Si Gila

SI GILA

SETIBA di depan pagar rumah kontrakan saya sambil membawa sebungkus nasi padang sore itu saya pulang kerja, saya sangat kaget melihat seorang wanita bertubuh telanjang sedang berbaring di lantai teras rumah kontrakan saya.

Jelas, wanita yang menurut taksiran saya berumur 30 tahunan ini otaknya tidak waras, alias gila karena tubuhnya kotor sekali, sampai kulitnya hitam ditempeli daki. Rambutnya dipotong pendek seperti potongan rambut laki-laki.

Entah dari mana dia berasal, karena sebelumnya saya tidak pernah melihat orang gila berkeliaran di lingkungan tempat saya tinggal.

Tubuhnya tidak kurus dengan kulit berbalut tulang, tetapi seperti potongan tubuh wanita normal, cukup berisi dengan tinggi sekitar 165 senti meter.

Sewaktu saya menyuruh dia bangun, dia menurut.

Payudaranya yang menggantung tampak berisi dengan puting susu berbentuk kecil. Kulit perutnya rata dan di daerah pubisnya menghias bulu kemaluan yang cukup lebat berwarna coklat karena saking kotornya dengan debu.

Saya tidak mengusir dia pergi dari teras rumah saya. Dan ketika saya membuka pintu rumah kontrakan saya, dia ikut saya masuk ke dalam rumah.

Dan dengan santainya, dia duduk di lantai ruangan saya yang sekaligus saya pergunakan sebagai kamar tidur di malam hari.

Saat itu saya bukannya terangsang melihat vagina si gila yang terhampar di depan mata saya, tapi saya jatuh kasihan.

Saya lalu mengeluarkan nasi padang dari kantong plastik kresek. Sambil menahan lapar dan menahan penciuman saya karena tubuhnya yang bau busuk, saya menyodorkan nasi padang kepadanya dengan sebuah sendok plastik.

Dia langsung membuka kertas pembungkus nasi padang tanpa memandang saya lagi, lalu dengan kelima jarinya yang kotor berkuku panjang, dia meraup nasi padang dengan lauk telur dadar masuk ke mulutnya yang bergigi kuning.

Astaga, saya mau muntah melihat si gila makan dengan rakusnya seperti setahun tidak menyentuh nasi.

Saya yang kelaparan pun jadi kenyang melihatnya antara jijik dan iba.

Saya menukar pakaian kerja saya.

Setelah dia selesai makan, saya menyeret dia masuk ke kamar mandi. Dia tidak melawan.

Saya menyiram tubuh telanjangnya dengan air dan saya memerlukan sikat untuk menyikat tubuhnya yang ditempeli kotoran yang sangat tebal sampai-sampai busa sabun yang berwarna putih berubah warna menjadi warna coklat kehitam-hitaman.

Saya mengeramas rambutnya dengan shampo. Saya tidak segan-segan membersihkan payudaranya dan puting susunya sampai puting susunya yang lemas menjadi tegang.

Saya juga membersihkan lubang pusernya. Kemudian saya baru terangsang ketika saya harus membersihkan rambut kemaluannya dan selangkangannya.

Saya mencuci bersih vaginanya dan anusnya, lalu saya menyikat giginya.

Sekarang tubuhnya yang kotor sudah bersih. Rambutnya yang pendek tadinya kusam, sudah mengilat kena cahaya lampu dan bulu kemaluannya juga sudah berwarna hitam.

Saya memakaikan kaos oblong dan celana pendek milik saya menutupi tubuh si gila yang telanjang. Kuku tangan dan kuku kakinya saya gunting. Dia tampak cantik bukan seperti orang yang tidak normal.

Saya bingung, kenapa selama ini dia diterpa hujan dan angin dengan tubuh telanjang setiap hari, dia tidak jatuh sakit? Apakah dia tidak bisa merasakannya?

Malam itu saya harus makan mie instan dan dia juga ikut makan dengan lahapnya.

Saya tidak bisa berkomunikasi dengan dia, karena apa yang saya tanyakan tidak dijawabnya dan dia tidak mau pergi dari rumah kontrakan saya.

Mau saya laporkan ke ketua RT atau ke tetangga, saya merasa tidak tega.

Malam itu, dia tidur satu tempat tidur dengan saya tanpa mengganggu saya sampai pagi. Tapi habis membuang air besar dan kencing, dia tidak mau menyiram WC dan cebok.

Saya harus menyiram kotorannya dan menceboki dia, lalu saya memandikan dia lagi pagi itu.

Entahlah, kenapa saya tidak tega mengusir dia pergi dari rumah kontrakan saya.

Hari itu terpaksa saya tidak masuk kerja dan berbohong pada atasan saya bahwa saya sakit.

Siang harinya, saya mencoba meninggalkan si gila di rumah, saya pergi ke pasar membeli pakaian untuk dia dan pergi ke warung membeli nasi.

Dia tidak mengganggu rumah saya selama saya meninggalkan dia sekitar satu setengah jam di rumah. Dan saya merasa gembira melihat dia mau menyiram lantai kamar mandi setelah selesai kencing dan pada malam harinya dia bisa tertawa saat menonton adegan lucu di televisi dan dia mau memakai BH dan celana dalam.

Hari berikutnya, saya lebih tidak tega lagi menyuruh dia pergi dari rumah kontrakan saya, karena pada pagi harinya, saya menyuruh dia mandi sendiri, dia sudah bisa melakukannya sendiri.

Beruntung hari Sabtu, saya tidak masuk kerja. Dia mau membantu saya membuka bungkusan mie instan saat saya mau memasak dan makanpun dia tidak serakus seperti dua hari yang lalu, tapi tetap dia tidak bisa diajak berkomunikasi. Saya yakin dia tidak bisu.

Malam itu saya mengajak si gila makan di warung pecel lele. Orang-orang yang makan di warung, tidak merasa heran melihat dia duduk di samping saya.

Pasti si gila ini datang dari jauh sehingga orang-orang tidak mengenal dia, atau apakah si gila sudah berubah menjadi wanita yang ‘tampaknya’ normal?

Tengah malam saya terbangun dari tidur saya karena saya merasa terjepit. Ahh… rupanya si gila memeluk saya!

Payudaranya yang terbungkus BH dan pakaian, mengganjal di lengan saya. Suara dengkurannya terdengar halus. Bau tubuhnya wangi, tidak berbau kotoran seperti dua hari yang lalu.

Saya tidak bisa memungkiri bahwa pada saat itu ‘sifat asli’ saya muncul ketika merasakan kehangatan tubuh si gila yang memeluk saya.

Saya tidak bisa memejamkan mata saya lagi dan pikiran saya melayang ke segenap penjuru tubuh telanjang si gila.

Melawan adalah ‘lebih susah’ dari mengikuti. Kemudian, saya pun memiringkan tubuh saya membalas pelukkan si gila.

Saya juga mencium bibir si gila. Si gila menggeliat. “Nggg… eehhgg…!!” ini suara pertama yang terdengar keluar dari mulut si gila.

Mendengarnya, membuat saya kian bernafsu. Tangan saya dengan cekatan membuka kancing bajunya.

Si gila membiarkan saya melepaskan baju dan celananya. Yang tinggal melekat di tubuh si gila yang berkulit sawo matang itu hanya BH dan celana dalam.

Saya membelikan si gila celana dalam dan BH yang biasa, bukan yang seksi.

Saya mencium dan mengisap sela payudaranya sehingga membuat tangan si gila mencengkeram rambut saya. BH-nya saya lepaskan, puting susunya saya isap.

“Aaahhggg….” si gila mendesah. Kepalanya terdongak, matanya terpejam.

Ketika saya melepaskan celana dalamnya dan memegang vaginanya, vaginanya sudah basah.

Saya segera melepaskan kaos dan celana pendek dengan celana dalam saya juga.

Saya tidak membayangkan lagi bagaimana pertama kali
saya melihat tubuh si gila. Bulu kemaluan dan vaginanya yang kotor. Mungkin lendir dan darah haidnya yang telah bercampur menjadi satu, juga bekas air seninya melekat di luar dan di dalam lubang vaginanya. Sekarang vaginanya bersih.

Saya mencium bulu kemaluannya yang tumbuh sampai dikedua sisi vaginanya.

Ahhgg… klitorisnya yang terselip di bagian atas bibir vaginanya tampak menonjol.

Perlahan saya mendorong kepala saya masuk ke sela paha si gila yang sudah terbuka lebar. Tubuh telanjang si gila terasa menghentak ketika ujung lidah saya menyentuh klitorisnya.

Saya menjilat klitoris si gila dengan lidah. Saya menjilatnya dengan lembut sambil tangan saya terjulur meremas payudaranya yang terasa berisi, tidak kendor.

Tubuh si gila menggelinjang. Saya tidak hanya menjilat klitorisnya, tapi lidah saya juga memasuki liang vaginanya.

Si gila sudah tidak perawan. Lendir birahinya banyak. Kemudian saya menaiki tubuhnya.

Penis saya yang keras dan tegang menekan lubang vagina si gila sembari saya mencium bibirnya. Kedua tangan si gila memeluk tubuh saya dengan erat.

Penis saya perlahan memasuki lubang vaginanya. Tidak ada hambatan, meskipun terasa sedikit sesak, mungkin lubang itu lama tidak dipakai.

Saya tidak mau terburu-buru menyelesaikan pertandingan.

Saya ingin si gila juga menikmati, karena saya tahu dia menikmati. Matanya terpenjam.

Saya terus menekan penis saya masuk ke dalam lubang vaginanya yang terasa basah sambil sedikit-sedikit saya tarik keluar dan tekan lagi penis saya.

Dengan demikian, lubang vagina si gila bisa menyesuaikan diri dengan penis saya.

Lubang vagina si gila tidak terasa sesak lagi, sehingga penis saya bisa ditekan sampai dalam sekali ke dasar.

Saya memendam penis saya di dalam sambil saya mengisap puting susunya.

Sekitar beberapa detik, lalu saya mulai mengocok penis saya di dalam lubang vagina si gila dengan menggerakkan penis saya keluar-masuk. Rasa nikmat menjalari tubuh saya, entah si gila.

Detik berikutnya, sayapun mengerang, “Agghhh….!”

Air mani saya tumpah di dalam ruang vagina si gila.

Setelah itu saya mencabut penis saya dan membersihkan vagina si gila yang dibanjiri oleh air mani saya dengan tisu.

Kemudian kami tidur bertelanjang sambil berpelukan sampai pagi.

Pagi itu, si gila yang memasakkan mie instan untuk saya.

Dia tersenyum ketika saya membalas dengan kecupan di bibirnya.

Selesai makan mie, satu ronde kembali kami lakukan di tempat tidur dan satu ronde di kamar mandi.

Sore harinya, si gila berjalan keluar dari rumah kontrakan saya berdiri di depan pintu pagar. Bukan apa-apa, saya hanya takut ada tetangga yang melihatnya.

Telepon genggam saya berbunyi. Lalu saya mengambil telepon genggam saya yang masih tersimpan di saku celana panjang saya.

Setelah itu, ketika saya melihat ke arah pagar rumah kontrakan saya sambil saya berbicara di telepon, si gila sudah tidak berdiri di sana.

Setelah selesai telepon, saya keluar mencari di beberapa gang, saya tidak menemukan si gila.

Hati saya sedih dan gelisah telah kehilangan si gila, karena saya tunggu sampai keesokan harinya, si gila tidak muncul di rumah saya.

Si gila pergi tanpa pesan, tapi meninggalkan kesan yang mendalam bagi saya. Sehingga, saya tidak bisa melupakannya dalam satu atau dua minggu.

Saya membutuhkan ‘perjuangan’ untuk menghilangkan wajah si gila dari ingatan saya.

Apakah saya telah jatuh cinta pada si gila?

Tolong, bantulah saya menemukan si gila, pembaca yang budiman!

Suatu hari saya harus berurusan dengan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) yaitu mengantar ibu dari teman kerja saya yang sering mengalami mimpi diajak bersetubuh oleh makhluk halus untuk berkonsultasi dengan psikiater.

Sebelumnya ibu dari teman saya ini sudah berobat ke shinse, ke dukun, ke paranormal, lalu akhirnya oleh dokter Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa.

Badan dari ibu teman kerja saya ini sampai kurus karena susah makan, sulit tidur dibayangi oleh ketakutan didatangi oleh makhluk halus itu tadi.

Sebenarnya ibu teman kerja saya ini cantik, mungkin masa lalunya juga ia cantik dan seksi, hanya karena nasibnya saja yang tidak membawanya menjadi selebriti, tetapi menikah dengan seorang montir mobil yang sehari-hari bergelut dengan minyak olie dan hitamnya bau knalpot.

Setelah usai urusan administrasi kemudian saya mengantar ia dan anaknya ke ruang tunggu, saya meninggalkan mereka berdua pergi mencari makan di kantin yang terletak di belakang rumah sakit, dan nanti saya akan kembali menemani mereka bertemu dengan psikiater seusai saya makan.

Namanya juga Rumah Sakit Jiwa, tidak seperti rumah sakit biasa, hu.

Pasien yang dirawat bisa keluar dari ruangan duduk ngelamun di taman, atau tertawa sendiri, atau ngoceh sendiri… eh, tidak sengaja mata saya melihat seorang wanita yang duduk di lantai bersandar di tembok dengan pandangan kosong seperti hidup ini sudah tidak ada harapan lagi, meskipun potongan rambutnya potongan rambut laki-laki, tetapi wajahnya tidak bisa mengelabui mata saya.

Selera makan saya pun hilang dalam sekejap mata… SI GILA… makhluk yang sudah saya lupakan, ternyata sosoknya berada disini.

Saya mendekatinya, pandangan matanya tetap kosong tanpa gairah, tetapi tubuhnya sudah tidak hitam kumuh berbalut debu jalanan dan daki yang air cuciannya bisa meracuni ikan patin sekolam. Tubuhnya bersih dan pakaiannya juga rapi.

Setelah dua tiga menit saya menunggu, reaksinya mulai kelihatan dari mimik wajahnya yang sudah melunak, lalu saya tarik ia bangun dari duduknya dan dari pertemuan yang tidak disengaja itu membuat si gila memeluk saya sambil menangis, “Say… saya ingin pulang…” katanya membuat saya ingin mencium bibirnya tetapi saya tahan, karena untuk mengeluarkan si gila dari RSJ ini bukan perkara yang mudah, saya saudaranya bukan, temannya juga bukan dari mana saya mendapatkan Hak Angket untuk mengeluarkan si gila dari rumah sakit?

Saya kembali ke ruang tunggu, ternyata Ardian dan ibunya sudah bertemu dengan psikiater. Ardian pergi ke apotik mengambil obat, saya memberi ibunya minum yang saya beli di kantin rumah sakit.

Berhubung sudah beberapa kali kami pernah bertemu sejak kasus ibunya diganggu makhluk halus, lalu Ardian mengajak saya menemaninya ke shinse, ke dukun, ke orang pintar sampai saya mengurus ibunya di RSUD, ibunya jadi teman dekat saya.

Saya duduk di sampingnya setelah ia minum, lalu saya menawarkan ia roti ia menolak, tetapi ia merebahkan kepalanya ke bahu saya, saya merangkul pundaknya.

Ardian datang duduk di samping saya setelah ia mendapat nomor antrian di apotik, saya tetap memeluk ibunya tanpa sungkan dengan Ardian seperti Bu Ruhyati itu ibu saya, atau kekasih saya.

Sekali-sekali saya menggenggam dan meremas tangannya yang hangat berkeringat dingin basah sehingga membuat birahi Bu Ruhyati tersalut dan ia mendesah pelan di samping telinga saya, “Ahhh… mmmhh… ngggh.. aah…”

Hari itu tugas saya selesai, sekarang pikiran saya bertanya bagaimana caranya saya mendapatkan surat izin untuk mengeluarkan si gila dari rumah sakit.

Saya baru saja mau meninggalkan rumah Ardian, hari sudah siang mau jam 2, Ardian menyuruh saya menunggu. Ia mau pergi membeli makanan, saya menolak tidak mau merepotkan dompet Ardian, tetapi Ardian memaksa.

Saya duduk di ruang tamu, sementara Ardian naik sepeda motor pergi ke warung nasi, datang Bu Ruhyati duduk di samping saya.

Sejenak pikiran saya tidak berfokus pada Ardian yang sedang pergi ke warung membeli makanan. Adegan di ruang tunggu apotik RSJ tadi itupun berlanjut.

Saya memeluknya, saya menciumi bibirnya, tentu saja ia tidak menolak. Ludahnya terasa manis di mulut saya. Bu Ruhyati mulai membalas ciuman saya. Lidah saya masuk menjelajahi rongga mulutnya. Saya harus memberikan Bu Ruhyati kesan yang mendalam.

Satu persatu pakaiannya saya lepaskan. Susunya tampak menyembul karena BH yang dipakainya terlalu ketat bagi susunya yang besar.

Sampai disini saya tidak ingat lagi dengan Ardian. Saya melepaskan celana jeans saya, sedangkan Bu Ruhyati membantu saya melepaskan BH dan celana dalamnya.

Saya membimbing tubuh telanjang Bu Ruhyati ke dipan. Saya merebahkan tubuhnya. Saya lalu mulai bergerilya di atas tubuh telanjang Bu Ruhyati.

Saya menjilati lehernya. Tubuh telanjang Bu Ruhyati bergerak-gerak erotis membuat nafsu saya semakin naik menggelegak. Saya menelusuri dadanya menuju ke belahan susunya.

Saya menikmati susunya yang masih kenyal itu dengan menjilat dan menghisap putingnya yang berwarna hitam membuat Bu Ruhyati bergelinjangan.

Saya belum berhenti di susunya. Saya hisap gumpalan susu putih mulus itu hingga meninggalkan banyak cupang merah di situ.

Darah di dalam tubuh saya semakin mendidih. Saya turun menciumi perutnya dan menjilati lubang pusernya, ah… kini saya sampai di atas selangkangannya yang ditumbuhi rambut ikal hitam yang kasar.

Berhenti disana, Bu Ruhyati meremas-remas rambut saya seolah minta saya berbuat yang lebih lagi terhadap dirinya.

Lalu saya menyergap selangkangannya. Saya menjilat vaginanya membuat Bu Ruhyati terpekik, “Akkkhh…” kemudian ia menjambak rambut saya, sehingga membuat gairah saya semakin menyala.

Meskipun vaginanya berbau amis, tidak membuat saya surut. Saya hisap bibir vaginanya menuju ke kelentitnya. “EENNGGGGG…. RRRR… EEENNGGRRRR…. OOOHHH….” Bu Ruhyati mendengus dan merintih tak tahan, malah lidah saya menyelusup masuk ke liang rahimnya.

Napas Bu Ruhyati memburu. Tubuhnya bergetar. Nikmatnya vagina ini terasa lebih nikmat dari vagina si gila. Bu Ruhyati menjepit kepala saya. Pantatnya bergoyang.

“EEEEENNNGGHHH…. OOOHHH… OOOHHH…. AAARRGGHHHHHHHH…..” jerit Bu Ruhyati tak tahan lagi melepaskan nikmat birahinya. “OOOOHHHH… ARRGHH…”

Bu Ruhyati orgasme!

“OOOGGGGHHHH….” saya juga mengerang nikmat saat penis saya memasuki liang birahinya.

Saya dorong penis saya yang mengeras. Mata Bu Ruhyati terpejam sambil menggigit bibir bawahnya, pelan… pelan… pelan… saya tarik keluar sedikit, kemudian masuk, terus berulang.

“AAAGHHH… AAAGGGHHH… AAGGHHH…” Bu Ruhyati menjerit setiap kali batang penis saya menggerogoti lubang yang paling dirahasiakannya itu sampai kontol makhluk halus ingin memasukinya membuat ia stress tidak bisa tidur dan susah makan.

Kini malah penis saya memasukinya dan ia berteriak tertahan setiap kali saya mengocoknya. Bahkan kini pinggulnya ikut meliuk-liuk seperti ia ingin menguras keluar air mani saya dari kontong sperma saya membuat dipan bergoyang dan berbunyi berderit-derit sementara penis saya terasa penuh diisi oleh air mani saya siap untuk saya ledakkan di depan rahimnya.

“LEPASSS…. MAASS… LEPASS… LEPASSS….” suruhnya sambil memeluk saya dengan erat.

Rasa nikmat menjalar dari batang penis saya ke paha saya, lalu mengalir ke sekujur tubuh saya sewaktu air mani saya mau keluar. Tubuh saya ikut bergetar. Saya mempercepat kocokan saya, sebentar lagi… sebentar lagi… sebentar lagi… kemudian meledaklah rasa nikmat itu…

Chrroooooooootttt…. crroooootttt…. crrroootttttt…. crrrooooottttt…. crrrooottttttt….

“EEEEEENNNNGGHHHH….” Bu Ruhyati melenguh, saya menyusul, “EEEEEENNNNGGHHHH….”

Kami berpelukan bersama dengan tubuh basah berkeringat. Saya tetap menindihnya dan tidak ingin saya cepat-cepat mencabut penis saya dari liangnya. “Kamu membawa Ibu ke surga…” katanya.

Ardian pulang membeli makan, saya sudah duduk di ruang tamu menunggunya dengan perasaan gelisah karena saya telah menyetubuhi ibunya.

Namun begitu, saat makan saya melihat Bu Ruhyati makan dengan lahap sekali.

Mengurus surat-surat untuk mengeluarkan si gila dari Rumah Sakit Jiwa tidak mudah, saya harus ke RT, RW, Kecamatan, Kelurahan dan si gila seperti berasal dari planet lain, dari Pak RT sampai pegawai kelurahan tidak ada satupun yang mengenalnya.

Bagaimana surat itu bisa diterbitkan? Saya hampir putus asa jika tidak ada lubang rahim Bu Ruhyati yang terus menyemangati saya dan kelihatannya setelah 3 kali saya menyetubuhi Bu Ruhyati, air mani saya menjadi obat mujarab baginya.

 

“Ibu saya semakin baik, Bro.” kata Ardian pada saya. Ketakutan ibunya sudah berkurang dan ibunya juga sudah mulai mau makan.

“Saya melihatnya juga begitu, Bro. Kapan kita mau balik ke rumah sakit lagi? Tapi ngomong-ngomong saya baru tau ibumu cantik ya, Bro.”

“He.. he..” Ardian tertawa mendukung kata-kata saya.

Kami balik lagi ke RSJ beberapa hari kemudian, tapi saya tidak ketemu dengan si gila.

Rupanya masih ada tangan-tangan yang tidak kelihatan (invisible hans) mau menolong saya.

Bu RT.

Bu RT mengajak saya menemui kepala rumah sakit. Dan dari kepala rumah sakit inilah kemudian terbongkar identitas si gila. Sebenarnya si gila bukan warga Bu RT. Si gila berasal dari luar kota.

Setelah lepas dari rumah saya, si gila berulah lagi dan berhubung warga kasihan melihat si gila terlantar, badannya kumuh, kukunya panjang, rambutnya gimbal, dan suka telanjang bulat, warga membawa si gila ke rumah sakit jiwa.

Namanya Nifah, sehingga Nifah alias si gila ini kemudian menjadi penghuni tetap RSJ sampai saya menemukannya.

Kemudian pihak rumah sakit memberikan kami izin membawa si gila dengan jaminan Bu RT, tentu saja.

Saya senang bukan main, bisa bercinta dengan si gila lagi. Tetapi si gila sudah berbeda banyak setelah mendekam sekian lama menjadi penghuni RSJ.

Ia sudah mau tersenyum, mau ngomong meskipun pendek dan ia juga rajin membersihkan kontrakan saya, tidak minggat lagi setelah hampir 3 minggu menghuni kontrakan saya dan makannyapun sudah tidak diraup dengan tangan.

Ini adalah malam yang menentukan sewaktu saya berani memeluknya di tengah malam.

Kami saling menatap dalam jarak yang sangat dekat, dan kemudian saya berani mencium bibirnya. Nifah diam saja, tidak menolak dan juga tidak membalas ciuman saya, bibirnya masih terkatup rapat. Saya jadi penasaran dan semakin nekat, saya cium lagi bibirnya dengan sekali-kali mengulumnya.

Akhirnya Nifah bereaksi juga, bibirnya terkuak sedikit dan ia membalas ciuman saya dan dengan bergairah saya memainkan lidah saya di dalam mulutnya, sehingga lidah kami saling menjalin. Tangan Nifah mulai meremas dada saya menandakan bahwa ia semakin bernapsu.

Saya tak mau kalah, saya mencium daerah sensitif di belakang telinganya, lehernya dan terus turun sampai ke dadanya.

“Ouuhh.. uuhh..” desahnya sambil jari tangannya mencengkeram punggung saya yang telanjang ketika saya meremas susunya dan saya pelintir puting susunya yang tegang.

Nifah berubah seperti bukan si gila, melainkan menjadi seorang wanita yang dipenuhi dengan napsu birahi. Tangannya berani merambat turun ke perut saya dan turun terus sampai ke selangkangan saya. Diremas-remasnya batang penis saya yang sudah tegang dan kaku.

Sambil saya memilin puting susunya dan sebelah putingnya saya kulum dan saya hisap, tangan Nifah semakin bergairah mengusap dan meremas batang penis saya.

Sesekali tangannya meremas biji-biji kemaluan saya. Uuiihh.. nikmatnya….

Kemudian saya merasakan kehangatan tangan Nifah yang mencengkeram batang penis saya, meremasnya dan mengusap-usapkan ibu jarinya pada kepala batang penis saya, membuat saya mendesis menahan rasa geli yang mengalirkan nikmat di sekujur tubuh saya.

“Hmm..” saya mendengar Nifah beberapa kali merintih sambil ia mengurut batang penis saya yang berkedut-kedut dalam genggaman tangannya.

Sampai di situ saya sudah tidak dapat menahan keinginan saya. Lalu dengan bergerak turun batang kemaluan saya menghampiri lubang vagina Nifah. Saya mencium bibirnya sementara batang penis saya menusuk lubang vaginanya.

Bluusssss….

“Aaahh.. oouuhh..” Nifah menjerit tertahan merasakan batang penis saya yang kaku menubruk rahimnya, mungkin sambil ia mengencangkan otot-otot vaginanya sehingga saya merasakan batang penis saya dicengkeram sampai menimbulkan sensasi kenikmatan yang tak terbayangkan.

Lalu saya tarik dan saya masukan lagi penis saya dengan gerakan berulang-ulang dari perlahan ke cepat dan semakin cepat.

Mulut Nifah berdesis-desis menahan nikmat. Tubuhnya terhentak-hentak karena dorongan tubuh saya, buah dadanya yang bergerak-gerak indah saya remas-remas penuh nafsu, sambil terus bergerak saya dan Nifah berpelukan erat, mulut saya dan mulutnya saling hisap.

Akhirnya puncak sensasi itu datang juga ketika saya merasakan kawah di selangkangan saya menggelegar ingin memuntahkan laharnya.

“Ooouuhh..” saya melenguh tertahan ketika saya merasakan batang kemaluan saya mengejang kemudian berkedut-kedut memuntahkan cairan kenikmatan yang menyemprot berkali-kali ke rahim si gila.

Crrrooottttttt….. crrrooooottt…. crroottttt…. crrooottt… crrootttt…

“Ooouuhh.. enak sekali Mbak..” kata saya sambil melepaskan napas panjang sewaktu saya merasakan puncak kenikmatan itu mereda perlahan-lahan.

 

Saya sampai kewalahan melayani napsu kedua wanita itu, Bu Ruhyati dan Nifah. Tetapi saya bersyukur setelah beberapa kali lubang vagina Bu Ruhyati mendapat limpahan air mani saya, ia sudah tidak berhalusinasi didatangi makhlus halus yang ingin menyetubuhinya.

Ia sudah mulai bisa tidur dan makan dengan teratur tidak tergantung pada obat tidur lagi dan tubuhnya juga semakin berisi dan gempal untuk saya tindih dan genjot.

Tetangga-tetangganya berpikir kesembuhan Bu Ruhyati tentu saja berasal dari obat yang diminumnya. Tidak salah juga selain faktor air mani saya yang juga memberi andil besar untuk kesembuhan Bu Ruhyati.

Begitu juga Nifah yang perutnya kelihatan sudah membesar setelah 3 bulan tinggal bersama saya.

Saya sudah menganggapnya sebagai istri saya sehingga ia tidak dicurigai dan dicemooh para tetangga meskipun kami hidup tanpa surat nikah alias hidup kumpul kebo.

Dilain kesempatan jika saya terlibat affair dengan Bu RT lain lagi ceritanya.

Waktu itu Nifah hamil sudah 4 bulan dan Bu Ruhyati tau bahwa saya sudah punya istri, ia sudah tidak mau saya setubuhi lagi.

“Kamu bisa membuat Nifah hamil, kok Ibu nggak, Rin.” kata Bu RT pada saya sambil mengancam saya sewaktu saya ke rumahnya ingin melunasi iuran sampah yang sudah 3 bulan saya tunggak. “Nanti Ibu viralkan, kalau Nifah itu hanya selingkuhanmu, bukan istrimu.” katanya.

“Viralkan saja…” jawab saya tenang. “Paling-paling saya pindah… bukannya saya tidak mau ngurus surat nikah Bu, iuran sampah yang bau begitu saja saya masih lunasin…”

Ternyata Bu RT faham akan permasalahan saya. Setelah saya menjawabnya begitu ia keluarin segelas cendol durian pada saya, sambil ia duduk di samping saya, tercium oleh saya bau tubuhnya yang berbeda dengan bau cendol duren di gelas, terasa asam bercampur bau parfum. Tetapi berhubung tubuh Bu RT itu cantik bahenol, bagaimanapun juga membuat nafsu lelaki saya tersinggung.

Saya membayangkan mulutnya yang berbibir tipis kering itu mengulum kontol saya. “Dimakan dong, masa dilihat saja sih, Rin…?” katanya.

“Saya sedang membayangkan yang Bu RT ngomong tadi. Memang benar Bu RT mau saya hamili seperti Nifah?”

“Hi… hii… ha… haa… ha…” Bu RT tertawa ngakak memeluk saya dan ia mencium pipi saya. “Kamu lucu… Ibu hanya bercanda kamu anggap serius… Ibu sudah umur berapa, Rin…?”

“Tapi tubuh Bu RT sexy…” jawab saya.

“Hmmmh… oohh…” desahnya sewaktu saya kecup bibirnya sambil ia memejamkan mata sehingga membuat saya dari hanya mengecup kemudian menjadi mencium dan melumat.

Bu RT membalas.

Lumatan bibir, hisapan dan permainan lidahnya membuat saya benar-benar bergairah. Apalagi tangan Bu RT berani turun ke bawah meremasi bagian depan celana saya yang terasa sudah memuai.

“Mmhhh…” desahnya sewaktu tangan saya meremasi buah dadanya yang cukup besar dan menantang. “Kita pindah ke kamar saja, ya…” katanya menarik tangan saya bangkit dari tempat duduknya.

Segera saya mengikuti Bu RT ke kamar.

Di dalam kamar, Bu RT tanpa segan lagi langsung melepas semua pakaiannya hingga dengan jelas saya bisa menyaksikan tubuhnya yang telanjang tidak seperti biasa yang selalu tertutup jubah panjang sampai ke mata kaki. Kadang-kadang kedua kakinya juga masih dipakaikan kaos kaki.

Saya suka dengan teteknya yang cukup besar dengan butiran puting yang lumayan besar berwarna coklat tua. Memeknya dihiasi dengan bulu hitam kasar yang tidak terlalu banyak kontras dengan tubuhnya yang putih jarang terkena sinar matahari saking rapatnya tertutup sekarang terhidang telanjang di depan saya.

“Ayo dong lekas buka pakaiannya…” kata Bu RT tidak sabar.

“Tubuh Bu RT sangat indah…” balas saya memuji.

“Apa yang kamu suka?” tanya Bu RT membantu saya melepaskan pakaian.

“Saya suka ini…” jawab saya meremas teteknya membuat mulutnya ternganga menahan napas, apalagi saya menghisap putingnya.

Ia menarik saya rebah di kasur seraya menangkap batang kontol saya dengan tangannya. “Aahhhh…” jerit Bu RT saat saya mendesak batang kontol saya masuk ke lubang memeknya yang kering dan seret.

Tubuh Bu RT bergetar dan melengkung. “Bagaimana rasanya, Bu…?” tanya saya setelah saya menjebloskan semua batang kontol saya ke dalam lubang memeknya.

“Huffff… Ibu serasa diperkosa…” jawabnya. “Kontolmu terlalu besaa…aarrrr….”

Saya tidak menggubrisnya. Dengan kontol menancap, malah saya membalik Bu RT ke atas sambil saya meremas kedua teteknya kemudian pinggul Bu RT bergerak naik-turun, saya membalas dengan menikam lubang memek Bu RT dari bawah.

Pergesekan dua kutub kelamin tersebut menimbulkan rasa nikmat di antara kami.

“OHHH… OOHHH… NGGHH… OOOHHH….” jerit Bu RT memegangi tangan saya yang meremasi teteknya sewaktu rahimnya tersiram air mani saya yang deras, kencang dan hangat.

Sejak siang itu saya sering berkencan dengan Bu RT baik di hotel maupun di bungalow sampai Nifah melahirkan, lalu saya mengajak Nifah pindah kontrakan untuk menikmati hidup yang lebih baik bersama anak saya yang lucu dan menggemaskan. (bc_022024)

The End