Sepenggal Kisah – Nadia Safira (NO SARA!)

CHAPTER 1
Sebuah Perjalanan

Mengemudi seorang diri bukanlah hal baru bagiku. Sebagai pelakon bisnis tentulah melakukan traveling baik itu dengan kereta api, pesawat, maupun dengan mengemudikan mobil sendiri, sudah menjadi hal yang biasa terjadi di dunia ini.

Sama seperti yang terjadi hari ini.

Berkendara selama 4 jam lamanya di tengah malam begini, memang yang wajib di butuhkan adalah ketenangan dan menajamkan fokus penglihatan. Meski di umurku yang memasuki 35 tahun ini, aku tak lantas kehilangan fokus, meski harus ku akui sepasang mata ini memang tak lagi normal. Makanya harus terbantukan dengan kaca mata yang kini bertengger di wajah. Ya, mayoritas orang akan mengatakan umur segitu masihlah muda. Tapi bagiku, itu sudah masuk ke fase ‘Tua’, karena sebentar lagi memasuki umur-umur top 40. Bukan hanya itu, untuk meningkatkan ketenangan dalam mengemudi, di butuhkan kepulan asap buat menemaniku malam ini. Thanks bro garpit, selalu hadir di saat sepi senyap melempem kayak gini buat menenangkan hati dan pikiran. Jiah! Apaan sih, tepok jidat!

Aku sedikit menoleh ke samping, di jok samping yang seharusnya di tempati oleh sahabatku – si Yono, karena telah janjian untuk pergi bareng ke Bandung buat menghadiri pernikahan anak dari mantan dosen terbaik kami di kampus dulu, eh’ dia malah hanya menitipkan amplop saja padaku, yang berisikan uamng tentunya, yang juga tentunya aku sama sekali tak ketahui berapa nilainya, tanpa dirinya turut serta bersamaku hari ini – karena dia beralasan jika dirinya pun telah memberi janji sebelumnya kepada istri dan anaknya untuk mengajaknya liburan di akhir minggu ini.

Alhasil, karena aku tak seberuntung dia karena mudahnya mendapatkan istri dan membangun bahtera rumah tangga yang harmonis, aku pun tak punya alasan lain buat tidak ikut hadir di pernikahaan anak bungsu pak Sardi.

Bercerita tentang keberuntungan….

Mungkin Yono beruntung dalam hal yang ku sebutkan di atas, namun dalam hal lain tentulah aku lebih banyak menangnya.

Kami sama-sama bukanlah lahir dari keluarga yang tajir melintir. Aku dan Yono sama-sama dari keluarga pas-pasan. Lepas kuliah, aku yang memiliki otak encer langsung mendapatkan pekerjaan yang mumpuni. Sedangkan Yono, harus ikhlas menerima hidupnya yang hanya sebagai pegawai bank biasa hingga sampai sekarang ini.

Kemudian, lima tahun aku bekerja sembari mengumpulkan dana serta tak memiliki keinginan untuk menghambur-hamburkan hasil keringatku selama itu, maka genap 5 tahun aku bekerja, aku pun memulai usaha sendiri dalam bidang yang sama yang aku kerjakan di perusahaan kala itu, yang tentu saja, bukan hanya hasil tabunganku saja yang ku gunakan dalam membangun bisnis, melainkan atas keberanianku yang meminjam dana di bank dengan menjaminkan sertifikat rumah kedua orang tuaku kala itu – hingga setelah 10 tahun pun berlalu, usaha yang ku bangun dengan tanganku sendiri telah membuahkan hasil yang amat sangat signifikan. Bahkan sertifikan rumah pun telah ku tebus, itu berarti hutangku di bank telah ku lunasi sejak lama.

Karena itulah, karena aku tak memiliki waktu buat memanjakan diri di luar sana, karena hanya terfokus bagaimana memperbaiki masa depanku kelak, maka aku pun sampai sekarang belum memiliki istri. Apalagi anak.

Kadang aku merasa agak sedikit miris sih, tapi, dengan hasil yang sekarang ku dapatkan, tentulah bukan hal sulit bagiku untuk memanjakan si kodir di bawah sana di saat sedang ingin ganti oli.

Tanpa ku jelaskan panjang lebar tentu kalian semua wahai para pembaca ceritaku ini paham yang ku maksud. Dan kehidupan baruku itu telah ku jalani selama 3 tahunan belakangan ini. Memang sih, banyak yang ingin dekat denganku, cuma karena umur pun tak lagi muda, jadi untuk memilih pasangan – aku agak sedikit harus berhati-hati. Mungkin lebih tepatnya belum ada yang pas sesuai yang ku inginkan, atau mungkin pula belum adanya yang mampu mengorek isi terdalam hatiku ini. Maybe. Tapi meski begitu, dengan statusku yang jomblo tapi banyak mengoleksi (BK) Baby Kumbang di luar sana, sejauh ini hidupku fine-fine aja.

Apalagi tanpa adanya tekanan dari keluarga untuk menikah, di karenakan kedua orang tuaku telah tiada, telah meninggal 4 tahunan yang lalu. Jadi aku sih santai-santai saja sampai sekarang ini. Oh iya, aku memiliki adik cewek, karena aku hanya dua bersaudara saja. Dan kini, ia membantuku dalam menjalankan usahaku sebagai Direktur Keuangan. Adikku pun sudah menikah, dan suaminya sekarang bekerja di sebuah perusahaan ternama pun sebagai Sales Director. Makanya dia gak berminat untuk gabung di perusahaanku, karena dia pun bisa mandiri. Maklum, ego nya sebagai seorang pria tentulah lebih di depankan. Karena aku yakin, adik iparku ini amat sangatlah bertanggung jawab terhadap keluarganya.

Ok kita skip masalah adik dan adik iparku ya, karena ini bukan cerita mereka melainkan menceritakan jalan kehidupanku yang tak ada bagus-bagusnya buat kalian baca.

Well! Sebelum panjang bercerita, ada baiknya aku memperkenalkan diri dulu kali ya?

Kalian cukup memanggilku Rendi Widjaya. Atau Rendi juga bisa kok. Cukup itu aja ya, nanti kalian bakal tahu detail tentangku seiring berjalannya cerita yang kan ku paparkan pada kalian ini.

Oke back to story….

Setelah berkendara cukup lama, dan juga telah memasuki Km 80an, ku lirik jam pada dahsboard mobil. Rupanya waktu telah menunjukkan pukul 12 malam lewat sedikit. Oh ia, sengaja memang ku putuskan berangkat ini malam buat ke Bandung, jadi aku bakal menginap disana – pun telah ku booking dan telah ku bayar via applikasi di ponsel, salah satu hotel yang letaknya di dekat tempat acara pernikahan besok saat aku masih di Jakarta tadi – karena acara ijab qabul beserta resepsi anak bungsu dari dosenku itu akan langsung di adakan jam 9 pagi – bersamaan.

Baru saja ku pantik sisa rokok yang baru saja menemaniku, tiba-tiba saja suara monster dalam perut bergejolak, menuntut buat segera di isi. Karena memang aku memiliki kebiasaan untuk menjaga berat badan biar ideal, maka aku memang amat sangat jarang buat makan malam, pun apabila kalo sudah lapar aku paling mengkonsumsi buah-buahan saja. Tapi karena aku beraktivitas malam saat ini, makanya perutku pun tak bisa di ajak berkompromi lagi.

Tanpa pikir panjang, aku memutuskan untuk mampir sejenak di rest area yang terdekat dari posisiku sekarang. Kalo gak salah sedikit lagi aku akan tiba di rest area yang ku maksud.

Karena posisi kaca depan sebelah kanan masih terbuka, maka suara deru mesin diesel dari Pajero Sport terbaruku ini terdengar, tapi tidak begitu mengganggu pendengaranku. Apalagi ketika ku rendahkan atau menurunkan sedikit kecepatan karena sebentar lagi aku akan tiba di tujuan. Dan benar saja, tak butuh waktu lama, jalan masuk beserta beberapa baliho pengiklan yang masih menyala terang pun mulai terlihat di depan sana. Ku putuskan untuk menyalakan lampu sein ke kiri buat meminta jalan pada pengendara lainnya yang berada di belakangku karena memang posisiku berada tidak benar-benar di jalur sebelah kiri.

Aku mulai memasuki rest area.

Mataku mulai mencari sekiranya masih ada warung atau rumah makan yang masih buka dan cukup representatif buat ku singgahi. Rupanya aku tak mendapatkan warung yang sesuai keinginanku.

Maka ku lanjutkan berjalan saja meninggalkan rest area ini. Dan memutuskan, mungkin aku keluar dari tol saja, dan lewat di daerah Subang, karena menurutku, di daerah sana banyak berjejer warung makan yang memang telah lama beroperasi disana buat membantu para penumpang bus malam yang ingin sekedar mampir buat mengisi lambung. Toh! Saat perut sudah terisi, maka perjalanan menuju Bandung tanpa lewat tol lagi, akan jauh lebih ringan dan menyenangkan. Apalagi aku juga gak buru-buru buat ke Bandungnya.

Masih banyak waktu kok.

Singkat cerita…..

Aku telah tiba di Subang. Pun telah berada di jalan yang di sisi kiri dan kanannya banyak terdapat warung makan, apalagi parkiran di setiap warung makannya cukup luas. Ku putuskan untuk menepi, random saja memilih warung makan yang akan ku singgahi.

Ku parkir mobil di dekat beberapa deretan mobil yang entah ada yang makan di warung yang sama denganku atau tidak. Intinya, di situ masih ada cela buat ku parkirkan Pajero Sprot ku di sana. Tidak terlalu rapat dan cukup buat para pemilik mobil yang mengapit mobilku di sisi kiri dan kanan, untuk keluar masuk dari mobilnya.

Karena letak warungnya berada di sebelah kiri, serta pintu masuknya tidak berada dekat dari mobil, maka aku harus berjalan kurang lebih 10 meteran buat mencapai pintu masuk warung makan yang ku maksud.

Baru saja ingin masuk, tiba-tiba dari seberang jalan – lebih tepatnya di sisi trotoar yang menjadi pembatas antara sisi kiri dan kanan jalan – mataku menangkap sesosok pria yang tengah kesulitan buat menyalakan motornya.

Hmm, motor butut kayak gitu di pelihara. Aku bergumam dalam hati sembari menggeleng-gelengkan kepalaku ini, karena merasa agak miris saja. Di duna ini masih ada aja yang mempertahankan barang tua seperti itu yang dampaknya di kemudian hari bakal menyusahkan diri sendiri, sama seperti yang ku lihat saat ini, bukan?

Karena lebih besar keinginan buat mengisi lambung ini, maka ku pungkasi acara melihat kejadian di seberang jalan ini, lalu mulai berbalik badan dan mulai ingin berjalan masuk ke dalam. Namun tiba-tiba saja, entah bagaimana, sesosok wanita berkerudung merah muda menabrak tubuhku.

Bugh!

Hadeh, punya mata gak sih bu? Untung saja aku membatin dalam hati. Karena aku bukanlah type orang yang suka mencari masalah, membuat orang lain tersinggung karena ucapanku yang bisa saja ku ucapkan dari mulut ini. Makanya aku selalu hanya berbicara dalam hati apabila ada yang tidak sesuai dengan pikiranku sendiri.

Sama seperti wanita ini…..

Hmm….

Dia malah menunduk. Pantas saja, bu. Jalannya nunduk, gak lihat ke depan alhasil malah nabrak kan? Aku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah wanita ini.

“Ma… maaf pak. A…. aku tak sengaja” begitu ujar wanita itu. Dan detik berikutnya, ku sadari jika wanita ini bukan hanya berkerudung, bergamis saja, melainkan di saat wanita itu mulai mengangkat wajahnya, ternyata sebagian wajahnya tertutupkan selembar kain yang mungkin biasa di sebut niqab atau cadar lah.

“Iya gak apa-apa bu” balasku dengan seramah mungkin, meski dalam sana berbanding terbalik. Tapi setidaknya, cukup aku saja yang paham, karena yang kini ku tunjukkan padanya, sikap yang menurutku paling teramah yang ku miliki untuk malam ini.

Di tangannya, rupanya membawa botol aqua berukuran 1,5 liter.

Oke forget it….

Aku juga gak tertarik buat membahas panjang lebar tentang wanita itu. Maka, yang ku lakukan jenak berikutnya, bergeser, memberinya jalan biar ia bisa melewatiku.

“Silahkan lebih dulu bu” ujarku selanjutnya.

Dia kembali mengangguk, dan menunduk. Seolah-olah ingin mengalihkan pandangannya dariku. Sepertinya, dari yang sempat ku baca selama ini ataupun ku dengar, wanita-wanita sepertinya ini, yang memiliki paham yang begitu keras tentang agama, tak mau bertatapan dengan pria yang bukan mahromnya, takut terjadi fitnah. Tolong koreksi jika aku salah ya, teman-teman.

Pantas saja dia berusaha untuk tidak bersitatap denganku. Tapi anehnya, timbul rasa penasaran buat mengajaknya saling bersitatap. Hahaha! Tepok jidat!

Oke lah, bukan hal yang patut ku detailkan ke kalian.

Ku biarkan wanita itu berlalu begitu saja, dan yang paling aneh, ku urungkan niatku untuk langsung masuk ke dalam warung makan, dan malah menoleh, menatap kepergian wanita berkerudung serta berniqab merah muda itu dari belakang, menyebrangi jalan di depan sana. Dan setelahnya, baru ku sadari jika wanita itu menghampiri pria pemilik motor butut yang tengah kesulitan buat meng-on- kan motor tersebut.

Aku hanya geleng-geleng kepala saja melihatnya.

Sepertinya wanita itu adalah istrinya. Karena melihat dari cara pria itu berpakaian selayaknya ustad, maka kesimpulan tersebut pun langsung muncul di otak ini.

Karena tak ingin berlama-lama, maka aku akhirnya memutuskan beranjak masuk ke dalam warung. Seorang bapak tua berusia sekitar lima puluh tahunan menyapaku ramah.

“Selamat datang pak, silahkan… silahkan.” ujarnya ramah menyambutku.

Aku tersenyum dan mengangguk takjim menanggapi sapaan bapak tua itu. Aku lantas memilih meja di bagian dalam, dan duduk menghadap ke arah jalan.

“Mau pesan apa pak?” Bapak tua yang sepertinya pemilik warung menanyakan makanan apa yang ingin ku pesan sembari memberikan daftar menu sederhana yang dipegangnya.

Aku pun sejenak membaca daftar menu tersebut.

“Hmm…. Saya pesan nasi goreng spesial, telurnya di ceplok mata sapi aja…. minumnya aqua dingin aja ya pak”

“Baik pak, itu aja pesanannya?”

“Iya itu aja pak” balasku.

“Baik. Silakan ditunggu pak” Bapak itu kemudian berlalu ke arah dapur dan segera menyiapkan pesananku.

Rupanya keputusanku untuk duduk menghadap ke depan, ke jalan – salah. Maksudnya salah, yang pada akhirnya aku kembali melihat kejadian di luar sana – lebih tepatnya di seberang jalan.

Si pria berkostum ustad itu masih saja kesulitan buat meng-stater motor bututnya. Bosen melihat ke arah pria dan motor butut itu, pandanganku malah tiba-tiba saja bergerak ke arah lainnya. Awalnya sih gak ada niat apa-apa, atau jangan-jangan karena munculnya rasa penasaran tentang sosok wanita tadi yang sempat bersenggolan denganku di pintu masuk? Dimana kah dia berada saat ini? Begitu pertanyaan yang muncul saat ini di benak sialanku.

Kok aku merasa sedikit lega di saat mataku akhirnya menangkap keberadaan wanita itu ya? Tepok jidat.

Sadar Ren, sadar! Fokus lah buat mengisi perut lo dulu, ketimbang memikirkan wanita jadi-jadian itu. Sebuah monolog singkat dalam diri ini baru saja mengingatkan pada tujuan asliku mampir ke warung ini.

Tapi kan, makan dan minumannya belum datang?

Iseng aja sih….

Aku menatap ke arah dimana wanita itu berada. Dia duduk di trotoar yang gak begitu jauh dari posisi pria berkostum ustad itu. Dia menunduk, posisinya memang agak sedikit membuatku bergeleng kepala.

Sungguh kasian wanita itu. Begitu aku bergumam. Setidaknya, jam segini, andai suaminya – aku berasumsi jika pria itu adalah suaminya – karena ke-egosiannya mempertahankan motor bututnya, dan andai ia sadar lebih awal dan mulai menjual motor itu dan mengganti dengan motor bekas yang layak di pakai, gak mungkin sang istri akan merasakan dinginnya udara di daerah sini. Apalagi yang ku tahu jika area sini lumayan dingin karena berada di daerah ketinggian. Belum lagi bulan desember kayak gini memang musim dingin atau musim penghujan lagi menerpa nyaris semua daerah di Indonesia.

Kedua tangan wanita itu, membuktikan jika ia kedinginan, karena tengah melipat lututnya, berusaha mencari kehangatan yang menurutku mustahil akan ia dapatkan.

Dari gelagatnya, tampak jelas jika wanita itu tengah kelelahan. Apakah mereka sudah lama di situ? Di bawah penerangan cahaya lampu jalan, makin kuperhatikan wanita itu dengan seksama.

Iseng-iseng aja sih, sembari menunggu makan dan minumku tiba.

Selagi asyik memperhatikannya, wanita itu tampaknya sadar sedang kuperhatikan dari jauh.

Ia pun mengangkat wajahnya, dan pada akhirnya membalas tatapanku dari dalam warung ini.

Pandangan mata kami beradu beberapa saat, namun bukan aku namanya jika lantas gugup dan mati gaya saat terpergok memandangi seorang wanita, Aku sedikit menganggukkan kepalaku dan tersenyum. Walau tampak aneh dan salah tingkah, wanita itu melakukan hal yang sama, mengangguk penuh kehormatan padaku.

Wait?

Kehormatan?

Hahaha…. kenal aja tidak. Ngapain dia mau menghormatiku?

Tak berapa lama, bapak pemilik warung membawakan pesananku, serta sapaannya membuyarkan aktivitasku yang tengah berbalas tatap dengan sosok wanita di seberang sana.

Singkatnya….

Aku mulai fokus pada lambung ini buat sesegera mungkin ku isi.

Bersambung Chapter 2

Gallery for Sepenggal Kisah – Nadia Safira (NO SARA!)