamu? Sepertinya kamu santri baru di sini, aku belum pernah melihatmu.” Kata Ning Sarah, suaranya yang merdu mengalahkan para penyanyi profesional yang sering kudengar.

“Udddd…. Maksudnya, Baharuddin.” Jawabku terbata bata, hampir saja mengatakan nama panggilanku Udin yang menurut K.H. Muntaha al-Hafizsl tidak sebagus nama asliku Baharuddin artinya Pemimpin agama/Islam.

“Oh, kamu harus menyusun kitab ini agar posisinya tepat. Setelah selesai bawa ke gedung perpustakaan.” Kata Ning Sarah memberikan kitab kuning padaku, aku ragu menerimanya.

“Tap, tapi..!” Seruku kecewa, ternyata Ning Sarah menyuruhku menyusun kitab ini sendiri, bukan bersama sama melakukannya.

“Kamu yang membuat susunan kitab ini berantakan, jadi kamu juga yang harus menyusunnya kembali.” Jawab Ning Sarah meninggalkanku.

“Bukan aku yang salah, aku hanya menolongku.” Kataku jengkel, kecantikan Ning Sarah berbanding terbalik dengan akhlaknya. Dia begitu gampang menyalahkan orang lain untuk menutupi kesalahannya.

Ning Sarah berbalik mengahadapku, senyumnya yang tadi menawan dan membetot hatiku dalam sekejap berubah menjadi seringai licik karena berhasil menimpakan kesalahan padaku.

*************

Waduh, di mana kitab kuning itu? Perasaan tadi sore masih ada di atas lemari kecil berisi pakaian, siapa yang sudah mengambilnya tanpa seijin ku? Aku sengaja menyimpannya di atas lemari dan tidak tertarik untuk menyusun lembaran kitab sehingga utuh seperti sedia kala, sebagai bentuk pemberontakannya karena diperlakukan semena-mena oleh Ning Sarah. Mentang mentang anak Kyai, dia tidak bisa bertindak semaunya. Biar tahu rasa dia menungguku di perpustakaan, sementara aku tidak melakukan apa apa.

Sekarang kitab itu hilang, seringai licik Ning Sarah membayang di pelupuk mataku. Seringai itu berubah dalam sekejap, mulutnya terbuka dan memamerkan sepasang taring yang siap merobek robek tubuhku. Matanya yang berbinar seperti bintang, berubah menjadi merah mengobarkan kemarahan yang bisa menghanguskan hatiku. Celaka, urusan ini akan berbuntut panjang kalau sampai kitab kuning itu hilang

Mungkin kitab itu aku simpan dalam lemari, kataku menemukan secuil harapan sempat padam. Aku membuka pintu lemari, tidak ada kitab yang kucari. Mungkin ada di dalam tumpukan pakaianku walau mustahil, kitab itu cukup tebal dan jumlah pakaian milikku sedikit sehingga tidak menyembunyikan kitab yang kucari. Tidak ada salahnya mencoba, kukeluarkan semua isi almari tapi tetap nihil seperti dugaanku, apa yang harus kulakukan? Menggeledah semua lemari yang ada di dalam kamar ini? Bagaimana kalau yang punya lemari melihat dan menuduhku maling, urusannya akan semakin runyam.

“Kang, kamu kok malah di kamar, di dapur semua orang sibuk menyiapkan jamuan tamunya abah yai, kok. piye, to?” Kang Zuher menegurku ketika aku masih sibuk merapikan isi lemari yang baru saja aku acak acak.

“Oh nggeh, Kang … maaf saya lupa. Saya ke dapur sekarang.” jawabku segera memasukkan pakaianku asal asalan, nanti aku rapikan setelah bantu bantu di dapur.

“Eh Kang Zuber, tadi lihat kitab di sini ngikutin?” Tanyaku sebelum Kang Zuber meninggalkan ku.

“Aku nggak, lihat.” Jawab Kang Zuber tanpa menoleh ke arahku. Kang Zuher keluar kamar sambil berdecak, ia santri paling senior di sini dan dianggap sebagai pemimpin para santri. Untuk menjaga wibawanya, Kang Zuber membuat dirinya menjadi galak agar ditakuti semua santri. Padahal tadi seharian aku ikut berkutat di dapur, menata jajanan basah, memasak air, mencuci piring, dan membeli bahan nasi kebuli di Pasar. Hingga akhirnya aku mengalami kejadian tadi dan menolong Ning Sarah, tapi Ning Sarah malah menimpakan semua kesalahannya padaku.

Musnalah harapanku, terpaksa nanti aku tanya ke semua penghuni kamar lainnya yang berjumlah lima orang termasuk aku. Aku yakin Ning Sarah tidak akan nekat mencariku dan menanyakan tugasku. Sebenarnya bukan tugasku, tapi tugasnya dengan cara zholim menimpakannya kepadaku. Untuk sementara aku aman karena punya alasan kuat untuk tidak segera melakukan tugas yang diberikan Ning Sarah.

“Din, tolong kuali besar bawa masuk ke dalam, terus masak air maneh, Din. Siapkan wedang kopi untuk para kyai di ndalem.” seru Kang Komar menyambut kedatanganku dengan instruksi, aku satu satunya orang yang tidak mengerjakan apa apa di dalam dapur besar.

“Oke siap, Kang.” jawabku bersemangat,mengantarkan Kopi tamu Pak Yai adalah salah satu cara untuk ngalap berkah, dan tujuanku mondok di tempat ini selain menimba ilmu juga untuk ngalap berkah para Kyai yang aku yakini mempunyai karomah.

Kubawa kuali besar itu masuk ke dapur dan jantungku mendadak berdebar kencang saat melihat ning Sarah berdiri dekat rak piring sedang berbincang dengan beberapa santri wanita. Sekilas dia melihat ke arahku dengan tatapan mata tajam menusuk hatiku. Tanpa sadar, aku membuang muka menghindari tatapan matanya yang tajam.

“Nab, nanti kamu bawa kitab yang tadi ke perpustakaan ya..!” Seru Ning Sarah dengan suara keras, refleks aku menoleh ke arah Ning Sarah yang berdiri dekat tempat cucian piring bersama dengan dua orang santriwati yang sedang sibuk mencuci perabot kotor. Wajahnya terlihat tegas menoleh ke arahku dengan pandangan tajam seperti sedang mengultimatum. Jelas, perkataannya ditunjukkan kepadaku yang baru saja masuk membawa kuali besar.

“Kitab yang mana, Ning?” Tanya Zaenab heran, tidak mengerti apa yang baru saja dikatakan Ning Sarah. Sekilas aku lihat Ning Sarah mencubit perut Zaenab membuat gadis itu menjerit kaget.

Sekilas mata kami saling bertemu dan aku berusaha tersenyum untuk meluluhkan hatinya, perbuatan yang kuangggap sia sia melihat ekspresi wajahnya yang dingin. Come on, aku hanyalah manusia biasa yang juga ingin tersenyum ketika bersitatap dengan wanita yang pesonanya membuat hatiku berdesir. Apakah ini berdosa dan menyimpang dari tujuan awalnya yang datang untuk menuntut ilmu dan ngalap berkah para Kyai mempunyai karomah.

“Mbak Naima dan mbak Indah tolong kerjakan semuanya, saya harus ke dalam.!” kata Ning Sarah, suaranya terdengar tegas seperti Bu Nyai Aisyah ibunya.

Memang kata para santri yang sering aku dengar, ning Sarah terkenal garang dengan para santri. Apalagi kalau mereka sedang membuat ulah, tak segan ning Sarah memberi hukuman tanpa ada yang bisa mencegahnya. Dan, baru sekarang aku melihat gadis yang bernama Ning Sarah dengan tindak tanduknya. Dia seperti bidadari dengan sayap sayapnya yang terbuat dari besi dan siap mencabik cantik setiap tubuh yang berada dalam dekapannya.

Bagiku wanita seperti itu justru punya daya tarik tersendiri dan menjadi sebuah tantangan. Pas kalau ia kelak berjodoh menjadi istriku, aku jenis lelaki penyabar dan lemah lembut seperti Pak Yai. Lihatlah Pak Yai Nafi’ yang selalu bersabar menghadapi Bu Nyai Asiyah saat marah dan berbicara dengan nada tinggi. Abah hanya akan menanggapi dengan senyuman dan tatapan teduh. Bukankah itu sangat romantis? Begitu yang aku dengar dari para santri tentang K.H. Nafi” dan Ibu Nyai Aisyah istrinya.

“Bah, masa to ada tamu kok malah nangis gara-gara nunggu umi kelamaan nggak menemuinya di ruang tamu. Kan umi banyak urusan, harusnya dia sabar bukan malah nangis pas umi keluar menemui dia,” tak sengaja kudengar Ibu Nyai Aisyah curhat di ruang tamu saat aku hendak mengambil gelas-gelas kotor setelah para tamu Abah Yai Nafi’ pulang.

“Siapa tamu itu, Umi?” tanya Abah Yai Nafi’ kalem, suaranya terdengar sabar mendengarkan setiap kalimat dari Ibu Nyai Aisyah.

“Tadi sore Bah, ada wali santri yang sowan.”jawab Ibu Nyai Aisyah, baru kudengar nada suaranya yang lincah dan agak manja.

“Memangnya umi tidak tahu kalau ada tamu, kok lama keluarnya?” tanya Abah Yai Nafi’, sabar.

“Ya tahu, tapi kan umi banyak kerjaan.” jawab Ibu Nyai Aisyah, merajuk manja membuatku hatiku berdesir mendengar suaranya. Benar, suara wanita seperti aurat yang bisa membangkitkan syahwat lawan jenisnya.

“Kerjaan apa?” tanya Abah Yai Nafi’, dia melihat ke arahku yang sedang sibuk membereskan gelas gelas kotor dan piring piring yang masih terisi jajanan pasar suguhan untuk para tamu.

“Ya masak di dapur, menata baju di kamar, menyiapkan bahan ceramah besok, ya banyak lah, Bah,” jawab Ibu Nyai Aisyah tidak mau disalahkan, banyak alasan yang selalu digunakan untuk membela diri.

“Ya harusnya kalau tahu ada tamu segera temui, pekerjaan yang lain tinggal dulu. Suruh para santri dan santriwati untuk mengurus tamu. Tamu wajib kita hormati, mereka datang membawa rejeki dan pergi membawa bala’.” nasihat Abah Yai Nafi’lembut, nasihat yang tidak pernah bosan diberikannya kepada istri, anak dan semua orang yang ditemuinya.

“Iya tahu, tapi kan umi harus menyiapkan resep masakan. Anak anak pada belum mahir meracik bumbu kebuli, rasanya nanti beda.” Jawab Ibu Nyai Aisyah, dia merajuk manja.

Ya Allah, aku ingin secepatnya pergi dari ruang tamu ini agar tidak mendengar suara Ibu Nyai Aisyah yang memancing syahwatku.

“Terus dari mana umi tahu tamu itu nangis gara-gara terlalu lama menunggu umi? Siapa tahu dia nangis karena kangen dengan anaknya.”tanya Abah Yai Nafi’ seperti air sejuk yang membuat hatiku sedikit nyaman, mampu menentramkan syahwatku.

“Iya, si ibu-ibu itu bilang sambil tersedu-sedu, memang saya ini kebanyakan dosa nggeh, Bu nyai. Sehingga untuk bertemu wanita mulia seperti jenengan saja harus menunggu lama. Saya memang banyak dosa. Begitu, Bah.” jawab Ibu Nyai Aisyah diiringi suara kecil yang merdu kembali menggelitik syahwatku yang berontak semakin keras, aku menarik nafas panjang.

“Masak seperti, itu?” Tanya Abah Yai tertawa geli melihat tingkah Ibu Nyai Aisyah yang berubah menjadi kekanakan saat bicara padanya.

“Betul, Bah. Gemes aku, orang kok ndak sabaran.” jawab Ibu Nyai Aisyah, aku sempat melirik wajahnya dan menemukan wajah Ning Sarah di sana.

“Ssst … ndak boleh begitu. Jaga hati dari sifat riya dan ujung karena itu sifatnya syetan.” Nasehat Abah Yai membuatku yang sejak tadi menguping jengah.

“Iya, Bah.””

“Apa tidak ada yang memberi tahu Umi, ada tamu?” Tanya Abah Yai Nafi’, tersenyum.

“Ya sudah.” jawab Ibu Nyai Aisyah, dia melihat ke arahku bersamaan dengan aku yang menatap wajahnya diam diam. Ya Allah, Ibu Nyai Aisyah tersenyum ke arahku, jauh berbeda dengan Ning Sarah yang tidak pernah mau memamerkan senyumnya kepadaku

“Ngasih tahunya kapan?” tanya Abah Yai Nafi’, dia seperti tahu arah lirikan mata Ibu Nyai Aisyah,dia melihat ke arahku. Jantungku serasa berhenti berdetak melihatnya.

“Sehabis salat duha.” Jawab Ibu Nyai Aisyah, menunduk malu menyadari kesalahannya.

“Umi keluarnya?” tanya Abah Yai.

“Habis asar.”

“Astaghfirullah … berarti seharian nunggu umi? Ya betul kalau sampai nangis. Jangan diulangi lagi, ya.” kata Abah Yai Nafi’, sambil mengelus punggung Ibu Nyai Aisyah.

Iya maaf, Umi pikur tamu itu nemui anaknya dulu. Para santriwati juga sudah Umi suruh menyampaikan pesan supaya tamu itu istirahat dulu di kamar tamu. Eh, nggak tahunya malah setelah jamaah duhur masih di ruang tamu.” jawab Ibu Nyai Aisyah tidak mau kalah, suaranya agak meninggi dan meluluh lantakkan pertahanan ku yang berjuang menahan syahwat.

“Ya siapa tahu memang betul-betul kepingin ketemu umi. Jangan diulangi lagi nggeh, sayangku ….” kata Abah Yai, berusaha merayu membuatku merasa cemburu dengan kemesraan mereka.

“Mesti abah menyalahkan Umi, lebay lah orang seperti itu.” jawab Ibu Nyai Aisyah merajuk manja.

“Lhoo … abah tidak menyalahkan Umi. Wong diajari suaminya untuk lebih menghormati tamu kok dibilang menyalahkan, to.” Jawab Abah Yai Nafi’sabar melihat tingkah Ibu Nyai Aisyah.

“Enggeh lah, enggeh.”

“Jangan kepaksa gitu enggehnya.”

“Inggeeeeh.”

Mendengar semua itu sekuat tenaga kusembunyikan senyum sambil berlalu menuju dapur. Pasangan seperti ini betul-betul saling melengkapi. Saling menasehati dalam kebaikan. Aku iri dan cemburu melihat mereka, entah aku akan bisa seperti mereka atau tidak.

“Mana kitabnya?” Tanya Ning Sarah berdiri menghadangku di depan pintu dapur.

Bersambung.

Gallery for Santri dan Syahwat