Semua Karena Pandemi

Perkenalkan, namaku Dewo. Pemuda bujang berumur 26 tahun yang baru saja merasakan pahitnya virus corona. Ya, gara-gara pandemi ini, aku terpaksa di rumahkan dari tempat kerjaku di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang Jasa Keuangan daerah di Kota Tangerang. Padahal aku termasuk karyawan yang selalu achive target yang di minta oleh perusahaan, namun perusahaan berdalih untuk menekan biaya operasional selama pandemi dan juga perusahaan tidak berani untuk mencari nasabah baru di zaman seperti ini, karena mungkin akan banyak nasabah yang tidak bisa membayar angsurannya.

Kenyataan pahit itupun aku terima dengan lapang dada. Seiring berjalannya waktu, satu hari, dua hari, seminggu, satu bulan, hingga menginjak bulan ketiga setelah aku di PHK, aku mulai jenuh di rumah. Saat itu minggu pagi, seperti biasa acara rutin arisan Ibu-ibu di daerahku, walaupun pandemi, namun arisan tetap berjalan dengan protokol kesehatan. Ibuku memang menjadi pengurus arisan tersebut, jadi mau tidak mau pasti pada minggu ketiga setiap bulan, rumahku ramai dengan Ibu-ibu.

Sekitar pukul 11.00 WIB pagi aku terbangun dari kasurku. Aku menuju kamar mandi untuk buang hajat dan cuci muka. Namun belum sempat aku sampai kamar mandi, aku lihat pintu kamar mandi baru saja terbuka. Aku melihat seorang wanita keluar dari kamar mandi dengan bekas cipratan air di bagian baju terusannya. Ya, wanita tersebut adalah tetangga se komplekku yang mengikuti arisan, namanya Bu Reni, istri dari Pak Narko, pemilik toko beras di daerahku yang cukup disegani dan dihormati. Karena semua warga pasti jika membeli beras baik untuk kebutuhan sehari-hari atau hajatan, pasti mengambil di toko Pak Narko. Selain harganya murah, Pak Narko pun juga tidak terlalu kaku, pembeli dapat mengambil dulu berasnya dan dibayar belakangan.

Kembali ke cerita saat aku menuju kamar mandi. Akses jalan dari kamarku ke kamar mandi memang sangat sempit, maklum karena rumahku kecil. Kebiasaanku setiap bangun pasti kontolku ini tegang. Saat itu mataku yang baru bangun tidur masih sipit-sipit dibuat melotot, bagaimana tidak. Ibu Reni keluar kamar mandi dengan baju terusannya sedikit basah karena cipratan air dan yang lebih membuatku tambah tegang, baju yang beliau pakai sangat mencetak bagian-bagian tubuhnya. Sebagai gambaran kalian, Ibu Reni ini adalah seorang Ibu rumah tangga yang sudah memiliki anak satu, yang bernama Seiko berumur 2 tahun. Wajahnya tidak terlalu cantik dan glowing, tapi bodynya khas ibu-ibu anak satu. Bagian yang sedap dipandang adalah toketnya yang mengembang. Aku perkirakan mungkin ukuran 38D (aku menebak saja, siapa tahu suatu saat bisa membuka tali BHnya.. hehehe) dan bokongnya yg nonggeng kebelakang. Jilbabnya pun seakan-akan tidak dapat menutupi dada Ibu Reni.

“Eh Dewo, baru bangun kamu?” Tanya Ibu Reni saat berjalan keluar dari kamar mandi.

” Iya Bu, maklum pengangguran, jadi ya bangunnya lupa waktu.”

“Ealah cah bagus, ganteng-ganteng kok bilang gitu. Nanti pasti dapet kok. Yawis, Ibu permisi yo le.” Sambil melewati ku, namun jalannya hanya muat untuk satu orang, jika dua orang maka akan bersenggolan.

Anjrit. bokong Bu Reni menyenggol kontolku yang tegang. Saat itu pun aku rasakan kontolku menekan lumayan terasa. Namun anehnya, Ibu Reni cuek begitu saja. Aku mau minta maaf namun aku takut jika dibilang pelecehan. sambil terbata-bata aku jawab

“iii..ii.yaaa Bu. Makasih ya Bu. Aaminn.” masih dengan perasaan deg-degan dan kontol yang gamau lemes, aku ke kamar mandi.

Singkat cerita, acara arisanpun sudah selesai. Aku disuruh Ibuku untuk membeli beras ke Toko Pak Narko karena stok persediaan kami habis.

“Dewo, beliin Ibu Beras ke Pak Narko ya, ini uangnya. Minta yang rojolele 5 liter” Ibuku sambil memberikan uang.

“Oke Bu.” singkatku

Karena aku terkenal oleh keluargaku anak yang tidak pernah membantaj jika disuruh, walaupun badanku capek sekali, pasti aku tidam bisa menolak jika disuruh, itu yang membuat Ibuku senang punya anak seperti ku.

Akupun menuju warung Pak Narko, saat aku sampai, aku melihat hanya Ibu Reni saja yang menunggu toko.

“Bu, beli beras rojo lele 5 liter” ucapku.

“Eh leeee Dewo.. cah bagus kok tumben kamu yang beli, biasanya Ibumu loh. Jarang ada bocah ganteng mau beli beras.” puji Bu Reni.

“Aahh Ibu bisa aja. Iya Bu, soalnya Ibu saya nyuruh, dan saya paling gak bisa nolak, takut Ibu saya marah.” Aku menimpali

“Iyo cah bagus. Bener banget kamu. Ibumu juga bilang sama aku kalo kamu tuh anaknya rajin dan gak membantah. Jadi kalaupun kamu nganggur orang tuamu gak protes terbebani” Bu Reni kembali memujiku lagi.

“Ibu bisa aja, uda kewajiban saya Bu. oiyaa Bu, Rojolele ya Bu berasnya.” aku mengingatkan Bu Reni kembali.

“Laah iya lee, kamu kan mau beli beras, malah Ibu ajak ngobrol. sebentar yo lee, beras stoknya kebetulan abis, Ibu tak buka dulu.” Ucap Bu Reni sambil.menuju salah satu karung beras.

Saat itu Bu Reni berjualan dengn daster lengan panjang dan Jilbab tentunya. Namun seperti yang aku ceritakan di awal tadi, karena toket dan bokongnya gede, pakaian yang beliau pakai pun seakan tidak kuat menutupi kemolekan toket dan bokong. Bu Reni ini walaupun orang kaya, dandanannya masih terlihat sederhana, namun tidak membuat malu. Jadi tidak heran jika warga segan kepada juragan beras ini.

Saat menuang beras ke wadah display, aku lihat getaran toket Bu Reni yang membuat sesak isi celanaku. Beliau pun menuang beras, posisinya sedikit nungging, dan ini jadi kesempatanku buat cuci mata.

“Lleeee Dewo, ini udah. 5 liter ya” ucapnya

beberapa detikpun aku masih bengong, sampai aku ditegur lagi dengan Bu Reni.

“Leee, Dewo, iki berasmu Cah Bagus. Ojo ngalamu wae, kesambet lho hehehehe” Canda Bu Reni.

“Iiyyaa Bu. Makasih. ini uangnya. Ngomomg-ngomong Pak Narko kemana Bu?” Tanyaku sambil memberikan uang.

“Iku le, Bapaknya lagi ke Pasar Induk ngecek persediaan Beras. Kasian le, sejak ditinggal Kasman (pegawai toko yang dulu) pulang kampung, kita jadi agak keteter Makanya Ibu jaga juga. Nyari pegawai susah soalnya le.” Ibu Reni sedikir curhat.

“Wah iya Bu, saya lihat Pak Narko jadi makin sibuk ya. Bu Boleh gak saya kerja di sini.” Aku bertanya. karena aku pikir daripada nganggur.

“Emm gimana yo lee. Bukannya Ibu gak mau, tapi……….” ucap Bu Reni agak ragu.

akupun memotong pembicaraan Bu Reni “Ibu jangan ragu, saya gak akan malu Bu kerja disini. Bahkan saya disuruh angkat-angkat beraspun juga mau.”

“Gapapa lee beneran? Ibu gaenak sama Ibumu”

” Gak Bu, jaman sekarang kalau cuma modal malu gak akan makan. Saya dulu boleh karyawan kantoran, tapi sekarang saya yakin bisa lepas dari bayang-bayang itu.” Aku meyakinkam Bu Reni.

Saat itu juga tidak berselang lama suara kendaraan Pak Narko terdengar. Tandanya beliau sudah pulang dari Pasar Induk.

“Wuih Dewo,tumben ini beli beras.” tanyanya sambil menghampiri Bu Reni

” Iya Pakne.. Dewo disuruh Ibunya. Oiiya Pak kebetuluan, ini Dewo lagi nganggur, boleh gak kerja di sini?” Ibu Reni bertanya ke suaminya

” Lha emang gapapa Wo? kamu kan dulunya orang kantoran” Pak Narko sedikit kaget.

” Gapapa Pak. Kebetulan saya juga uda lumayan lama nganggurnya.Biar otot gak kaku (tapi otot selangkanganku kaku Pak liat body istrimu)”

” Ya aku terserah wae Bu, kalo Dewonya gak masalah sih. Karena kebutulan kita juga butuh pegawai Wo. Tapi apaan aja gapapa ya. ya nyetir, kasir angkat-angkat. Soalnya cuma kita aja ini. Masalah gaji dan tambahan ntar aman Bapak atur.” Pak Narko mengizinkan.

“Siap Pak. Aman, saya gak akan tanya lebih lanjut Pak masalah itu. Terserah Bapak sama Ibu. Saya yakin kalian pasti lebih paham menggaji karyawannya” Jawabku dengan ekspresi senang karena aku bakal bisa lebih dekat lagi dengan Bu Reni, si montok yang membuat aku berkhayal akhir-akhir ini.

“Yawis Wo, besok ya mulai kesini, nanti tak ajarin gimana kerjanya. Biar Bu Reni juga gak terlalu keteteran.” Pinta Pak Narko.

“Siap Pak. Besok pagi saya kesini. Makasih ya Pak Narko dan Bu Reni. Dewo pamit dulu”

“Oke lee, hati-hati yo, salam buat Ibumu.” Bu Reni membalas

“Baik Bu nanti di sampaikan” aku akhiri dan kembali pulang.

Di jalan pikirianku sudah tidak karuan kemana-mana karena otakku sudah merencanakan berbagai hal supaya bisa mencicipi si montok Bu Reni.

“Tenang Bu Reni, lambat laun, nanti saya akan menikmatimu seutuhnya” Ungkapku dalam hati.